
Hohoho, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", di kesempatan akan membahas mengenai menurut aliran ekonomi klasik pertumbuhan ekonomi cukup tinggi ketika Kutai di Era Hindia Belanda simak selengkapnya.
RENCANA pengalihan bok metropolis akhirnya disiarkan.Dalam amanat pers di Istana Negara (26/8), Presiden Joko Widodo melisankan jika serangkaian kajian telah dilakukan untuk menetapkan Kalimantan Timur sebagai bok metropolis baru Republik Indonesia.
“Hasil kajian-kajian tersebut mengikatkan bahwa area bok metropolis baru yang membelokkan arketipe adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dengan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ungkap Jokowi.
Sebenarnya area Kutai telah lama menjadi sorotan. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, salah satu daerah di Kalimantan Timur ini menjadi bagian penting dari rencana memahami Nusantara yang diusung pemerintah kolonial. Kutai tak sempat luput dari perhatian.
Usaha Kolonisasi
Kontak pertama orang-orang Belanda dengan Kutai terjadi pada 1635. Saat itu Kerajaan Belanda mengirim 5 kapal bimbingan Gerrit Thomassen Pool ke Kutai. Mereka berhasil arung Sungai Mahakam sebelum kemudian bertemu Raja Kutai.
Pada 8 November 1635, pedagang Belanda Pieter Pietersz diutus untuk bertentang Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Agung Ing Martapura. Sebagai perwakilan negeri Belanda ia diminta melakukan kesepahaman dagang dengan Kerajaan Kutai.
“Arti penting diadakannya kesepahaman itu untuk Belanda ialah, Kutai yang tadinya tidak sejenis itu dikenal sekarang menjadi relasi dalam dunia perdagangan,” terang Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan.
Hubungan celah Kalimantan dengan Belanda sempat selesai sangat lama pada 1638 saat Banjarmasin menyerang baluarti Belanda dengan melenyapkan ratusan tentaranya. Pemerintah Belanda pula memutuskan untuk melengahkan angan-angan memahami Kutai.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada1673, sebuah ekspedisi dari Belanda kembali dikirim ke Kutai. Para pejabat kolonial berangan-angan kembali menjalin hubungan baik dengan Raja Kutai. Namun mengatur disambut dengan dingin. Tidak sedia satupun administrator yang berangan-angan menerima kedatangan Belanda di negerinya. Ekspedisi-ekspedisi selanjutnya juga masih mengalami kegagalan.
Namun bukan Belanda namanya jika menyerah sejenis itu saja. Berdasarkan informasi ekspedisi pejabat van Heys tahun 1675, yang dikutip Anwar Soetoen dkk dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, kedapatan bahwa kerajaan Kutai antara berkonflik dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
“Keadaan itu akan mempermudah Belanda untuk mengadakan politik adu domba celah satu kerajaan dengan kerajaan yang lain di Kalimantan Timur,” tulis Anwar.
Benar saja, pada 1756 Kutai mengadakan kesepahaman dengan pejabat kolonial. Saat itu Sultan Kutai direpotkan dengan serangan Kerajaan Berau. Belanda pula menawarkan perlindungan dengan berjanji akan membantu membendung serangan Berau. Namun kesepahaman itu tidak serta merta melahirkan Belanda mudah memahami Kutai. Rakyat masih belum membocorkan akses untuk Belanda. Upaya menaklukan Kutai pula terpaksa ditunda.
Kesempatan yang dinanti getah perca pejabat Belanda akhirnya tiba. Perselisihan di Kesultanan Banjar tahun 1787, celah Pangeran Tamjidillah II dengan Pangeran Amir, memberi jalan untuk Belanda turut campur di dalamnya. Tamjidillah II yang nyaris mengalmi kegagalan akhirnya meminta bantuan angkatan bersenjata kepada Belanda. Alhasil kesepahaman yang melilit pula harus diterima sebagai konsekuesinya.
