Langsung ke konten utama

Undang Undang Desa Dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center For Security And Welfare Studies Jiwa Sosial

Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center for Security and Welfare Studies

Hallo, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan dibahas tentang jiwa sosial Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center for Security and Welfare Studies simak selengkapnya.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

Pendahuluan

            Undang-Undang No 6 Tahun 2014 akan Desa yang dikenal dengan buah bibir UU Desa telah disahkan akibat Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru di donasi kekuasaan, penataan dan desentralisasi Desa. Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai akreditasi negara arah keberadaan Desa sebagai sebentuk area otonom, baik desa sebagai sebentuk ketunggalan adat maupun desa sebagai ketunggalan adat di Nusantara. Selanjutnya sebagai alas dan petunjuk adat implementasi UU Desa, Pemerintah jua telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 akan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 akan Dana Desa.

UU Desa ini akibat berlimpah kalangan dikatakan sebagai UU Desa terlengkap dibanding UU Desa sebelumnya. UU ini telah menampung berlimpah keadaan yang muaranya untuk ayom dan menguatkan desa agar jadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dalam UU ini derajat desa ditempatkan pada kedudukan kian terhormat dan diakui sebagai poin yang berprakarsa. Selanjutnya di di Penjelasan UU ini jua disebutkan, bahwa “Mengingat kedudukan, kewenangan, dan keuangan desa yang semakin kuat, pengaturan pemerintahan desa diharapkan kian akuntabel yang didukung akibat komposisi kepam dan keseimbangan antara negara desa dan dewan desa”. Artinya secara nomina UU ini, memasrahkan kepercayaan, amanah dan tanggung jawab kepada berbagai pihak, ialah barisan pemerintahan nasional, daerah, lokal, pertama getah perca pelaksana kepentingan di desa-desa.[1]

Salah ahad daya UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa ialah adanya komitmen negara  untuk mengakui alias pencerapan dan ayom desa-desa alias nama asing di sarwa Indonesia guna melaksanakan undang-undang artikel 18 B UUD 1945. Desa-desa tersebut tidak sahaja diakui secara legal absah akibat negara,  lamun jua diberikan jaminan sumber harta yang aman yang berawal dari APBN, APBD,  dan sumber harta asli desa itu sendiri.

Mencermati ketentuan-ketentuan di UU Desa di atas, sekilas hadir banyak indah dan mulia, lamun jika memandang proses kelahirannya yang tidak lepas dari  desakan “Parade Nusantara”  atau  kalangan LSM sebagai blok penekan (pressure group) yang memobilisasi perangkat desa, bahwa UU tersebut berat bersifat segmented, artinya sekadar komersial segmen-segmen tertentu, khususnya akal desa dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat desa di UU itu tetap sekadar dijadikan  obyek katimbang subyek. Pendekatan kapitalistik dengan aur dana ke desa di UU tersebut, dapat dikatakan analog dengan ketatanegaraan dana (money politics) yang dilegalkan akibat negara.[2]

Oleh akibat itu analisis atas UU Desa merupakan keharusan dan bukan tidak agak-agak UU Desa ini jua berpotensi membangkitkan permasalahan-permasalahan baik budaya baru serta berat bersifat counter-productive atas cita-cita membikin desa dan kesejahteraan warga perdesaan. Salah ahad indikatornya ialah UU Desa  ini bukan  affirmative policy yang memposisikan sarwa anak buah desa sebagai bagian pertama yang bakal dibela dan diberdayakan. Seharusnya UU ini memastikan bilangan minimal, apabila 50% dari total jumlah desa,  diwajibkan dialokasikan untuk  membikin prasarana khalayak pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, konservasi parit-parit, kuburan-kuburan desa, perpustakaan desa, membikin gedung-gedung  sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, memajukan menambah sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).

Ketidakmunculan bilangan afirmatif di UU Desa ini, bahwa keadaan negatif yang  harus diantisipasi ialah anomali keuangan desa akibat aparatur pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) alias bagian ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Dengan begini alpa ahad kelemahan pokok UU desa ini ialah jumlah desa dihabiskan alias dihambur-hamburkan, misalnya  untuk upacara-upacara adat yang terlewat ada kalanya dilakukan, dikorupsi aparatur  desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau  kereta angin motor dinas; untuk “studi banding”,   alias untuk “foya-foya”.

Refleksi Pengaturan Desa di Era Orde Baru

Sebelum terbentuknya negara modern, desa merupakan gatra baik yang memegang individualitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi alias institusi nasional yang beragam, sebentuk pemerintahan yang demokratis, dan pernah memegang independensi khas (asli) di memanipulasi kehidupannya sorangan (self governing community).[3] Antara desa, kerajaan, ataupun negara merupakan saling aliran badan yang berparak kawasannya, akan tetapi sama obyek dan poin pelakunya, ialah rakyat.[4]

Realitas desa di atas, telah arung perubahan, yakni kemiskinan, keterisoliran dan ketidakberdayaan. Tetapi ironisnya, pada era Orde Lama dan Orde Baru justru diklaim memasrahkan kontribusi bena atas bidang perdagangan dan politik. Reforma Agraria (di Jawa era Orde Lama), program pembangunan, transmigrasi, Keluarga Berencana, kerja bakti, ABRI Masuk Desa (AMD), aktivitas inovasi pertanian (padi jenis unggul) dan penggalakan pertanian; segalanya berlangsung di desa. Bahkan di penentuan umum, getah perca calon partai ketatanegaraan mengandalkan bantuan era yang berawal dari anak buah desa. Gambaran tersebut sekali lalu menunjukkan kecenderungan obyektifikasi desa akibat tekanan ketatanegaraan dan perdagangan yang umumnya berawal dari dalam desa.[5]

Obyektifikasi desa di aliran kanon jika ditarik garis waktu dari zaman Orde Baru cukup dengan reformasi, negara telah empat kali melaksanakan alternasi undang-undang untuk memanipulasi akan desa, ialah UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan bontot ialah UU No. 6 Tahun 2014. Keempat undang-undang tersebut, corat-coret desa diberi arti secara beragam, biarpun secara subtansial keempat arti tersebut tidak asing berbeda. Konsekuensi diskrepansi arti desa, secara normatif banyak berpengaruh pada kekuasaan yang dimiliki akibat desa.

UU No. 5 Tahun 1979 memasrahkan definsi desa sebagai suatu area yang ditempati akibat sejumlah orang sebagai ketunggalan bangsa termasuk di dalamnya ketunggalan bangsa adat yang mempunyai badan pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan kediaman tangganya sorangan di ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.         

UU No. 22 Tahun 1999 arti desa alias nama asing sebagai   kesatuan  bangsa adat yang memegang wewenang untuk memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa selingkung berdasarkan aluran dan adat adat selingkung yang diakui di komposisi Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

Sedang UU No. 32 Tahun 2014 memasrahkan arti desa sebagai  kesatuan bangsa adat yang memegang batas-batas area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa setempat, berdasarkan asal-asul dan adat adat selingkung yang diakui dan dihormati di komposisi Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan UU No. 6 Tahun 2014 desa didefinisikan sebagai kesatuan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan berdasarkan gagasan masyarakat, benar awal anjuran dan/atau benar tradisional yang diakui dan dihormati di komposisi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[6]

Perbedaan arti yang hadir kontras ialah UU No. 5 Tahun 1979, di mana desa dianggap sebagai suatu area yang ditempati akibat sejumlah penduduk. Desa sekadar diposisikan sekadar sebagai sebentuk tempat bangsa tinggal dan hidup. Sedang UU UU No. 6 Tahun 2014 terdapat penambahan jadi “desa adat” sebagai aliran akomodasi akibat negara atas jumlah desa di daerah yang memegang ciri dan berparak dari desa pada umumnya (desa adat). UU No. 5 Tahun 1979, desa tidak diberikan benar asak di asuh pemerintahannya, akan tetapi berada di bawah Camat. Sedang UU berikutnya, desa diberikan wewenang kian luas (otonomi) utuk mengurus daerahnya berdasarkan aluran dan adat-istiadat setempat. Kata “asal-usul” tersebut dianggap menangkup pintu keikutsertaan masyarakat, sehingga bicara tersebut diubah jadi “prakarsa” di UU terbaru. Dengan menggunakan bicara gagasan diharapkan dapat bakir membuka keikutsertaan seluas-luasnya atas masyarakat.[7]

Politik adat UU No. 5 Tahun 1979 ialah “menyeragamkan” desa, yakni sedia semangat campur yad negara fokus atas desa. Artinya desa tidak diberikan akses untuk mewadahi dan memudahkan diversitas yang dimiliki. Implikasinya desa tidak lagi diimajinasikan memegang faedah dan orisinalitasnya yang beragam, memencilkan diperlakukan secara sama (diseragamkan). Hal tersebut berakhir pada hilangnya benar ulayat dan benar arah sumber kehidupan, bagaikan benar arah hutan yang dimiliki desa jadi eigendom negara dan pungutan arah aset angkasa yang diambil anjak akibat negara daerah babak I dan II. Sebagai gantinya negara desa mendapatkan Uang Pembangunan Desa (Bangdes) dari negara pusat. Di pinggir itu berbentuk pula Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai penampung aspirasi masyarakat. Namun, pimpinan dewan tersebut dirangkap akibat Kepala Desa dan Sekertaris Desa.[8]

Selanjutnya di  UU No. 22 Tahun 1999 terdapat pergeseran arah kedudukan dan wewenang desa dengan unit pemerintahan di atasnya (negara). Pergeseran itu pertama pada betapa dengan cara apa independensi desa berangkat ditekankan kembali selepas sekian rentang waktu di bawah sentralisme ketatanegaraan dan penyeragaman desa. Landasan pemikiran di UU ini ialah keanekaragaman, partisipasi, independensi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan  desa  merupakan subsistem dari komposisi pengaturan pemerintahan, sehingga Desa memegang wewenang untuk memanipulasi dan mengurus kepentingan  masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Desa dan memberikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Badan Perwakilan Desa (BPD) mempunyai kedudukan banyak awet dan aktif sebagai dewan legislasi, kepam di pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Keputusan Kepala Desa. Kepada desa diberikan wewenang eksplisit yang mencakup: (a) wewenang yang telah sedia berdasarkan benar aluran desa, (b) wewenang yang akibat anggaran dasar perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan akibat daerah dan pemerintah, serta (c) darma pembantuan yang diberikan akibat pemerintah, negara provinsi, dan/atau negara kabupaten. Ruang blangko wewenang pemerintahan yang belum diisi akibat negara daerah dan akibat negara pusat, bagi UU ini aktual boleh diambil akibat desa, lamun realitasnya tidak encer diisi.[9]

Kemudian di UU No. 32 Tahun 2014 menempatkan desa bukan sekadar sebagai “komunitas yang menyuruh sendiri” (self-governing community), memencilkan jua “pemerintahan nasional yang mandiri” (local self government). Namun demikian, pada era yang sama UU ini membawa corat-coret bab pemerintahan. UU ini sekadar membelah bab pemerintahan dan pada era yang sama tidak membelah wewenang pemerintahan. Artinya wewenang desa latah bab yang diberikan akibat negara di atasnya. Istilah independensi desa di UU ini didefinisikan secara terbatas, yakni dilaksanakan dengan asas independensi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab yang diwujudkan dengan pengaturan, donasi dan nisbah keuangan.[10]

Terdapat dua asas elementer donasi wewenang di UU ini, yaitu: (1) wewenang negara yang secara absolut tidak dapat dilimpahkan kepada daerah/desa akibat menyangkut kepentingan kelangsungan hidup anak dan negara, antara asing meliputi ketatanegaraan dalam negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, finansial dan fiskal nasional serta agama; dan (2) tidak sedia bab negara yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah/desa. Sedangkan bagian-bagian wewenang pemerintahan yang diserahkan kepada daerah/desa sekadar wewenang yang menyangkut kepentingan bangsa setempat, dan arah alas asas ini kewenangam yang dimiliki desa secara bebas sekadar bakal berjalan pada wewenang aluran sahaja sama dengan di artikel 206 abjad a.

Otonomi desa yang dikandung di semangat UU No. 32 Tahun 2004 bersifat “pemberian” dan bukannya “bawaan”, ialah wewenang yang terdapat arah alas amal akibat unit pemerintahan yang kian tinggi. Sedangkan “hak bawaan” merupakan serangkaian benar yang berbentuk dari suatu proses sosial, ekonomi, ketatanegaraan dan budaya dari suatu bangsa adat tertentu, termasuk produk dari proses hubungan dengan persekutuan-persekutuan bangsa adat lainnya.[11] Otonomi sebagai “hak berian” itu secara sugestif masih menggambarkan bahwa desa pada dasarnya masih belum bebas sejauh tidak diberikan independensi akibat pemerintahan di atasnya (negara). Semangat independensi ala kadarnya (pemberian) dijelaskan secara kian detail di PP No. 72 Tahun 2005. Pasal 7 PP itu menyatakan, bab pemerintahan yang jadi wewenang desa mencakup: (a) bab pemerintahan yang telah sedia berdasarkan benar awal anjuran desa; (b) bab pemerintahan yang jadi wewenang kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) darma pembantuan dari  Pemerintah,  Pemerintah  Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (d) urusan  pemerintahan  lainnya yang akibat  peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Dalam keadaan pemerintahan desa, UU No. 32 Tahun 2004 agak-agih pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memasrahkan laporan pengaturan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota, memasrahkan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan laporan pengaturan pemerintahan desa kepada masyarakat. Kepala Desa tidak lagi bertanggung jawab kepada BPD sama dengan ketentuan pada UU sebelumnya. Untuk memajukan menambah pelayanan kepada bangsa di tingakt desa, ditegaskan bahwa dabir desa (Sekdes) diisi akibat Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang artinya seorang pejabat/pegawai karier

Politik Hukum Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Jika merunut ke belakang, alas yuridis ketatanegaraan adat pemerintahan desa dapat digambarkan sebagai berikut:[12]

No. Perundangan Desa
1. Regeringsreglement (RR) Pasal 71, Tahun 1854. Mengatur akan ikrar dan penentuan Kepala Desa dan Pemerintah Desa, serta benar Desa untuk memanipulasi dan mengurus kediaman tangganya sendiri.
2. Osamu Seirei No. 7 tarikh 2604 (1944) Pemilihan dan pencopotan akal desa, dan buah bibir akal desa sebagai Kuco.
3. UU No. 1 Tahun 1945 Tidak sedia pengaturan akan desa secara eksplisit
4 UU No. 22 Tahun 1948 Kemungkinan alias mengarahkan desa sebagai Daerah Otonom Tingkat III
5 UU No. 1 Tahun 1957 Kemungkinan dibentuk Daerah Otonom Tingkat III, akan tetapi harus hati-hati
6 UU No. 19 Tahun 1965 Desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat

III dengan tata dan buah bibir Desapraja

7. UU No. 5 Tahun 1974 Mengaturan akan pemerintahan Desa yang beralasan perundang-undangan tersendiri.
8. Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/1978 akan GBHN

Berisi: “… memperkuat pemerintahan desa agar bahkan bakir menggerakkan bangsa datam partisipasinya di pembangunandan pengaturan administrasi desa yang bahkan mengembang dan efektif”. Untuk itu harus disusun Undang-Undang akan Pemerintahan Desa.
9. UU 5 Tahun 1979 Desa berkedudukan langsung di bawah Camat, dimana Camat merupakan Kepala Wilayah yang menjalankan barisan pemerintahan lurus (dekonsentrasi).
10. UU 22 Tahun 1999 Desa   diatur   dalam  suatu   undang-undang dengan Pemerintahan Daerah. Desa merupakan subsistem dari pemerintahan  yang    pengaturannya lebih      lanjut diserahkan      kepada daerah Kabupaten         dengan

membentuk     Perda.  Tanpa sedia penjelasan lanjut melanggar subsistem, bahwa kedudukan desa berada di di alias di dalam kediaman tangga kabupaten.

11. UU 32 Tahun 2004 Desa    kembali   ditempatkan   di undang-undang melanggar Pemerintahan Daerah, yang menempatkan desa di di pemerintahan Kabupaten/Kota.

Selanjutnya arah UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa, sama dengan telah disahkan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 15 januari 2014, bertujuan: (1) Memberikan akreditasi dan penghormatan arah desa yang telah sedia dengan keberagamannya setelah dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;  (2) Memberikan kejelasan kedudukan dan keputusan adat arah desa di komposisi ketatanegaraan Republik Indonesia buat mewujudkan kesamarataan alokasi sarwa anak buah Indonesia; (3) Mmelestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya bangsa desa; (4) melecut prakarsa, gerakan, dan keikutsertaan bangsa desa untuk pengembangan daya dan aset desa guna kesejahteraan bersama; (5) Membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (6) Meningkatkan pelayanan khalayak alokasi warga bangsa desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; (7) Meningkatkan kegigihan baik budaya bangsa desa guna mewujudkan bangsa desa yang bakir melantan ketunggalan baik sebagai bagian dari kegigihan nasional; (8) Memajukan perekonomian bangsa desa serta melampaui kesenjangan pembangunan nasional; dan (9) Memperkua tmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.[13]

Sedangkan alas pengaturan di UU Desa ini adalah: (1) Rekognisi, ialah akreditasi atas benar awal usul; (2) Subsidiaritas, ialah penetapan wewenang berskala nasional dan pengutipan dekrit secara nasional untuk kepentingan bangsa desa; (3) Keberagaman, ialah akreditasi dan penghormatan atas komposisi biji yang berlaku di bangsa desa, lamun dengan tetap mengindahkan komposisi biji bersama di kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) Kebersamaan, ialah semangat untuk berperan berperan dan beraksi sama dengan asas berbalas-balasan menghargai antara kelembagaan di babak desa dan unsur bangsa desa di membikin desa; (5) Kegotongroyongan, ialah kebiasaan berbalas-balasan tolong-menolong untuk membikin desa; (6) Kekeluargaan, ialah kebiasaan warga bangsa desa sebagai bagian dari ahad ketunggalan keluarga besar bangsa desa; (7) Musyawarah, ialah proses pengutipan dekrit yang menyangkut kepentingan bangsa desa lewat diskusi dengan berbagai bagian yang berkepentingan; (8) Demokrasi, ialah komposisi pengorganisasian bangsa desa di suatu komposisi pemerintahan yang dilakukan akibat bangsa desa alias dengan izin bangsa desa serta keluhuran harga diri dan derajat bani Adam sebagai makhluk tuhan yang maha ahad diakui, ditata, dan dijamin; (9) Kemandirian, ialah suatu proses yang dilakukan akibat negara desa dan bangsa desa untuk melaksanakan suatu kegiatan di rangka membanjiri kebutuhannya dengan kemampuan sendiri.[14]

Pertimbangan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah: (1) Bahwa desa memegang benar awal anjuran dan benar tradisional di memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa selingkung dan berperan mewujudkan cita-cita kebebasan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa di darmawisata ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah mekar di berbagai aliran sehingga harus dilindungi dan diberdayakan agar jadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan alas yang awet    dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan mengarah bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) Bahwa desa di susunan dan tata cara pengaturan pemerintahan dan pembangunan harus diatur eksklusif dengan undang-undang.[15]

Konsideran di atas, didasarkan arah alas semangat penerapan amanat konstitusi, ialah pengaturan bangsa adat adat bertimbal dengan ketentuan Pasal 18B artikel (2) untuk diatur di susunan pemerintahan bertimbal dengan ketentuan Pasal 18 artikel (7). Walaupun demikian, wewenang ketunggalan bangsa adat adat melanggar pengaturan benar ulayat merujuk pada ketentuan anggaran dasar perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Lebih lanjut jua disebutkan, dengan arsitektur menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan ketunggalan bangsa adat adat yang selama ini merupakan bagian dari area Desa, ditata sedemikian paras jadi Desa dan Desa Adat.

UU ini memasrahkan kedudukan yang awet kepada akal desa dan membawa dewan baru yang disebut keramian desa yang merupakan sebentuk dewan pembicaraan yang diikuti akibat BPD, Pemerintah Desa, dan unsur bangsa desa untuk memusyawarahkan keadaan yang bersifat strategis. Artinya, saban desa harus menghidupkan sebentuk dewan ketatanegaraan yang inklusif di mana persoalan vital dimusyawarahkan bersama. Dengan begini diharapkan bangsa desa bakal mekar jadi komune yang kohesif.

Dalam manajemen pembangunan, UU ini menggunakan dua pendekatan, ialah “Desa membangun” dan “membangun Desa”. Penggabungan pendekatan itu dimaksudkan agar pembangunan desa ampuh memajukan menambah kesejahteraan bangsa desa dan derajat hidup bani Adam serta jalan keluar kemiskinan lewat penyediaan pemenuhan keperluan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan daya perdagangan lokal, serta eksploitasi sumber daya angkasa dan area secara berkelanjutan. Untuk itu, desa harus menyusun perencanaan pembangunan bertimbal dengan kewenangannya dengan bidik pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota. Dokumen rencana pembangunan desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di desa dan sebagai alas penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Perencanaan pembangunan desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan bangsa desa lewat keramian perencanaan pembangunan desa, yang memasang prioritas, program, kegiatan, dan keperluan pembangunan desa yang didanai akibat Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya bangsa desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Pembangunan desa dilaksanakan dengan semangat gotong royong serta memakai kebijakan nasional dan sumber daya angkasa desa. Sementara itu, pelaksanaan program sektor yang masuk ke desa diinformasikan kepada negara desa dan diintegrasikan dengan rencana pembangunan desa.

Kebersamaan dan kohesivitas bakal kian encer direalisasikan jika ditegakkan minus transparansi. Masyarakat desa berhak mendapatkan penjelasan dan melaksanakan pemantauan melanggar rencana dan pelaksanaan pembangunan desa. Menyadari banyak pentingnya tranparansi, UU ini mengharuskan dikembangkannya komposisi penjelasan desa yang bisa diakses akibat bangsa desa dan segala pelaksana kepentingan.

Potensi Permasalahan Sosial Budaya

Banyak amat alterasi beralas di UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa, berangkat dari manajemen keuangan desa, donasi kekuasaan ketatanegaraan desa, manajemen sumber daya dan strategi pembangunan desa-desa di Indonesia. Perubahan-perubahan itu tampaknya tidak encer untuk disinkronisasikan dengan kebenaran bangsa pedesaan terkini dan berpotensi membangkitkan permasalahan baru di kehidupan baik budaya. Potensi permasalahan-permasalahan baik budaya di UU ini, dapat dipetakan sebagai berikut:

  1. Konsep desa dan desa adat

Pengertian desa adat berparak antara setelah terbitnya UU Desa ini dengan sesudah terbitnya UU ini. Di Bali. Pengertian desa adat ialah tempat pelaksanaan ajaran ajaran di sepirit takwa, etika, dan peralatan yang bertalian pada area pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan di UU ini, desa adat ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus bab pemerintahan, kepentingan bangsa selingkung berdasarkan gagasan masyarakat. Perbedaan corat-coret desa adat ini dapat diapstikan membangkitkan gejolak di akhirnya hari.

