Allow, selamat pagi di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan membawakan mengenai bahasa dan budaya Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad simak selengkapnya.
Candi Muara Takus tahun 1933. (Tropenmuseum).
Sriwijaya mulai berkembang sebagai kerajaan maritim paling tidak sejak era ke-7. Namanya melesap ala era ke-12. Ahli sejarah dengan arkeologi terdahulu menganggap Sriwijaya sebuah imperium. Artinya, sekadar satu kekuatan garis haluan yang menguasai beberapa kelompok kaum alias negara dalam suatu alam yang luas.
Namun, berdasarkan kajian epigrafi, sejarawan Jerman, Herman Kulke, memperlihatkan Sriwijaya bertambah merupakan sebentuk kadatuan. Ia membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya.
Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, sepakat bahwa Sriwijaya tidak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, alias keraton. Arkeolog dengan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai alam yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu kembali sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti area bercokol alias keratonnya.
Kadatuan Sriwijaya, kata Ninie, diakui kedaulatannya oleh alam Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dengan Batu Raja. “Batu Raja adalah batu bertulis terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Komering Ulu,” kata Ninie, yang meyakini Kadatuan Sriwijaya berpusat di Sumatra Selatan.
Ninie menjelaskan bagaimana Sriwijaya melatih rezim maritim. Sebagaimana diungkapkan Herman Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya, bahwa terdapat bangsa yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, bangsa ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh karet datu yang otonom dengan memiliki privasi,” kata Ninie.
Dalam tulisannya, “Kadatuan Srivijaya Imperium alias Kraton Srivijaya?” Kulke menganalisis datu yang menganjuri Sriwijaya berkedudukan di pusat. Tempat tinggalnya, Kadatuan Sriwijaya, bukanlah kota berpagar tembok. Namun dibentengi oleh tiang-tiang pancang kayu.
Kadatuan Sriwijaya, seperti diungkap dalam prasasti-prasastinya, dilindungi oleh batara (devata), kemungkinan besar karet leluhur yang didewakan. “Ini menjadi akar otoritasnya sebagai datu dan justru dapunta hyam (gelar yang dipakai si datu, red.) bersifat kependetaan,” catat Kulke.
Sang datu juga menganjuri balatentara (vala) yang kuat, memiliki staf pejabat, dengan abdi (huluntuhan) yang cukup berkembang dengan siap melakukan perintahnya.
Kadatuan Sriwijaya dikelilingi oleh alun-alun yang disebut vanua, terdiri dari beberapa desa beserta lahannya. Inilah zona pertanian, kerajinan, dengan perdagangan yang padat penduduk. Kata vanua dijumpai dalam tiga batu bertulis yang menyebut "vanua Sriwijaya" (Prasasti Kedukan Bukit), biara “di vanua ini” (kepingan batu bertulis e), dengan "smaryyada vanua ini" (Prasasti Sabokingking [SKK] atau Telaga Batu), secara berturut-turut.
Sangat mungkin, seluruh alun-alun vanua beserta kadatuan, pasar, biara, taman, dengan desa-desanya dianggap sebagai fokus urban Sriwijaya. Zona inilah yang kebolehjadian besar dinamakan nagara atau pura di tempat-tempat lain di Asia Tenggara. Misalnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa ala pertengahan era ke-5 M.
Kadatuan dan vanua itu dikelilingi kembali oleh apa yang disebut dalam Prasasti SKK dengan samaryyāda. Ini merujuk ala desa-desa lokal yang ada di alun-alun sekitar Sriwijaya. Menurut bukti epigrafis, kadatuan-kadatuan itu dipimpin karet datu yang bercokol di desa-desa mengatur sendiri.
Ungkapan samaryyāda berbentuk mengingat lokasi geografis Sriwijaya yang khas. Pusat Sriwijaya bukan benar-benar ada di ceruk dengan bukan kembali di bandara laut. Jaringan persungaian yang meluas ke arah atas dari Palembang, dengan darat yang cukup bujur di perbatasan Sungai Musi yang menghilir dari Palembang ke laut, mungkin bukan sepenuhnya bagian dari alun-alun sari datu Sriwijaya. Melainkan bagian dari samaryyāda yang ada di sekitar kadatuan Sriwijaya.
