Langsung ke konten utama

(PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA Sosiologi Budaya

(PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA

Allow, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan menjelaskan tentang sosiologi budaya (PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA simak selengkapnya

We use cookies to offer you a better experience, personalize content, tailor advertising, provide social media features, and better understand the use of our services.

To learn more or modify/prevent the use of cookies, see our Cookie Policy and Privacy Policy.

(PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA

ABSTRAK article, the author wanted to explain about the human condition of Indonesia which experienced varying degrees of decadence, thus impacting the development of Indonesia's state-halting. There are two reasons why the Indonesia experience multidimensional problems, namely the existence of the nation's system of cultural values and heritage of colonization negative impact on the people of Indonesia. To overcome this problem, one solution is to use a sociological approach to the culture of the theory of Parsons and Kluckohn Talcot. Although the two are not necessarily theoretically able to answer a wide range of problems that exist in Indonesia, but at least it can be ground.

MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA

1

2

ABSTRAK

article, the author wanted to explain about the human condition of

(PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA

Indonesia which experienced varying degrees of decadence, thus

impacting the development of Indonesia's state-halting. There are two

reasons why the Indonesia experience multidimensional problems, namely the existence

of the nation's system of cultural values and heritage of colonization negative impact on

the people of Indonesia. To overcome this problem, one solution is to use a sociological

approach to the culture of the theory of Parsons and Kluckohn Talcot. Although the two

are not necessarily theoretically able to answer a wide range of problems that exist in

Indonesia, but at least it can be ground.

KATA KUNCI:Manusia Indonesia, ilmu masyarakat budaya

1

2

Dosen Prodi PPKn FKIP UNS

Moh. Muchtarom: Manusia Indonesia di Dimensi Sosiologi Budaya...

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia telah mengalami

perubahan yang banyak radikal di segala

lini kehidupan. Baik dalam dimensi

politik, sosial, budaya, ekonomi, dan

sebagainya.

Keberlangsungan kehidupan berbangsa

dan bernegara seakan-akan terputus

dengan sejarah masa lalu, dimana nilai-

nilai ideologi bangsa, sosial, budaya, dan

nilai-nilai agama kurang mendapatkan

perhatian yang selayaknya, kebinekaan

dalam kesatuan mulai memudar, dan

pembangunan spiritual serta material

belum mencapai tujuan yang diinginkan

karena berjalan tersendat-sendat.

Meminjam istilah Endang Sumantri,

bangsa Indonesia mengalami masa-masa

discontinue, unlinier, dan unpredictable

(www.setneg.go.id).

Kondisi seperti ini memicu masyarakat

untuk bertindak anarkis dalam

menampakan antisosial dan

antikemapanan, berunjuk rasa dengan

cara merusak. Para pejabat menumpuk

kekayaan sebanyak-banyaknya untuk

kepentingan pribadi dengan kaidah korupsi

atau menyelewengkan amanahnya.

Tawuran antar pelajar dan antar

mahasiswa, maraknya penggunaan dan

peredaran narkoba dan pornografi yang

mengancam masa depan remaja sebagai

generasi masa depan bangsa. Para

pengadil yang diadili, aparat keamanan

yang diamankan, serta para ahli politik dan

elit kekuasaan yang tidak peduli dengan

etika berpolitik dengan nasib rakyatnya yang

kesusahan.

Di daerah tertentu muncul keinginan

untuk melepaskan diri dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

karena ketidakpuasan terhadap

pembagian “kue” pembangunan dari

pusat. Nilai-nilai nasionalisme pun turut

melemah, Pancasila telah mulai jarang

dibicarakan di konteks kenegaraan,

kebangsaan dan kemasyarakatan

(Asshiddiqie, 2009: 40).

Kondisi tersebut di atas kalau dicermati

karena lemahnya kesadaran berbangsa

dan bernegara serta moralitas bangsa

yang buruk. Lebih khususnya adalah

karena pangkal daya manusia Indonesia

yang mengalami penurunan kualitas

hidupnya.

KONDISI MANUSIA INDONESIA

Membicarakan manusia Indonesia

berarti membicarakan masyarakat

Indonesia. Gambaran umum masyarakat

Indonesia adalah masyarakat majemuk

atau pluralistis. Kemajemukan

masyarakat dapat dilihat dari segi

horizontal seperti perbedaan etnis,

bahasa daerah, agama, dan geografis

maupun dari segi vertikal, seperti

perbedaan tingkat pendidikan, ekonomi

dan tingkat kemasyarakatan budaya (Usman Pelly &

Asih Menanti, 1994: 13).

