Hi, selamat siang di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan membawa pembahasan mengenai kesenian suku tengger Wisata Budaya Reog Tengger Makin Perkuat Atraksi Pariwisata Bromo simak selengkapnya
Liputan6.com, Jakarta Sebagai daerah kaki liburan Gunung Bromo, Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo, tidak cuma memperkuat layanan akomodasi dan transportasi yang mudah. Kini jua mengembangkan kesenian sebagai satu bentuk liburan budaya.
Salah satu diantaranya yang masa ini terus dikembangkan dan eksis merupakan Reog Tengger. Pemda memberikan ruang ala Reog Tengger untuk berkembang. Koordinator Kelompok Sadar Wisata (Darwis) Lembaga Desa Wisata (Ladewi) Supriyanto menyebut, Reog Tengger sempat mati suri. Namun, karena adat di suku Tengger sangat kental, tidak berat untuk membangunkan kesenian ini lagi.
Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam berbagai kesempatan menyebutkan syarat biar destinasi itu kuat, ada 3A. Ada Atraksi, Akses, dan Amenitas. "Reog ini masuk dalam bagian atraksi berbasis budaya. Atraksi inilah salah satu yang menjadi daya pikat orang untuk asal ke destinasi itu," bicara Menpar Arief.
Selanjutnya, untuk bisa sampai ke destinasi itu butuh akses, yang menghubungkan ke destinasi itu. Kemudahan, kecepatan, biaya menuju ke destinasi itu jua menjadi anasir penentu sukses pengembangan objek liburan itu. "Yang terakhir merupakan amenitas, hotel, restoran, cafe, restoran, souvenir shop, dan lainnya," bicara Arief Yahya, ketiganya harus saling support.
Kini, Reog Tengger terus dikenalkan lewat berbagai acara. Beragam aksi penghuni pun sering ajak Reog Tengger sebagai hiburan. Seperti, khitanan. Lalu ala keramaian Kasada Juli mendatang, dipastikan reog Tengger akan digelar diikuti kaum desa pemilik ke senian reog. Pagelaran seni tersebut akan dilaksanakan di Gunung Bromo.
“Dengan demikian eksistensi Reog Tengger akan semakin terlihat. Bahkan telah banyak generasi muda yang tergabung di tiap blok yang ada di desa,” bicara Supriyanto jua Kasi Perencanaan di Desa Jetak Kecamatan Sukapura ini.
Sejalan dengan itu, bicara Supriyanto, Reog Tengger sangat berpotensi sebagai liburan budaya. Reog Tengger sering jadi kesenian untuk menyambut wisatawan yang datang. “Tujuan dahulu membangunkan kesenian Reog ini untuk menyambut tamu ataupun wisatawan. Serta mempertahankan kesenian yang telah ada secara turun temurun,” tuturnya.
Camat Sukapura Yulius Christian menambahkan, era ini tiap desa di Sukapura ada blok kesenian yang di dalamnya ada Reog Tengger. Karena itu, pihaknya berencana mengadakan Festival Reog Tengger yang pesertanya tiap desa di Kecamatan Sukapura.
“Ini bagian dari cara untuk terus mengembangkan Reog Tengger. Sebab, kesenian ini berpotensi jadi liburan budaya. Selama ini kan, wisatawan yang berkunjung ke Bromo cuma menikmati alamnya. Padahal banyak liburan budaya yang bagus di Tengger,” tuturnya. Harapannya, Reog Tengger jadi liburan budaya yang mendukung liburan Bromo.
Keberadaan Reog Tengger sebenarnya diwariskan turun temurun akibat nenek moyang penghuni suku Tengger di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Namun, kemudian mati suri kausa tidak ada penerusnya. Kondisi ini menganjurkan ingatan pemerintah setempat. Mulai pemerintah ke camatan, hingga desa. Maka ala tahun 2000, reog Tengger kembali dihidupkan. Namun, tidak lama.
Untuk mengantisipasi kehampaan ala tahun 2011-2012 dibentuklah Kelompok Sadar Wi sata (Darwis) Lembaga Desa Wisata (Ladewi) di Desa Jetak dan kelompok-kelompok serupa di tiap desa. Alhasil, tiap desa ada komunitas budaya sendiri. Biasanya tak cuma Reog, komunitas ini jua meng gi atkan jaranan, dan tari-tarian.
Supriyanto menyebut, sebagai kesenian yang mengacu ala Reog Ponorogo, ciri dan instrumen kesenian yang digunakan ala Reog Tengger, mirip dengan Reog Ponorogo. Yakni dadap ataupun bulu merak, topeng gonongan, dan caplokan.
Sedang instrumen musiknya, merupakan gendang, gong, saron, kenong, angklung, selendro (gamelang komplit) dan instrumen orkes. Meski mengacu ala Reog Ponorogo, ada kaum perbedaan yang sifatnya untuk menyesuaikan dengan kondisi daerah, adat dan kesukaan penghuni setempat. Mengingat ala era modern ini, kesenian jua harus berkem bang.
