Hi, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", sesi kali ini akan dibahas mengenai budaya kampung naga Kampung Naga; Kampung Adat di Jawa Barat simak selengkapnya
KAMPUNG NAGA adalah alpa satu desa budaya dari sekian kampung-kampung budaya yang siap di Jawa barat dengan sedang ajek mengabadikan kebudayaan dengan budaya leluhurnya. Kampung Naga sorangan terletak di Desa Neglasari Kecamatan Salawu daerah tingkat II Tasikmalaya yang tepatnya berada di antar jalan raya yang menghubungkan celah daerah Garut dengan Tasikmalaya dengan berada tepat di sebuah lembah yang subur yang dilalui bagi sebuah bengawan bernama bengawan Ciwulan yang bermata air di Gunung Cikuray Garut. Jarak dari Kampung Naga ke kota Tasikmalaya sorangan sekitar 30 km. untuk mencapai desa Naga yang penduduknya memagut agama Islam ini layak melalui alun-alun jalan yang akseptabel tunggang yakni layak menuruni anak eskalator hingga bengawan Ciwulan dengan kemiringan tanah sekitar 45 derajat.
Yang membuat Kampung Naga ini eksklusif adalah akibat orang desa ini seperti tidak terpengaruh dengan modernitas dengan sedang ajek memegang teguh budaya istiadat yang ala turun temurun diwariskan bagi datuk moyang mereka. Uniknya lagi, akibat areal Kampung Naga yang ala kadarnya hingga tak memungkinkannya berulang memasang kediaman di desa itu, berlimpah orang Kampung Naga pada akhirnya menebar ke berbagai penjuru daerah seperti ke Ciamis dengan bahkan Cirebon tapi orang yang tak berulang beralamat di Kampung Naga ini ajek sahaja sedang menjunjung tinggi warisan budaya budaya leluhurnya. Jika pada hari-hari definit Kampung Naga hendak diselenggarakan misalnya budaya dengan apel sa-Naga yang dipusatkan di Kampung Naga maka orang yang tak berulang tinggal di desa ini pun hendak meluangkan hadir demi ikut berpartisipasi pada perayaan alias apel budaya tersebut.
Nenek moyang Kampung Naga sorangan konon adalah Eyang Singaparana yang makamnya sorangan terletak di sebuah hutan disebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap bertuah dengan selalu diziarahi bagi keturunannya yakni penghuni Kampung Naga pada saat mengatur hendak melakukan upacara-upacara budaya alias yang lainnya. Kepatuhan penghuni Kampung Naga sorangan dengan ajek menyambangi kober leluhurnya ini sekaligus mempertahankan upacara-upacara adat, teperlus juga pola berjiwa mengatur yang ajek selaras dengan budaya leluhurnya seperti pada keadaan kepercayaan dengan upacara, mata pencaharian, pengetahuan, kesenian, bahasa dengan sampai kepada peralatan berjiwa (alat-alat kediaman tangga, pertanian dengan transfortasi) dengan sebagainya dengan dasar akibat mengatur begitu meluhurkan budaya dengan tata cara leluhurnya. Mereka ajek kukuh pada memegang teguh falsafah berjiwa yang diwariskan datuk moyangnya dari generasi ke generasi berikutnya, dengan ajek mempertahankan eksistensi mengatur yang khas. Kebiasaan yang dianggap bukan berasal dari datuk moyangnya dianggap tabu untuk dilaksanakan pada kehidupan sehari-hari. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran budaya yang bisa mematikan bukan sahaja bagi sih pelanggar, tetapi juga bagi sarwa isi Kampung Naga dengan bagi orang-orang sa-Naga.