Manusia Indonesia yang diinginkan

adalah manusia seutuhnya yaitu manusia

yang dididik buat mencapai keselarasan

dan keseimbangan, baik dalam hidup

manusia sebagai pribadi, makhluk sosial,

dalam hubungan manusia dengan

masyarakat, sesama manusia, dengan

alam, dan dengan Tuhannya dalam

mengejar kemajuan dan kebahagiaan

rohaniah (ibid: 14).

Faktor manusia menjadi ujung tombak

mencegah keterpurukan bangsanegara.

Sumber daya manusia adalah kunci

sehingga perlu dipersiapkan secara

terstruktur dan terencana. Repotnya

pengembangan kompetensi dan karakter

manusia Indonesia kurang mendapat

PKn Progresif, Vol. 10 No. 1 Juni 2015

perhatian serius, tidak hanya tecermin

dalam penganggaran, tetapi lagi dalam

pengembangan praksis pendidikan.

Banyak dari kalangan ilmuwan dan

budayawan Indonesia yang mengenali

sisi-sisi negatif manusia Indonesia,

diantaranya uraian ”manusia Indonesia”-

nya Mochtar Lubis dan ”mental

menerabas”-nya Koentjaraningrat.

Melihat fenomena kehidupan masyarakat

Indonesia yang jauh dari citacita

pembangunan Indonesia, Muchtar Lubis

secara lisan pada tahun 1977, menyebut

enam ciri manusia Indonesia. Meliputi

hipokrit alias munafik (1), enggan

bertanggung balas atas perbuatan dan

keputusannya (2), berjiwa feodal (3),

percaya takhayul (4), artistik (5), dan

berwatak lemah (6).

Ketika tahun 1982 Mochtar Lubis

diminta merefleksikan kembali ”manusia

Indonesia”, dengan tegas dia mengatakan

tidak ada perubahan, semakin parah.

Andaikan permintaan itu disampaikan

kembali, di saat Mochtar Lubis sudah

tiada (meninggal 2 Juli 2004), pasti ia

menangis di alam baka.

Koentjaraningrat (2004: 37-38)

menyatakan manusia Indonesia

mengidap mentalitas yang lemah, yaitu

konsepsi atau pandangan dan sikap

mental terhadap lingkungan yang sudah

lama mengendap dalam alam pikiran

masyarakat, karena terpengaruh atau

bersumber kepada sistem nilai budaya

(culture value system) sejak beberapa

generasi yang lalu, dan yang baru timbul

sejak zaman revolusi yang tidak

bersumber dari sistem nilai budaya

pribumi. Artinya, kelemahan mentalitas

manusia Indonesia diakibatkan oleh dua

hal yaitu karena sistem nilai budaya

negatif yang berasal dari bangsa sendiri

dan dari luar akibat dari penjajahan

bangsa lain. Koentjaraningrat (2004: 45)

memperinci kelemahan mentalitas

manusia Indonesia, diantaranya: (1) sifat

mentalitas yang meremehkan mutu; (2)

sifat mentalitas yang suka menerabas;

(3) sifat tak percaya kepada diri sendiri;

(4) bawaan tak berdisiplin murni; (5) sifat

mentalitas yang suka mengabaikan

tanggung balas yang kokoh.

Mansyur Semma (2008) mengutip

pendapat Samuel P. Huntington tentang

kondisi bangsa yang mempersubur

korupsi. Korupsi cenderung meningkat

dalam periode pertumbuhan dan

demokratisasi yang cepat karena

perubahan nilai dan sumber-sumber

baru kekayaan dengan kekuasaan.

Ryan Sugiarto (2009: 11-13) memperinci

watak negatif manusia Indonesia dengan

mengemukakan 55 kebiasaan kecil yang

menghancurkan bangsa. Walaupun

demikian saya yakin bahwa masih banyak

diantara manusia Indonesia yang

memiliki kebiasaan positif atau memiliki

karakter yang baik.

Namun, menurut Myrdal kondisi yang

demikian sesungguhnya tidak bisa

dikembalikan kepada ciri-ciri jelek yang

alamiah yang ada pada bangsabangsa itu,

melainkan pada struktur tempat mereka

berada. Kelemahan itu bukan disebabkan

oleh inherent evil character straits of their

peoples, melainkan merupakan hasil dari

sejarah yang cukup panjang (Satjipto

Rahardjo, 1986: 67).

Koentjaraningrat, mengakui akan

pengaruh dekolonisasi dan penjajahan

Belanda telah menjungkir-balikan

tatanan dengan acara kerja yang mapan untuk

digantikan oleh sesuatu yang belum jelas

kaidah dan strukturnya dan sebagai

akibatnya terjadilah kemunduran-

Moh. Muchtarom: Manusia Indonesia di Dimensi Sosiologi Budaya...

kemunduran dalam prestasi orang

Indonesia pasca revolusi, dan hal

tersebut yang dapat melemahkan

mentalitas bangsa Indonesia (2004: 44).

