Hohoho, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", di kesempatan akan dibahas tentang budaya feodal Pengamat: Pasal Penghinaan Presiden Kembalikan Budaya Feodal simak selengkapnya.
TEMPO.CO, Jakarta – Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang tengah dibahas antara pemerintah dan DPR, muncul pasal 263 bagian 1 tentang penghinaan presiden. Dalam pasal tersebut, seseorang yang seranta penghinaan atas kepala atau wakil kepala dapat dipidana paling lama 5 warsa penjara.
Ahli hukum pidana, Hery Firmansyah menilai, rumusan itu mengembalikan budaya aristokratis dari zaman kolonial Belanda. “Ini mindsetnya feodal. Pasal ini digunakan zaman kolonial untuk membungkam aktivis,” bicara Hery di Menteng, Jakarta Pusat atas Sabtu, 3 Februari 2018.
Baca: Masuk RKUHP, Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Terkait Pemilu
Hery menuturkan, kepala dan wakil kepala tidak bisa dianggap sebagai karakter negara, sehingga penghinaan atas keduanya ditafsirkan sebagai penghinaan atas negara.
Menurut Hery, prospek itu sekadar berlaku di negara-negara yang berbentuk monarki. Bahkan, bicara dia, seperjalanan kelanjutan peradaban, hukum bab penghinaan atas pemerintah tidak pernah diberlakukan.
Hery berpendapat, kepala atau wakil kepala memiliki persamaan di muka hukum. "Penghinaan sekadar menyangkut bab personal," ujarnya. Maka, berdasarkan dia, kepala dan wakil kepala tidak harus diatur tersendiri karena keduanya adalah subjek hukum yang sama dengan masyarakat.
Baca: Fahri Hamzah: Pasal Penghinaan Presiden Tak Perlu Masuk RKUHP
Terlebih, berdasarkan Hery, hukum ini membatasi bagian untuk berpendapat. Ia menuturkan, harus dibedakan antara catatan dan penghinaan. "Orang yang menghina dan mempertimbangkan tidak bisa disamakan di hal pidana," ujarnya.
Aturan ini, berdasarkan Hery, bsa saja diselewengkan oleh blok tertentu untuk membungkam catatan dari asosiasi atas pemerintahan penguasa. “Ini penyusupan perembesan hukum. Kenapa kejelasan hukum tidak dikejar,” bicara dia.
Mahkamah Konstitusi telah melikuidasi hukum itu di KUHP atas warsa 2006 karena dinilai melindungi kekuasaan. Menurut Hery, legislator tidak boleh mengesampingkan putusan MK tersebut. Dalam pertimbangan MK, pasal tersebut dinilai tidak jelas dan menjadi multitafsir. “Pasal ini berpotensi manipulatif. Jika catatan ditafsirkan oleh administrator sebagai tindakan penghinaan alkisah tidak ada kejelasan hukum,” ujar Hery.
Begitulah penjelasan perihal Pengamat: Pasal Penghinaan Presiden Kembalikan Budaya Feodal semoga tulisan ini bermanfaat salam
Tulisan ini diposting pada tag budaya feodal, budaya feodalistik adalah, budaya feodalisme-patriarki,
Komentar
Posting Komentar