Ketentuan Pasal (6) UU Desa, bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat, tetapi  penjelasan artikel 6 dinyatakan bahwa di ahad area sekadar terdapat desa alias desa adat dan untuk daerah yang telah berjalan mendompleng tindih antara desa dan desa adat di ahad area harus dipilih alpa ahad model bertimbal dengan ketentuan UU Desa itu. Implikasi dari ketentuan ini bakal melantarkan desa adat (Desa Pakraman) di Bali bakal hilang, akibat cuma ingin mendapatkan dana bantuan Rp. 1 miliar dari APBN. Nama Desa Pakraman agak-agak masih ada, lamun “ruhnya” bakal hilang akibat harus dilantik dan diatur kepengurusannya akibat pemerintah. Padahal eksistensi desa instansi dan desa adat di Bali telah bepergian baik dan mempunyai fungsinya berbeda, ialah desa instansi mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi adat.[16]

Hal yang sama ialah ketentuan Pasal 37 artikel (1), bahwa akal desa dan perangkat desa diberikan pemasukan tetap saban bulannya dan alias tunjangan. Penggajian atas akal desa, dabir desa, dan perangkat desa, merupakan aksi yang kontra-produktif dengan asas independensi desa era lalu yang tidak mengenal penggajian akibat kerja mereka dianggap “pengabdian”. Artinya penggajian ini tidak memegang argumentasi filosofis-sosiologis desa sebagai gatra otonom. Sepetinya penggajian ini sekadar didasarkan pada argumentasi benar sebagai anak buah yang telah bekerja, anak buah yang telah mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai akal desa, dabir desa, dan alias perangkat desa. Dan keterkaitan sosiologis-strukturalnya ialah banyak agak-agak getah perca perangkat desa itu tetap dan memegang kecenderungan besar mengabdi kepada negara, bukan kepada anak buah meski di pasa-pasal asing diatur peran dan darma mereka sebagai pamong rakyat.

  1. Alokasi Dana Desa

Setiap desa bakal mendapatkan dana catu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling kurang 10 bayaran saban tahunnya. Maka, dapat diperkirakan saban desa bakal mendapatkan dana seputar 1.2 hingga 1.4 Miliar saban tahunnya. Berdasarkan perhitungan di penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari dana memindahkan daerah bagi APBN untuk perangkat desa sejumlah Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sejumlah 10 bayaran seputar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa ialah Rp. 104, 6 triliun yang bakal dibagi ke 72 mili desa se-Indonesia.

UU Desa ini ingin mendelegasikan secara asak kekuasaan asuh jumlah desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) saban tahun. Padahal selama ini desa belum berpengalaman asuh jumlah sejumlah itu. Di bidang asing pada independensi daerah di level kian adiluhung (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan berlimpah amat akal daerah yang terjerat bab adat balasan korupsi. Artinya dengan total dana sebesar itu, tidak bukan-bukan bakal diselewengkan akibat perangkat desa yang tidak bertanggungjawab.

Sebenarnya inilah api fokus “paling kritis” ketentuan di UU Desa 2014 dibanding  akar bahan undang-undangnya, ialah gejala-gejala negatif yang tidak bakir diduga dengan diberikannya dana sejumlah 1 Milyar kepada desa. Ekses-ekses negatif dengan adanya dana 1 Milyar tersebut bakal berjalan asing kian cepat dibanding kemampuan desa untuk mengorganisir dan menginternalisasi ilmu dan pranata-pranata baru di di masyarakat. Uang bakal menumbuhkan inkonsistensi dan inkoherensi institusi dan perhubungan baik desa yang kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan di UU Desa 2014. Logika ontologisnya ialah “akibat masuknya UU Desa 2014” justru memastikan kesadaran kebenaran bangsa bahwa “penguasa” semakin berkuasa dan yang “tidak berkuasa” tetap di hal lemah dan dana jadi tidak punya makna.[17]

  1. Masa Jabatan Kepala Desa

UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di babak terbawah lewat penentuan akal desa secara serentak di sebentuk kota/kabupaten sama dengan pemilu legislatif dan presiden, padahal era ini bangsa membuktikan betapa dengan cara apa ketatanegaraan itu dinodai akibat praktek ketatanegaraan uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut.

Masa jabatan akal desa 6 (enam) tarikh dan dapat dipilih kembali di 3 periode, boleh berturut-turut alias tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan bakal lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi dengan wewenang yang diberikan pada saban akal desa cukup berdikari dan keuntungan-keuntungan jadi akal desa yang dapat menggiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan sekalian cara agar dapat menduduki jabatan sebagai akal desa. Untuk itu, bangsa desa harus awas memilih akal desa yang benar berkompeten di menanggulangi permasalahan-permasalahan yang sedia di desanya. Dengan menggunakan penentuan secara langsung, bangsa desa diharapkan bakir menempatkan orang-orang terbaik di desanya pada saban kedudukan di perangkat desanya, lebih-lebih pada kedudukan akal desa. Tingkat interes bangsa desa di berdemokrasi, secara tidak langsung, jua bakal berpengaruh di pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penempatan anak buah baik dan benar bakir melampaui permasalahan desa pada babak akal desa, dipastikan bakal berakhir afirmatif di perubahan-perubahan yang berjalan ke depannya. Sebaliknya, jika alpa memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan lamun bakal membangkitkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.

Masa jabatan 6 tarikh dan dapat dipilih untuk tiga abad era jabatan, aktual belum cukup alokasi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerja dan angan-angan misinya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama tiga periode, bakal dapat menghambat pengaderan kepemimipinan di babak desa. Disamping itu, era jabatan yang enam tarikh bakal melecut stabilitas ketatanegaraan desa “terguncang” kembali saban enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa penentuan akal desa ada kalanya menggaritkan luka, dendam berkepanjangan dan membangkitkan bentrokan horizontal/vertikal alokasi getah perca bagian terkait yang alot dihilangkan di jumlah tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program akal desa terpilih, sehingga menghambat kederasan peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi bertimbal UU Desa yang baru, biaya penentuan akal desa jadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan abad jabatan yang singkat, biaya Pilkades bakal membebani APBD.

  1. Kedudukan Desa Dalam Ketatanegaran

Kedudukan Desa (atau nama lainnya), di UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara memasrahkan akreditasi dan penghormatan atas desa sebagai kesatuan-­kesatuan masyarakat adat adat serta hak-­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan bertimbal dengan perkembang-an bangsa dan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang­Undang.[18]

Landasan ini melepaskan antara barisan pemerintahan daerah yang diberi independensi dengan ketunggalan bangsa hukum. Urusan yang dikelola akibat barisan pemerintahan daerah menunjukkan difusi kekuasaan, sementara, kekal masih ada, bab yang dikelola akibat Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat darma pembantuan yang diberikan akibat Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.

Dalam (Pasal 1) UU ini, “Desa ialah desa dan desa adat alias yang disebut dengan nama lain, berikut disebut Desa, ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus bab pemerintahan, kepentingan bangsa selingkung berdasarkan gagasan masyarakat, benar awal usul, dan/atau benar tradisional yang diakui dan dihormati di komposisi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Sedang derajat desa tercermin di Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, yaitu: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembaharuan sosial Desa, dan pemberdayaan bangsa Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dan di artikel 5, Desa berkedudukan di area Kabupaten/Kota” .

Ketentuan di arah membenarkan derajat Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang membentuk Peraturan Desa arah alas Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 artikel (7) abjad c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 artikel (2) abjad c) sebagai alpa ahad model anggaran dasar perundang-undangan sebagai bagian dari anggaran dasar daerah. Tetapi di UU No. 12 Tahun 2011 akan Pembentukan Praturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai anggaran dasar daerah, kendatipun undang-undang tersebut mengakui eksistensi “peraturan yang ditetapkan akibat akal desa alias administratur yang setingkat” (vide Pasal 8 artikel (1)).

Dengan begini pemerintahan desa yang sedia sekarang ialah kelanjutan dari pemerintahan desa jaman dahulu, sekadar sahaja pemerintahan desa sekarang telah kematian “rohnya” sebagai desa yang mandiri. Desa yang sedia sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, ialah sebagai pemerintahan asli anak Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang kian benar disebut pemerintahan semu alias bayang-bayang (quasi government organization).[19]

Sedangankan derajat Kepala Desa, dari UU No. 5 Tahun 1979 cukup dengan UU No. 6 Tahun 2014, melaksanakan penyeragaman atas derajat dan pengsian jabatan akal desa serta pemasukan negara desa. Konkritnya adalah: (1) derajat Kepala Desa ialah sebagai pimpinan Pemerintah Desa alias yang disebut dengan nama asing dan dibantu akibat perangkat Desa alias yang disebut dengan nama asing (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung akibat orang Desa (Pasal 34 (1)), ikrar (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan akibat Bupati/Walikota; dan (2) pelantikan tersebut linier dengan pemasukan Kepala Desa. Pasal 66 (1) menyahihkan bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa mendapat pemasukan tetap saban bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat mendapat akseptasi lainnya yang absah (ayat (4)). Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana nisbah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima akibat Kabupaten/Kota dan ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 artikel (2)).

Selain pemasukan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 artikel (3)). Skema sumber harta Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar alokasi pengaturan Pemerintahan Desa. Gerusan atas independensi Desa juga diperkuat lagi di pembuatan Desa. Walaupun belum definit sifat aluran dan hak-hak tradisional bangsa Desa serta merta hilang akibat kebijakan pelebaran Desa, eksistensi Desa secara absah tidak lagi merupakan komune baik yang berkembang lewat ikatan sosiologis.

UU ini jua tidak melaksanakan alterasi kedudukan akal desa jadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan akal desa dari dahulu, kendatipun menganjuri barisan pemerintahan yang bersifat bebas (desa) tidak bertindak untuk dan arah nama negara sama dengan huruf yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai administratur pemerintahan akibat merupakan alpa ahad penyelenggara pemerintahan desa.

  1. Kedudukan Camat

Secara sosiologis ikatan antara kecamatan dengan desa ialah bersifat sistemik, artinya  saling ketergantungan, berbalas-balasan merajai dan berinteraksi secara langsung di praktek pengaturan pemerintahan desa. Praktek hubungan sistemik kecamatan dan desa didasarkan pada pandangan bahwa desa memegang beragam keterbatasan, yaitu: keterbatasan daya serap aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan keterbatasan manajemen pemerintahan desa. Artinya citra keterbatasan desa di atas, pemerintahan desa membutuhkan pembaharuan langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tidak memasrahkan legalitas wewenang kepada Camat atas desa berlaku seperti “atasan” Kepala Desa.[20]

Pola ikatan kecamatan dan desa bagaikan itu, seboleh-bolehnya diatur dengan wewenang yang jelas, kendatipun secara absah Camat tidak ditempatkan sebagai bos langsung Kepala Desa alias sejajar. Padahal secara empiris Camat ialah “atasan riil” Kepala Desa, artinya Camat yang sehari-hari memasrahkan pembaharuan dan kepam pengaturan pemerintahan desa dan tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan darma dan kewajiban.

Di di UU Desa yang terdiri 122 pasal, sekadar dua artikel yang “memberikan kewenangan” kepada Camat dan itupun bukan wewenang substantif, ialah Pasal 49 artikel 3 dan Pasal 53 (3) “Kepala Desa bakal mengangkat/memberhentikan perangkat desa lebih-lebih berlalu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota”. Namun begini masih sedia angin alokasi wewenang Camat, ialah Pasal 112 (2), “bahwa di melaksanakan pembaharuan dan kepam kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah”. Sehinga kuncinya sedia di yad Bupati/Walikota untuk memasrahkan delegasi kepada Camat untuk memaksimalkan darma dan kontribusinya alokasi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.

Tiga argumentasi perlunya implikasi Camat di pembaharuan dan kepam jalannya pemerintahan desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan alias diberi pelung akibat anggaran dasar perundang-udangan; (2)  Untuk efektifitas dan efisiensi pembaharuan dan pengawasan, akibat Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berangkaian langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa; dan (3) Dalam kondisi komposisi pemerintahan Republik Indonesia di anggaran dasar perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai gatra yang mempunyai benar otonomi, desa jua diberi peran sebagai bagian dari gatra administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan khalayak dan tugas-tugas birokrasi. Oleh akibat itu jadi relevan kalau Desa kena pembaharuan dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).[21]

Penutup

Filosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, independensi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, aktual telah jadi cita adat ketatanegaraan adat pemerintahan desa di UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi ide alas pluralisme hukum dengan pemasangan desa sebagai desa adat (self governing community) atau desa bebas (local self government), maupun desa manajerial (local state government), secara bergantian berubah-ubah seiring dengan keberlakuan UU organiknya.

Sebagai UU organik, UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa mengapit kebijakan-kebijakan yang liberal dan vital alokasi kesuksesan dan kelanjutan desa. UU ini jua menghargai keberadaan desa dan peranan aparatur desa dan secara tegasa memasrahkan ancaman amal sanksi kepada akal desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksinya bisa sapaan tertulis, pencopotan selama dan pencopotan tetap. Hal ini definit afirmatif untuk melecut kinerja dan disiplin negara desa.

Sedang kelemahan dari UU ini ialah terletak pada pemahaman desa adat yang berparak dengan pemahaman bangsa desa adat itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak sahaja bakal membangkitkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi dari diri. Dana catu yang berawal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar atas saban desa bagi tahunnya, jua bisa jadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimum dan berkala. Kemudian, tidak adanya diskusi secara khusus pada UU Desa akan pemasangan perempuan minimum 30 bayaran pada perangkat desa. Dan yang terutama adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sedia di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya bakal berakhir atas tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.

*Penulis ialah Dosen Universitas Negeri Malang

Daftar Bacaan

Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 1999.

Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.

Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011

Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001.

Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial, htp://sosbud.kompasiana .com/2014 /03/12/ desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html

Francis Wahono, “Bersekongkol alias Saling Kontrol”, dalam  Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001.

Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014.

Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007.

Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: LPFE UI,1984.

Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.

Rosjidi Ranggawidjaja, “Pasal 18B artikel (2)”, di Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.

Taliziduhu Ndraha, “Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi”, di Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa mengarah Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang Undan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa

Undang Undan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang Undan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Undang Undan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Dana Desa

Sebagai contoh, UU Desa ingin mengembalikan egalitarianisme dan semangat gotong royong (solidaritas) yang khas bangsa desa, padahal mereka era ini telah berat jadi komune yang berburai dan bergerak ke arah individualisme serta komersialisme ikatan baik maupun perdagangan yang masif. UU Desa ingin mendelegasikan secara asak kekuasaan asuh jumlah desa (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) padahal independensi daerah di level kian adiluhung (provinsi/kabupaten/kota) menunjukkan berlimpah amat akal daerah yang terjerat bab adat balasan korupsi. UU Desa ingin membumikan praktek demokrasi elektoral di babak terbawah lewat penentuan akal desa secara serentak di sebentuk kota/kabupaten sama dengan pemilu legislatif dan presiden, padahal era ini bangsa membuktikan betapa dengan cara apa ketatanegaraan itu dinodai akibat praktek ketatanegaraan uang, intimidasi dan oligarkhi kekuasaan yang akut. UU Desa ingin mengakui benar adat dan ulayat pribumi asli termasuk tata kelola pemerintahannya padahal berlimpah amat komune Adat yang telah terlanjur bablas dan kalaupun tercecer tidak lagi dihayati akibat anggota masyarakatnya akibat sekadar jadi desa instansi yang kian alim kepada adat nasional dari adat adat. UU Desa ingin mengembalikan kebisaan atas sumber daya dan aset desa kepada bangsa setempat, padahal era ini sumber daya itu telah berlimpah yang terlanjur dikuasai akibat kapitalis balasan liberalisasi perdagangan minus kendali. Bahkan, jumlah Kepala Daerah dan tokoh masyarakat, semisal dari Bali, telah berencana bakal melaksanakan judical review atas jumlah artikel di UU Desa ini yang dianggap bakal mengganggu keberlanjutan desa adat (pakraman) dan kesinambungan baik budaya di Bali. Bukan sekadar Bali, Sumatera Barat dan sebelah besar bangsa Adat di Sumatera jua merasa “penyeragaman” penentuan akal desa secara langsung akibat bangsa sama dengan tercantum di UU Desa ini dianggap bakal menghilangkan peran adat Ninik Mamak yang selama ini berperan memilih wali nagari. Kekhawatiran atas beragam bentrokan arah ide pembuatan desa-desa baru alias penghapusan dan penggabungan jumlah desa sebagai cara penataan desa agar bertimbal dengan persyaratan UU Desa jua bermunculan. Artinya, percepatan pebangunan desa yang diharapkan lewat implementasi UU Desa ini bisa sahaja terhambat akibat berbagai kendala multidimensi diatas. Disini peran ilmu masyarakat banyak bena untuk memasrahkan sudut pandang dan pendekatan kecuali dari kaca mata administrasi pemerintahan maupun ilmu politik. Sosiologi harus bakir memasrahkan penjelasan secara komprehensif terkait hal monumental maupun citra desa hari ini beserta dampaknya jika UU Desa ini diimplementasikan. Desa di Indonesia telah begini rentang waktu diposisikan sebagai secara marginal akibat negara. Desa jua diposisikan sebagai bahan akibat dianggap sebagai area primitif dengan sumber daya bani Adam yang berkualitas dan berpendidikan rendah. Desa ramai-ramai ditinggalkan akibat orang dan daya kerjanya balasan dari pembangunan yang encot di perkotaan. Lahan pertanian di desa dikonversi jadi pemukiman, pabrik-pabrik dan saluran irigasi sebagai jantung pertaniannya hampir tidak pernah tersentuh akibat perbaikan. Hubungan peguyuban dan solidaritas menemani warga desa yang dahulu menonjol kini bahkan tergerus dengan hubungan-hubungan kontraktual berbasis kepentingan ekonomi. Tanah alias lahan yang identik jadi eigendom anak buah desa kini jua tidak lagi sepenuhnya dikuasai, sebaliknya bahkan berlimpah yang berpindah yad dan anak buah desa kematian sebelah besar tanahnya. Desa akan tidak akan harus beserta berkompetisi dan bersaing dengan uang yang begini minim. Spirit UU Desa ini alpa satunya ialah melecut percepatan pembangunan di desa sekali lalu melecut desa-desa agar mandiri secara perdagangan dengan kebebasan merancangkan arah pembangunan yang dianggap bena alokasi mereka. Sebagai contoh, desa memiiki wewenang untuk memakai teknologi benar guna, melaksanakan investasi, menyisihkan dana desa untuk membeli aset-aset vital di desa dan asing sebagainya. Disinilah akhirnya buah simalakama baik itu muncul, di ahad bidang warga desa ingin menikmati kesejahteraan yang setara dengan desa-desa asing apalagi dengan perkotaan, akan tetapi di bidang asing desa jua belum rela jika adat dan tradisi yang telah bertahan ratusan tarikh itu bablas balasan pola penyeragaman pengaturan desa-desa ini. Melihat buah simalakama UU Desa – baik secara akar filosofis, monumental maupun sosiologis – di atas, diperlukan sebentuk tinjauan dan pembacaan kembali secara kian komprehensif, pertama dari sudut penglihatan warga desa sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Selama ini, mereka yang memperjuangkan UU Desa ialah getah perca elit desa yang berusaha mencari jalan keluar dari buah simalakama peran dan kekuasaan politiknya masing-masing. Perlu dibangun ala implementasi UU Desa yang bakir mengintegrasikan faktor-faktor kebijakan nasional (Adat), daya Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Teknologi Tepat Guna dan Infrastruktur fisik maupun baik perdagangan lainnya agar jadi ahad ketunggalan yang berbalas-balasan memasukkan di mengartikulasikan UU Desa agar dapat bermanfaat seluas-luasnya alokasi keberlanjutan desa dengan sekalian isinya.

DENPASAR, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Provinsi Bali bakal menyiapkan tim dan bahan untuk melaksanakan uji bahan (judicial review) atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 akan Desa akibat eksistensi desa di daerah itu berparak dengan di daerah lain.

“Memang langkah seterusnya bagi abdi harus `judicial review`. Jadi abdi berharap tim mempersiapkan itu. Harus, tidak bisa tidak, supaya Indonesia ingat bahwa Bali ini lain. Kita tidak bisa disamakan sedemikian itu saja. Makanya Bali itu harus jadi daerah independensi khusus alias daerah istimewa dan giliran ini aktual jadi pintu masuk,” bicara Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, era melaksanakan rapat koordinasi dengan bupati/wali metropolis se-Bali terkait

Permasalahan-Permasalahan Sosial Budaya

implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.

Dalam Pasal 6 UU Desa disebutkan bahwa desa terdiri dari desa dan desa adat. Namun penjelasan artikel 6 itu memaklumatkan bahwa di ahad area sekadar terdapat desa alias desa adat. Dalam penjelasan artikel itu jua menuturkan untuk daerah yang telah berjalan mendompleng tindih antara desa dan desa adat di ahad area harus dipilih alpa ahad model bertimbal dengan ketentuan UU Desa itu.

Pastika membahayakan keterkaitan dari pemberlakukan UU Desa itu bakal melantarkan desa adat (desa pakraman) di Bali bakal hilang, akibat cuma ingin mendapatkan dana bantuan Rp1 miliar dari APBN. Mungkin jua namanya tetap desa pakraman akan tetapi ruhnya hilang akibat nantinya harus dilantik dan diatur kepengurusannya akibat pemerintah. Padahal selama ini eksistensi desa adat bersifat otonom.

“Sebenarnya selama ini eksistensi desa instansi dan desa adat di Bali telah bepergian hati-hati saja, akibat fungsinya berbeda. Desa instansi mengurusi pemerintahan dan desa pakraman mengurusi adat,” bicara dia.

Namun, bagi dia, justru adat yang baru di UU Desa untuk menyeragamkan eksistensi desa telah menembakkan timbulnya bab di Bali. Hal itu balasan yang menyusun UU tersebut tidak adicita dengan donasi desa di Pulau Dewata serta tidak mengonsultasikan lebih-lebih dahulu. “Tetapi akibat telah berjalan berfaedah benar langkah seterusnya bagi abdi harus `judicial review`,” tegas Pastika.

Mantan Kapolda Bali itu meminta getah perca bupati/wali metropolis se-Bali mendompleng memikirkan secara serius persoalan tersebut dan mendompleng menyosialisasikan supaya getah perca bendesa (pimpinan desa adat) mengerti dan tidak sekadar mengarahkan pikiran untuk mendapatkan dana bantuan negara sejumlah Rp1 miliar.

Pihaknya jua tidak percaya kalau desa adat yang ahad bisa digabungkan dengan desa adat yang lain, akibat sendiri-sendiri memegang kuburan dan Pura Kahyangan Tiga.

Potensi Degradasi

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali, I Wayan Sugiada, mengemukakan jumlah permasalahan yang bakal berbentuk apabila desa adat yang ditetapkan, di antaranya terdapat jumlah area desa adat terletak di kecamatan alias daerah babak II yang berparak (saling seluk). Di Bali sedia 716 desa instansi dan 1.488 desa adat sehingga rentan membangkitkan bentrokan besar, lagi pula kalau cukup berjalan penggabungan desa adat.

“Dengan adanya bantuan dana, bahwa dimungkinkan desa adat bakal berkreasi desa adat baru. Belum lagi bab kependudukan alokasi orang yang tinggal di desa adatnya sekarang. Konsep `ngayah` alias gotong-royong secara ikhlas dari warga desa adat juga bakal arung degradasi akibat bakal berlaku komposisi pemerintahan desa yang bidik pada adat nasional. Demikian jua independensi desa adat bakal terdegradasi akibat harus bertekuk lutut pada UU negara,” bicara dia.

Permasalahan lainnya, bicara Sugiada, kalau 1.488 desa adat yang didaftarkan, bahwa kuantitas ini belum definit jua disetujui akibat negara pusat, serta berlimpah desa adat yang kuantitas warganya banyak kurang dan tidak bertimbal dengan kuantitas paling kecil yang dipersyaratkan UU.