Muchtar Lubis juga menerima bahwa

ciri-ciri manusia Indonesia yang telah

dipaparkan di atas disebabkan oleh

struktur yang mencekam, yaitu karena

adanya pemerintahan orde baru yang

represif dan otoriter (Lubis, 1992;

Ramadhan K.H., 1995).

BISA DIUBAH, DAN HARUS BERUBAH

Manusia Indonesia masa depan perlu

dipahami bukan sebagai ”sudah begitu,

mau apalagi”, tetapi bisa diubah, melalui

strategi kebudayaan, yaitu dengan

melakukan perubahan sistem nilai

budaya (culture value sistem).

Misalnya, membuat perbandingan

pengalaman negara lain sebagai bahan

belajar dan perbaikan internal secara

radikal. Misalnya, perbandingan yang

disampaikan Huntington dalam

artikelnya Culture Count di bunga rampai

Culture Matters (2000: xiii-xvi) yang

disuntingnya bersama Lawrence

Harrison merangsang kita untuk

memiliki keyakinan.

Huntington menggambarkan Ghana pada

tahun 1960-an serba sama dengan Korea

Selatan. Namun, 30 tahun kemudian,

Korsel melampaui Ghana dalam segala

hal. Mengapa? Pertanyaan ini dijawab

Lawrence Harrison dalam artikel

Promoting Progressive Culture Change di

buku yang sama. Akar masalahnya,

Korsel menghidupi dan mengembangkan

nilai budaya progresif dengan 10 tipologi

manusia, di antaranya berorientasi

waktu, kerja keras, hemat, pendidikan,

dan menghagai prestasi.

Contoh kedua Jepang, walaupun bencana

datang bertubi-tubi dalam bentuk gempa

bumi, tsunami, meledaknya reaktor

nuklir, mereka mampu mensikapi

dengan tenang. Dalam ihwal yang kritis

masyarakat Jepang tetap

mengedapankan nilai-nilai positif. Dalam

acara berita di TV, disampaikan

pengalaman warganegara Indonesia

yang tinggal di Jepang, mendapatkan

pengalaman menarik ketika gempa

datang dengan dia sedang berbelanja di mall.

Setelah peristiwa gempa telah usai dari

pihak penanggung jawab mall segera

mengembalikan kartu kredit

warganegara Indonesia yang tertinggal.

Hal ini merupakan refleksi teguhnya

integritas dan kejujuran warga Jepang.

Gambaran bahwa di Jepang setiap

dompet yang jatuh umumnya akan

kembali dalam keadaan utuh. karakter

integritas dengan kejujuran ini menebak melekat

dalam masyarakat Jepang karena adanya

spirit dan ajaran Bushido yang

menekankan karakter amanah, pengasih,

santun, sopan, mulia, hormat dan lain-

lain (Zaim Uchrowi, 2009: 4).

Jadi, sebenarnya sumber persoalan

buruknya kualitas manusia Indonesia

adalah adanya nilai-nilai yaitu sistem

nilai budaya yang negatif dan penjajahan

yang sangat lama yang dialami bangsa

Indonesia–meminjam istilah dari

Koentjaraningrat. Sistem nilai budaya itu

dihidupi dan dikembangkan oleh

manusia, yang menjadi subyek atas

perilaku dan tindakannya. Sedangkan

untuk membangkitkan mental negara

terjajah adalah dengan banyak belajar

kepada negara-negara lain yang telah

maju, sehingga termotivasi untuk

meningkatkan kepribadiannya ke arah

yang kian baik.

PKn Progresif, Vol. 10 No. 1 Juni 2015

PENDEKATAN SOSIOLOGI DAN SISTEM

NILAI BUDAYA

Dalam makalah ini, untuk menemukan

jawaban atas permasalahan yang

dihadapai manusia Indonesia,

menggunakan dua pendekatan yaitu

pendekatan sosiologi khususnya teori

sibernatik Talcott Parson dengan komposisi nilai

budaya (Culture Value System)

khususnya kerangka mengenai lima

dasar biji budaya manusia Kluckhohn.

Pertama, pendekatan Sosiologi. Pada

dasarnya sosiologi melihat manusia

dalam serba keterhubungannya dengan

manusia atau orang lain. Manusia adalah

manusia dalam masyarakat (Satjipto

Rahardjo, 1986: 63). Dengan berdasar

ada paradigma manusia-masyarakat

tersebut dapatlah selanjutnya diketahui

aspek-aspek apa saja yang muncul

manakala kita membicarakan manusia

itu, yaitu: sistem kepribadian yang

menyangkut diri manusia itu sendiri,

sistem sosial, dan sistem kebudayaan

(Talcott Parson, 1951: 6). Dengan

demikian, dari segi pemahaman

sosiologis, manusia itu senantiasa berada

pada letak didisiplinkan oleh struktur di

luar dirinya, apakah itu berupa sistem

sosial ataukah kebudayaan.