Disamping gaya berjiwa dengan pola kebersamaan mengatur yang tak kalah eksklusif dari Kampung Naga adalah struktur bangunan area tinggal mereka. Keunikan tersebut tercermin dari aliran bangunan yang berparak dari bangunan pada umumnya teperlus letak, arah kediaman hingga bahan-bahan yang membentuk kediaman itu semuanya selaras dengan alam dengan begitu khas. Dengan kebesaran kontur tanah yang berbeda-beda di tiap tempat, maka rumah-rumah di Kampung Naga di buat berundak-undak mengikuti kontur tanah. Deretan kediaman yang satu kian tinggi dari kediaman yang lain dengan pembatas sangked-sangked batu yang disusun sedemikian rupa hingga membuat tanah yang di atas kendati siap bangunannya tidak mudah longsor ke bawah dengan menimpa kediaman yang siap di bawahnya. Sekeliling desa pun dipagari dengan pohon (pohon bambu) hingga membentuk pagar berjiwa yang begitu asri.
Dilihat dari aliran perkampungannya, orang Kampung Naga sangat erat kekerabatannya. Hal itu tercermin dari pola kediaman yang saling berkelompok dengan saling berhadap-hadapan dengan tanah lebar ditengah-tengah sebagai areal bermain anak-anak. Seluruh kediaman dengan bangunan-bangunan yang siap atapnya memanjang arah barat ke timur, akses memasuki desa terletak di arah timur, menghadap ke bengawan Ciwulan hingga andaikan dilihat dari kebesaran hendak terlihat begitu indah dengan mengingatkan kita pada atap-atap kediaman di Tiongkok jaman kungfu dulu. Di bagian arah barat lebar diperoleh bangunan masjid dengan pancuran, cocok dengan masjid diperoleh bangunan yang dianggap suci yang dinamakan Bumi Ageung, sebuah bangunan kediaman area menyimpan barang-barang pusaka serta kediaman juru kunci (Kepala Adat). Selain itu, diperoleh bangunan area menyimpan hasil pertanian berupa padi yang disebut leuit
Lebih jauh, mencermati pola berjiwa dengan kepemimpinan Kampung Naga kita hendak mendapatkan keselarasan antar dobel bos dengan tugasnya masing-masing yaitu pemerintahan desa dengan bos budaya alias yang bagi orang Kampung Naga disebut sebagai Kuncen. Peran keduanya saling bersinergi satu sama lain untuk tujuan keharmonisan penghuni Kampung Naga. Pola kepemimpinan seperti ini mengingatkan saya pada pola kepemimpinan ulama dengan umarah. Sang juru kunci yang kendati begitu berkuasa pada keadaan budaya istiadat andaikan berasosiasi dengan komposisi pemerintahan desa maka layak taat dengan patuh pada RT alias RK, pun sebaliknya, Pak RT dengan Pak RK pun harus taat pada sang Kuncen apabila berurusan dengan budaya istiadat dengan kehidupan kerohanian.
Beralih ke komposisi keindahan Kampung Naga, kita hendak bersitatap dengan berbagai keindahan konvensional kuno yang ajek dilestarikan keasliannya yang celah lain seperti keindahan terbangan, angklung, dengan beluk. Kesenian-kesenian ini biasanya hendak ditampilkan bilamana penghuni Kampung Naga sedang melakukan berbagai upacara-upacara budaya seperti apel sasih, apel berziarah ke kubur bertuah datuk moyang dengan apel yang berasosiasi dengan bulan-bulan suci alias agung pada Islam, misalnya bulan Muharram, Maulud, hari Raya Idulfitri, dengan sebagainya. Meski begitu, keindahan ini pun kerap kali dipentaskan tidak hanya untuk mengiringi upacara-upacara budaya tapi juga pada saat hajatan pembauran dengan khitanan sebagi sarana lipuran sekaligus penyemarak pesta.
Begitulah pembahasan perihal Kampung Naga; Kampung Adat di Jawa Barat semoga info ini bermanfaat terima kasih
Artikel ini diposting pada kategori budaya kampung naga, seni budaya kampung naga, budaya kampung naga tasikmalaya,
Komentar
Posting Komentar