Sedangkan kalau desa instansi yang ditetapkan alias didaftarkan, bahwa konsekuensinya desa adat belum diakui sebagai subjek hukum. Desa adat jua tidak bakal hilang akibat dijamin akibat UUD 1945 artikel 18B artikel 2. Desa instansi dapat mengambil desa adat termasuk mengalokasikan jumlah yang terdapat dari fokus bertimbal dengan artikel 95 UU Desa.

Soal Anggaran

“Memang desa adat tidak dapat mengakses jumlah fokus secara langsung, lamun tetap bisa mendapatkan jumlah dari negara daerah bagaikan era ini dan bisa diperkuat dengan perda dan kemungkinan bentrokan kian kecil. Di bidang lain, desa adat bakal tetap merasa kurang dihargai bagaikan halnya desa instansi padahal beban kerja perangkat desa adat banyak besar termasuk bab negara apabila KB komposisi banjar, keamanan area dan sebagainya,” ujarnya.

Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, di giliran diskusi itu berpendapat bahwa desa adat dan desa instansi adil harus tetap eksis. “Adat tetap eksis untuk menunjang rohnya Bali ini akibat dasarnya Tri Hita Karana, lamun di asing bagian desa instansi jadi perpanjangan yad pemerintah,” bicara dia.

Dia juga tidak akur kalau desa adat harus bertekuk lutut pada aturan, dilantik bupati, dan diatur kepengurusan akibat bupati. Desa adat, bagi dia, harus tetap otonom.

Lain lagi dengan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang mengajak getah perca pelaksana kepentingan terkait untuk memandang persoalan itu secara menyeluruh, tidak sekadar menekankan pada bantuan, lamun seboleh-bolehnya pengembangan panjang dan mikro ekonomi.

Sejarawan yang jua akademisi Universitas Udayana, Prof Parimartha, jua mengungkapkan betapa dengan cara apa sejarah eksisnya desa adat di Bali berangkat dari Pemerintahan Kolonial Belanda. Dia mengungkapkan sekadar di Bali sahaja desa adat masih bisa eksis dan di tempat asing telah punah jadi desa dinas. Dia sependapat dengan Gubernur Pastika bahwa perlunya mengajukan “judicial review”.

Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan akal desa di sarwa Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan asak dengan sukacita,  daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, bagi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat,  berpaham bahwa UU Desa bakal mengendurkan keberadaan distrik di Sumbar sebagai ahad ketunggalan adat, budaya dan baik ekonomi.

Terlepas dari penafian dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum memanipulasi bahan melanggar alas pengaturan, derajat dan model desa, penataan desa, wewenang desa, pengaturan pemerintahan desa, benar dan kewajiban desa dan bangsa desa, anggaran dasar desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, awak usaha eigendom desa, kerja sama desa, dewan sosial desa dan dewan adat desa, serta pembaharuan dan pengawasan. Selain itu, UU ini jua memanipulasi dengan ketentuan khusus yang sekadar berlaku untuk Desa Adat sama dengan diatur di Bab XIII.

Salah ahad poin yang paling kritis di diskusi RUU Desa, ialah terkait catu jumlah untuk desa.  Di di penjelasan Pasal 72 Ayat 2 akan Keuangan Desa. Jumlah catu jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sejumlah 10 bayaran dari dan di dalam dana memindahkan daerah. akhirnya dipertimbangkan kuantitas penduduk, bilangan kemiskinan, luas wilayah, kepelikan geografi. Ini di rangka memajukan menambah bangsa desa.  Selain itu, poin-poin asing yang disepakati ialah terkait era jabatan akal desa. Kemudian diatur jua terkait kesejahteraan akal desa dan perangkat desa. Baik akal desa, maupun perangkat desa kena pemasukan tetap saban bulan dan kena jaminan kesehatan.

Di bidang lain, UU Desa jua mengandung kekurangan. Kekurangan pertama, adanya diskrepansi pemahaman desa adat bagi UU Desa dengan pemahaman desa adat bagi bangsa desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana catu kepada saban desa bagi tarikh yang dapat sahaja disalahgunakan. Kemudian, tidak agak-agih secara khusus akan pemasangan perempuan minimum 3o bayaran pada perangkat desa. Selain itu, babak ketersediaan tata kelola yang masih aib dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sedia di desa, jua dapat menghambat tujuan-tujuan yang hendak dicapai selepas ikrar UU Desa.

Maka dari itu, cerita ini bakal menganalisa ekses dan aib dari UU Desa dan juf di keadaan ketersediaan tata kelola serta SDM yang sedia di desa.

ANALISA

Setiap barang hukum, bagaikan Undang-Undang, tidak copot dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan, telah diterangkan secara mini ekses dan aib yang sedia di UU Desa. Pada bab analisa ini, cerpenis bakal menganalisa ekses dan aib tersebut.

Kelebihan

Pada UU Desa ini, terdapat poin yang benar telah dicanangkan seputar 7 tarikh lamanya. Yaitu, adanya adat yang berbalah terkait catu jumlah untuk desa. Di di penjelasan Pasal 72 Ayat 2 akan keuangan desa. Jumlah catu jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sejumlah 10 bayaran dari dan di dalam dana memindahkan daerah dengan mempertimbangkan kuantitas penduduk, bilangan kemiskinan, luas wilayah, kepelikan geografi.

Dengan adanya dana catu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, definit diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan bakir memakmurkan bangsa desa dengan eksploitasi dana catu secara maksimal. Jika bakir asuh dengan baik dan bijaksana, bahwa bukan keadaan yang bukan-bukan jika bangsa desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan agak-agak sahaja dapat bersaing dengan bangsa desa lainnya alias apalagi bangsa ijmal secara umumnya.

Pada perangkat desa bagaikan akal desa jua tidak luput dari diskusi di UU Desa. akal desa  bagi UU Desa artikel 26 artikel 1, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, pembaharuan sosial desa, dan pemberdayaan bangsa desa. Pada artikel yang sama di artikel 3 abjad c, dijelaskan bahwa akal desa menerima pemasukan tetap saban bulan, tunjangan, dan akseptasi lainnya yang sah, serta kena jaminan kesehatan. Selain itu, sekalian keadaan yang berangkaian dengan akal desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga era jabatan seorang akal desa, jua tertuang di UU Desa. Pada barisan perangkat desa lainnya, bagaikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) jua diberikan penjelasan-penjelasan atas bagaikan barang apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan akibat BPD.

Secara umum, UU Desa telah agak-agih secara sistematis dan bakir memasrahkan hak-hak pada saban desa di Indonesia untuk membeberkan potensi-potensi yang sedia di desanya. Dengan adanya UU ini, bahwa saban desa dapat memakmurkan masyarakatnya bertimbal dengan prakarsanya pada sendiri-sendiri desa. Adanya UU ini jua jadi alas adat yang banyak berfaedah alokasi saban desa, akibat UU ini bisa dijadikan sebagai alas pijakan di menjalankan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, ekses UU Desa yang paling hadir ialah telah adanya alas adat yang bayan alokasi saban desa di Indonesia.

Kekurangan

Di balik kelebihan, definit terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa. Ada berbagai aib yang terdapat di UU Desa. Tidak sekadar di aspek isi, akan tetapi jua di keadaan penerapannya.

Dari aspek isi, terdapat aib pertama di pemahaman desa adat. Sebelum terbitnya UU ini, saban area memegang pemahaman desa adat yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian desa adat ialah tempat pelaksanaan ajaran ajaran di sprit takwa, etika, dan peralatan yang bertalian pada area pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan bagi UU Desa, desa adat ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus bab pemerintahan, kepentingan bangsa selingkung berdasarkan gagasan masyarakat. Maka dari itu, harus sedia penyeragaman pemahaman arti desa adat, agar tidak sedia gelojak dikemudian hari.

Masih di aspek kandungan UU Desa, dikatakan bahwa saban desa bakal mendapatkan dana catu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling kurang 10 bayaran saban tahunnya. Maka, dapat diperkirakan saban desa bakal mendapatkan dana seputar 1.2 hingga 1.4 miliar saban tahunnya. Berdasarkan perhitungan di penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari dan memindahkan daerah bagi APBN untuk perangkat desa sejumlah Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sejumlah 10 bayaran seputar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa ialah Rp. 104, 6 triliun yang bakal dibagi ke 72 mili desa se-Indonesia.

Dengan total dana sebesar itu, tidak bukan-bukan bakal diselewengkan akibat perangkat desa yang tidak bertanggungjawab. Maka, bena adanya pengawasan, di keadaan ini ialah darma BPD dan negara daerah setempat, yang dilakuan secara ajek atas saban desa agar pembangunan desa kian benar sasaran. Masalah lainnya jua bakal ditimbul, ialah adanya perbedaan-perbedaan keadaan alias hal desa yang sedia di Indonesia. Ada desa yang benar telah mandiri dan telah bakir memakmurkan masyarakatnya dengan berbagai cara setelah adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, sedia pula desa yang primitif dan masih belum belum bisa memajukan menambah kesejahteraan masyarakatnya. Jika nantinya bakal dikucurkan dana catu tersebut, dikhawatirkan bakal mubazir alokasi desa maju dan bakal tetap merasa aib alokasi desa tertinggal. Sekali lagi, peran kepam banyak diharapkan bakir melihat eksploitasi dana catu tersebut agar dana catu tersebut benar bahan bertimbal keperluan dan keperluan sendiri-sendiri desa.

Masa jabatan akal desa jua agak-agak sahaja bakal jadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan era jabatan akal desa ialah 6 tarikh dan dapat dipilih kembali di 3 periode, boleh berturut-turut alias tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan bakal lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi, dengan wewenang yang diberikan pada saban akal desa cukup berdikari dan keuntungan-keuntungan jadi akal desa yang dapat mengiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan sekalian cara agar dapat menduduki jabatan sebagai akal desa. Untuk itu, bangsa desa harus awas memilih akal desa yang benar berkompeten di menanggulangi permasalahan-permasalahan yang sedia di desanya. Dengan menggunakan penentuan secara langsung, bangsa desa diharapkan bakir menepatkan orang-orang terbaik di desanya pada saban kedudukan di perangkat desanya, lebih-lebih pada kedudukan akal desa. Tingkatan interes bangsa desa di berdemokrasi, secara tidak langsung, jua bakal berpengaruh di pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan anak buah baik dan benar bakir melampaui permasalahan desa pada babak akal desa, pastilah bakal berakhir afirmatif di perubahan-perubahan yang berjalan ke depannya. Sebaliknya, jika alpa memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan lamun bakal membangkitkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.

Masih berkaitan dengan pentingnya bangsa desa memahami demokrasi, bahwa bangsa desa akan tidak akan harus memegang interpretasi berdemokrasi itu sendiri. Salah ahad caranya ialah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan benar, bakal menghasilkan bangsa desa yang melek berdemokrasi dan jua dapat memasrahkan kontribusi atas pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda sedia pada saban desa. Peran pemerintah, baik negara fokus maupun negara daerah, jua harus bakir berdansa yad di memajukan menambah SDM bangsa desa ini. Mengenai SDM, jua berkaitan erat dengan tata kelola yang bakal dikerjakan akibat perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu desa, jua bakal berakhir baik atas tata kelola pemerintahan desanya.

Lalu, pada pemasangan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus agak-agih akan eksistensi perempuan minimum 30 bayaran di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, akibat nir- cukup perempuan-perempuan di desa sekadar bakal dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di perangkat desa, diharapkan dapat mengalirkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di desa tersebut.

Dari sekian ekses dan aib yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memasrahkan akreditasi atas saban desa yang sedia di Indonesia sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini jua memasrahkan keleluasaan pada saban desa untuk memanipulasi pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa desa.

UU Desa bakal aktif baik jika segala bagian berbalas-balasan mendukung dan berbalas-balasan mengakomodasi di menjalankan amanah UU tersebut. Jika segala bagian bakir menjalankan darma dan fungsinya bertimbal dengan yang diamanahkan, bahwa bukan tidak agak-agak pembangunan di desa bakal semakin baik dan dapat memakmurkan bangsa desa itu sorangan serta mengakomodasi pembangunan nasional secara keseluruhan.

PENUTUP

Kesimpulan

Setiap barang hukum, bagaikan Undang-Undang , tidak copot dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun ekses UU Desa yang paling hadir ialah eksploitasi UU Desa sebagai alas pijakan dan alas adat yang bayan alokasi saban desa di Indonesia. Sedangkan, aib UU Desa terletak pada pemahaman desa adat yang berparak dengan pemahaman bangsa desa adat itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak sahaja bakal membangkitkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi dari diri. Dana catu yang berawal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar atas saban desa bagi tahunnya, jua bisa jadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimum dan berkala. Kemudian, tidak adanya diskusi secara khusus pada UU Desa akan pemasangan perempuan minimum 30 bayaran pada perangkat desa. Dan yang terutama adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sedia di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya bakal berakhir atas tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.

Saran

UNDANG-Undang No.6 Tahun 2014 akan Desa yang telah disahkan Pemerintah pada 15 Januari 2014 lalu, secara bertepatan alias tidak, lahirnya hampir bersamaan dengan masa-masa pemilu legislatif dan penentuan kepala negara dan wakil kepala negara tarikh 2014.  UU tersebut jua dapat dikatakan merupakan produk tekanan, demo-demo ke Jakarta dari elite-elit abdi negara desa (antara asing yang tergabung di “Parade Nusantara”).  Beberapa aktivis LSM  ikut    membidani corat-coret akademis/draf RUU Desa. Sehingga tidak memelikkan bila kelompok-kelompok mereka pula yang pertama-tama potensial bakal mendapatkan keuntungan, baik langsung maupun tidak, dari UU No. 6 Tahun 2014 tersebut. Selanjutnya yang potensial diuntungkan akibat UU ini ialah parpol-parpol dan getah perca anggota Dewan yang mengharap bantuan dari getah perca akal desa dan  warga desa di penentuan umum 2014.  UU No.6 tadi tidak agak-agak disahkan akibat Pemerintah minus izin DPR-RI yang anggota merupakan orang-orang parpol.

Terlepas dari sapa -- juga barang siapa sahaja yang berpartisipasi di pabrikasi dokumen UU yang cukup berlimpah memegang kelemahan tersebut,  dan barang apa sahaja kepentingan yang diusung getah perca pengarak  UU No.6 tadi, abdi berpendapat bahwa sedia jumlah keadaan dari UU No.6 Tahun 2014 akan Desa  dapat  diapresiasi.

Kekuatan dan Kelemahan

Salah ahad daya UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa ialah terlihatnya komitmen Negara  untuk mengakui (rekognisi) dan ayom desa-desa alias nama asing (sesuai adat sendiri-sendiri di daerah-daerah yang banyak beragam) di sarwa Indonesia guna melaksanakan undang-undang artikel 18 B UUD 1945. Bukan sahaja desa-desa tersebut diakui secara legal absah akibat Negara,  akan tetapi jua diberikan jaminan sumber harta yang aman yang berawal dari APBN, dari  APBD,  serta dari sumber harta asli desa itu sendiri.

Ketentuan-ketentuan yang tercantum di UU Desa sekilas hadir banyak indah dan mulia! Namun bila kita perhatikan proses kelahiran UU No.6 Tahun 2014 yang antara asing ialah karena  desakan-desakan dari  “Parade Nusantara”  atau  kalangan LSM sebagai blok penekan (pressure group) yang memobilisasi perangkat desa, bahwa UU tersebut berat bersifat segmented, sekadar komersial segmen-segmen tertentu, khususnya akal desa dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat desa di UU itu tetap sekadar dijadikan  obyek katimbang obyek. Pendekatan kapitalistik dengan aur dana ke desa di UU tersebut, bagi saya, analog dengan ketatanegaraan dana (money politics) yang dilegalkan akibat Negara.

Oleh akibat itu abdi berpendapat bahwa UU tersebut potensial mengandung kelemahan-kelemahan yang  berat bersifat counter-productive atas cita-cita membikin desa dan kesejahteraan warga perdesaan. Mengapa? Salah ahad faktornya ialah akibat UU tersebut bukan  affirmative policy yang memposisikan sarwa anak buah desa sebagai bagian pertama yang bakal mereka bela dan berdayakan. Seharusnya UU ini memastikan bilangan minimal, apabila 50% dari total jumlah desa,  diwajibkan dialokasikan untuk  membikin prasarana khalayak pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, konservasi parit-parit, kuburan-kuburan desa, perpustakaan desa, membikin gedung-gedung  sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, merawat saluran irigasi desa, memajukan menambah sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).

Karena bilangan afirmatif tersebut tidak dimunculkan di UU  No.6 Tahun 2014, bahwa keadaan negatif yang  harus diantisipasi ialah anomali keuangan Desa akibat aparatur pemerintahan desa (kepala desa, perangkat desa dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) alias bagian ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Jadi itulah alpa ahad kelemahan pokok UU tersebut bagi pendapat saya. Jangan cukup jumlah desa dihabiskan alias dihambur-hamburkan, misalnya  untuk upacara-upacara adat yang terlewat ada kalanya dilakukan, dikorupsi aparatur  desa, untuk diboroskan dengan membeli mobil atau  kereta angin motor dinas; untuk “studi banding”,   alias untuk “foya-foya” (termasuk untuk melaksanakan “womanizing”.).

Kelemahan kedua UU No. 6 Tahun 2014 ialah tidak adanya affirmative policy agar minimum 30% perempuan sedia di struktur negara desa dan BPD. Peluang tersebut tetap harus dibuka di PP/Perda-perda Provinsi/Kabupaten/Kota yang bakal menindaklanjuti  pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014. Jangan cukup bangsa perempuan perdesaan sekadar bakal dijadikan obyek pengaturan, bukannya subyek. Hendaknya penguatan alias revitalisasi adat-istiadat di desa balasan lahirnya UU tersebut, justru bakal semakin memasrahkan pengayoman dan mendukung kesuksesan bangsa wanita perdesaan.  Hal tersebut harus didukung dengan pembiayaan yang memadai yang dialokasikan di Anggaran Desa.

Kelemahan ketiga UU No. 6 Tahun 2014 ialah mengabaikan pentingnya peran Babinsa dan babinkamtibmas di mendukung kegigihan nasional  desa dan warga pedesaan. Babinsa dan abdi negara keamanan yang ambang dengan anak buah dan menjaga rakyat, bakal dicintai rakyat.  Babinsa dapat diambilkan dari militer yang menguasai ketrampilan sipil, bagaikan tutur bicara yang halus, sikap yang bijak tapi tegas, ifah melaksanakan hal-hal buruk bagaikan korupsi, pungli,  gratifikasi,  kekerasan, pelecehan seksual, dll.. Babinsa dan babinkamtibmas yang  kasar dan mempan hati anak buah harus acap ditindak akibat komandannya.

Sehubungan dengan itu   harus PP, Kemendagri dan   Perda yang menampung peran Babinsa dan babinkamtibmas, kecuali cabang LSM yang berintegritas, untuk dilibatkan secara ala kadarnya (agar tidak melanggar anggaran dasar perundangan) dalam  Musyawarah Desa dan di kegiatan-kegiatan pendampingan di desa.

Pengakuan Negara atas keberadaan desa  dan desa adat di UU No.6 Tahun 2014 tidak berfaedah desa dan desa adat  menjadi “merdeka”, alias tidak akan diatur alias diawasi negara atasan. Dalam corat-coret self-governing community di mana juga di dunia, baik di Negara Kesatuan maupun Negara federal, Pemerintah Pusat/pemerintah atasan  tetap mempunyai benar dan kewajiban melihat anak buah  dalam rangka ayom kebulatan dan kesejahteraan Negara dan Bangsa. Namun, kepam tersebut harus “luwes” tetapi  ampuh dan   tidak boleh melumpuhkan daya usaha dan inspirasi rakyat.

Dalam kerangka pemerintahan nasional era ini, kepam tersebut dapat didelegasikan akibat Pemerintah Pusat kepada Gubernur berlaku seperti gawai Pusat. Namun, akibat kabupaten kian ambang kepada desa, bahwa kepam yang kian ampuh atas desa-desa aktual sedia pada bupati. Sehubungan dengan itu abdi mengusulkan kepada Pemerintah/Kemendagri dan DPR, agar Revisi UU Pemerintahan Daerah yang era ini cukup dikerjakan, merubah kedudukan bupati yang era ini sebagai gawai daerah saja, jadi bupati sebagai gawai daerah sekali lalu gawai Pusat (sebagaimana gubernur). Model peran kembar  kepala daerah sebagai gawai daerah dan sekali lalu gawai Pusat,  alias sedia yang menyebutnya integrated prefectoral system, abdi asa kian benar untuk Indonesia  yang bagi abdi bakal semakin berlimpah memegang daerah-daerah bebas baru dan desa-desa pelebaran baru di era datang. Saat ini Pemerintah Pusat banyak lemah akibat hampir-hampir tidak mempunyai “kepanjangan tangan” di daerah-daerah.  Buruknya kapasitas independensi daerah di memakmurkan rakyat  selama reformasi ini, bagi dugaan saya, alpa satunya ialah karena  kebijakan  otonomi daerah yang kurang tepat, di pinggir karena  akibat lemahnya kepam dan pendampingan Pusat (khususnya Kemendagri)  atas pemda-pemda.

Terkait dengan bab tersebut, maka  penentuan akal daerah secara langsung atau  penentuan akal daerah lewat DPRD, kedua-duanya harus dikaji kembali akibat  Pusat, mana yang kian benar untuk membikin nation-state (Negara Bangsa)  Indonesia  yang  kokoh yang mampu   mempercepat terwujudnya cita-cita alinea IV Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya abdi berpendapat, bahwa UU N Tahun 2014 alot untuk dapat mempercepat pembangunan desa dan meluak kemiskinan dan kesenjangan perdagangan perdesaan apabila bab tata dagang pertanian dan bazar yang berat komersial getah perca tengkulak, pemodal menengah dan besar –sebaliknya banyak merugikan  getah perca petani kecil– tidak dibongkar dan diperbaiki akibat Pemerintah. Pasar-pasar swalayan modern sepatutnya dilarang Pemerintah dan Pemda untuk masuk ke kecamatan dan desa-desa akibat menepikan warung-warung, toko-toko   para pedagang alit (tradisional).

Demikian jua bab kebisaan butala yang berlebihan pada pihak-pihak eksklusif (misalnya blok pemodal/investor), harus jadi prioritas pertama alokasi pemerintahan baru nanti untuk meninjau kembali dan melaksanakan perbaikan-perbaikan yang bena atas kebijakan pertanahan agar tidak komersial sekadar pada sebutir pemilik uang besar alias tuan-tuan butala tertentu. Reformasi  agraria  dan pelaksanaan UU Agraria bagaikan yang ada kalanya diusulkan akibat kalangan LSM dan sejumlah akademisi,  sepatutnya kian diperhatikan akibat negara baru nanti.

UU No.6 Tahun 2014 akan Desa  harus ditinjau kembali/direvisi  karena UU tersebut  cenderung berpotensi   merobohkan bangunan Negara Republik Indonesia berbentuk Kesatuan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Mengapa? Karena Indonesia bukanlah hanya  sekedar bekas area jajahan Belanda yang disebut “Hindia Belanda”.  Sebelum penjajah asal Barat datang,  telah sedia “Nusantara” yang  terdiri arah kerajaaan-kerajaan  alit dan besar, di pinggir kesatuan-kesatuan bangsa adat adat bagaikan desa, huta, kuria, marga, negeri, nagari, dan sebagainya. dengan tanah-tanah “ulayat” mereka.