Keadaan yang demikian ini tampak

dalam tindakannya. Tindakan manusia

ini tidak pernah bisa dilihat terlepas dari

jaringan struktur yang merangkumnya.

Oleh karena itu, dari sudut pemahaman

sosiologi sulit untuk melihat tindakan

manusia itu sebagai suatu perbuatan

yang spontan, melainkan sebagai hasil

perhitungannya dengan struktur yang

merangkumnya, ayu berupa perbuatan

yang sesuai dengan struktur maupun

yang menentangnya (Satjipto rahadjo,

1986: 64).

Namun, dalam pandangan sosiologi,

konsep manusia dan masyarakat ada dua

aliran yang membahasnya.Pertama, yang

diwakili oleh Rousseau, dimana

bangunan pemikiran Rousseau terhadap

manusia didirikan ala tatanan dimana

manusia sebagai individu dalam

menunjang kesuksesan suatu masyarakat.

Rousseau berpendirian bahwa man’s

impules, passions dan reasons yang

menentukan masyarakatnya (Loekman

Soetrisno, 1986: 56).

Sedangkan aliran yang kedua diwakili

oleh Louis De Bonald dan Auguste

Compte, dimana Bonald sebaliknya

berpendapat bahwa bukan

individuindividu yang menunjang

kemajuan masyarakat tetapi justru

sebaliknya, masyarakatlah yang

menentukan individu-individu yang

tinggal di bangsa itu (ibid).

Bagi Bonald individu secara sendirian

adalah “helpnes” dengan “Steril” untuk dapat

mengembangkan masyarakatnya. Karena

itu individu tidak dapat menciptakan

atau menemukan sesuatu. Untuk

membuktikannya, menurut teori Bonald

manusia sebagai tidak memiliki secara

alamiah kata-kata dan ideas (T.

Botttomore dan Robert Nisbet dalam

Loekman Soetrisno, 1986: 56). Bonald

berpendapat bahwa hanya dalam

masyarakat saya dapati ideas and symbols,

dan masyarakatlah yang

mengkomunikasikan keduanya kepada

individu manusia. Ide dapat timbul

dalam makhluk yang berpikir tetapi

karena berpikir itu sendiri tidak dapat

timbul tanpa bahasa maka jelaslah,

bahwa saya tidak barangkali memperoleh

the thought of language tanpa kita

memiliki bahasa itu sendiri.

Moh. Muchtarom: Manusia Indonesia di Dimensi Sosiologi Budaya...

Satjipto Raharjdo (1986: 64)

memperjelas amanat tersebut di atas,

bahwa sejak manusia (belajar)

menggunakan bahasa sudah tampak

fenomena keterikatannya dalam jaringan

struktur yang demikian itu. Berbahasa,

atau berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa (bahkan juga

dengan menggunakan isyarat lain)

menunjukkan keterikatan manusia

belaka. Dalam menggunakan serta

mengucapkan suatu perkataan kita

memperhitungkan kemampuan orang

lain untuk menangkap maksud yang kita

kirimkan melalui perkataan tersebut.

Anak Indonesia akan berbahasa

Indonesia, inilah contoh yang paling

mudah tentang perwujudan paradigma

manusia –-dalam masyarakat atau

pemahaman sosiologis tentang manusia

itu.

Kemudian Auguste Compte berpendapat

bahwa krisis yang dihadapi oleh

masyarakat Eropa pada waktu abad

pencerahan disebabkan karena

individualisme yang melanda

masyarakat Eropa melalui gerakan

reformasi.

Compte memandang bahwa manusia adalah

nonrational. Oleh karena itu,

menurutnya, individual liberty justru

akan menimbulkan bahaya bagi

keutuhan masyarakat itu sendiri. Oleh

karena itu dalam masyarakat manusia

tak seorangpun dapat berpendapat lain

daripada apa yang telah diputuskan oleh

golongan tertinggi masyarakat yaitu the

intellectual-scientific-religious group

(Bottomore dan Robert Nisbet dalam

Loekman Soetrisno, 1986: 58).

Compte juga berpendapat bahwa

Modernisasi berbahaya bagi budaya dan

tertib sosial, akibat atma modernisasi

menciptakan manusia yang

individualistik.

Diantaranya dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dengan teknologi yang sangat

pesat, juga memberikan dampak

perubahan kehidupan masyarakat

Indonesia. Penggunaan teknologi modern

dalam bangsa telah menjepit posisi

manusia, sehingga untuk bisa

menjelaskan sikap-sikap dan

perilakunya, kita memerlukan

pengamatan terhadap pengaruhnya yang

bekerja tempat badan manusia.