“Alat barisan ini merupakan inovasi kami. Mengingat ala era modern ini kesenian jua harus berkembang. Sementara penghuni Tengger banyak yang suka lagu campur sari. Sehingga instrumen barisan tersebut digunakan untuk lagu campur sari,” terang lelaki yang jua kasi menghampirkan di Desa Jetak ini.
Saat ini, Reog Tengger banyak tampil di sejumlah kegiatan. Waktu permainannya tercantel dari yang mengundang. Namun normalnya, 1,5 jam minus adegan kalap (trans/kesurupan). Sementara andaikata menggunakan kalap, bisa 2 jam.
“Terkadang ada penarik yang tidak suka agedan kesurupan. Sehingga cuma dilakukan biasa saja. Untuk biaya tanggapanya sendiri andaikata cuma Reog sekitar Rp 2 juta,” imbuhnya.
Tidak sekedar tampil di banyak kegiatan. Pelestarian Reog Tengger masa ini dilakukan sistemanis dengan cara diajarkan ala siswa SD. Khususnya di Desa jetak. “Latihan rutinnya satu minggu dua kali. Biasanya sabtu malam dan minggu malam. Yang terpenting tidak menggangu waktu belajar,” tuturnya.
Ngantoro, bomoh Reog di Darwis Ladewi yang jua kasi rezim di Desa Jetak menambahkan, ada kaum keadaan yang perlu disiapkan dini Reog tampil. Salah satunya merupakan ubo rampe dengan isi ataupun sesaji beragam. Ada gede ayu, rokok kinangan komplet (jambe, daun siri, kembang telon), jenang wonco (jenang lima warna, adalah putih, merah, hijau, kuning, dan hitam).
Lalu, sego gulung (tujuh nasi kuning kepel yang tengahnya diisi ovum jawa). Kemudian, wedang kopi pahit dan air putih, kembang setaman, pituan (kelapa, beras, dan 5 biji ovum mentah) dan janur tujuh sisir. Meski demikian, kadang ubo rampe tiap desa berbeda.
Secara umum Reog Tengger, mirip dengan Reog Ponorogo. Sebab, asli utama Reog Tengger mengacu ala Reog Ponorogo. Misalnya riwayat pertarungan Singobarong dengan Kelanaswandana memperebut Dewi Songgolangit, putri Kerajaan Kediri yang terkenal cantik. Kelanaswandana akhirnya mengawini Dewi Songgolangit.
Meski demikian, riwayat ini mulai telantar di Reog Tengger. Warga cuma mengenal, ini kesenian turun temurun. Juga, ada kaum keadaan yang melainkan Reog Ponorogo dan Tengger. Seperti yang disampaikan Misnan, 54, bomoh di Kelompok Seni Jaranan Kreasi Abdhi Budoyo, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura.
Warga Desa Ngadisari ini menyebut, Reog Ponorogo kekuatannya dari olah kanuragan. Sedangkan Reog Tengger khusus untuk kalap/ kesurupan. Reog Ponorogo menurutnya, harus dipelajari dan dilatih khusus. Mengingat kekuatan yang yang didapat dari bidang kanuragan. Sedangkan Reog Tengger nisbi bisa dilakukan akibat siapapun. Bahkan, anak kecil sekalipun. Asal secara awak mampu.
“Saat tampil, bomoh akan ajak makluk lain untuk kalap. Jika telah kalap, orang bisa dan mampu membawakan reognya. Jika belum kalap, sangat sulit. Sebab, berat dari reog itu men capai 30 kilogram. Dan cuma ditahan de ngan menggunakan gigi,” terangnya.
Hal seirama diungkapkan Koordinator Kelompok Sadar Wisata (Darwis) Lembaga Desa Wisata (Ladewi) Supriyanto. Menurutnya, perbedaan Reog Tengger dan Ponorogo terjadi, karena inovasi semata. Misalnya, pengiring lagu. Warga Tengger yang kental dengan adatnya, jua penggemar campur sari. Karena itu, pengiring lagu untuk reog yang dimainkan di Desa Jetak, adalah lagu campur sari.
“Ada kaum fusi dan inovasi yang digunakan kausa menyesuaikan dengan adat di desa,” katanya.
Ngantoro, bomoh reog di Darwis Ladewi menambahkan, hingga kini, keberadaan Reog Tengger selalu terjaga. Sebab, sejumlah aksi masih sering menjadikan Reog Tengger sebagai hiburan.
(*)
Oke penjelasan perihal Wisata Budaya Reog Tengger Makin Perkuat Atraksi Pariwisata Bromo semoga tulisan ini bermanfaat salam
Tulisan ini diposting pada label kesenian suku tengger, bentuk kesenian suku tengger, kesenian khas suku tengger,
Komentar
Posting Komentar