Karena UU No.6 Tahun 2014 akan Desa memasrahkan akreditasi bakal keberadaan desa-desa adat dan bangsa adat   (seperti antara asing penentuan akal desa adat tidak harus dengan pilkades langsung  yang berlaku untuk kades-kades non-adat), bahwa UU ini  berpotensi menghidupkan kembali kembali kebangsawanan di desa-desa adat serta dapat memajukan menambah klaim-klaim bangsa adat  terhadap butala (baik butala adat maupun butala publik). Oleh akibat itu  saya merekomendasikan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) produk pemilu 2014 untuk SEGERA merevisi UU No. 6 T ahun  2014 akan Desa. Semangat alas UU Desa ini ialah mendemokratisasi desa, bukannya mengembalikan kebangsawanan rentang waktu alias memudahkan “neo-tradisionalisme”.

Sebagai penutup, abdi mengajukan jumlah usulan/saran kepada   Pemerintahan Baru produk pemilu 2014  :

  1. Presiden  dan DPR produk pemilu 2014 agar merevisi secara mendasar  UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa. Revisi tersebut  perlu memanipulasi baik akal desa maupun  akal desa adat wajib dipilih lewat penentuan secara langsung akibat warga desa. Sejak tahun1979 segala akal desa dan akal desa adat telah dipilih lewat pilkades.  Terjadi kemunduran (setback) bila akal desa adat dipilih/ditunjuk beralasan keturunan/darah beralasan UU No.6 Tahun 2014.  Semangat UU No 6 Tahun 2014 ialah demokrasi, bukan kebangsawanan alias neo-tradisionalisme.  Pengakuan (rekognisi)  Negara kepada desa adat haruslah bersifat  tertentu/terbatas/dirinci secara bayan batas-batasnya di PP.
  2.  Revisi berikut  perlu dilakukan untuk mencabut  pasal alterasi kedudukan desa/desa adat/kelurahan. Pasal tersebut banyak potensial membangkitkan konflik   bila desa-desa/kelurahan   menuntut menjadi    desa adat dan  mengkapling-kapling  tanah-tanah khalayak sebagai butala ulayat mereka. Jangan cukup UU Desa (dan anggaran dasar pelebaran daerah)  jadi “pintu masuk” pihak-pihak eksklusif (baik dari intern maupun internal Negara Indonesia )  untuk memecah-belah dan merobohkan NKRI. Mahkamah Konstitusi sepatutnya bijaksana di memikat keputusan-keputusan dengan menyamakan antara  pasal 18 UUD 1945 dan artikel 33 UU 1945 (UUD amandemen).
  3. Pemerintah harus melakukan  pendaftaran tanah-tanah ulayat yang era ini dikuasai investor swasta maupun Pemerintah sendiri. Bila kelihatan sedia kerugian-kerugian yang diderita akibat bangsa adat di area eksklusif balasan kebisaan butala ulayat akibat negara/swasta, sebenarnya Pemerintah acap membaguskan kebijakan  yang ada, termasuk dengan memasrahkan kompensasi-kompensasi alias ganti-untung yang memadai.  Selebihnya Pemerintah harus melaksanakan pengaturan ulang  melanggar butala ulayat sehingga  komersial baik  Negara/Pemerintah maupun bangsa adat , buat kebulatan  NKRI.  Artinya, kedua bagian harus saling memegang nasionalisme yang tinggi. Kebijakan-kebijakan Pusat di bidang investasi, pertambangan, kehutanan, perkebunan,  pertanahan dan bazar harus dikaji kembali akibat Pemerintah  sehingga dapat  menguntungkan, bukan mengorbankan, kepentingan anak buah kecil, di Indonesia.

(Penulis adalahAlumni Sarjana S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, S3 dari The Flinders University of South Australia Department of Asian Studies and Languages,  dan alumni dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/(LIPI)  di  Jakarta.  Saat ini beraksi sebagai peneliti tamu pada  Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor-IPB).

– See more at: http://m.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa-2014/1/Nasional/Opini/#sthash.sQ8OZPEE.dpuf

Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial

Oleh: Emil E. Elip

Sudah ratusan tarikh dari jaman imperialisme Belanda, “desa” jadi arena pemikiran, gelanggang eksplorasi dan eksploitasi, arena perebutan, gejolak politik, dll. Sebagian getah perca ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebelah ahli asing pertama ahli teknokrasi pembangunan banyak bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.

Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara struktural memikat argumentasi bahwa pada jaman Belanda desa-desa telah diakui otonominya akibat Belanda, apalagi adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa getah perca birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada imperialisme dahulu ialah getah perca (orang) intelektual yang banyak ahli di studi-studi sosial. Mereka adicita betul dan banyak benar memotret secara antropologis maupun sosiologis peruasan peradaban bangsa Indonesia di desa-desa, dan akibat itu mereka ingat betul betapa dengan cara apa caranya “melemahkan” dan memecah bengkah antara anak buah jelata, getah perca adiwangsa keraton/raja, serta getah perca elit adat dan agama.

Agar “kehausan” getah perca penjajah Belanda menguasai aset-aset di babak grassroot ini bisa berjalan secara langsung, dan tidak direcoki akibat getah perca raja yang kekuasaannya tidak terbatas, bahwa “desa” harus sungguh-sungguh mereka pahami dan tampaknya mereka bisa menemukan daya gatra desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh akibat itu akhirnya dihembuskan desa sebagai gatra bebas dan bermartabat, agar memegang daya anti raja mereka. Jika sebentuk desa tak bakir ditahklukkan secara sosiologis, bahwa yang dilakukan ialah sebaliknya ialah fokus kekuasaan raja yang didekati agar getah perca raja nasional menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan akibat getah perca (orang) intelektual Belanda tersebut juga banyak adicita kultur getah perca adiwangsa kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.

“Kepongahan” kita ialah barang apa yang telah ditemukan akibat Belanda itu kita anggap “bagai pahlawan” bahwa Belanda-pun meluhurkan adat adat dan independensi desa. Para (orang) intelektual “pongah” ini akhirnya membayangkan suatu hal dimana negara dan negara masa ini seyogyanya dapat meniru sikap negara Belanda arah independensi dan idiosinkrasi desa.

Memberhentikan Sejarah Desa

Membayangkan desa-desa era ini bagaikan desa-desa di jaman imperialisme Belanda 350 cukup 400 tarikh yang lalu benar sebentuk kecenderungan yang “menghentikan sejarah”. Hal yang tidak bisa dihentikan ialah bahwa sejarah terus berjalan, seiring alterasi yang cepat ataupun gial asal dari dalam sebentuk komune maupun desa. Kebudayaan sebentuk komune sekadar memegang dua pilihan, ialah meninggalkan sejarah alias latah sejarah alterasi yang dipengaruhi akibat bermacam-macam faktor. Nampaknya banyak kurang komune yang menyurutkan diri dari pertahutan perhubungan dengan alam dalam yang kian luas.

Komunitas-komunitas adat tersebut yang menjauhkan diri dari arus sejarah modern, apabila sahaja komune Badui (dalam), amat lagi sekadar banyak sedikit. Eksklusifisme mereka justru sama amat tidak bersinggungan dengan negara di bab yang disebut “desa” baik secara teritori maupun tatakelolanya. Komunitas-komunitas adat yang tidak eksklusif, yang telah bertautan dengan komunitas-komunitas terorganisir di sebentuk komposisi yang disebut desa, inilah yang ada kalanya jadi perdebatan yang pelik seakan-akan menumbuhkan berlimpah persoalan.

Bagaimanapun sebentuk komune bangsa definit memegang “eksistensi kultural” yang mereka yakini. Berhadapan dengan komune alam dalam bahwa berkembang dua persoalan, Pertama, bangsa alam dalam tidak mengetahui cara meluhurkan adat-budaya mereka dan disisi asing komune adat tersebut tetap ingin dihormati eksistensinya. Sesungguhnya ini sekadar bab pendidikan arah keberagaman yang belas kasih negara sama amat gagal mendidik masyarakatnya melanggar “penghormatan arah keberagaman”. Sementara itu getah perca “pengembara alam politik” yang kebanyakan agul juga, memakai sentimen etnis, kelompok, dan golongan tersebut untuk mengakas suara menggalanag daya masa.

Bagi abdi bentrokan menemani komune adat dan komune bangsa disekitarnya ialah keadaan biasa. Dia merupakan bagian dari “sintesa dan antitesa” sosiologis. Konflik merupakan darmawisata sejarah suatu komune untuk “meng-ada” dan melaksanakan kompromi-kompromi solutif, asalkan tidak sedia bagian ketiga yang akan memanfaatkannya. Setiap komune bakal membikin “pandangan”-nya sorangan arah perbedaan, akhirnya membikin pembelajarannya sorangan arah kejadian-kejadian yang dialaminya, berikut dari penataran itu bakal membikin arsitektur jalan lepas di aliran tata biji baru termasuk tata biji di relasinya dengan alam luar.

Jika saban komune bangsa tidak memegang kemampun mengkonstruksikan sejarah pengalaman hidupnya, bahwa komunitas-komunitas tersebuta bakal punah dengan sendirinya berbalas-balasan membunuh. Setiap perseorangan pada prinsipnya ingin hidup aman dan damai, sedemikian itu pula saban komune yang merupakan gabungan dari perseorangan yang membikin “pandangan hidup” yang sama.

Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam dikarenakan adanya bagian ketiga yang berupaya memikat laba dari komunitas-komunitas yang cukup berkonflik, entah bentrokan berbau agama, berlatar belakang etnis, bentrokan tapal batas, dll. Ranah bentrokan tersebut termasuk jua pada level getah perca cendekiawan yang pongah, cendekiawan yang berfikir konvensional-romantis dengan pendukung adicita modern-absolut, yang ingin meluhurkan adat dengan cara menghentikan sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-perubahan kebijakan yang paling ideal biasanya jadi bahan “arena” perdebatan itu, sehingga belum cukup sebentuk kebijakan tuntas dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya arus perdebatan telah condong sebegitu paras seakan-akan perdebatan itulah jalan lepas terbaik.

Desa Dalam Teori-Teori Perubahan Sosial

Sesungguhnya yang cukup kita upayakan dengan pabrikasi udang-undang ialah untuk sebentuk “perubahan”. Tentu sahaja dengan arah untuk mengarah alterasi yang kian baik. Namun sebelumnya ayo kita menelusuri “apa amanat perubahan” itu, teori-teori barang apa yang telah agak-agih akan alterasi yang telah berjalan dan alias diprediksikan bakal berjalan di di masyarakat. Ada dua dataran rendah besar alterasi yang bakal dibahas di sini, ialah “perubahan sosial” (social change) dan “perubahan kebudayaan” (cultural change). Apa ikatan menemani keduanya, barang apa luas pada sendiri-sendiri “perubahan” tersebut, dan alhasil ayo metropolis coba menghubungan antara alterasi yang diharapkan lewat UU no 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua model alterasi tersebut.

Apakah “Masyarakat” (Society) Itu?

Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 ialah suatu alterasi yang kian baik di di masyarakat, di keadaan ini bangsa di level grassroots, desa. Oleh akibat itu harus didiskusikan di awal barang apa amanat “masyarakat” yang dibayangkan akibat UU Desa 2014 tersebut –tentu di keadaan ini ialah persepsi yang dianut akibat getah perca penyusun UU Desa 2014 tersebut akan corat-coret masyarakat. Secara umum getah perca ahli baik dan alterasi bangsa menganut dua model konsep akan masyarakat, ialah static perspective dan dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa bangsa itu bergerak alias berubah secara statis (pelan) bertimbal dengan struktur baik yang dimiliki. Sementara perpective dynamic berasumsi bahwa bangsa bakal acap bergerak alias berubah secara dinamis, tergantung besar kecilnya aspek internal yang ber-”relasi” dengan bangsa bersangkutan.

Masyarakat ialah sekumpulan anak buah yang berbalas-balasan ber-relasi lewat semberap tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai ikatan kehidupan. Sebagai sebentuk “sekumpulan orang-orang” bahwa bisa dibedakan dengan bayan antara “masyarakat (society)” dengan “kumpulan massa” (group of mass), dan komune (community). Dua peristilah yang bontot berbentuk untuk merujuk kepada “budaya pop” (pop-culture) yang mekar masa ini. Maka acap bisa kita bedakan antara “masyarakat desa” dengan “masyarakat perkotaan”, dimana bangsa perkotaan bayan kian mengarah-arahi group of mass dan alias community. Kumpulan jasad nyata bukan gabungan bani Adam (human) di pemahaman konsep masyarakat. Di di gabungan jasad alias komunitas-komunitas populer tidak terbentuk “civilization” bagaikan yang berjalan di society.

Berbasis pada tiga pemberdaan terpapar di atas, bahwa di kondisi bangsa millenium masa ini jelaslah kita tidak bisa lagi menyamaratakan barang apa yang disebut “desa” sebagai gabungan manusia. Apa yang abdi maksudkan ialah bahwa era ini sedia desa-desa yang masih memegang roh “civilization”, akan tetapi sedia berlimpah desa (bahakan berat bahkan bertambah dari waktu ke waktu) yang telah banyak genting roh “civilization”-nya. Desa-desa diperkotaan alias yang era ini berlimpah beralih fungsi disebut “kelurahan”, dan desa-desa yang terletak dipinggiran perkotaan dimana sendi-sendiri kehidupan perkotaan serta budaya populer telah merasuk, kian berat ke aras “mass-community”.

Di di UU Desa 2014 disebutkan “Desa alias yang disebut dengan nama lain, berikut disebut desa, ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang batas-batas area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa setempat, berdasarkan benar asal-usul, adat adat dan baik budaya bangsa selingkung kekal masih hidup dan bertimbal dengan kelanjutan bangsa dan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia….” (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal 1 artikel 5). Istilah-istilah bagaikan kesatuan bangsa hukum, benar asal-usul, adat adat dan baik budaya, merupakan sebentuk bangunan cultutal yang terejawantahkan di sub socio-cultural yang disebut civilization.

Merupakan pekerjaan kediaman yang banget besar, yang bagi abdi akan tidak akan harus dilakukan, ialah menganalisa dan memilah-milah dari puluhan mili desa di Indonesia kedalam mana desa yang masih bersifatkan “society-village civilization”, desa yang bersifatkan antara “society-village civilization dan village mass-community” serta desa-desa yang benar telah jadi “village mass-community”. Jika keadaan tersebut tidak dilakukan bahwa nyata UU Desa 2014 yang baru disahkan tidak dilandasi dengan social and cultural theory yang benar dipersiapkan dengan matang untuk membalas “perubahan sosial”. Tentu UU Desa 2014 tersebut diawali dengan Naskah Akademik yang jadi bangunan pemikirannya, akan tetapi segala anyaman pemikiran yang sedia didalamnya bersumber elementer dari teori-teori berbasis developmentalist.

Apa yang secara kian luas cukup kita perbincangkan di arah ialah akan desa yang telah berbeda-beda peruasan sosialnya ahad sama lain, serta alasan-alasan teoritis yang mengasumsikannya, ialah suatu keadaan yang telah disinggung di awal, ialah akan konsep alterasi baik (social-change) yang bakal kita bahas bersama-sama ini.

Antara Gemeinschaft dan Gesellsfschaft

Sebuah konsep yang analog dengan corat-coret community dan society, dan yang cukup akrab di telinga bangsa akademis di Indonesia melanggar teori-teori klasik akan bangsa ialah corat-coret Gesellschaft (society) dan Gemeinsshaft (community). Kedua corat-coret ini berbasis pada premis-premis aklimatisasi bangsa atas “lingkungan”. Lingkungan yang dimaksud ialah area di arti kian luas bagaikan area ekologi, bentrokan yang berjalan didalam bangsa sendiri, relasi-relasi dengan alam luas masyarakat, dll.

Berdasarkan premis “kemampuan adaptasi” itu bahwa di di bangsa Gesellschaft (society) diidentifikasi dimana sekalian alterasi bangsa dan pembangunan yang berjalan dari proses aklimatisasi sekadar pada level individu. Sementara berlawanan dengan itu, di di bangsa Gemeinsshaft (community) perubahan bangsa dan pembangunan berjalan pada level kultural (dalam pemahaman tidak sekadar berjalan langsung di level perseorangan saja). Itu sebabnya bahwa Gesellschaft kian bersifatkan individualistic, doyong ke aliran mastyarakat perkotaan, dimana perhubungan internalnya diikat akibat barang apa yang disebut “peraturan” dan bukan perangkat pandangan tata-nilai biji tertentu. Berbeda dengan keadaan tersebut, Gemeinsshaft kian doyong kepada bangsa yang “komunal”. Deferensiasi agak-agak tetap sedia di cara hidup masyarakatnya, akan tetapi mereka masih terbalut dengan sebentuk kode-kode tata-nilai yang dianut bersama pada level adicita yang disebut “kebudayaan” (culture).

Dari aspek corat-coret “adaptasi perubahan” bangsa Gesellschaft berat kian cepat menerima kemungkinan ide alterasi asalkan perseorangan di di bangsa tersebut dapat mentolerer bahwa alterasi tersebut dipandang memegang justification cost “menguntungkan”. Sebaliknya tidak serta merta begini proses alterasi di di Gemeinsscaht. Ide alterasi baru agak-agak bisa diterima secara afirmatif akibat seorang perseorangan di di bangsa Gemeinscahft, akan tetapi belum definit dengan sendirinya bakal di-recognizing jadi anggaran dasar bersama yang disepakati akibat ide-ide tersebut harus berdekatan dengan bangunan cultural tata-nilai yang ada.

Jadi barang apa maknanya jika konsep Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft yang telah dipaparkan di arah dikaitkan dengan introdusir UU Desa 2014 yang baru? Yang Pertama, jelas, bahwa UU Desa 2014 tersebut akan tidak akan berimplikasikan “menyamaratakan” konsep Gemeinschaft, Community, Gesellscaft, dan Society.

Kedua, corat-coret “Desa alias yang disebut dengan nama lain, berikut disebut desa, ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang batas-batas area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa setempat, berdasarkan benar asal-usul, adat adat dan baik budaya bangsa setempat…” (seperti tertuang di di UU Desa 2014), banyak memikin kekecohan akibat pada kenyataannya tidak segala desa di Indonesia bisa didefinisikan semacam itu. Atau dengan bicara lain, corat-coret tersebut benar “menutup mata” atas kenyataan bahwa di bangsa kita terdeferiansi bagaikan Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft. Konsep desa bagaikan tertuang di UU Desa 2014 tersebut dilandasi pandangan romantik-konvensional.

Premis-Premis Perubahan Sosial

Pertanyaan intinya jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru sahaja disahkan Desember 2013 lalu adalah, teori-teori alterasi baik barang apa yang dipakai melandasi diluncurkan UU Desa 2014 dan teori alterasi baik bagaikan barang apa yang jadi potulat alterasi baik di era asal dengan diberlakukannya UU Desa 2014 tersebut.

Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 nyata yang cukup dikerjakan ialah “melakukan perubahan” untuk “desa” khususnya untuk kemakmuran bangsa desa. Bahwa untuk kemakmuran bangsa desa tersebut harus dirancang komposisi badan desa yang kian baik, anggaran dasar pemelihan akal dan perangkat desa yang kian baik, pendekatan pembangunan akan desa secara kian baik, pengaturan perhubungan antara desa dengan supra desa kian baik, penganggaran budget untuk desa secara kian baik, segalanya benar benar harus diatur. Meskipun demikian, di artian bahwa segalanya itu ditujukan untuk “hal yang kian baik” akan desa, bisa sahaja “perubahan” yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan akibat latar belakang pemikiran teoritis yang kurang matang lagi pula sekadar didorong akibat “ketergesa-gesaan”.

Secara teoritis-epistemologi sedia dua corat-coret yang dibayangkan melanggar ala perubahan, ialah ala alterasi statis dan ala alterasi dinamis. Perubahan bangsa yang statis tidak berfaedah bahwa bangsa tersebut tidak mengalamai perubahan. Model alterasi bangsa statis bermula dari getah perca ilmuwan yang menganggap bahwa bangsa bakal berubah dengan sendirinya akibat benar begitulah filosofi alas kehidupan “manusia”. Cepat alias gial manusia, sedemikian itu jua masyarakat, bakal berubah bertimbal berkembangan kehidupan dan sosialitasnya. Sementara ala alterasi dinamis berasumsi bahwa bangsa bisa dikondisikan untuk cepat berubah asalkan akses-akses untuk alterasi disediakan sedemian rupa, baik dari sudut ekonomi, keorganisasiannya, dan nilai-nilai yang ditawarkan kepada suatu masyarakat.

Model alterasi (social change) yang statis diasumsikan akibat akibat alterasi tersebut bakal berdekatan dengan “bangunan kultur” yang biasanya lamban untuk berubah. Sementara ala alterasi dinamis diasumsi bahwa alterasi tersebut bakal merajai level baik (relasi kesepakatan-kesepatan menemani perseorangan alias kelompok), dan tidak pada level kultural.

Bagaimana sebentuk “materi” alterasi alias ide-ide alterasi –-misalnya di keadaan ini ialah ide-ide yang sedia di di akar UU Desa 2014 yang baru– berproses di melecut alterasi di masyarakat? Salah ahad teori yang dapat dipakai untuk agak-agih keadaan tersebut beserta implikasi-impliksinya di kondisi social-change dan cultural-change ialah teori akan Justificfation-Cost, External Dissonance, dan Internal Dissonance, yang diungkapkan akibat François Facchini dan Mickaël Melki.

Kebudayaan, akibat François Facchini dan Mickaël Melki, dedefinisikan sebagai “…is a set of customary beliefs and values that ethnic, religious, and social groups transmit fairly unchanged from generation to generation and that is organized by an ideology. Ideology is the intellectual dimension of culture. It justifies its set of beliefs, values and norms”. Agar bisa berjalan alterasi baik dan alias alterasi kebudayaan, Facchini dan Melki menganjurkan sebentuk analisa terkait dengan Internal Dissonance, External Dissonance, dan Justification Cost akibat akibat adanya hal dissonance tersebut.

Internal Dissonance ialah situasi alias hal di di intern bangsa itu sorangan yang melahirkan potensi-potensi untuk terjadinya perubahan. Beberapa semisal antara asing ialah alterasi sosioekomomi-demografi, yang diakibatkan dari bertambahnya kuantitas orang di bangsa bersangkutan. Contoh seterusnya ialah akan inkonsistensi nilai-nilai balasan alterasi sosio-ekonomi demografi. Perubahan baik dan akhirnya berikut ialah alterasi kebudayaam, sekadar bisa berjalan jika berjalan inkonsistensi biji secara publik di di masyarakat. Apa yang dirasakan di di hidup kebenaran sehari-hari telah tidak cocok lagi dengan nilai-nilai yang dianut alias dianjurkan di alat kebudayaannya.

Pada bidang yang lain, External Dissonance ialah kondisi-kondisi dari dalam bangsa yang merajai terjadinya inkonsistensi biji alokasi bangsa bersangkutan. Misalnya sahaja buah teknologi, komposisi penjelasan yang semakin terbuka, perang, nilai-nilai demokratisasi, pola konsumsi, dll. Aspek-aspek Internal dan Eksternal Dissonance tidak bisa dengan sorangan gampang melecut sebentuk alterasi baik dan alias alterasi peradaban di suatu masyarakat.