Semenjak revolusi industri

membebaskan manusia dari

kedudukannya yang pasif dan

ketergantungannya pada alam, maka

secara perlahan manusia masuk ke

dalam situasi keterikatan yang lain,

bahkan banyak memasung sifatnya.

Alam mengikat manusia dengan cara

memangku dan menghidupinya,

sedangkan teknologi mencekeram

manusia dengan memberikan

kemudahan-kemudahan, kenikmatan-

kenikmatan tertentu dan secara

bersamaan menekan dan merusaknya,

hingga manusia tidak mampu lagi

menghindarkan badan dari ketergantungan

terhadapa teknologi modern.

Masyarakat dan pemerintah telah tidak

lagi dilakukan oleh manusia, melainkan

oleh mesin. Manusia menjadi bionik,

masyarakat menjadi sosionik dan

pemerintah menjadi administronik

(Satjipto Rahardjo, 1986: 69). Ruh

kemanusiaan telah hilang dari sisi-sisi

kehidupan manusia, yang ada adalah

manusia hidup seperti robot yang diatur

oleh teknologi. Pergulatan besar yang

sedang berlangsung sekarang ini pada

hakekatnya adalah bagaimana

mengembalikan semuanya kembali ke

PKn Progresif, Vol. 10 No. 1 Juni 2015

tangan manusia. Dengan cakap lain,

bagaimana mesin-mesin itu kembali

menjadi hamba dan bukan jadi tuan

manusia.

Penilaian negatif manusia Indonesia

memang tidak bisa dilepaskan dari

perubahan pola kehidupan masyarakat

Indonesia yang komunitarian ke arah

individualistik. Hal ini mempengaruhi

nilai-nilai hajat bersama menjadi

kepentingan pribadi. Munculnya para

koruptor yang menilep uang rakyat demi

kemakmuran pribadi, kehidupan

permisif di kalangan pemuda demi

meraih kenikmatan pribadi, mentalitas

menerabas demi mendapatkan

keuntungan pribadi dan sebagainya telah

menghancurkan sendi-sendi

kebersamaan. Nilai-nilai kejujuran, taat

pada aturan, menilai prestasi kerja,

dan sebagainya berawal dari melalui empati

kepada kepentingan bersama dan

kemajuan masyarakat sebagai rasa

kepemilikan bersama.

Talcott Parson dengan teori struktural

fungsionalismenya, menyusun ide

tentang teori sibernetika mencoba untuk

memberikan jawaban, bahwa system

sosial merupakan suatu sinergi antara

tiga subsistem sosial—sistem sosial,

personalitas, dan sistem budaya--yang

saling mengalami ketergantungan dan

keterkaitan (Peter Beilharz: 2002: 292).

Ketiga subsistem (pranata) tersebut akan

bekerja secara mandiri tetapi saling

bergantung satu sama lain untuk

mewujudkan keutuhan & kelestarian

sistem sosial secara keseluruhan.

Contohnya keterkaitan antara Hukum,

agama, pendidikan, budaya, ekonomi,

politik, kemasyarakatan yang tak dapat terpisahkan

dan berbalas-balasan berinteraksi.

Menurut Talcott Parson (George Ritzer &

Douglas J. Goodman, 2004: 121), ada 4

subsistem yang menjalankan fungsi

utama dalam kehidupan masyarakat

yang dikenal dengan komposisi “tindakan”,

yaitu dengan skema AGIL:

1. Fungsi adaptasi (Adaptation)

dilaksanakan oleh subsistem ekonomi

contoh: melaksanakan produksi &

distribusi barang-jasa, dimana jalur

produksi dan distribusi barang –jasa

untuk menciptakan kemakmuran dan

kesejahteran masyarakat dengan seadil-

adilnya sesuai dengan nilai-nilai yang

terkandung di Pancasila.

2. Fungsi pencapaian tujuan (Goal

attainment) dilaksanakan oleh subsistem

politik contoh: melaksanakn distribusi-

distribusi kekuasaan & memonopoli

unsur paksaan yang sah (negara). Dalam

pembagian kekuasaan ini harus

didasarkan kepada etika dan moral

politik (moral excellen) untuk

menghindari kekuasaan absolut dan

tindakan korupsi yang dilakukan elit.

3. Fungsi integrasi (Integration)

dilaksanakan oleh subsistem hukum

dengan cara mempertahankan

keterpaduan celah komponen yg beda

pendapat/ konflik untuk mendorong

terbentuknya solidaritas sosial.

