Ulama Dan Pilpres | Republika Online Berbagai Perbedaan Sosial Budaya Yang Disikapi Secara Bijaksana
Hohoho, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", di kesempatan akan menjelaskan mengenai berbagai perbedaan sosial budaya yang disikapi secara bijaksana Ulama dan Pilpres | Republika Online simak selengkapnya
Mendekati perhelatan akbar pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung ala 9 Juli mendatang, iklim politik pada negeri terasa bertambah memanas. Berbagai strategi buat menarik simpati asosiasi menduga dilakukan bagi sendiri-sendiri capres, ayu Prabowo Subianto (Prabowo) maupun Joko Widodo (Jokowi). Salah satu strategi yang dimainkan bagi sendiri-sendiri kubu tersebut merupakan dengan melakukan safari politik kepada sebesar ulama yang menjalar di berbagai wilayah Indonesia.
Ulama merupakan sebentuk gelar keagamaan. Kata ulama berawal dari bahasa Arab, bentuk plural dari kata 'alim yang berarti anak Adam yang berilmu ataupun ilmuwan. Setelah diserap ke pada bahasa Indonesia, kata ulama mengalami alterasi semantik yaitu "orang yang bernas pada disiplin ajaran Islam". Menurut Muhammad Quraish Shihab, pakar eksplanasi kontemporer Indonesia, ulama ialah anak Adam yang mempunyai pengetahuan atas ayat-ayat Allah SWT, ayu yang bersifat kauniyyah (fenomena alam) maupun qur'aniyyah (mengenai kandungan Alquran).
Dan atas pengetahuan yang begitu komprehensif, ulama beroleh gelar "pewaris getah perca nabi" (waratsat al-anbiya) pada menegakkan ajaran agama. Dalam sebentuk hadis, Nabi membuat tamsil (perumpamaan) atas ulama, yaitu: "Perumpamaan ulama di bumi merupakan seperti bintang-bintang di langit yang melepaskan ajaran di pada kegelapan bumi dan laut. Apabila dirinya terbenam, maka jalan akan kabur." (HR Imam Ahmad).

Dengan gelar "pewaris getah perca nabi", tentu ulama memiliki darma utama yang tidak jauh jarak dengan darma kenabian. Dalam hal ini, Masykuri Abdillah (1999) menjelaskan bahwa ala umum, kapasitas dan fungsi ulama merupakan amar ma'ruf nahi munkar. Artinya bahwa ulama memiliki darma profetik, yaitu sebagai atasan anak Adam buat berkelaluan melantamkan kealiman dan mengambang kemungkaran. Dan ala terperinci, ulama memiliki empat darma utama, yaitu pertama, mendidik anak Adam di bidang ajaran dan lainnya. Yaitu bahwa seorang ulama kudu memiliki pengetahuan keyakinan ala ensiklopedis beserta amuh mengajarkan kepada umat. Kedua, melakukan kontrol akan masyarakat. Artinya bahwa seorang ulama kudu aktif me-monitoring dinamika kehidupan umat.
Ketiga, memecahkan problem yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa seorang ulama kudu responsif akan berbagai persoalan yang dihadapi bagi umat. Keempat, jadi agen alterasi sosial. Yaitu bahwa ulama merupakan poros daya anak Adam sehingga memiliki energi besar membantu pemerintah pada upaya mewujudkan civil society. Dari uraian tersebut boleh dipahami bahwa kapasitas dan fungsi ulama tidak cukup dilihat dari perspektif keyakinan saja, akan tetapi juga perlu dilihat dari berbagai aspek seperti sosio-historis, budaya, maupun politik.
Di Indonesia, kapasitas dan fungsi ulama pada kancah politik menduga lama jadi polemik yang bising diperbincangkan, ayu bagi kalangan ulama itu sendiri maupun asosiasi Islam ala umumnya. Di kalangan masyarakat, banyak yang akur bahwa ulama perlu masuk pada ranah politik, akan tetapi banyak pula yang menolak. Tentu keduanya memiliki argumen yang sama-sama kuat. Bagi yang setuju, membayangkan beragumen bahwa politik merupakan alat ataupun sarana buat menata hajat berjiwa anak Adam banyak. Oleh atas itu, politik kudu dikuasi bagi orang-orang ayu yang memiliki pengetahuan komprehensif, terbabit pada hal keyakinan sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar buat kepentingan ummat dan bangsa.
Sedangkan bagi yang menolak, membayangkan berpandangan bahwa politik itu kotor, penuh intrik beserta kamuflase. Hal ini berlandaskan ala potret buram gelora perpolitikan Indonesia, seperti maraknya kasus manipulasi di berbagai sektor pemerintahan, seperti sektor migas, pendidikan, kepemudaan, keagamaan, justru di lembaga-lembaga penegak hukum juga banyak terjadi praktik manipulasi .
Dalam kondisi sistem daerah demokrasi seperti di Indonesia, ala struktural, ulama tidak memiliki kapasitas dan posisi strategis di pemerintahan, sehingga ulama tidak boleh mengeluarkan kebijakan politik; yang mana kebijakan tersebut dilegitimasi bagi undang-undang. Meski demikian, pada kondisi nonstruktural pemerintahan, ulama memiliki kapasitas dan pengaruh yang sangat besar akan gelora perpolitikan Indonesia, mengingat mayoritas penduduknya merupakan beragama Islam.
Tak perlu bingung
Pasca-Prabowo dan Jokowi mendeklarasikan badan sebagai aspiran presiden (capres), banyak asosiasi Muslim, khususnya membayangkan yang bergenre santri merasa bingung kudu memilah capres yang mana. Pasalnya, jumlah waktu selepas pendeklarasian capres, kemudian disusul dengan adanya perbedaan dukungan di kalangan ulama akan capres tersebut. Dan perlu diketahui bahwa asosiasi Muslim, khususnya yang bergenre santri, memiliki keandalan yang lebih agung akan ulama dibanding asosiasi Muslim ala umumnya.
Ketaatan tersebut tidak hanya pada hal keyakinan dan kemasyarakatan saja, akan tetapi juga pada hal politik. Artinya bahwa ketika seorang ulama memiliki ajaran politik yang berbeda dengan ulama lain, maka asosiasi akan merasa bingung; ulama manakah mana yang kudu diikuti?
Dalam kondisi sebagai konstituen, antara ulama dan asosiasi ala umumnya memang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ulama berdikari memilah capres sesuai dengan hasil ijtihad politiknya. Oleh atas itu, perbedaan tersebut merupakan sah-sah sahaja dan kudu dipahami beserta disikapi ala bajik dan bijaksana bagi seluruh elemen masyarakat. Karena, siapa juga capres yang akan terpilih nantinya, dirinya merupakan atasan bangsa Indonesia yang hendaklah dipatuhi bersama.
Menanggapi masalah tersebut di atas, meskipun ulama memiliki kebebasan menentukan sikap politik, selayaknya ulama bisa memosisikan dan menjabat badan sebagai sosok yang moderat. Selain itu, ulama juga mampu memberikan perspektif politik yang ensiklopedis dan bijaksana kepada khalayak sehingga boleh memberikan pencerahan beserta meredam gejolak politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kerukunan, keharmonisan, dan persatuan anak Adam boleh terus terjaga.
Wallahu a'lam bi al-shawab.
Faedurrohman
Dosen STEBANK Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Persepektif Republika.co.id, Klik di Sini
Oke penjelasan mengenai Ulama dan Pilpres | Republika Online semoga info ini berfaedah salam
Artikel ini diposting pada label
Komentar
Posting Komentar