Facchini dan Melki memeriksa adanya barang apa yang disebut “justification cost” yang harus dipertimbangkan akibat individu-individu di di bangsa tersebut di berakar hal buah intern maupun internal dissonance tersebut. Mengenai justification cost tersebut Facchini dan Melki agak-agih sebagai bersama-sama …when culture becomes problematic that it will be tested, otherwise stated, that individuals will seek to get rid of it because it doesn‟t seem to be sufficiently justified to be acceptable. Prohibitive justification costs explain deviant behaviour, e.g. changes of ideology…

Ketika kondisi-kondisi intern and internal dissonance asal bertubi-tubi bahwa bakal (bisa saja) menumbuhkan “inkonsistensi” berbagai perangkat nilai-nilai kesepakatan yang telah sedia di di masyarakat. Inkonsistensi tersebut bisa ditemukan akibat sebelah alit perseorangan alias akibat sebelah besar perseorangan di di bangsa bersangkuta. Jika sekadar kurang perseorangan yang arung inkonsistensi biji bahwa banyak kurang alias alit justification cost-nya untuk melecut terjadinya sebentuk alterasi baik lagi pula alterasi kebudayaan. Jika sebelah besar dari bangsa tersebut menemukan hal inkonsistensi bahwa besar justification cost-nya bahwa bangsa (secara bersama-sama di kuantitas memadai) mencari nilai-nilai baru yang kian bakir membalas hal mereka.

Kondisi inkonsistensi yang berikut menumbuhkan hal inkoherensi nilai-nilai di di bangsa tersebut ialah bab “mental”. Seperti bicara Facchini dan Melki, …Incoherence and the life of thoughts are mental events. These events are titinada visible but prepare the ideological change. They do titinada necessarily lead to concrete deviant actions but participate in the formation of a larger and larger gap between the constructed social reality and partikelir reality, imagination and logic of each individual.

Jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru, bahwa UU Desa 2014 tersebut merupakan bagian dari hal external dissonance, sebentuk hal dari dalam yang dipersiapankan akibat getah perca ahli sosial, akademisi, dan alias getah perca teknokrat pembangunan. Mampukah substansi-substansi di di UU Desa 2014 tersebut bakir menumbuhkan hal “inkonsistensi dan inkoherensi” biji di di bangsa desa itu sorangan akan konsep desa. Jika akibat akibat introdusir UU Desa 2014 tersebut bakir menumbuhkan harapan baru alokasi bangsa pada era bangsa arung “inkonsistensi dan inkoherensi” nilai, bahwa substansi-substansi UU Desa 2014 definit bakal melecut alterasi baik yang beralas di desa, dan apalagi tidak agak-agak bakal jadi budaya baru akan desa di era datang.

Persoalannya bisa sahaja UU Desa 2014 yang baru tersebut terlaksana di desa tidak kian sebagai “perubahan peraturan” baru, yang sama amat tidak menyentuh gerakana-gerakan ide untuk alterasi sosial. Jika introdusir UU Desa 2014 tersebut sekadar dipahami dan lagi pula sekadar komersial getah perca perangkat desa dan elit desa, bahwa nyata beliau tidak menumbuhkan gejala “inkonsistensi dan inkoherensi nilai” di di masyarakat. Jika begini bahwa terlewat alit justification cost-nya dipertimbangkan akibat sebelah besar perseorangan bangsa (sebagian besar anggota masyarakat) disetujui sebagai awal gerakan alterasi sosial. Disinilah letak institutionalize aspect dari sebentuk alterasi sosial.

Hebatnya UU Desa 2014 tersebut bakal diikuti dengan sebentuk “kucuran dana” yang banyak besar, yang katakanlah disebut dana pembangunan desa, yang besarnya bisa mendapatkan 1 Milyar bagi desa. Bisakah beliau melecut justification cost agar bangsa (sebagian besar masyarakat) bakir dan akan mempertimbangkannya sebagai tahap-tahap di alterasi baik desa? Jawabannya ialah “belum tentu”. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan “uang” nyata telah dimulai dengan program PPK (program pengembangan kecamatan) yang akhirnya dilanjutkan PNPM Mandiri. Sudah seputar 15 tarikh PPK dikembangkan diikuti dengan cucuran dana yang tidak kurang untuk desa. Sebuah corat-coret “institusional” kelembagaan pembangunan diperkenalkan lewat corat-coret yang disebut “pembangunan partisipatif”. Hasilnya secara garis besar, tidak sedia alterasi baik lagi pula alterasi peradaban yang bena di desa-desa bahan program tersebut di di jumlah corat-coret bena bagaikan “pemberdayaan”, “partisipasi”, dan “kemandirian”.

Dengan begini yang ingin dikatakan di sini ialah UU Desa 2014 yang baru beserta “services-lips” yang menyertainya dengan dana pembangunan desa hampir mendapatkan 1 Milyar, tidak mengamankan bakal terjadinya kemandirian desa dan independensi desa. Asumsi abdi secara filosofi-perubahan adalah, akibat sesunggunya “kucuran uang” itu yang ditawarkan agar ide alterasi baik desa bisa berjalan. Kita tidak pernah merancang filosofi yang sebaliknya dari itu untuk pembangunan di anak buah kita. “Uang” yang besar yang acap menyertai policy-policy untuk pembangunan dan kemandirian anak buah telah jadi justification cost yang bersalahan untuk alterasi baik dan kebudayaan.

Bangsa Yang Cerewet

Indonesia disinyalir merupakan negara dengan kuantitas perundang-undangan terbesar didunia. Para teknokrat pembangunan dan birokrat agak-agak berbangga hati dengan itu. Bahwa seakan-akan kita banget pandai mengurus tatakelola bangsa, masyarakat, dan pembangunan. Beragama sahaja diatur. Perkawinan diatur. Memberikan sokongan diatur. Namun disisi asing keadaan itu bisa diintepretasikan bahwa kita ialah negara yang “amat keropos” di adicita berbangsa, bermasyarakat, berbhineka, dan bermasyarakat.

Dan akan “desa” kita telah membuat anggaran dasar kian berlimpah dari pertama kali Belanda memanipulasi akan desa. Pada zaman imperialisme Belanda terdapat anggaran dasar perundang-undangan melanggar desa ialah Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di dalam Jawa dan Madura. Lama selepas itu baru pada tarikh 1965 terbit UU No. 19 Tahun 1965 akan Desa Praja. Orde Baru kembali mengeluarkan anggaran dasar perundang-undangan melanggar desa yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 akan Pemerintahan Desa. Peraturan ini akhirnya berubah lagi seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 akan Pemerintahan Daerah. Pengaturan melanggar desa kembali arung alterasi seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 akan Pemerintahan Daerah. Hanya di 10 tarikh akhirnya perundangan akan desa ini dirubah lagi dengan disahkannya UU Desa 2014 akibat DPR akhir tarikh 2014 lalu.

Jadi, dari 1965 cukup 2014 telah dibuat 5 kali perundangan akan desa, yang rata-rata ahad perundangan yang sama berumur tidak kian dari 15 tahu. Artinya apa: benar kita “terlalu cerewet!”. Arti asing lagi adalah, kita tidak bakir mengarah-arahi dan memahami secara benar debar sosiologis dan antropologis hal pedesaan kita. Kita bayan tidak bakir mengarah-arahi akibat terlewat berlimpah dan tamak anak dan negara kita “ingin memanipulasi desa”. Terlalu berlimpah keadaan akan kehidupan bangsa desa yang ingin kita atur, akibat disisi asing kita terlewat takut bahwa bangsa desa kita jadi “berubah”. Terlalu berlimpah argumentasi ideal bersifat teoritis dan moral-ideologis yang ingin kita bayangkan berjalan dengan desa. Sementara sebagai gabungan manusia, komune desa terus “berjalan ke depan” melanda modernitas, berelasi dengan wacana kehidupan kian luas, mengambil teknologi, dll.

Akhirnya telah jadi bayan bahwa yang namanya “adat” kita alpa mempersepsikannya. Akhirnya akan adat itu akan kita atur-atur, sedapat agak-agak dimasukkan di ala susunan analitis anggaran dasar negara. Dan nampak bayan amat bahwa saat “dinamika adat” itu didudukkan di tata-peraturan negara bahwa banyak kurang yang bisa kita atur. Sampai kapanpun kita tidak pernah bisa mengaur adat di anggaran dasar negara secara memuaskan. Sebab secara filosofis adat itu ialah kehidupan. Dia dinamis bergerak menyejarah bertimbal kelanjutan dan keperluan masyarakat. Akhirnya toh…jika sidang pembaca menyimak dan meresapi pasal-pasal di di UU Desa 2014 yang disyahkan Desember 2013 lalu, nyata kita sekadar memanipulasi desa jadi memegang arah desa yang organisatoris-modern. Tentang adat tidak disinggung berlimpah di perundangan itu, dan sekedar disublimasi jadi “lembaga adat”.

Dinegara bagaikan Jepang, tidak pernah adat diatur di lembaran negara. Negera sekadar menghormat adat sejauh beliau masih dibutuhkan akibat getah perca komunitas-komunitas yang masih menjaga adatnya. Hal ini definit kita tidak bisa mengatakan bahwa negara Jepang dan masyarakatnya tidak meluhurkan adat yang berlaku dikomunitas-komunitas bangsa yang berbhineka-ragamnya juga. Yang dilakukan akibat negara Jepang bersama getah perca cendekiawan sosialnya berupaya melaksanakan “reservasi” adat dan kebudayaannya dengan merekonstruksi nilai-nilai adatnya dan menstransformasikannya di bentuk-bentuk yang bertimbal dengan kehidupan modern. Dan itu tampaknya berhasil dari Restorasi Meiji. Akibatnya cukup sekarang wacana akan “adat harus dijaga lewat perundangan negara” tidak harus dijadikan wacana cerewet yang dibahas kesana-kemari di Jepang.

Mereplikasi Negara di Desa

Sistem birokrasi desa berparak dengan komposisi birokrasi negara, bagaikan ditegaskan di di Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari bidang rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan komposisi campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), lamun pendekatan teknokratis tidak bisa bepergian secara maksimum antara asing akibat provokasi pendekatan tradisonal.

Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut membuktikan sedia diskrepansi yang bermula dari “sejarah”, bahwa desa benar berparak dari negara. Sistem teknokrasi manajemen negara tidak bisa diterapkan di komposisi baik birokrasi desa. Jika ditelaah UU Desa 2014 di komposisi tatapemerintahan desa hadir dengan bayan bahwa desa akan dibentuk mengarah-arahi komposisi teknokrasi negara. Berikut ini pernyataan-pernyataan di di UU Desa 2014 yang mengarah ke teknokrasi tatanegara tersebut:

Isu 1: Perangkat desa digaji akibat negara

  • Pasal 34 artikel (1): Sekretaris desa sama dengan dimaksud di Pasal 23 artikel (2) diisi dari fungsionaris bumi awam yang membanjiri persyaratan…
  • Pasal 37 artikel (1): Kepala desa dan perangkat desa diberikan pemasukan tretap saban bulannya dan alias tunjangan.

Penggajian atas akal desa, dabir desa, dan perangkat desa (yang berlalu disebut pamong desa) ialah sesuatu yang baik untuk memasrahkan keputusan pemasukan arah kerja mereka. Tetapi harus disadari bahwa “penggajian” itu merupakan aksi yang kontra-produktif dengan asas independensi desa era lalu yang tidak mengenal penggajian akibat kerja mereka dianggap “pengabdian”.

Yang ingin dikatakan disini bahwa penggajian atas perangkat desa tersebut tidak memegang argumentasi filosofis-sosiologis desa sebagai gatra otonom. Sepetinya penggajian ini sekadar didasarkan pada argumentasi benar sebagai anak buah yang telah bekerja, anak buah yang telah mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai akal desa, dabir desa, dan alias perangkat desa. Dia tidak ubahnya bagaikan “pegawai-pegawai” asing disebuah badan negara dan swasta.

Sekali lagi ingin ditegaskan disini bahwa UU Desa 2014 yang baru telah, katakanlah, mengijinkan bahwa mereka diberi akibat akibat negara. Implikasi sosiologis-strukturalnya ialah banyak agak-agak getah perca perangkat desa itu tetap dan memegang kecenderungan besar mengabdi kepada negara, bukan kepada anak buah meski di pasa-pasal asing diatur peran dan darma mereka sebagai pamong rakyat.

Isu 2: Atribut dan Rekrutment Perangkat Seperti Negara

  • Paragraf 8, Pasal 38: Kepala desa dan perangkat desa di melaksanakan tugasnya menggunakan atribut dan baju dinas.
  • BAB VI Pemilihan Kepala Desa, Pasal 41 cukup Pasal 47…menjelaskan bahwa prosedur rekrutmen akal desa analog dengan penentuan gunernur dan bupati.

Menarik untuk disimak bahwa UU Desa 2014 menganjurkan, alias agak-agak setengah mewajibkan yang bakal diatur akibat kanon daerah masing-masing, bahwa perangkat desa harus memanfaatkan atribut dan baju instansi sebagai perangkat desa. Maka telah absolut 50% bahwa jiwa mereka tidak terpisahkan dari “neragara: digaji akibat negara, dan memanfaatkan atribut dan baju dinas. Dengan begini tegas pula dikatakan bahwa di keadaan atribut ini UU Desa 2014 yang baru sama sahaja dengan UU Desa 2014 sebelumnya.

Mengenai gelanggang penentuan akal desa bisa dipastikan bakal mirip-mirip sahaja dengan penentuan akal desa sebelumnya yang diatur di perundangan desa yang lama, yang telah membuktikan sebagai “arena tempur” partai-partai politik, gelanggang menyerang kelompok-kelompok tertentu, yang ujung-ujungnya anak buah nyata sumir memaknai barang apa arti leadership di desa. Model rentang waktu yang diberi baju baru di rekrutmen akal dan perangkat desa ini, membuka angin inefisiensi arah nama pendidikan politik-demokratisasi di desa. Faksi-faksi dan blok yang terpecah bengkah masih bakal terjadi. Demo-demo kontra-produktif arah nama penentuan yang demokratis definit diyakini tetap berlangsung. Kepala desa berkembang dengan uang awal “mengutang” yang banyak besar, yang harus dibayar kekal beliau jadi penguasa desa meski harus dikemas di ala kekuasaan terbagi (Trias Politika Desa-Pemerintah Desa, BPD, Masyarakat).

Dengan kasus-kasus empiris semacam ini, nyata tidak sedia keadaan baru lewat UU Desa 2014 baru ini, akibat bakal terulang kembali. Artinya kita cukup “memperumit diri” dengan formula-verbal peraturan/perundangan, yang disisi asing kita tidak sadar bahwa permasalahan elementer ialah “lemahnya pendidikan” demokratisasi dan tatakelola pemerintahan desa. Selalu sahaja kita encer memukulkan pendapat jikalau desa akan otonomi, demokratis, transparan, partisipatif bahwa perundangannya harus dirubah!

Isu 3: Tidak Ada Kekuasaan Tunggal-Tiga Pilar Kekuasaan

  • BAB VII Badan Permusyawaratan Desa, Pasal 48 cukup Pasal 54 yang memanipulasi peran dan fungsi BPD.
  • BAB VII Musyawarah Desa, Pasal 55, artikel (1) cukup artikel (5) akan keramian desa.
  • Bagian Kedua Lembaga Adat, Pasal 79 artikel (1) dan artikel (2): negara daerah dapat memasang berbagai kebiajakan…sebagai wujud akreditasi atas adat istiadat.

Tidak sedia kekuasaan tunggal di desa. Pemerintahan desa bakal dibagi di 3 donasi kekuasaan ialah Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat. Model ini analog dengan komposisi negara: Pemerintah/Eksekutif, DPR/Legislatif, dan Rakyat. Tentu segala dengan babak peran dan kerumitan yang berparak lamun prinsipnya sama saja. Dengan bicara asing nyata cukup diproses “Model Desa-Negara”. Agak aneh, dan merupakan cara berpkir yang tidak konsisten, jika sedia anak buah yang menyangkal bahwa kita cukup memperoses “model desa-negara” lewat UU Desa 2014 yang baru ini ataupun UU Desa 2014 sebelumnya.

Di Bali cukup dengan NTT dikenal dua gatra desa, ialah Desa Adat dan Desa Dinas. Desa adat ialah desa yang digerakkan dengan gatra filofis ahak aluran yang telah rentang waktu ada, selama desa instansi menggambarkan desan sebagai gatra baru buatan Orde Baru lengkap dengan perangkat akal desa. Banyak kasus pembangunan menggambarkan bahwa keikutsertaan bangsa tidak bergerak jika tidak lewat doa dan amanat kepala-kepala adat.

UU Desa 2014 yang baru tampaknya “ambigu” mensikapi dua problematika antropologis-sosiologis atas dua aliran desa tersebut. Ingin ditegaskan disini bahwa di UU Desa 2014 baru, di di pasal-pasal yang mengaturnya, tidak sekalipun mengapit bicara “Desa Adat”, yang sedia ialah “Lembaga Adat”. Dengan pernyataan semacam ini bahwa nyata perdebatan keberadaan “desa adat” dan “desa” harus telah selesai. Maka konsekuensinya ialah (1) Jika sedia desa adat yang mempu dan memegang alat analog dengan desa (desa modern bagaikan dihenbuskan lewat UU Desa 2014 baru), bahwa desa adat tersebut bisa dipakai sebagai desa; dan (2) Jika desa adat yang sedia tidak membanjiri pelaksanaan sebagai alat desa modern, bahwa desa adat yang sedia diakui sahaja sebagai “lembaga adat” yang dikuatkan dengan anggaran dasar darah untuk dihormati adat adat yang sedia yang secara gatra tidak boleh bersandingan dengan “desa” sama dengan dimaksud di UU Desa 2014 baru.

Jangan Jauhkan Desa Dari Negara

Membuat desa kian bebas dalm mengurus dan asuh pembangunan dan sendi kehidupan baik termasuk menghormatan-penghormatan atas adat yang ada, ialah merupakan kebijakan yang baik. Tetapi sekalian cara untuk memasukkan adicita untuk membebas-jauhkan desa dari kehidupan tatakelola negara (NKRI), merupakan kegiatan “kelblinger” baik di dataran rendah berdaya guna maupun dataran rendah teoritis.

Yang alpa dari jaman Orde Baru di praktik-praktik tata kelola negara di relasinya dengan desa ialah cara-cara kita memasukkan akar pembangunan yang berkaitan dengan desa, baik dari sudut sembarang orang nyata yang bertanggungjawab memperadabkan pembangunan desa, sembarang orang sesunggunya yang bertanggungjawab memperadabkan pengembangan daya serap negara desa, lemahnya kepam atas dana-dana yang nyata diperuntukkan alokasi desa, kecurangan yang meraja lela, dsb.

Sementara negara yang sebelum-sebelumnya “bebal” untuk belajar membaguskan diri di perhubungan memasukkan akar pembangunan alokasi desa, wacana-wacana idealitik antitesis terlanjur mekar sedemikian itu paras seakan-akan telah tersusun perundangan baru yang kian “ces-pleng” untuk membikin desa. Dan sayangnya, terus sahaja sedemikian itu berjalan berulang-ulang. Lalu berkembanglah wacana ekstrim-kritis yang menganjurkan desa dibuat semi-absolut-otonom yang “dijauhkan” dari bab tata birokratis negara. Desa hendak dibuat semacam “teritorial-steril” dari tatakelola negara yang telah dianggap bobrok. Desa ingin dianggap “self-governing community”, mengurus dirinya sendiri, otonom, berdekatan dengan negara, jadi bagaikan “negara” di di “negara”.

Alasan idelogi-teoritisnya yaitu: (1) desa kian berlalu sedia dibanding negara (Republik Indonesia); (2) desa dari berlalu era telah mempu memerankan “self-governing community”; (3) Desa kian dahulu mempunyai teritorial, dan negara sekadar meminta sahaja arah nama komposisi ketatanegaraan; (4) Desa terbungkus kehidupan adat, dan bagaikan ajaran beliau ialah benar awak (private) bangsa desa yang harus dihormati. Wajah desa bagaikan “mulut besar” yang belangah semi-otonom diseluruh area Indonesia, yang abdi rasa tak sedia perundangan manapun yang bakir dibuat untuk cukup awet “menghadapi globalisasi”.

Di di negara yang belum masa benar memanipulasi tatakelola pemerintahan antara daerah, di di negara yang rapur sentimen pembangunan menemani daerah, didalam negara yang encer amat dipicu bentrokan lantara konsolidasi sosiologisnya belum matang benar, di di negara yang agak-agak masih “imajiner” akan kebhinekaan-persatuan-dan kebangsaannya ini, bahwa “mulut besar” desa semi-otonom itu bakal encer berharap suap gurita multinasional globalisasi.

Maka yang ingin ditegaskan disini adalah, nir- mengadu kepada “mamakmu” dan menyesal, apa pasal adicita desa semi bebas itu terlanjur digulirkan dan kini cepat alias lembat jadi makanan empuk kapitalisme-global. Sayapun yakin tidak bakal bakir negara mengaturnya lagi, memproteksi desa-desa kita agar tanggung bertemu globalisasi. Negara, yang didalamnya berisi birokrat-birokrat yang sebelah besar masih tamak ini, agak-agak justru berkong-kalikong dengan korporasi-global untuk mengunyah-unyah desa. UU Desa 2014 yang baru benar memanipulasi dan menganjurkan agar NKRI menaungi desa-desa tersebut. Apa itu artinya! Bayangkan betapa dengan cara apa negara bakir memanipulasi ratusan mili desa di Indonesia yang di “pantatnya” telah terlewat tergesa-geda dipasang bom waktu melaju semi-otonom. Para cendekiawan agul yang pernah disebutkan seblumnya tadi banyak fasih berbalah dan menganjurkan “konsolidasi partai” buat menata demokratisasi, lamun tampaknya agak kedodoran untu merumuskan maknanya “konsolidasi desa-desa”. Sudah kian dari setengah abad kita “sisip-pikir” membikin tata kelola negara, dan kini bagai gelombang Tusunami asal dengan ratusan mili desa yang siap belangah semi-otonom. Saya tidak habis pikir, ala negara mana yang cukup ditiru-kembangkan akibat getah perca sarjana-sarjana agul itu. Ataukan mereka cukup membuat “laboratorium oplosan percobaan” ngotak-atik tatakelola negara cukup desa yang sekadar berlandaskan arah rasa kecewa, dengan campuran macam-macam formula ideologi.

Jangan-jangan hanyalah “Desa Oplosan” nanti yang terbentuk. Lagu instans awal rame dan hingar bingar, yang tidak ingat lagi benih kesejarahannya dimana.

Membagi Kue Yang Disebut APBN

Alokasi Dana Desa (ADD) besarannya seputar 100 juta cukup 250 juta yang diberikan kepada desa untuk kegiatan pembangunan. Besarnya benar bervariasi menemani desa yang ahad dengan desa yang asing tergantung daya jumlah daerah. Sudah jadi ilmu umum bahwa ADD itu peruntukannya amburadul, tidak terarah, dan apalagi tidak berlimpah akal desa yang “menilep” bablas dana itu. Dibalik bab ADD itu aktual sedia bab yang kian berlimpah baik secara praktis, cukup bab idealisme pembangunan, serta bab kekeliuran berasumsi akan desa.

Pertama, daya serap negara desa masih aib untuk diberi tanggungjawab “mengelola” ADD jadi alat support pembangunan desa. Apa amanat “uang alokasi bangsa miskin”, barang apa arti pembangunan di desa, barang apa arti partisipasi, barang apa arti keberpihakan atas bangsa miskin, ketampilan asuh uang, dan macam-macam asing tidak sedia di di diri getah perca perangkat desa. Lalu apa pasal dikeluarkan perundangan melanggar ADD?! Para cendekiawan agul menelorkan gagasan: dari pada dana itu dikorupsi di babak pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten kian baik diberikan ke desa supaya abdi negara desa belajar asuh dana dan pembangunan.