4. Fungsi mempertahankan pola &

struktur masyarakat (Lattent pattern

maintenance) dilaksanakan oleh

subsistem budaya menangani urusan

pemeliharaan nilai - nilai & norma-

norma budaya yg berlaku dengan tujuan

kelestarian struktur masyarakat dibagi

menjadi subsistem keluarga, agama, dan

pendidikan.

Dengan demikian, implikasinya,

masyarakat akan berkembang dengan

baik, jika setiap individu taat kepada

Moh. Muchtarom: Manusia Indonesia di Dimensi Sosiologi Budaya...

norma-norma yang telah disepakati baik

dalam norma negara, masyarakat, dan

agama. Untuk mengatasi dampak

negative globalisasi dan modernisasi

dalam kehidupan masyarakat, Auguste

Compte berpendapat bahwa setiap

individu membutuhkan agama yang

humanis. Yaitu agama yang mampu

memberikan dan menunjukkan manusia

kepada kehidupan yang manusiawi.

Karena agama diturunkan oleh Tuhan

untuk kebutuhan hidup manusia, bukan

sebaliknya manusia harus menghamba

kepada agama. Komarudin Hidayat

(2008: 10) menyatakan, jika memang

agama diwahyukan buat manusia, dan

bukan manusia untuk agama, maka salah

satu ukuran baik-buruknya sikap hidup

beragama adalah dengan menggunakan

standar dan kategori kemanusiaan.

Bukannya ideologi dan sentimen

kelompok.

Kedua, ancangan Sistem Nilai Budaya

(Culture Value System). Pendekatan ini

untuk memperbaiki mentalitas manusia

Indonesia yang lemah karena aspek nilai

budaya minus dan inferior complex yang

diwariskan penjajah kepada bangsa

Indonesia. Koentjaraningrat (2004: 25)

menyatakan, komposisi nilai budaya terdiri

dari konsepsi-konsepsi, yang hidup

dalam pikiran sebagian besar warga

masyarakat, mengenai hal-hal yang harus

mereka anggap amat bernilai dalam

hidup. Untuk menganalisis sistem nilai

budaya Koentjaraningrat (2004: 27)

menggunakan kerangka Kluckhohn, yaitu

lima alas biji budaya manusia :

1. Hakekat hidup manusia. Ada

kebudayaan yang menganggap hakekat

hidup manusia adalah buruk dan

menyedihkan, namun manusia dapat

berusaha buat mengubah dia dari

kondisi buruk ke arah kondisi yang lebih

baik dengan bahagia.

2. Karya manusia dalam kebudayaan

pada hakekatnya bertujuan untuk

menjaga eksistensi kehidupannya,

memberikan status dan kedudukan yang

terhormat dalam masyarakat, dan

sebagai usaha untuk menghasilkan

produk yang kian banyak lagi

3. Kedudukan manusia dengan ruang

waktu berinteraksi dengan kehidupan

masa lalu sebagai cermin untuk

memandang kehidupan ke masa depan.

Sehingga manusia mampu untuk

menghargai dan menggunakan ruang

waktunya buat kesuksesan hidupnya.

4. Hubugan manusia dengan alam

sekitarnya, mudah-mudahan terjalin secara harmonis,

maka manusia harus mampu mensikapi

alam dengan bijaksana. Melakukan

eksploitasi alam tanpa melupakan upaya

pemeliharaan dan pelestariannya. Agar

alam tidak “marah” dan boleh berlanjut

kepada anak cucu besok dikemudian hari.

5. Hubungan manusia dengan sesamanya

dapat tetap terpelihara, apabila mereka

mampu bekerja sama dan saling

pengertian. Dengan cara seperti itulah

kehidupan masyarakat dapat terpelihara

tertib sosialnya yang diikat dengan

sistem kemasyarakatan dengan komposisi budaya.

Selain itu, untuk menjawab persoalan

kualitas manusia Indonesia, Muchtar

Lubis lagi menyarankan agar melakukan

suatu penelitian yang komprehensif dan

tidak berakhir pada 6 (enam) karakter

negatif yang sudah dipaparkan di atas.

Dimana lagi banyak budaya kebaikan

yang dimiliki bangsa Indonesia telah

menjadi karakter positif dengan berjalan di

tengah-tengah masyarakat, misalnya

budaya gotong royong, kasih anak buah tua

kepada anak dan sebaliknya, hati yang

PKn Progresif, Vol. 10 No. 1 Juni 2015

damai/ lembut, bersabar, dan cepat

belajar. Walaupun untuk kehidupan

masyarakat di perkotaan sepertinya

budaya positif tersebut mulai luntur dan

tidak sedikit yang meninggalkannya. Hal

ini jadi tanggung balas Pemerintah

dan masyarakat untuk menumbuhkan

kembali budaya positif tersebut. Dan

lembaga pendidikan baik di rumah,

sekolah, maupun di bangsa menjadi

sarana yang paling ideal untuk

melaksanakannya.

