Kasus Florence, Kontroversi UU ITE VS Kebebasan Berpendapat Di Media Sosial Kebebasan Berpendapat Di Media Sosial

Hi, berjumpa kembali di "Indonesia Dalam Berita", sesi kali ini akan dibahas mengenai kebebasan berpendapat di media sosial Kasus Florence, Kontroversi UU ITE VS Kebebasan Berpendapat di Media Sosial simak selengkapnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2178081/original/073106200_1525704573-152570457350716Florence-Sihombing-3_0.jpg)
Melihat afair Florence, kita bisa makin yakin bahwa memang tidak semua orang boleh atau cukup berada di alat sosial. Selain kelompok-kelompok radikal, jenis berikutnya yang tidak cukup berada di alat baik adalah membayangkan yang meng-screen capture update status teman membayangkan di Path arkian membagikannya ke jejaring baik lain.
Hingga saat ini, sepengetahuan kami, “Path” adalah alat baik di mana isinya adalah teman-teman terdamping kita. Teman-teman yang kita percaya bisa memahami semua kesah kesah kita di alat sosial, kenal dekat dengan kita, jua bukan yang memiliki kebencian tidak terungkapkan (atau niat jahat yang menunggu untuk keluar).
Dan bila teman kita ternyata meng-upload ulang kapasitas di alat baik milik orang lain, kita pula harus berpikir ribuan kali untuk membagikannya di jaringan kita sendiri (bahkan bila pemilik kapasitas asli mengizinkan mudah-mudahan statusnya dibagikan). Karena kita mungkin tidak sadar buah domino yang mungkin muncul, Fimelova.
Florence Sihombing, siswa S-2 UGM yang akhirnya berurusan dengan kepolisian, setelah kicauannya di alat baik “Path” tersebar ke penjuru Indonesia, arkian membangkitkan amarah kota yang disebutkannya dalam kicauan kontroversial itu. Nampaknya, Florence bersama kendaraan roda duanya bermaksud mengisi bensin di salah eka SPBU di Yogyakarta. Ia masuk ke antrean yang salah, tidak dilayani, arkian ia memanifestasikan kekesalannya lewat alat sosial.
Lalu, seseorang di jaring pertemanan Path Florence meng-screen capture kapasitas tersebut dan membagikannya ke jejaring sosial. Layar itu menyebar ke beraneka macam akun alat sosial, termasuk kamu barangkali, dan nampaknya mencambuk emosi siapapun yang merasa Florence sudah mencemari Yogyakarta. Kasus ini kemudian bergulir semakin jauh, seiring pihak-pihak eksklusif malah melibatkan konteks belakang asal usul Florence sehingga isu ras terbawa. Makin pelik, ya? Apalagi, Florence kemudian melegalkan beraneka macam umpatan dan ancaman.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2178082/original/015941600_1525704574-152570457462726florence-si-facebook.jpg)
Florence dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut secuil pihak, Undang-Undang ini mengkerdilkan kebebasan berpendapat di era maraknya penggunaan jejaring sosial. Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan kepada Tempo melafazkan bahwa cukup Florence mendapat sanksi sosial, tanpa terlanjur masuk ke ranah hukum.
Sementara Dekan Fakultas Hukum UGM, Paripurna kepada alat jua melafazkan bahwa afair Florence berada di ranah etika, bukan hukum. Lebih elegan, menyelesaikannya dengan syafaat celah Florence dan bagian pelapor, lanjut Paripurna.
Kita masih belum mengetahui, siapa yang pertama kali menyebarkan postingan Path pribadi milik Florence itu ke publik, tapi yang aman Si Penyebar ini jua kemungkinan besar bisa dijerat dengan Undang-Undang ITE. Baik Florence, maupun penyebar kapasitas ini tidak menyadari buah domino dari sharing kapasitas di alat sosial.
Jika begini, sharing belum tentu berbagi dengan tujuan positif. Ini adalah sharing yang mencucuh api emosi. Makin berbahaya karena yang dituju adalah kelompok ras/daerah/wilayah tertentu.
foto florence sihombing via facebook
Oke penjelasan tentang Kasus Florence, Kontroversi UU ITE VS Kebebasan Berpendapat di Media Sosial semoga info ini bermanfaat terima kasih
Artikel ini diposting pada kategori kebebasan berpendapat di media sosial, makalah kebebasan berpendapat di media sosial, dampak positif kebebasan berpendapat di media sosial,

Komentar
Posting Komentar