Itu alur pikir utamanya. Tentu sahaja setelah diputuskan perundangan ADD itu didahului dengan seminar, lokakarya, arena perdebatan teoritis di hotel-hotel dan dengan dakik-dakik argumentasi teoritis hak-hak bangsa miskin. Dibayangkan bahwa daya serap negara desa dan bangsa desa itu perkara gampang, yang bena “uang” telah sedia di desa. Ternyata dana itu yang semakin mendungukan desa dan justru menumbuhkan problematikan yang meluas.

Kedua, Indonesia memegang puluhan mili desa. Luas teriorial desa asing berbeda-beda. Jumlah orang berbeda-beda antara desa ahad dengan desa lain. Perkembangan “kebutuhan” bangsa desanya secara sosiologis banyak beragam. Sementara itu di di tata kelola birokrasinya segala aktif dengan kompromi anggaran, dan sekadar bisa dihitung dengan jari getah perca birokrat yang acuh dengan desa. Ada GAP yang belangah luas antara desa sebagai institusi di tingkar grassroots dengan negara level kabupaten, lagi pula daerah dan negara. Maka jika sebentuk perundang disusun secara tergesa-gesa, lagi pula ketergesaan itu dilandasi dengan sikap sentimental akibat “sakit hati” alias terlewat jengkel memandang keburukan komposisi tatakelola birokrasi pemerintahan, bahwa niatan bagus apapun untuk membuat perundangan itu hasilnya tetap bakal tidak maksimal. Yang dimaksud “tidak maksimal” ialah bahwa dataran rendah pemikiran yang tertuang didalam perundangan tidak bakal bakir mengamankan “semua sudut dinamika” yang bakal mekar di persoalan sosiak yang cukup alias bakal diatur.

Ketiga, yang sifatnya ideologis berbangsa dan bernegara, di seantero Indonesia masih keddodoran untuk tidak mengatakan banyak lemah. Memang secara monumental anak kita pernah disatukan lewat pernahklukkan akibat Gajah Mada-Majapahit dan akhirnya beliau mengangkat janji kaul Palapa. Tetapi yang disebut asosiasi ataupun ketunggalan waktu ajaman Majapahit itu barangkali “imajiner” sifanta. Bersatu akibat di tekanan “kekuatan kemiliteran Majapahit”.

Sampai dengan penjajah Belanda masuk, ketunggalan yang pernah disebut pada janji kaul Palapa itu tidak membuktikan wujud yang serius: “persatuan itu secara histiris tidak pernah mengada”. Masuknya Belanda mengkocar-kacirkan lagi sumir amanat asosiasi anak Nusantara itu. Hanya cukup saat Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi “atas nama” anak Indonesia pada 17 Agustus 1945, benarkah kita nyata telah bersatu secara ideologis dan praktik-praktik sebagai anak yang satu? Persatuan ini kiranya banget sumir, banget lemah. Hanya di dataran rendah “persepsi”, dataran rendah komsepsi, dataran rendah keinginan-imajinatif, nyata asosiasi itu bekerja. Secara praktik tatapemerintahan Pusat – daerah, kerja sama menemani daerah, di dataran rendah komposisi badan pembangunan sebagai anak yang ahad bahwa pengalaman kita masih banyak sedikit. Itu sebabnya anak ini rentan dan teramat banyak encer digoyang konflik, apapaun model konfliknya.

Isu-isu yang berbentuk seputar dana yang bakal dikucurkan untuk desa balasan dari disyahkannya UU Desa 2014 pada Desember 2013 lalu, jumlahnya fantastis akibat bakal diambil prosentase eksklusif dari APBN dan dari prosentase itu bakal dibagikan kepada desa. Kira-kira ahad desa bisa mendapat catu 1 Milyar rupiah lebih. Bisakah kita mengamankan bahwa kasus-kasus bagaikan yang berjalan didalam ADD tidak terulang kembali? Tidakkah itu berfaedah kita cukup memberi muka desa dengan uang? Jika pikiran getah perca ahli, sarja, dan cendekiawan agul itu memanfaatkan argumentasi “tidak apa-apalah dari pada dana itu dikorupsi akibat birokrat?…lantas kapan lagi kita bakal memasrahkan benar bangsa arah pembangunan”, bahwa nyata kita cukup berdekatan dengan getah perca (orang) intelektual yang sekadar “sakit hati”, kian buruk lagi kita cukup bertemu sarjana-sarjana agul yang tidak adicita “phylosopy of social change”.

Ooo….gampang diatasi. Akan diberikan pengembangan daya serap kepada perangkat desa untuk asuh dana itu…”. Orang yang membikin program alias kebiajakan dengan sakit hati, digerakkan akibat nafsu eksklusif yang berorientasi agar idealismenya tercapai. Dan nafsu itu mengakibatkan kelemahan-kelemahan realistik yang sedia di di bangsa harus dianggap keadaan sepele, dan tidak harus ditanggapi. Sepintar apapaun, alias apalagi getah perca (orang) intelektual itu jebolan dari universitas-universitas ternama di dalam negeri, nafsu-ideologis bakal tetap jadi kelemahan alas inherent pada diri perseorangan bani Adam (sang sarjana). Tentu sahaja daya pemikran getah perca (orang) intelektual agul ini lebih hari lebih berlimpah lantaran kuantitas mereka semakin bertambah. Salah ahad kelemahan lagi di di karakteristik bangsa kita adalah, “kebenaran” itu ialah dibentuk akibat daya terbesar, pendukung pemikiran terbanyak, apalagi definit pemberi “uang” terbanyak. Bahwa “kebenaran yang sesungguhnya” terkadang sekadar sedia pada sebutir orang, telah tidak dipercaya lagi.

Sistematika ontologis getah perca (orang) intelektual yang agul itu tak bakir lagi membayangkan sedalam barang apa kebejatan yang bakal berjalan di desa dengan memagang dana ahad Milyar rupiah dan seberapa cepat pengembangan daya serap bakir meliputi luka-luka kebejatan itu. Mari kita pikirkan di linier waktu, jika UU Desa 2014 yang disahkan Desember 2013 itu ampuh dilaksanakan pada katakanlah tarikh 2016, bahwa dana 1 Milyar untuk saban desa itu kemungkinan besar bakal terkucurkan di 2017. Lalu seberapa cepat kita bakir memasrahkan “pengembangan kapasitas” kepada puluhan mili desa di Indonesia? Pengembangan daya serap pada tahap 1 aman belum bisa ampuh bakir diterapkan, dan itupun ahad pemerintahan desa agak-agak sekadar terwakili ahad alias dua anak buah saja. Disisi asing seberapa berlimpah pelatih dan institusi penataran pembibitan tersedia untuk mengahlikan ratusan mili perangkat desa agar desa absolut secara alas sacara bakir asuh dana ahad Milyar?

Jika dibayangkan sahaja baru di kurun 4 alias 5 tarikh sejumlah perangkat desa di sarwa pulahan mili desa di Indonesia baru secara absolut ampuh bakir asuh dana desa ahad Milyar tersebut, pertanyaannya kita tidak pernah bisa membayangkan seberapa besar kerusakan, kekacauan, bentrokan kepentingan, dan berbagai persoalan asing yang berkembang di desa balasan adanya dana ahad Milyar tersebut. Berbagai permasalahan tersebut bisa sahaja justru jadi banget kontra-produktif dari bayangan awal akan independensi dan dan kesejahteraan. Siapa yang bakal bertanggungjawab membaguskan persoalan-persoalan sebagai sisa-sisa “di piring” balasan diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013 itu? Mari kita lihat sejauh manakah dan siapakah yang berwenang “membina” desa di barisan tatakelola institusi negara kita selama ini? Jakawannya ialah tidak jelas!

P e n u t u p

Saya ingin menangkup paper alit ini dengan gradasi yang kian optimis dibanding paparan-paparan abdi di arah yang berat skeptis. Tentu sahaja dengan arah bahwa abdi jua ingin memandang bangsa desa jadi kian otonom, mandiri, memegang keikutsertaan murni di menjalankan pembangunan nasional maupun regional, serta nir- cukup bangsa desa sekadar jadi arena getah perca “petualang idealisme” yang tidak mempertimbangkan hancurnya bangunan-bangunan baik masyarkat desa.

Pertama, abdi berharap getah perca sidang pembaca meyakini bahwa bangsa ialah “bangunan baik yang menyejarah”. Mereka ialah blok baik yang sekadar bisa belajar baik dari proses sejarah yang benar dan kontinum. Mereka membutuhkan internalisasi yang cukup dan matang agar jadi daya alterasi baik mendasar. Berdasarkan itu bahwa abdi ingin, UU Desa 2014 yang baru sahaja diintrodusir ini tidak berubah di 10 tarikh kelak akibat getah perca “petualang idealisme” baru. Segala kebijakan yang ditujukan kepada desa, yang acap berubah di saban 10 tahun, tidak bakal memasrahkan alterasi apa-apa di desa, kecuali jua kebijakan-kebijakan bagaikan itu sekadar memakan dana negara.

Kedua, api fokus “paling kritis” akan UU Desa 2014 tersebut bukan terletak pada akar bahan undang-undangnya, lamun justru pada gejala-gejala negatif yang tidak bakir kita asa dengan diberikannya dana sejumlah 1 Milyar kepada desa, sebagai keterkaitan dari pasal-pasal di di undang-undang tersebut. Persiapan antisipatif baik bagaikan barang apa yang bisa kita siapkan untuk alpa ahad desa di daerah babak II baru pelebaran dan kecamatan baru pelebaran di ujung Halmahera Utara nun asing di sana, saat nanti mereka menerima dana sejumlah 1 Milyar. Yang abdi maksudkan ialah ekses-ekses negatif dengan adanya dana 1 Milyar tersebut berjalan asing kian cepat dibanding kemampuan UU Desa 2014 mengorganisir dan menginternalisasi ilmu dan pranata-pranata baru di di masyarakat. Kita dengan encer mengatakan: “…ooo definit sahaja pelatihan-pelatihan akan tatakelola desa yg demokratis, penataan keuangan desa, transparansi dan responsibilitas bakal dilatihkan…”. Uang bakal menumbuhkan inkonsistensi dan inkoherensi institusi dan perhubungan baik desa yang kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan di UU Desa 2014. Logika ontologisnya ialah “akibat masuknya UU Desa 2014” justru memastikan kesadaran kebenaran bangsa bahwa “penguasa” semakin berkuasa dan yang “tidak berkuasa” tetap di hal lemah. Uang jadi tidak punya makna.

Ketiga, alterasi ilmu dan ketrampilan bangsa desa terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus jadi “agenda utama” kegiatan. Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara bertahap (mulai dari kurang mengarah kian banyak) bertimbal dengan kelanjutan daya serap dan ukuran justification cost yang berjalan di di bangsa desa bersangkutan. Samarata akan dana desa merupakan pendekatan dan pemikiran “paling bodoh” di kondisi merancang sebentuk alterasi baik dan peradaban di desa. Jika asas sama rata yang dikedepankan, diiringi kemampuan eskalasi daya serap yang lamban, bahwa nyata tidak asing cukup dilaksanakan “Proyek UU Desa 2014”. Semuanya tidak bakal menghasilkan apa-apa kecuali keterpurukan desa jadi kian “tidak berdaya” dan “tidak mandiri”. [¡]

Refferensi Bacaan:

“Evolutionary Theories of Cultural Change: An Empirical Perspective”,

Richard R. Nelson. Columbia University, Version: January18, 2005

“Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com

“Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, François Facchini, Mickaël Melki -Centre d’Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011.

“Linking Social Change and Developmental Change: Shifting Pathways of Human Development”, Patricia M. Greenfield. University of California, Los Angeles.

“Theories of Social Change”, Diana Leat, January 2005: International Network on Strategic Planning (INSP): Bertelsmann Foundation, Germany.

“The Evolutionary Theories of Marx and Engels”, Stephen K. Sandorson, March 1998. Working Paper Series no. 38, Institute of Social Studies. Indiana University of Pennsylvania.

UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Tentang Penulis:

Penulis ialah jebolan Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebentuk LSM yang bergerak di penguatan livelihood perdesaan, dari 1993. Sering berpartisipasi di berbagai penelitian baik dan budaya di berbagai area di Indonesia. Pernah beraksi di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2014. Kontak: emilianuselip@gmail.com

“Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com

“Lingking Social Change and Development Change: Shifting Pathway in Development Change”: Patricia M. Greenfield, University of California-Los Angeles: © 2009 American Psychological Association/ 2009, Vol. 45, No. 2, 401–418.

Menganalisis teori-teori baik yang dipakai jadi bena alasan teori-teori yang benar berguna untuk memprediksi kearah mana dan bagaikan barang apa hal baik yang diharapkan bakal berjalan di era dada dengan diterapkannya UU Desa 2014. Jelas alias tidaknya asumsi teoritik nyata kita bakal ingat apakah UU Desa 2014 ini diluncurkan akibat akibat anjuran eksklusif yang tidak terarah (untuk tidak mengtatakan emosional): anjuran kekecewaan, anjuran political akseptabilitas, alias jua anjuran kekecewaan arah lemahnya rezim-burokrasi yang cukup berjalan.

Lihat “Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, akibat François Facchini, Mickaël Melki -Centre d’Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011. SEMINAR SEPIO JUNE 21, MSE (PARIS 1, FRANCE) and Association for the Study of Religion, Economics & Culture, ASREC Annual Meeting, April 7 – 10, 2011 Hyatt Regency, Crystal City (Washington DC).

berbagai kejadian yang mengesankan. Tak terkecuali di gedung DPR (baca : Senayan). Bisa jadi, ini ialah hari termanis alokasi proses pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selama jumlah tahun mangkrak pembahasannya, alhasil disahkan jadi Undang-Undang. Ini merupakan cancang baru alokasi sebentuk negara dengan komposisi pembangunan bottom-up, yang sebelumnya pembangunan menganut sistem up-bottom.

Di zaman mazhab baru, komposisi pembangunan banyak tersentralisasi, dimana daerah sekadar bisa menerima barang apa yang fokus putuskan. Namun, pasca reformasi, paradigma ini tampaknya berangkat dirubah. Pemerintah sadar bahwa sentralisasi sekadar menciptakan pembangunan semu semata, tidak menyentuh pada benih permasalahan. Desentralisasi jadi sebentuk paradigma baru di pembangunan Indonesia era ini. Untuk mengefektifkan komposisi pembangunan ini, senayan meluluskan UU Desa sebagai patron adat membikin Indonesia dari bawah.

Ada jumlah keadaan yang menarik akan UU Desa ini, dilihat dari isi, prosesnya, serta efek baik politiknya kedepan. Saya tidak bakal berbalah secara mendalam melanggar kandungan perpasal dari Undang-Undang ini. Tulisan ini coba berbicara dari sudut penglihatan dampak baik yang agak-agak terjadi. Saya bukanlah ahli (orang) intelektual pemerintahan alias tata negara, pun abdi jua bukan seorang ahli hukum. Kaitannya dengan UU Desa, abdi berusaha menempatkan diri sebagai bangsa yang tinggal di pelosok pedesaan yang di UU ini dijadikan sebagai bahan utamanya. Saya bakal coba memaparkan masalah-masalahnya lebih-lebih berlalu setelah akhirnya berupaya menawarkan barang apa yang sekiranya bisa dijadikan jalan lepas bakal permasalahan yang ada.

Salah ahad klausul yang sedia di UU Desa ialah akan adanya dana 10 % dari APBN dan APBD alokasi saban desa. Ini jadi menarik akibat jika ditotal bahwa saban desa bakal mendapat dana seputar 1 milyar rupiah. Angka yang cukup besar, dilihat dari jumlah yang selama ini dikucurkan untuk saban desa dari pemerintah. Perlu diingat bahwa kuantitas desa yang sedia di Indonesia ialah 81.253 desa / kelurahan (data terbaru dari Kemendagri). Persoalannya bukan pada kuantitas desanya, akan tetapi kian pada betapa dengan cara apa manajemen jumlah tersebut. Selama ini di desa-desa, manajemen jumlah acap diserahkan kepada Kepala Kampung alias Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK). Anggaran ini mengharukan untuk akhirnya diselewengkan, memandang besarnya jumlah yang diberikan. Fenomena yang berjalan di babak bawah ialah kebiasaan bagi-bagi jatah. Salah ahad penyebab apa pasal adanya bagi-bagi jatah ini ialah akibat kecilnya bayaran yang diterima akibat perangkat desa. Sehingga dengan adanya jumlah ini, bahwa boleh oke ini adalah aji mumpung alokasi perangkat-perangkat desa. Namun itu bisa akhirnya kita siasati dengan pengawasan.

Pengawasan di babak desa dilakukan akibat Badan Permusyawaran Desa (BPD). Lembaga ini merupakan perwujudan cabang dari bangsa di babak desa. Namun lagi-lagi BPD di berbagai daerah arung stagnanisasi lembaga. BPD sekadar jadi dewan ritual minus memegang progress yang menggembirakan. Alasan klasik yang acap berbentuk saat ditanyakan apa pasal BPD tidak bergerak ialah ketidaktahuan anggota melanggar mekanisme kerja serta donasi kerja di BPD itu sendiri. Apabila akhirnya BPD tidak dicarikan solusinya, bahwa proses kepam bakal mati serta daya terjadinya penyelewengan jumlah pembangunan yang diamanatkan akibat UU Desa bakal semakin besar. Itu ialah bab yang pertama.

Permasalahan yang sekiranya berpotensi berjalan di alun-alun seterusnya ialah melanggar mekanisme penganggaran. Di penjelasan UU Desa tertera bahwa mekanisme penganggaran bakal lewat daerah. Titik rawannya sorangan berada pada penyalurnya. Melihat dari kejadian-kejadian yang hampir serupa, semisal saat penganggaran sertifikasi guru, dana yang berdansa dari fokus diendapkan dahulu di rekening daerah cukup jumlah bulan. Endapan ini bukan untuk akhirnya dikorupsi, memencilkan mencari bunga dari endapan dana di bank. Coba sahaja dihitung, jika ahad kabupaten terdapat 450 desa, artinya ialah di ahad tarikh bakal sedia dana segar seputar 450 miliyar rupiah. Kalau bunga bank tiap bulannya mendapatkan 2 persen, telah berapa dana yang bisa terdapat dari endapan ini.

Dalam keadaan realisasi di lapangan, UU Desa jua mendelegasikan harus dilakukan lewat Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembang Desa). Masalahnya kemudian, apakah musrembang ini cukup ampuh untuk membuat rencana kerja selama setahun memandang SDM berkualitas yang banyak ala kadarnya di pedesaan. Pengalaman selama ini, Musrembang sekadar jadi sebentuk dewan absah untuk ikrar saja. Rencana-rencana yang diajukan segalanya dibuat akibat jumlah anak buah saja, itupun saat ditawarkan di forum, bangsa maupun cabang yang hadir, sekadar bersedekah cap izin sahaja minus urun rembug maupun mengkritisinya. Tentunya ini jadi preseden yang kurang baik di proses pembangunan. Keikutsertaan bangsa di menggali rencana pembangunan bulat-bulat dibutuhkan agar pembangunan bisa selaras dengan barang apa yang dibutuhkan akibat masyarakat.

Kemudian, bab yang berpotensi berbentuk ialah tingginya ketatanegaraan dana di penentuan akal desa. Hingga era ini, tidak sedia patron adat yang melegalisasi adanya amal biaya penentuan akal desa dari pemerintah. Selama ini, biaya penentuan akal desa acap dibayarkan dengan cara patungan menemani calon. Tak bertanya-tanya kemudian, ahad bakal akal desa bisa memakan dana puluhan juta rupiah. Dana tersebut diperuntukkan alokasi biaya penyelenggaraan, pesta, sosialisasi, serta hal-hal asing yang terkait dengan penentuan maupun konstituen. Ini jadi sandungan eksklusif alokasi penerapan UU Desa, akibat di UU Desa tercantum bahwa periodisasi jabatan akal desa ialah selama 2 abad dengan sendiri-sendiri abad selama 6 tahun. Fatalnya ialah di UU Desa ini tidak termaktub adanya dana dari negara untuk proses penentuan akal desa. Apabila ini tidak acap dicarikan solusinya, bahwa dana nisbah yang jumlahnya fantastis itu bisa jadi bancakan untuk mengembalikan uang yang telah dihabiskan akibat akal desa di pemilihan.

Dari jumlah bab yang potensial tersebut, abdi berupaya menarik sebentuk lawai merah antara fakta di alun-alun dengan opsi yang sedia di UU Desa. Pertama, akan mekanisme kepam serta penganggaran program, BPD harus menjadi watchdog yang bertaring. Satu keadaan yang harus dilakukan setelah pelaksanaan UU Desa ini diterapkan sepenuhnya ialah adanya maintenance SDM di BPD itu sendiri. Untuk informasi, UU Desa bakal resmi diberlakukan berangkat awal tarikh 2015, sekali lalu menanti Peraturan Pemerintah untuk teknis pelaksanaannya. Guna mengefektifkan aktor-aktor yang ada, bahwa negara harus memajukan menambah SDM di di BPD. Ini bisa dilakukan dengan membuat semacam penataran pembibitan maupun workshop secara bertahap. Legislator-lagislator desa ini harapannya bakir mengimbangi power yang dimiliki akibat akal desa sebagai decision maker. Selain itu, adanya korespondensi antara BPD dengan DPRD jua bisa jadi jalan lepas memajukan menambah efektifitas kerja BPD. Setidaknya ini bakir jadi akselarator proses check and balance di babak desa.

Kemudian di kaitannya dengan hambatan diseminasi dana nisbah di babak daerah, peran serta lembaga-lembaga dari fokus bena untuk dihadirkan. Sistem independensi daerah tidak membatasi adanya campur yad dari pusat, sehingga proses diseminasi ini harus mendapatkan kepam ketat dari pusat. Pengalaman di dana sertifikasi guru, ketiadaan kepam dari fokus jadi bolongan apa pasal dana tersebut bisa ditahan di daerah. Apabila dana nisbah pembangunan desa ini tertahan, pastinya pembangunan bakal terganggu, padahal semangat yang sedia di UU Desa bayan menuturkan bahwa ujung tombak pembangunan Indonesia era ini terletak di desa.

Beranjak ke permasalahan berikutnya, jalan lepas yang bisa kita tarik ialah adanya seorang penyedia di saban desa. Fasilitator ini fungsinya sebagai akselarator lembaga-lembaga yang sedia di desa maupun proses-proses yang sedia di dalamnya. Inisiator UU Desa telah ada kalanya memasrahkan pernyataannya bahwa kedepan benar bakal sedia penyedia di tiap desa dan ini rencananya bakal dituangkan di Peraturan Pemerintah. Namun di pernyataannya, tidak dijelaskan secara rinci betapa dengan cara apa proses rekrutmen penyedia ini, apakah mereka ini ialah staff departemen dari fokus alias penyedia independen yang selama ini sedia di program PNPM. Saya memandang apabila penyedia ini berawal dari pusat, bahwa definit bakal sedia berlimpah dana yang dikeluarkan. Jalan keluar alternatif yang bisa dipakai ialah memakai mahasiswa-mahasiswa yang sedia di daerah lewat program KKN. Tentu bakal sedia berlimpah polemik jika benar penyedia ialah mahasiswa. Tapi tidak sedia salahnya negara memasrahkan giliran alokasi calon-calon intelektual muda ini mengaplikasikan ilmunya langsung di masyarakat.