Sedangkan nilai-nilai negatif yang

berasal dari bangsa asing baik yang di

bawa pada masa penjajahan maupun

karena adanya dampak globalisasi, maka

pemerintah harus membuat peraturan

yang membatasi efek globalisasi tersebut

walaupun tidak bisa sama sekali

menghindarinya dan mengganti budaya-

budaya penjajah dengan budaya genuine

Indonesia yang positif, serta disusunnya

kurikulum berbasis budaya nasional untuk

pendidikan.

Misalnya, untuk merubah kebiasaan

masyarakat yang tidak peduli terhadap

kelestarian lingkungan, maka

pemerintah harus membuat undang-

undang yang ketat dengan hukuman

tegas bagi yang melanggar. Kemudian

menghilangkan sapaan-sapaan penjajah

yang tidak sesuai budaya bangsa dengan

mengimplementasikan karakter positif

dari budaya bangsa sendiri dan

membangkitkan kembali tradisi-tradisi

besar dan mengembangan kesenian

secara struktural maupun kultural.

Namun, dengan kondisi masyarakat

Indonesia sekarang ini, usaha perbaikan

ke cita-cita yang afirmatif pasti akan menemuai

berbagai macam hambatan.

Misalnya, jumlah penduduk yang

sekarang mencapai lebih dari 200 juta

menjadi kendala tersendiri, jika

pemerintah tidak mampu menekan

pertumbuhannya. Dimana dengan

besarnya jumlah penduduk dipastikan

kebutuhan akan pangan, sandang, dan

papan lagi akan semakin meningkat. Hal

ini jika tidak diantisipasi akan

menimbulkan kerawanan pangan,

persaingan memperoleh pekerjaan

semakin meningkat, lahan pertanian

banyak berubah menjadi tempat hunian,

keberadaan hutan semakin menyempit,

dan berdampak kepada semakin

meningkanya problem penumpukan

sampah, banjir, bencana alam,

kemiskinan dengan sebagainya.

Belum lagi masalah karakter negative

bangsa yang sangat sulit diubah kalau

hanya mengandalkan kesadaran warga

negara. Kasus korupsi yang tidak pernah

habis-habisnya, peredaran dan

penggunaan narkoba, pornogarafi dan

porno aksi, tawuran, kriminalitas dan

sebagainya menebak membawa masyarakat

ke jurang dekadensi moral yang lebih

parah lagi.

Jika ini benar-benar terjadi, maka

kualitas atau mentalitas manusia

Indonesia akan semakin memburuk, dan

pada akhirnya bangsa ini akan semakin

berat menanggung beban segala

permasalahannya. Dalam ihwal seperti

ini, bani yang bernama Indonesia akan

menuju kebangkrutan alias bahkan yang

lebih ekstrim akan menuju

kehancurannya?

PENUTUP

Pengenalan manusia Indonesia dengan

menonjolkan sisi-sisi negatifnya justru

amat relevan, kontributif, dengan produktif

untuk membangun manusia Indonesia

yang postmo (JB Mangunwijaya), yang

Moh. Muchtarom: Manusia Indonesia di Dimensi Sosiologi Budaya...

well informed (Soedjatmoko), yang

berpengharapan—dalam sisi spirituil

(Mukti Ali), yang mandiri dan tahu batas

kemampuan diri (Slamet Iman Santoso),

yang tidak gagap teknologi (BJ. Habibie).

Kata kunci mengatasi keterpurukan

Indonesia adalah culture matters, kata

Jakob Oetama di pidato peluncuran

Koentjaraningrat Memorial Lecture I, 15

Maret 2004.

Tipologi manusia budaya statis perlu

diubah menjadi tipologi manusia

berbudaya progresif. Walaupun teori

Talcott Parson dengan Kluckhohn mungkin

tidak sepenuhnya dapat menjawab

permasalahan karakter dan mentalitas

bangsa Indonesia, namun setidaknya ada

jalan keluar yang boleh dijadikan sebagai

landasan. Dan yang paling penting adalah

solusi itu sebenarnya boleh digali melalui

kebudayaan nasional yang lebih genuine dan

tidak asing bagi pengembangan manusia

Indonesia ke dada ke cita-cita yang lebih

baik dan bermartabat sesuai dengan

kepribadian bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Beilharz, Peter.2002. Teori-Teori Sosial,

Observasi Kritis Terhadap para

Filosof Terkemuka. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar

Harrison, Lawrence E. & Samuel P.

Huntington (ed.). 2000. Culture

Matters, How Values Shape Human

Progress. New York: Basic Books

Hidayat, Komarudin. 2008. The Wisdom

of Life, Menjawab Kegelisahan

Hidup dengan Agama. Jakarta: Kompas

Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan,

Mentalitas, dan Pembangunan.