Padahal akses barang dagangan dari hutan-hutan di alam ceruk penting alokasi Sriwijaya. Pun alokasi kedamaian Sriwijaya. Karena memiliki akses akan laut serta ikatan bisnis internasional, maka kawasan-kawasan samaryyāda kemudian berada di bawah kekuasaan langsung karet abdi (huluntuhan) Sriwijaya.
Sementara di luar itu, ada datu-datu lainnya yang jelas bertambah awet sebagaimana datu Sriwijaya. Mereka memiliki vanua sorangan dengan samaryyāda dengan justru tanah yang baru diperoleh. Masing-masing alam datu yang awet ini disebut sebagai satu kesatuan mandala yang ada di dalam bhumi Sriwijaya.
“Namun, tidak satu juga di antara datu-datu ini, baik yang di ceruk samaryyāda Sriwijaya meskipun di mandala-mandala yang antara diizinkan mengklaim secara sah beberapa alias justru ketujuh piranti pembentuk otoritas Sriwijaya,” catat Kulke.
Baca juga: Pemberontakan Terhadap Sriwijaya
Dalam kasus Sriwijaya awal, awam datu tampaknya adalah bos lokal. Dia bukan seperti gubernur provinsi. Kedudukannya mungkin mirip dengan karet ratu di Jawa ala masa pra-Sailendra.
“Sebagian besar datu Sriwijaya dahulu mungkin sebagai bos nasional lama yang setelah dikalahkan dipasang lagi dengan diakui domisili mengatur awal oleh datu Sriwijaya yang bertambah berkuasa, dengan kondisi mengatur mengakui otoritasnya,” catat Kulke.
Kendati begitu jelas bisa diduga semua datu memiliki juga batara leluhurnya sendiri. Sebagian dari mengatur mungkin juga bercokol di puri, yang mungkin tidak antara beda dengan miliki datu Sriwijaya.
Namun, tentunya tidak ada datu yang diizinkan membangun sistem mandala-mandala bawahan sendiri. Ini pembatasan paling signifikan alokasi terbentuknya sistem garis haluan bhumi mirip Sriwijaya.
“Delapan komponen yang melatih kenegaraan Sriwijaya dahulu adalah kadatuan, devata, huluntuhan, vala, puhavam (nakhoda, red.), vaniyaga (pedagang, red.), mandala, dan bhumi,” catat Kulke.
Dalam hal ini, perdagangan luar negeri jelas merupakan salah satu unsur terpenting kenegaraan Sriwijaya. Namun, nakhoda dengan pedagang sekadar disebut satu kali dalam daftar bujur ala dahulu Prasasti SKK.
“Jelaslah bahwa prasasti-prasasti itu bertambah mementingkan kekuasaan garis haluan aktual dengan kekuasaan di dalam alun-alun sari Sriwijaya dengan mandala-mandala daripada ikatan internasionalnya,” catat Kulke.
Uniknya, perkembangan Sriwijaya ke depan adalah kekhasannya. Ia tidak pernah berhasil atau malah tidak berusaha mengubah bentuk garis haluan bhumi-nya.
Menurut Kulke, tidak mustahil, keengganan Sriwijaya menjadi kerajaan imperial yang memungkinkannya bertahan bertambah dari 500 tahun. Umur bujur Sriwijaya justru dilandasi oleh tiadanya ciri struktural yang dianggap oleh karet sejarawan sebagai pembatasan sebentuk kerajaan tulen. Dengan demikian, bertambah awet daripada banyak kerajaan yang bertambah terpusat. Bahkan bergenerasi-generasi memainkan fungsi utama dalam sejarah Asia Tenggara.
Oke penjelasan perihal Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad semoga tulisan ini berfaedah salam
Tulisan ini diposting pada kategori bahasa dan budaya, bahasa dan budaya dalam kepariwisataan, bahasa dan budaya jepang unpad,
Komentar
Posting Komentar