Yang bontot ialah betapa dengan cara apa negara dan bangsa mencari jalan lepas untuk menekan adanya biaya ketatanegaraan yang adiluhung dari proses demokrasi di babak desa guna meninggalkan bancakan dana perimbangan. Ini aktual jua masih jadi perdebatan di kalangan legislatif daerah maupun pusat. Bagi saya, jumlah dari negara bulat-bulat diperlukan. Saya sorangan akur apabila penentuan pembesar dilakukan lewat DPRD. Nah, jumlah yang sedianya untuk pilkada, bisa dialihkan ke desa-desa. Saya memegang argumentasi sorangan apa pasal abdi mendukung kebijakan ini. Gubernur bagi abdi ialah representasi dari pemeritah pusat. Kita sorangan memandang betapa dengan cara apa selepas kran independensi daerah dibuka, peran pembesar asing berkurang dibanding Bupati maupun Presiden. Pemilihan langsung digunakan untuk memilih pemimpin yang memegang kaitan langsung dengan masyarakat. Salah satunya ialah akal desa. Oleh akibat itu, abdi sepakat bahwa dana penentuan pembesar bisa dialihkan sebagai dana bantuan operasional penentuan akal desa. Ini penting, akibat abdi memandang tingginya uang yang dikeluarkan akibat akal desa berbanding lurus dengan efektifitas kerja akal desa.

Semua keadaan yang abdi paparkan diatas, tidak bulat-bulat berjalan di saban desa yang sedia di Indonesia. Bahkan agak-agak barang apa yang abdi tulis diatas sekadar sebentuk kasuistik di daerah saya. Namun, definit barang apa yang berjalan ini bukan akhirnya kita bakal tutup mata. Semangat pembangunan yang sedia di UU Desa serta betapa dengan cara apa euphorianya definit tidak bakal terlaksana apabila negara sorangan tidak akan melaksanakan UU Desa ini. Jangan cukup UU Desa ini sekadar jadi dokumen pelengkap kerja DPR semata. Sebagai masyarakat, definit kita memegang kewajiban untuk senantiasa berkontribusi alokasi pembangunan yang benar cukup digalakkan, alpa satunya lewat UU Desa ini. Kita nir- psimis dengan cara yang telah dilakukan akibat negara maupun DPR. Walaupun nantinya bakal berlimpah kendala yang dihadapi di lapangan, tidak arkian membuat kita berhenti untuk terus mewujudkan bangsa yang adil-makmur serta berkemajuan. Setiap hambatan definit memegang pemecahan masalahnya, pertanyaannya akhirnya ialah apakah kita akan berkontribusi untuk mencari jalan lepas itu. Silahkan kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Wallahu’alam bishowab

TELAAH KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG  NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG  DESA

————————————————————

Oleh : Drs. IRAWAN RUMEKSO, MM

ABSTRAK

Faktor posisioning atas desa   yang belum benar merupakan aspek dominan yang jadi penyebab ketertinggalan desa. Desa selama ini kian ditempatkan sebagai obyek dari subyek.  

Setelah lewat darmawisata yang panjang, negara dan DPRRI pada coplok 19 Desember 2013 memastikan berlakunaya UU Desa yang baru. UU Desa yang baru  menjadi cancang sejarah yang bena alokasi pemerintahan desa, akibat adanya political will dari negara untuk menguatkan desa dan memajukan menambah kesejahteraan sarwa perangkat desanya.

Pengaturan era jabatan 6 tarikh dan dapat dipilih untuk tiga abad era jabatan kurang tepat, akibat era jabatan enam tarikh aktual belum cukup alokasi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerjanya dan  dapat menghambat pengaderan kepemimipinan di babak desa serta bakal melecut stabilitas ketatanegaraan desa “terguncang” kembali saban enam tahun.

Satu keadaan hal lagi yang harus dikritisi ialah bahwa UU Desa tidak memasrahkan legalitas wewenang kepada Camat atas desa berlaku seperti “atasan” Kepala Desa, padahal desa banyak membutuhkan pembaharuan langsung dari kecamatan.

Namun UU Desa ini adekuat diapresiasi akibat mengapit kebijakan-kebijakan yang liberal dan vital alokasi kesuksesan dan kelanjutan desa.

Kata kunci : UU Desa, independensi desa, pemerintahan desa, pemberdayaan desa, era jabatan Kades dan peranan Camat.

PENDAHULUAN

Setelah lewat perjuangan panjang yang melelahkan lewat demonstrasi yang hiruk pikuk membanjiri ruang-ruang khalayak serta diwarnai dengan ancaman boikot atas pelaksanaan program-program vital pemerintahan, negara dan DPRRI alhasil mengabulkan ketentuan getah perca kades dan perangkat desa dengan memastikan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 akan Desa (selanjutnya disebut UU Desa), menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 akan Desa yang tidak memuaskan alokasi getah perca Kepala Desa dan aparatur desa.

Pertimbangan disahkannya UU Desa ialah : Pertama, bahwa Desa memegang benar awal anjuran dan benar tradisional di memanipulasi dan mengurus kepentingan bangsa selingkung dan berperan mewujudkan cita-cita kebebasan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa di darmawisata ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah mekar di berbagai aliran sehingga harus dilindungi dan diberdayakan agar jadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan alas yang awet    dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan mengarah bangsa yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, bahwa Desa di susunan dan tata cara pengaturan pemerintahan dan pembangunan harus diatur eksklusif dengan undang-undang.

EKSISTENSI DESA

Keberadaan desa menarik minat berbagai kalangan untuk membahas, memeriksa dan “memanfaatkannya”. Para pakar berlimpah yang telah melaksanakan penelitian akan desa, penguasa telah “memproyekkan” desa, getah perca politisi telah mempolitisir desa dan getah perca pengusaha telah mengksploitasi desa. Desa, orang desa, komposisi baik dan kekerabatan, gairah ketatanegaraan dan penyelenggaran pemerintahannya telah jadi obyek bahasan di berbagai seminar dan forum-forum ilmiah lainnya. Namun ironis, itu segala belum bakir memasrahkan jalan lepas yang manjur untuk kelanjutan dan kesuksesan desa.  Desa tetap sahaja masih harus bergelut dengan masalah-masalah mendasar, baik itu bab sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan bab infrastruktur. Padahal desa memegang segalanya : sumber daya manusia, sumber daya alam, semangat kegotong-royongan, komposisi baik yang asak peguyuban dan toleransi.

Demikian jua dengan kelembagaan pemerintahan desa, kelihatan masih ala kadarnya kapasitasnya untuk melaksanakan pelayanan publik, menghidupkan kembali daya dan menguatkan masyarakat. Banyak aspek yang jadi penyebab itu semua, baik aspek intern maupun eksternal, akan tetapi kelihatan aspek posisioning atas desa   yang belum benar merupakan aspek dominan yang jadi penyebabnya.

Dalam sejarah kemajuan dan perkembangannya, desa selama ini kian ditempatkan sebagai obyek dari subyek. Sudah dari jaman dahulu, desa dijadikan sebagai : bahan kajian, pilot project kebijakan, sumber bantuan politik, sumber legalitas getah perca penguasa dan pemanfaatan getah perca pengusaha.

Desa yang pada mulanya bakir mekar dengan sekalian piranti dan kelembagaan asli bertimbal idiosinkrasi sendiri-sendiri yang dimiliki dan diciptakan sorangan baik di bidang politik, ekonomi, baik budaya maupun defensi keamanan, berangkat kematian otonominya saat diintervensi akibat otoritas yang kian besar. Pada jaman kerajaan, desa diminta mengakui, patuh dan bertekuk lutut atas otoritas kerajaan sambil menjalankan independensi asli. Memasuki abad kemerdekaan, pertama abad mazhab baru, independensi desa direnggut dan pengaturan pemerintahan desa “diseragamkan” lewat implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 akan Pemerintahan Desa. Sejak era itu, desa kematian idiosinkrasi dan keasliannya, pemerintahan desa diformat bertimbal bekerja stream kekuasaan dan selera penguasa pada era itu.

MENGEMBALIKAN OTONOMI DESA

Walaupun masih sahaja jadi obyek pemanfaatan ketatanegaraan dan ekonomi, desa yang telah  tumbuh di sejarah yang banyak panjang berkurun-kurun lalu, terus arung kemajuan dan kelanjutan yang dinamis. Karena kemajuan dan perkembangannya itulah bahwa desa tetap eksis cukup hari ini. Menyadari bakal keberadaan desa yang harus terus dijaga dan diberi ruang untuk berkembang dan berkembang, beroncet-roncet orientasi kebijakan akan desa jua arung perubahan. Pemerintah berangkat berupaya “mengembalikan” kedaulatan desa, dengan mencabut UU 5 Tahun 1979 dan menggantinya dengan anggaran dasar perundangan yang baru. Namun sayang, di abad reformasi, pengaturan akan desa justru “turun tahta”, akibat pengaturan akan pemerintahan desa diatur di anggaran dasar teknis di bawah undang-undang, undang-undang sebagai induknya, ialah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menuturkan pemerintahan desa di pasal-pasal yang singkat.

Namun UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengakui desa sebagai ketunggalan bangsa adat adat dengan hak-hak aluran dan adat-istiadatnya. Oleh akibat itu, desa bisa disebut dengan nama asing yang bertimbal dengan hal baik budaya setempat. Namun sayang, wewenang desa di UU 32/2004 jadi tidak mempunyai arti apa-apa akibat bab berdasarkan benar aluran dan adat adat tidak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian pula bab yang berawal dari kabupaten/kota, kelihatan berlimpah yang belum didelegasikan.

PEMBERDAYAAN DESA

Pengesahan UU Desa jadi cancang sejarah yang bena alokasi pemerintahan desa, akibat baru kali ini sedia UU Desa yang menunjukkan komitmen yang nyata dan adanya political will dari negara untuk menguatkan desa dan memajukan menambah kesejahteraan sarwa perangkat desanya. Komitmen dan political will itu antara asing bisa dilihat pada :

  1. Adanya  alokasi  anggaran dari APBN untuk pembangunan desa. Kebijakan ini dituangkan di Pasal 71, saban desa bakal mendapatkan catu dana dari APBN sejumlah sepuluh bayaran dari dana nisbah yang diterima kabupaten/kota di APBD selepas dikurangi dana catu khusus (DAK). Nilainya disesuaikan dengan hal geografis desa, kuantitas orang dan bilangan kemiskinan.  Selama ini harta asli desa bersumber dari harta asli desa yang terdiri dari : produk usaha, produk aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain harta asli desa, bagian dari produk pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, catu dana desa yang merupakan bagian dari dana nisbah yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahkabupaten/kota, bingkisan dan sumbangan yang tidak mengikat dari bagian ketiga; danlain-lain harta desa yang sah. Adanya harta yang bersumber dari catu dana APBN definit sahaja merupakan kebijakan baru yang afirmatif dan merupakan poin bena alokasi pembangunan dan pemberdayaan bangsa desa. Desa bertemu berlimpah masalah, antara asing kemiskinan, derajat kesehatan bangsa yang memprihatinkan, babak pendidikan yang rendah, bilangan pengangguran yang cukup tinggi, rendahnya daya serap penyelenggara pemerintahan desa, kebejatan area alam, kebejatan prasarana dll.  Dengan adanya tambahan harta desa yang bena bahwa persoalan-persoalan tersebut bakal terus ditangani dan dicarikan solusinya bertimbal dengan prioritas dan wewenang desa. Apalagi perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban eksploitasi dana dilaksanakan akibat desa itu sendiri, definit sahaja ini merupakan aksi yang nyata untuk pemberdayaan masyarakat. Namun konsekwensi dari pelimpahan dan pendelegasian manajemen keuangan ini harus diikuti dengan eskalasi daya serap pengelola lewat pelatihan, pembaharuan penatausahaan keuangan desa disertai dengan kepam yang kontinyu agar dana dapat dikelola secara akuntabel, transparan, benar waktu, benar mutu, benar administrasi dan benar sasaran.
  2. Adanya pemasukan tetap, tunjangan dan konservasi kesehatan untuk akal desa dan perangkat desa.

Kepala Desa dan perangkat desa pada hakekatnya ialah penyelenggara negara di babak desa. Keberadaannya banyak vital di komposisi pengaturan negara, akibat desa ialah muara dari segala program pemerintahan dan pembangunan, disamping itu desa ialah basis data sebagi sumber penjelasan dan pabrikasi kebijakan nasional dan daerah, sehingga untuk kederasan dan kesuksesan program-program pemerintahan dan pembangunan, telah adil kalau desa diperkuat baik dari bidang kelembagaan, daya serap aparatur dan kewenangannya. Hal  yang banyak bena berpengaruh atas eskalasi kapasitas aparatur desa ialah eskalasi kesejahteraan. Walaupun telah sedia perhatian pemerintah, secara umum babak harta aparatur desa masih rendah, sehingga harus terus ditingkatkan. Kebijakan yang amal pemasukan tetap, tunjangan dan amal jaminan kesehatan dari negara merupakan kebijakan bena yang bakal dapat menciptakan iklim kerja yang baik dalam menjalankan darma dan kewajiban aparatur desa.

MASA JABATAN KEPALA DESA

UU Desa merupakan UU yang bagus, akan tetapi era jabatan Kepala Desa merupakan ahad keadaan yang harus dikritisi. UU Desa memanipulasi jabatan Kepala Desa 6 tarikh dan dapat dipilih untuk tiga kali era jabatan baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini definit sahaja berparak apabila dibandingkan dengan UU 32/2004 yang memanipulasi era jabatan Kepala Desa ialah 6 tarikh dan dapat dipilih untuk dua abad era jabatan. Pengaturan era jabatan ini jua berparak dengan ketentuan getah perca Kepala Desa yang mengusulkan era jabatan jadi dua belas tarikh dan dapat menjabat untuk dua abad era jabatan.

Masa jabatan 6 tarikh dan dapat dipilih untuk tiga abad era jabatan bagi cerpenis kurang tepat, akibat era jabatan enam tarikh aktual belum cukup alokasi Kepala Desa untuk memaksimalkan program kerja dan angan-angan misnya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama tiga periode, bakal dapat menghambat pengaderan kepemimipinan di babak desa. Disamping itu, era jabatan yang enam tarikh bakal melecut stabilitas ketatanegaraan desa “terguncang” kembali saban enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa Pemilihan Kepala Desa ada kalanya menggaritkan luka, dendam berkepanjangan dan membangkitkan bentrokan horizontal/vertikal alokasi getah perca bagian terkait yang alot dihilangkan di jumlah tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program Kepala Desa terpilih, sehingga menghambat kederasan peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi bertimbal UU Desa yang baru, biaya penentuan Kepala Desa jadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan abad jabatan yang singkat, biaya Pilkades bakal membebani APBD. Menurut cerpenis era jabatan yang ideal untuk Kepala Desa ialah sepuluh tarikh dan cukup menjabat ahad abad sahaja untuk melecut pengaderan kepemimpinan di babak desa.

PERANAN CAMAT

Secara sosiologis ikatan antara kecamatan dengan desa ialah bersifat sistemik, artinya  saling ketergantungan, berbalas-balasan merajai dan berinteraksi secara langsung di praktek pengaturan pemerintahan desa. Praktek hubungan sistemik kecamatan dan desa didasarkan pada pandangan bahwa desa memegang beragam keterbatasan, yaitu: keterbatasan daya serap aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan keterbatasan manajemen pemerintahan desa. Artinya citra keterbatasan desa di atas, pemerintahan desa membutuhkan pembaharuan langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tidak memasrahkan legalitas wewenang kepada Camat atas desa berlaku seperti “atasan” Kepala Desa.

Pola ikatan kecamatan dan desa bagaikan itu, seboleh-bolehnya diatur dengan wewenang yang jelas, kendatipun secara absah Camat tidak ditempatkan sebagai bos langsung Kepala Desa alias sejajar. Padahal secara empiris Camat ialah “atasan riil” Kepala Desa, artinya Camat yang sehari-hari memasrahkan pembaharuan dan kepam pengaturan pemerintahan desa dan tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan darma dan kewajiban.

Di di UU Desa yang terdiri 122 pasal, sekadar dua artikel yang “memberikan kewenangan” kepada Camat dan itupun bukan wewenang substantif, ialah Pasal 49 artikel 3 dan Pasal 53 (3) “Kepala Desa bakal mengangkat/memberhentikan perangkat desa lebih-lebih berlalu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota”. Namun begini masih sedia angin alokasi wewenang Camat, ialah Pasal 112 (2), “bahwa di melaksanakan pembaharuan dan kepam kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah”. Sehinga kuncinya sedia di yad Bupati/Walikota untuk memasrahkan delegasi kepada Camat untuk memaksimalkan darma dan kontribusinya alokasi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.

Tiga argumentasi perlunya implikasi Camat di pembaharuan dan kepam jalannya pemerintahan desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan alias diberi pelung akibat anggaran dasar perundang-udangan; (2)  Untuk efektifitas dan efisiensi pembaharuan dan pengawasan, akibat Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berangkaian langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa; dan (3) Dalam kondisi komposisi pemerintahan Republik Indonesia di anggaran dasar perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai gatra yang mempunyai benar otonomi, desa jua diberi peran sebagai bagian dari gatra administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan khalayak dan tugas-tugas birokrasi. Oleh akibat itu jadi relevan kalau Desa kena pembaharuan dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).

PENUTUP

Disahkannya UU Desa adekuat disambut dengan perasaan angkuh dan gembira. UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa mengapit kebijakan-kebijakan yang liberal dan vital alokasi kesuksesan dan kelanjutan desa. UU ini jua menghargai keberadaan desa dan peranan aparatur desa dan secara tegasa memasrahkan ancaman amal sanksi kepada akal desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksinya bisa sapaan tertulis, pencopotan selama dan pencopotan tetap. Ini definit afirmatif untuk melecut kinerja   dan disiplin negara desa.

Kesimpulannya ialah UU Desa yang baru merupakan terobosan yang aneh dari negara dan DPRRI yang bakal jadi cancang sejarah alokasi kelanjutan dan kesuksesan desa dan bakal dicatat dengan tinta emas di sejarah pemerintahan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA :

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 akan Desa

[MAKALAH] Analisa Penerapan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

PENDAHULUAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan akibat seberinda bangsa desa tak terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan jadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani guna memastikan UU tersebut.

Adapun tujuan dari disahkannya UU Desa ini antara lain:

  1. 1memberikan akreditasi dan penghormatan arah desa yang telah sedia dengan keberagamannya setelah dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2.    memasrahkan kejelasan kedudukan dan keputusan adat arah desa di komposisi ketatanegaraan Republik Indonesia buat mewujudkan kesamarataan alokasi sarwa anak buah Indonesia;
  3.  melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya bangsa desa;
  4. mendorong prakarsa, gerakan, dan keikutsertaan bangsa desa untuk pengembangan daya dan aset desa guna kesejahteraan bersama;
  5. membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6.  meningkatkan pelayanan khalayak alokasi warga bangsa desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;
  7. meningkatkan kegigihan baik budaya bangsa desa guna mewujudkan bangsa desa yang bakir melantan ketunggalan baik sebagai bagian dari kegigihan nasional;
  8.  memajukan perekonomian bangsa desa serta melampaui kesenjangan pembangunan nasional; dan
  9. memperkuatmasyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Sedangkan alas pengaturan di UU Desa ini adalah:

  1. rekognisi, ialah akreditasi atas benar awal usul;
  2. subsidiaritas, ialah penetapan wewenang berskala nasional dan pengutipan dekrit secara nasional untuk kepentingan bangsa desa;
  3. keberagaman, ialah akreditasi dan penghormatan atas komposisi biji yang berlaku di bangsa desa, lamun dengan tetap mengindahkan komposisi biji bersama di kehidupan berbangsa dan bernegara;
  4. kebersamaan, ialah semangat untuk berperan berperan dan beraksi sama dengan asas berbalas-balasan menghargai antara kelembagaan di babak desa dan unsur bangsa desa di membikin desa;
  5. kegotongroyongan, ialah kebiasaan berbalas-balasan tolong-menolong untuk membikin desa;
  6.  kekeluargaan, ialah kebiasaan warga bangsa desa sebagai bagian dari ahad ketunggalan keluarga besar bangsa desa;
  7. musyawarah, ialah proses pengutipan dekrit yang menyangkut kepentingan bangsa desa lewat diskusi dengan berbagai bagian yang berkepentingan;
  8. demokrasi, ialah komposisi pengorganisasian bangsa desa di suatu komposisi pemerintahan yang dilakukan akibat bangsa desa alias dengan izin bangsa desa serta keluhuran harga diri dan derajat bani Adam sebagai makhluk tuhan yang maha ahad diakui, ditata, dan dijamin;
  9. kemandirian, ialah suatu proses yang dilakukan akibat negara desa dan bangsa desa untuk melaksanakan suatu kegiatan di rangka membanjiri kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;

Penetapan UU Desa ini tak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan akal desa di sarwa Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan asak dengan sukacita,  daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, bagi Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat,  berpaham bahwa UU Desa bakal mengendurkan keberadaan distrik di Sumbar sebagai ahad ketunggalan adat, budaya dan baik ekonomi.

Terlepas dari penafian dari LKAAM Sumbar, UU ini secara umum memanipulasi bahan melanggar alas pengaturan, derajat dan model desa, penataan desa, wewenang desa, pengaturan pemerintahan desa, benar dan kewajiban desa dan bangsa desa, anggaran dasar desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, awak usaha eigendom desa, kerja sama desa, dewan sosial desa dan dewan adat desa, serta pembaharuan dan pengawasan. Selain itu, UU ini jua memanipulasi dengan ketentuan khusus yang sekadar berlaku untuk Desa Adat sama dengan diatur di Bab XIII.

Salah ahad poin yang paling kritis di diskusi RUU Desa, ialah terkait catu jumlah untuk desa.  Di di penjelasan Pasal 72 Ayat 2 akan Keuangan Desa. Jumlah catu jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sejumlah 10 bayaran dari dan di dalam dana memindahkan daerah. akhirnya dipertimbangkan kuantitas penduduk, bilangan kemiskinan, luas wilayah, kepelikan geografi. Ini di rangka memajukan menambah bangsa desa.  Selain itu, poin-poin asing yang disepakati ialah terkait era jabatan akal desa. Kemudian diatur jua terkait kesejahteraan akal desa dan perangkat desa. Baik akal desa, maupun perangkat desa kena pemasukan tetap saban bulan dan kena jaminan kesehatan.

Di bidang lain, UU Desa jua mengandung kekurangan. Kekurangan pertama, adanya diskrepansi pemahaman desa adat bagi UU Desa dengan pemahaman desa adat bagi bangsa desa adat itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak pada dana catu kepada saban desa bagi tarikh yang dapat sahaja disalahgunakan. Kemudian, tidak agak-agih secara khusus akan pemasangan perempuan minimum 3o bayaran pada perangkat desa. Selain itu, babak ketersediaan tata kelola yang masih aib dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sedia di desa, jua dapat menghambat tujuan-tujuan yang hendak dicapai selepas ikrar UU Desa.

Maka dari itu, cerita ini bakal menganalisa ekses dan aib dari UU Desa dan jua di keadaan ketersediaan tata kelola serta SDM yang sedia di desa.

ANALISA

Setiap barang hukum, bagaikan Undang-Undang, tidak copot dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada bab pendahuluan, telah diterangkan secara mini ekses dan aib yang sedia di UU Desa. Pada bab analisa ini, cerpenis bakal menganalisa ekses dan aib tersebut.

Kelebihan

Pada UU Desa ini, terdapat poin yang benar telah dicanangkan seputar 7 tarikh lamanya. Yaitu, adanya adat yang berbalah terkait catu jumlah untuk desa. Di di penjelasan Pasal 72 Ayat 2 akan keuangan desa. Jumlah catu jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sejumlah 10 bayaran dari dan di dalam dana memindahkan daerah dengan mempertimbangkan kuantitas penduduk, bilangan kemiskinan, luas wilayah, kepelikan geografi.