Jakarta: Gramedia

Loekman Soetrisno. 1986. Konsep

Manusia dalam Sosiologi dalam

Mencari Konsep Manusia Indonesia

Sebuah Bunga Rampai. Jakarta:

Erlangga

Lubis, Muchtar. 1992. Budaya,

Masyarakat, Dan Manusia

Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Pelly, Usman & Asih Menanti. 1994.

Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta.

Dirjen Dikti Depdiknas

Parson, Talcott. 1951. The Social System.

New York: The Free Press.

Ramadhan K.H. (Penyunting). 1995.

Muchtar Lubis Bicara Lurus,

Menjawab Pertanyaan Wartawan.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Ritzer, George & Douglas J. Goodman.

2004. Teori Sosiologi Modern.

Jakarta: Kencana

Satjipto Rahardjo. 1986. Gambaran

Tentang Manusia dari Sudut

Sosiologi dalam Mencari Konsep

Manusia Indonesia Sebuah Bunga

Rampai. Jakarta: Erlangga

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan

Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Sugiarto, Ryan. 2009. 55 Kebiasaan Kecil

yang Menghancurkan Bangsa.

Yogyakarta: Pinus Book publishing

Uchrowi, Zaim, Harian Republika.

“Bushido”, Jum’at, 13 November

2009

This research hasn't been cited in any other publications.

This research doesn't cite any other publications.

Sekian pembahasan tentang (PDF) MANUSIA INDONESIA DALAM DIMENSI SOSIOLOGI BUDAYA semoga info ini bermanfaat salam

Tulisan ini diposting pada tag sosiologi budaya, sosiologi budaya politik, sosiologi budaya menurut para ahli,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara Politik Kerajaan Tarumanegara

Hohoho, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membahas tentang politik kerajaan tarumanegara Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara simak selengkapnya HINDUALUKTA -- Secara etimologi Tarumanagara berasal dari kata Taruna yang artinya negara atau negeri dengan Nagara yang merupakan dari kata Tarum yaitu sebuah sungai di Jawa Barat ialah sungai Citarum. Kerajaan Tarumanegara tercata dalam asal usul sebagai salah satu negeri Hindu yang pernah berkuasa di Jawa dari abad 4 sampai 7 masehi. Menurut sejarah, negeri Tarumanegara didirikan pada tahun 358, dengan salah satu rajanya yang membelokkan terkenal adalah raja Purnawarman. Bukti yang ditemukan sebagai catatan negeri Tarumanegara adalah tujuh batu bersurat batu yang ditemukan di Lebak Banten (1), Bogor( 5) dengan Jakarta (1). Dari ke tujuh prasasti tersebut diantarnya yakni:  Prasasti Pasir Awi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Ciaruteun, Pra...

KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI Kesenian Dari Madura

Hi, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan dibahas mengenai kesenian dari madura KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI simak selengkapnya. AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress HandayaniRecord Official mempersembahkan buah karya kami untuk anda nikmati sebagai konser keluarga yang cukup dengan bermanfaat sebagai hiburan, Semua adegan sudah kami setting. andaikata ada kesamaan cap dengan lainnya. Mohon maaf ------------------------------------------------------------- Silahkan Dilihat Juga Chanel Terkait : Channel Group reno puri: https://www.youtube.com/channel/UCjO5... handayanirecord official: https://www.youtube.com/channel/UC50V... indonesian review : https://www.youtube.com/channel/UCQXk... masakan mama : https://www.youtube.com/channel/UCAJv... DakwaQ Official: https://www.youtube.com/channel/UCxy4... Terima Kasih Untuk Su...

Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, Dan Marginal Rate Of Substitution Pengertian Marginal Utility

Hallo, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawa pembahasan mengenai pengertian marginal utility Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, dan Marginal Rate of Substitution simak selengkapnya Untuk barang kali ini kita bakal belajar atas aturan utilitas ( utility theory ), pengertian marginal utility , ancangan marginal utility dan indifference curve di mahir gajak konsumen, serta pengertian marginal rate of substitution . 1. TEORI UTILITAS. Pada bagian ini kita bakal mahir coret-coretan alas utilitas, pengertian marginal utility , serta the law of diminishing marginal utility . 1.1. Konsep Dasar Utilitas. Secara leksikal, kata utilitas ( utility ) dimaknai sebagai ‘the quality or state of being useful‘ ( www.merriam-webster.com ). Dalam hal ini, utilitas memberitahukan derajat kemanfaatan suatu objek. Sementara di ilmu ekonomi, konsep utilitas memberitahukan babak kegembiraan pelaku ekonomi tempat konsumsi barang/jasa...