Allow, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", di kesempatan akan membawakan tentang ekonomi dunia 2018 Ini Bukti Perang Dagang AS-China Telah Merusak Ekonomi Dunia simak selengkapnya.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada hari Senin (17/9/2018), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan bayaran masuk baru untuk produk-produk China. Bea masuk sebanyak 10% itu hendak berlaku untuk ribuan produk China dengan nilai impor US$200 miliar. Kebijakan ini mulai berlaku atas 24 September, dan atas akhir tarikh tarifnya naik menjadi 25%.China kemudian memutuskan untuk membalas kebijaksanaan AS dengan membebankan bayaran masuk 10% untuk importasi produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku mulai 24 September. Ada 5.207 produk AS yang masuk daftar kena bayaran masuk baru ini, mulai dari gas alam cair (LNG), pesawat terbang, bubuk kakao, sampai sayuran beku.Sebagai informasi, apabila kedua kebijaksanaan tersebut dieksekusi, alkisah total nilai produk kedua negara yang hendak terkena bayaran masuk adalah sebanyak US$360 miliar (sekitar Rp5.350 trilun). Rinciannya adalah US$250 miliar produk akar China (Rp3.715 triliun), dan US$110 miliar produk akar AS (Rp1.635 triliun).Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbanyak di planet bumi, friksi di jarak keduanya tentu hendak memengaruhi negara-negara lainnya (khususnya mitra jual beli baku dari kedua negara tersebut). Arus bursa global hendak seret dan pertumbuhan ekonomi melambat. Apakah ancaman ini nyata?Berdasarkan pelacakan Tim Riset CNBC Indonesia, pukulan perang jual beli terhadap perekonomian mulai terlihat bagi salah satu aktor baku perang dagang, yakni China. Dari sisi bursa internasional, ekspor dan impor China aktual masih tumbuh dalam ukuran yang positif. Selama periode Januari-Agustus 2018, ekspor Negeri Tirai Bambu masih mampu tumbuh dengan cepat rata-rata 14% secara tahunan (year-on-year/YoY), meskipun impornya juga masih naik dengan cepat rata-rata 21% YoY.Namun, pertumbuhan ekspor dan impor yang lumayan cepat tersebut bisa jadi disebabkan oleh faktor front-loading. Baik eksportir atau importir buru-buru menyelesaikan pengirimannnya, sebelum "taring" bayaran masuk menggigit bertambah dalam.Apabila dilihat dari indikator kesehatan dunia usaha di China, data-data yang ada malah memberitahukan adanya perlambatan. Hal ini aktual menjadi wajar, karena AS merupakan satu tujuan ekspor baku China. Pada tarikh 2017, eskpor China ke AS mencapai US$430,33 miliar, menjadi yang tertinggi di jarak negara-negara lainnya. Saat amanat impor Negeri Paman Sam berpindah akibat naiknya bayaran masuk (barang-barang impor hendak menjadi bertambah mahal), secara otomatis pembuat di China pun hendak menurunkan produksinya. Ketika deselerasi itu terjadi, pertumbuhan ekonomi China yang menjadi taruhannya. Beberapa data-data beserta memberitahukan hal tersebut.Pertama, indikator Caixing Manufacturing PMI China bergerak memberitahukan depresiasi setelah melewati semester I-2018. Indeks ini menandakan gambaran keseluruhan dari aksi bagian manufaktur. Saat indikator PMI berada di bawah 50 artinya ekonomi manufaktur mengalami kontraksi, sebaliknya nilai di arah 50 menunjukan ekspansi. Pada bulan Juni, indikator ini mampu ajek di kelas 51,1. Namun, sebulan setelahnya indikator ini jatuh ke kelas 51, dan bergerak berpindah engat mengawai kelas 50,6 atas bulan Agustus 2018. Pembacaan di bulan lalu itu juga masih bertambah rendah dari konsensus pasar di bilangan 50,7, sekaligus mengawai posisi tertinggi dari Juni 2017. Setali tiga uang dengan bagian manufaktur, indikator PMI non-manufaktur juga bergerak terjun bebas di bulan Juli 2018 ke kelas 54, dari sebelumnya sebanyak 55 di bulan Juni 2018. Level itu merupakan yang tertinggi dalam 11 bulan terakhir. Beruntungnya, atas bulan Agustus 2018, indikator PMI non-manufaktur masih dapat tumbuh ke tipis ke kelas 54,2, mengalahkan anggapan pasar sebanyak 53,8. Kedua, pabrikasi industri China mengalami deselerasi dari bulan Juni 2018. Sempat maju cepat engat 7,2% YoY di periode Januari dan Februari 2018, pertumbuhan pabrikasi industri Negeri Tirai Bambu anjlok ke kelas 6% YoY di bulan Maret 2018. Capaian itu merupakan yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, alias dari Agustus 2017. Memang, indeks ini dapat pulih dua bulan setelah itu (April 7% YoY dan Mei 6,8% YoY). Namun, atas bulan Juni 2018, pertumbuhannya anjlok lagi ke 6% YoY. Data teranyar di Agustus 2018, memberitahukan pabrikasi industri China teragendakan sebanyak 6,1% YoY, masih condong beku dari kelas di bulan Juni. Perlambatan itu nampaknya tidak lepas dari pabrikasi industri bagian manufaktur China yang melambat ke 6% YoY di Juni 2018. Pertumbuhan sebanyak itu merupakan yang kesiangan dari perdana kali data ini dikumpulkan (atau dari Mei 2013). Ketiga, tidak hanya dari sisi industri, deselerasi ekonomi China juga ditunjukkan oleh lesunya penjualan ritel, yang melambat ke kelas 8,5% YoY di Mei 2018. Level itu merupakan yang tertinggi dari perdana kali data ini dikumpulkan (atau dari November 2010). Pada bulan Agustus 2018, penjualan ritel Negeri Panda dapat pulih ke bilangan 9% YoY, akan tetapi jangkauan itu masih di bawah rata-rata pertumbuhan sepanjang 2018 di bilangan 9,3% YoY. Artinya, merespons berkecamuknya perang dagang, tingkat konsumsi masyarakat di negeri berpenduduk terbanyak di dunia itu cenderung melemah.(NEXT)
Oke pembahasan perihal Ini Bukti Perang Dagang AS-China Telah Merusak Ekonomi Dunia semoga artikel ini bermanfaat terima kasih
Artikel ini diposting pada tag ekonomi dunia 2018, perkembangan ekonomi dunia 2018, forum ekonomi dunia 2018,
Komentar
Posting Komentar