Dengan adanya dana catu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, definit diharapkan pembangunan di desa semakin baik dan bakir memakmurkan bangsa desa dengan eksploitasi dana catu secara maksimal. Jika bakir asuh dengan baik dan bijaksana, bahwa bukan keadaan yang bukan-bukan jika bangsa desa yang berada di garis kemiskinan dapat berkurang dan agak-agak sahaja dapat bersaing dengan bangsa desa lainnya alias apalagi bangsa ijmal secara umumnya.

Pada perangkat desa bagaikan akal desa jua tidak luput dari diskusi di UU Desa. akal desa  bagi UU Desa artikel 26 artikel 1, bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, pembaharuan sosial desa, dan pemberdayaan bangsa desa. Pada artikel yang sama di artikel 3 abjad c, dijelaskan bahwa akal desa menerima pemasukan tetap saban bulan, tunjangan, dan akseptasi lainnya yang sah, serta kena jaminan kesehatan. Selain itu, sekalian keadaan yang berangkaian dengan akal desa, baik itu tugas, wewenang, larangan, hingga era jabatan seorang akal desa, jua tertuang di UU Desa. Pada barisan perangkat desa lainnya, bagaikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) jua diberikan penjelasan-penjelasan atas bagaikan barang apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan akibat BPD.

Secara umum, UU Desa telah agak-agih secara sistematis dan bakir memasrahkan hak-hak pada saban desa di Indonesia untuk membeberkan potensi-potensi yang sedia di desanya. Dengan adanya UU ini, bahwa saban desa dapat memakmurkan masyarakatnya bertimbal dengan prakarsanya pada sendiri-sendiri desa. Adanya UU ini jua jadi alas adat yang banyak berfaedah alokasi saban desa, akibat UU ini bisa dijadikan sebagai alas pijakan di menjalankan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, ekses UU Desa yang paling hadir ialah telah adanya alas adat yang bayan alokasi saban desa di Indonesia.

Kekurangan

Di balik kelebihan, definit terdapat pula kekurangan. Begitupula pada UU Desa. Ada berbagai aib yang terdapat di UU Desa. Tidak sekadar di aspek isi, akan tetapi jua di keadaan penerapannya.

Dari aspek isi, terdapat aib pertama di pemahaman desa adat. Sebelum terbitnya UU ini, saban area memegang pemahaman desa adat yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian desa adat ialah tempat pelaksanaan ajaran ajaran di sprit takwa, etika, dan peralatan yang bertalian pada area pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan bagi UU Desa, desa adat ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus bab pemerintahan, kepentingan bangsa selingkung berdasarkan gagasan masyarakat. Maka dari itu, harus sedia penyeragaman pemahaman arti desa adat, agar tidak sedia gelojak dikemudian hari.

Masih di aspek kandungan UU Desa, dikatakan bahwa saban desa bakal mendapatkan dana catu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) paling kurang 10 bayaran saban tahunnya. Maka, dapat diperkirakan saban desa bakal mendapatkan dana seputar 1.2 hingga 1.4 miliar saban tahunnya. Berdasarkan perhitungan di penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari dan memindahkan daerah bagi APBN untuk perangkat desa sejumlah Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan dana dari APBD sejumlah 10 bayaran seputar Rp. 45,4 triliun. Total dana untuk desa ialah Rp. 104, 6 triliun yang bakal dibagi ke 72 mili desa se-Indonesia.

Dengan total dana sebesar itu, tidak bukan-bukan bakal diselewengkan akibat perangkat desa yang tidak bertanggungjawab. Maka, bena adanya pengawasan, di keadaan ini ialah darma BPD dan negara daerah setempat, yang dilakuan secara ajek atas saban desa agar pembangunan desa kian benar sasaran. Masalah lainnya jua bakal ditimbul, ialah adanya perbedaan-perbedaan keadaan alias hal desa yang sedia di Indonesia. Ada desa yang benar telah mandiri dan telah bakir memakmurkan masyarakatnya dengan berbagai cara setelah adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, sedia pula desa yang primitif dan masih belum belum bisa memajukan menambah kesejahteraan masyarakatnya. Jika nantinya bakal dikucurkan dana catu tersebut, dikhawatirkan bakal mubazir alokasi desa maju dan bakal tetap merasa aib alokasi desa tertinggal. Sekali lagi, peran kepam banyak diharapkan bakir melihat eksploitasi dana catu tersebut agar dana catu tersebut benar bahan bertimbal keperluan dan keperluan sendiri-sendiri desa.

Masa jabatan akal desa jua agak-agak sahaja bakal jadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan era jabatan akal desa ialah 6 tarikh dan dapat dipilih kembali di 3 periode, boleh berturut-turut alias tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan bakal lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi, dengan wewenang yang diberikan pada saban akal desa cukup berdikari dan keuntungan-keuntungan jadi akal desa yang dapat mengiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan sekalian cara agar dapat menduduki jabatan sebagai akal desa. Untuk itu, bangsa desa harus awas memilih akal desa yang benar berkompeten di menanggulangi permasalahan-permasalahan yang sedia di desanya. Dengan menggunakan penentuan secara langsung, bangsa desa diharapkan bakir menepatkan orang-orang terbaik di desanya pada saban kedudukan di perangkat desanya, lebih-lebih pada kedudukan akal desa. Tingkatan interes bangsa desa di berdemokrasi, secara tidak langsung, jua bakal berpengaruh di pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan anak buah baik dan benar bakir melampaui permasalahan desa pada babak akal desa, pastilah bakal berakhir afirmatif di perubahan-perubahan yang berjalan ke depannya. Sebaliknya, jika alpa memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan lamun bakal membangkitkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.

Masih berkaitan dengan pentingnya bangsa desa memahami demokrasi, bahwa bangsa desa akan tidak akan harus memegang interpretasi berdemokrasi itu sendiri. Salah ahad caranya ialah dengan jalur pendidikan. Dengan pendidikan yang baik dan benar, bakal menghasilkan bangsa desa yang melek berdemokrasi dan jua dapat memasrahkan kontribusi atas pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda sedia pada saban desa. Peran pemerintah, baik negara fokus maupun negara daerah, jua harus bakir berdansa yad di memajukan menambah SDM bangsa desa ini. Mengenai SDM, jua berkaitan erat dengan tata kelola yang bakal dikerjakan akibat perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di suatu desa, jua bakal berakhir baik atas tata kelola pemerintahan desanya.

Lalu, pada pemasangan perangkat desa itu sendiri, UU Desa tidak secara khusus agak-agih akan eksistensi perempuan minimum 30 bayaran di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, akibat nir- cukup perempuan-perempuan di desa sekadar bakal dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya perempuan di perangkat desa, diharapkan dapat mengalirkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di desa tersebut.

Dari sekian ekses dan aib yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memasrahkan akreditasi atas saban desa yang sedia di Indonesia sebagai ujung tombak pemerintahan. UU ini jua memasrahkan keleluasaan pada saban desa untuk memanipulasi pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa desa.

UU Desa bakal aktif baik jika segala bagian berbalas-balasan mendukung dan berbalas-balasan mengakomodasi di menjalankan amanah UU tersebut. Jika segala bagian bakir menjalankan darma dan fungsinya bertimbal dengan yang diamanahkan, bahwa bukan tidak agak-agak pembangunan di desa bakal semakin baik dan dapat memakmurkan bangsa desa itu sorangan serta mengakomodasi pembangunan nasional secara keseluruhan.

PENUTUP

Kesimpulan

Setiap barang hukum, bagaikan Undang-Undang , tidak copot dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun ekses UU Desa yang paling hadir ialah eksploitasi UU Desa sebagai alas pijakan dan alas adat yang bayan alokasi saban desa di Indonesia. Sedangkan, aib UU Desa terletak pada pemahaman desa adat yang berparak dengan pemahaman bangsa desa adat itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak sahaja bakal membangkitkan dampak dikemudian hari jika tidak ditanggulangi dari diri. Dana catu yang berawal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong cukup besar atas saban desa bagi tahunnya, jua bisa jadi permasalahan jika tidak diawasi secara maksimum dan berkala. Kemudian, tidak adanya diskusi secara khusus pada UU Desa akan pemasangan perempuan minimum 30 bayaran pada perangkat desa. Dan yang terutama adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sedia di desa untuk menjalankan UU Desa ini dan tentunya bakal berakhir atas tata kelola pemerintahan desa itu sendiri.

Saran

Saran dari penulisan ini ialah harus adanya kepam yang energik dan ajek untuk bisa mengawal UU Desa ini di menjalankan amanah-amanahnya. Terutama, di kepam eksploitasi dana catu atas saban desa bagi tahunnya yang mengharukan dimanfaatkan akibat sebutir anak buah yang tidak bertanggungjawab. Pengawasan ini sendiri, bisa dari Badan Permusyawaran Desa (BPD) setempat, negara daerah selingkung dan jua bisa dari bangsa desa itu sendiri. Dengan adanya kepam di eksploitasi dana catu tersebut, diharapkan eksploitasi dana catu dapat benar bahan dan dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa desa.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

http://setkab.go.id/berita-11923-presiden-teken-uu-desa-kepala-desa-kini-dapat-gaji-dan-tunjangantetap.html (diakses coplok 15 juni 2014).

http://www.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa-2014/1/Nasional/Opini (diakses coplok 15 juni 2014).

http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desa-terbaru.html (diakses coplok 15 juni 2014).

http://www.yipd.or.id/en/articles/tentang-undang-undang-desa (diakses coplok 15 juni 2014).

http://hariansinggalang.co.id/lkaam-se-sumbar-kukuh-tolak-uu-desa/ (diakses coplok 15 juni 2014).

http://metrobali.com/2014/04/19/bali-dalam-dilema-uu-desa/ (diakses coplok 15 juni 2014).

Pertanyaan pertama aktual terkait dengan derajat Desa di kondisi pembentuk anggaran dasar perundang-undangan (peraturan desa) pada era Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 yang berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 telah tidak berlaku pada era telah diatur dengan undang-undang (semenjak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 akan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Untuk memahami keadaan tersebut, harus diketahui lebih-lebih berlalu kelanjutan derajat desa secara umum.

Memosisikan derajat desa dan Kepala Desa di ketatanegaraan Indonesia harus dipahami sebagai pengaturan bab yang dilaksanakan di rangka pemerintahan di arti luas, untuk melayani masyarakat. Perlekatan melanggar ketatanegaraan barangkali kian baik dikesampingkan lebih-lebih berlalu akibat jumlah alasan. Faktor elementer ialah bahwa persepsi melanggar bab dan kelembagaan ketatanegaraan berparak dengan bab dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat dikuatkan akibat penjelasan Bagir Manan bahwa akibat konstitusi/Undang-Undang Dasar merupakan kaidah alas alokasi segala bidang hukum, belum definit kaidah yang diatur merupakan kaidah ketatanegaraan. Begitu pula lembaga-lembaga yang terdapat di Undang-Undang Dasar belum definit merupakan dewan yang bersifat ketatanegaraan (Manan: 2009).

Adapun di dalamnya terdapat diseminasi kekuasaan secara lurus (kekuasaan negara Pusat dan Daerah), ala kadarnya pada barisan pemerintahan mana yang diberikan kekuasaan di undang-undang (Anwar: 1999). UUD 1945 sorangan secara eksplist memanipulasi barisan pemerintahan yang mempunyai pemerintahan daerah sekadar Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 artikel (1) UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka ketatanegaraan harus dibatasi hingga donasi kekuasaan antara Pusat dan Daerah, kecuali definit sahaja struktur ketatanegaraan secara fundamental, donasi kekuasaan di antara struktur ketatanegaraan secara fundamental, dan jaminan benar asasi bani Adam (Sri Soemantri: 2006).

Kedudukan Desa (atau nama lainnya), di UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara memasrahkan akreditasi dan penghormatan atas desa sebagai kesatuan-­kesatuan masyarakat adat adat serta hak-­hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan bertimbal dengan perkembang-an bangsa dan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang­Undang (Ranggawidjaja: 2013).

Landasan ini melepaskan antara barisan pemerintahan daerah yang diberi independensi dengan ketunggalan bangsa hukum. Urusan yang dikelola akibat barisan pemerintahan daerah menunjukkan difusi kekuasaan, sementara, kekal masih ada, bab yang dikelola akibat Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap dimungkinkan terdapat darma pembantuan yang diberikan akibat Kabupaten, Provinsi, maupun Pemerintah Pusat.

Dalam UU ini, “Desa ialah desa dan desa adat alias yang disebut dengan nama lain, berikut disebut Desa, ialah ketunggalan bangsa adat yang memegang aras area yang berwenang untuk memanipulasi dan mengurus bab pemerintahan, kepentingan bangsa selingkung berdasarkan gagasan masyarakat, benar awal usul, dan/atau benar tradisional yang diakui dan dihormati di komposisi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Pasal 1).

Sedang derajat desa tercermin di Pasal 2 dan Pasal 5 undang-undang tersebut, yaitu: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembaharuan sosial Desa, dan pemberdayaan bangsa Desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dan di artikel 5, Desa berkedudukan di area Kabupaten/Kota” (Pasal 5).

Ketentuan di arah membenarkan derajat Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini pula yang membentuk Peraturan Desa arah alas Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 artikel (7) abjad c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 artikel (2) abjad c) sebagai alpa ahad model anggaran dasar perundang-undangan sebagai bagian dari anggaran dasar daerah. Tetapi di UU No. 12 Tahun 2011 akan Pembentukan Praturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tidak dikategorikan sebagai anggaran dasar daerah berdasarkan kendatipun undang-undang tersebut mengakui eksistensi “peraturan yang ditetapkan akibat akal desa alias administratur yang setingkat” (vide Pasal 8 artikel (1)).

Dengan begini pemerintahan desa yang sedia sekarang ialah kelanjutan dari pemerintahan desa jaman dahulu, sekadar sahaja pemerintahan desa sekarang telah kematian “rohnya” sebagai desa yang mandiri. Desa yang sedia sekarang bukan lagi sebagai ”inlandsche gemeenten”, ialah sebagai pemerintahan asli anak Indonesia. Pemerintahan Desa sekarang kian benar disebut pemerintahan semu alias bayang-bayang (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).

UU No. 32 Tahun 2004 akan Pemerintahan Daerah masih mengakui eksistensi pemerintahan desa lamun jua tidak bermaksud untuk tetap membela komposisi pemerintahan desa ini di komposisi pemerintahan daerah di Indonesia. Hal ini bagi Rosjidi Ranggawdjaja (2013) dapat dilihat dari adanya keahlian untuk membarui kedudukan desa jadi kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang jadi bagian dari pemerintahan daerah kabupaten/kota dan menjalankan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, undang-undang ini seolah-olah menempatkan derajat kelurahan seolah-olah kian baik dari desa yang menjalankan desentralisasi dengan adanya syarat eksklusif berdasarkan kuantitas penduduk, luas area dll apabila suatu desa hendak diubah statusnya jadi kelurahan. Hal ini bagi Rosjidi Ranggawdjaja (2013) mengarah kepada kehendak untuk dilaksanakannya dekonsentrasi alias sentralisasi.

Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 akan Pemerintahan Desaberlanjut hingga UU No. 6 Tahun 2014 akan Desa, pertama dilihat dari derajat serta pengisian jabatan Kepala Desa dan pemasukan Pemerintah Desa. Pertama, kedudukan Kepala Desa ialah sebagai pimpinan Pemerintah Desa alias yang disebut dengan nama asing dan yang dibantu akibat perangkat Desa alias yang disebut dengan nama asing (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung akibat orang Desa (Pasal 34 (1)), ikrar (Pasal 37 (5)) dan pelantikan (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan akibat Bupati/Walikota.

Kedua, pelantikan tersebut linier dengan pemasukan Kepala Desa. Pasal 66 (1) menyahihkan bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa mendapat pemasukan tetap saban bulan ditambah dengan jaminan kesehatan dan dapat mendapat akseptasi lainnya yang absah (ayat (4)). Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari dana nisbah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima akibat Kabupaten/Kota dan ditetapkan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 artikel (2)).

Selain pemasukan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 artikel (3)). Skema sumber harta Kepala Desa tersebut menunjukkan ketergantungan keuangan yang cukup besar alokasi pengaturan Pemerintahan Desa. Gerusan atas independensi Desa juga diperkuat lagi di pembuatan Desa. Walaupun belum definit sifat aluran dan hak-hak tradisional bangsa Desa serta merta hilang akibat kebijakan pelebaran Desa, eksistensi Desa secara absah tidak lagi merupakan komune baik yang berkembang lewat ikatan sosiologis.

Pengaturan baru akan Desa di UU No. 6 Tahun 2014 tidak berimplikasi pada alterasi kedudukan akal desa jadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan akal desa dari dahulu, kendatipun menganjuri barisan pemerintahan yang bersifat bebas (desa) tidak bertindak untuk dan arah nama negara sama dengan huruf yang melekat pada “pejabat negara”.Namun tetap sebagai administratur pemerintahan akibat merupakan alpa ahad penyelenggara pemerintahan desa. Penjelasan kian lanjut melanggar diskrepansi antara administratur negara dan administratur pemerintahan dapat merujuk artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan. Semoga bermanfaat.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Dasar 1945
  2. Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
  3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 akan Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
  4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 akan Pemerintahan Desa
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 akan Pemerintahan Daerah
  6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 akan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
  7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 akan Desa

Referensi:

  1. Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.
  2. Manan, Bagir. 2009. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia.
  3. Ranggawidjaja, Rosjidi. 2013. “Pasal 18B artikel (2)”, di Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad.
  4. Soemantri, Sri. 2006. Sistem dan Prosedur Konstitusi. Bandung: Alumni.

[1] Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia Bandung, 2014, Hlm. 79.

[2] Internet

[3] Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LPFE UI,1984), hlm. 1-18. Lihat juga. Prof. Sayogjo, “Pengantar” di Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, (Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001), hlm. xiv-xv.

[4] Francis Wahono, “Bersekongkol alias Saling Kontrol”, dalam  Duto Sosialismanto, Ibid, hlm. Xxi.

[5] Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007, hlm. 2.

[6] Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 akan Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor32 Tahun 2004 akan Pemerintahan Daerah dan Undang Undang  Nomor 6 Tahun 2014 tentang  Desa.

[7] Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan pada Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014, Hlm. 12.

[8] Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 12.

[9] Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 13.

[10] Prinsip independensi seluas-luasnya di arti  daerah/desa diberikan wewenang mengurus dan memanipulasi segala bab pemerintahan di dalam yang jadi bab Pemerintah yang ditetapkan di Undang-Undang ini. Daerah/Desa memegang wewenang membuat kebijakan daerah/desa untuk bersedekah pelayanan, eskalasi peranserta,  gagasan dan pemberdayaan bangsa yang bertujuan pada eskalasi kesejahteraan rakyat. Otonomi nyata ialah suatu prinsip  bahwa untuk menangani bab pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, kekuasaan dan kewajiban yang senyatanya telah sedia dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan mekar bertimbal dengan daya dan idiosinkrasi daerah/Desa. Sedangkan independensi yang bertanggungjawab ialah independensi yang di penyelenggaraannya harus benar-benar searah dengan tujuan dan arah amal otonomi, yang pada dasarnya untuk menguatkan daerah/Desa termasuk memajukan menambah kesejahteraan anak buah yang merupakan bagian elementer dari tujuan nasional.

[11] Taliziduhu Ndraha, “Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi”, di Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa mengarah Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.

[12] Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011, Hlm. 170.

[13] Pasal 4 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang  Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5-6.

[14] Pasal 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang  Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5.

[15] Konsideran Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fukusmedia, Bandung, 2014, Hlm.1

[16] Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.

[17] Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014 dan Perubahan Sosial, tp://sosbud.kompasiana.com/2014/03/12/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html

[18] Rosjidi Ranggawidjaja, “Pasal 18B artikel (2)”, di Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.

[19] Ibid, Rosjidi Ranggawidjaja, 2013.

[20] Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

[21] Ibid, Irawan Rumekso.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

Sekian detil perihal Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center for Security and Welfare Studies semoga info ini bermanfaat terima kasih

Tulisan ini diposting pada kategori jiwa sosial, jiwa sosialitas, jiwa sosialita adalah,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, Dan Marginal Rate Of Substitution Pengertian Marginal Utility

Hallo, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawa pembahasan mengenai pengertian marginal utility Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, dan Marginal Rate of Substitution simak selengkapnya Untuk barang kali ini kita bakal belajar atas aturan utilitas ( utility theory ), pengertian marginal utility , ancangan marginal utility dan indifference curve di mahir gajak konsumen, serta pengertian marginal rate of substitution . 1. TEORI UTILITAS. Pada bagian ini kita bakal mahir coret-coretan alas utilitas, pengertian marginal utility , serta the law of diminishing marginal utility . 1.1. Konsep Dasar Utilitas. Secara leksikal, kata utilitas ( utility ) dimaknai sebagai ‘the quality or state of being useful‘ ( www.merriam-webster.com ). Dalam hal ini, utilitas memberitahukan derajat kemanfaatan suatu objek. Sementara di ilmu ekonomi, konsep utilitas memberitahukan babak kegembiraan pelaku ekonomi tempat konsumsi barang/jasa

91 Media Sosial: Pengertian, Karakteristik Dan Jenis Jenis Media Sosial Jenis Sosial Media

Hohoho, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membahas tentang jenis sosial media 91 Media Sosial: Pengertian, Karakteristik dan Jenis Jenis Media Sosial simak selengkapnya 91 Media Sosial: Pengertian, Karakteristik dengan Jenis Jenis Media Sosial 1 (20%) 1 vote[s] Media Sosial: Pengertian, Karakteristik dengan Jenisnya Pengertian Media Sosial (Social Media) merupakan satu sarana ataupun sebagai got pertalian sosial interaksi menurut Online dilakukan pada dunia maya “Internet”. Para pemakai ataupun disebut sebagai User Sosial media melancarkan komunikasi, Interaksi, Kirim pesan serta bisa melancarkan saling berbagi (Share), ataupun membangun jaringan (networking). Saat ini hampir semua anak Adam melancarkan kegiatan bersosial media setiap harinya baik di gunakan untuk kebutuhan bisnis ataupun sekedar hiburan hubungan saja. Biasanya orang-orang hendak mencari mengenai definisi media sosial di Search Engine Google, adalah dengan mengetikan Keyword

5 Negara Ini Punya Kekuatan Untuk Membentuk Budaya Global Budaya Global

Allow, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan dibahas mengenai budaya global 5 Negara Ini Punya Kekuatan untuk Membentuk Budaya Global simak selengkapnya Liputan6.com, Jakarta - Jika berbicara atas pengaruh global, tolak ukur yeng berderit-derit digunakan merupakan atas seberapa besar kekuatan militer, politik, dan ekonomi. Namun, untuk kaum negara, kekuatan budaya justru bakir melepaskan dampak yang lebih luas secara global. Baru-baru ini, lembaga peneliti sosial U.S. News and World Report merilis catatan kaliber daerah yang membentuk budaya global, di mana penilaiannya didasarkan pada faktor-faktor bagaikan kaki gengsi, trendi, indeks kebahagiaan, modernitas, dan kaum pembudidayaan idiosinkratis bagaikan industri lipuran misalnya. Dikutip dari BBC pada Minggu (8/7/2018), sebagian besar dari 10 daerah teratas di catatan kaliber tercantol berasal dari Eropa. Di luar kawasan tersebut, ada kaum daerah yang meraih predikat khusus, bagaikan Jep