Di dalam kesepahaman tersebut, Kutai ikut digadaikan bersama area lain yang menjadi bagian dari Banjarmasin. Kutai sorangan kekuasaannya telah direbut akibat Banjar dari era ke-17. Dalam bukunya, Anwar Soetoen juga disebutkan Belanda bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang menginginkan daerah Kutai. Pihak Inggris juga berlomba menanamkan pengaruhnya di sana.
“Daerah Kutai hanya secara de jure saja dikuasai akibat Banjarmasin, Belanda, dengan Inggris. Nyatanya waktu perjanjian-perjanjian itu diadakan, tidak sedia petugas-petugas yang secara langsung ditempatkan di Kerajaan Kutai. Sehingga boleh dikatakan bahwa Kerajaan Kutai berkembang sendiri, dengan tidak membenarkan pengaruh Banjarmasin,” jelas Anwar.
Belanda baru secara resmi berkuasa atas Kutai pada 1825. Dalam catatan seorang peneliti Leiden, C.A. Mees, De Kroniek van Koetai dijelaskan bahwa saat itu Sultan Muhamad Salehudin (1780--1850) melahirkan kontrak dengan pemerintah kolonial. Isinya celah lain membenarkan pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan di negeri Kutai.
Selain itu, Belanda juga diberi kebebasan di dalam urusan pengadilan, bayaran cukai segala jenis perdagangan, pajak orang-orang Tiongkok, dengan aturan pajak pertambangan. "Sejak saat itu diangkatlah seorang civiel gezag hebber bernama H. van Dewall," tulisnya
Membangun Potensi
Kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Kutai tidak melulu soal kerugian. Kedatangan mengatur membocorkan peluang bagi Kutai untuk menaikkan harta ekonominya. Hasil alam yang sejenis itu membanjiri di bentala Kalimantan belum dimanfaatkan dengan maksimal akibat rakyat Kutai. Sehingga saat Belanda asal giliran mempelajari area potensial di Kutai berangkat terbuka.
Melalui kesepahaman yang ditandatangani pada 9 Desember 1882, pemerintah kolonial berhak membocorkan area pertambangan dengan minyak bentala di beberapa titik di area Kutai. Durasi kesepahaman itu cukup panjang, yakni 75 tahun, dengan berbagai syarat yang disetujui akibat kedua pihak.
Sebagai gantinya, penguasa Kutai Sultan Muhammad Sulaiman menerima uang sewa bentala dengan cukai dari setiap liter minyak yang diambil pemerintah Belanda. Perusahaan pertambangan batu bara milik Belanda berangkat berjalan pada 1888. Sementara perusahan minyak bentala yang dikepalai J.H. Menten beroperasi setahun kemudian.
“Penghasilan berlimpah yang diterima akibat kerajaan dipergunakan sebaik-baiknya untuk arta Kerajaan Kutai. Boleh dikatakan barang-barang milik kerajaan sekarang dihasilkan pada masa itu. Seperti mahkota adipati yang terbuat dari 3 kilogram emas murni,” tulis Amir.
Selain membocorkan area pertambangan, pemerintah Belanda juga membeli hasil-hasil hutan kepada raja. Harga pembeliannya pula terbilang tinggi, nyaris sama dengan pedagang pada umumnya. Menurut data milik pemerintah Belanda di Kutai yang dimuat Kudungga vol IV, barang-barang dari Kutai itu nantinya akan dijual ke luar negeri, salah satunya Singapura.
“Keadaan ini menimbulkan kegairahan bekerja yang tiada taranya di arena rakyat, yang dengan giat mengumpulkan hasil-hasil hutan dengan memajukan agraria karena mengatur mendapat dorongan dari sultannya sendiri. Usaha mana sedikit banyaknya boleh memberikan kemakumaran bagi rakyatnya,” ungkap Anwar.
Sekian detil mengenai Kutai di Era Hindia Belanda semoga artikel ini berfaedah salam
Artikel ini diposting pada tag

Komentar
Posting Komentar