
Hohoho, berjumpa kembali di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan dibahas mengenai contoh kebudayaan daerah Ini 10 masalah ekonomi yang harus dibahas dalam debat capres pamungkas simak selengkapnya.
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Babak belakang Debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Republik Indonesia bercokol menghitung hari. Debat tersebut akan memanggul tema Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi, beserta Perdagangan dan Industri.
Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) memandang, tema bantah penutup tersebut layak krusial. Pasalnya, persoalan perniagaan dan kesentosaan sosial sedang menjadi permasalahan utama di Indonesia.
Di sisi lain, sektor keuangan negara, investasi, bursa dan pabrik dinilai menjadi solusi di mengeramkan persoalan perniagaan dan kesentosaan sosial yang dihadapi.
Ekonom Senior Indef Nawir Messi menyimpulkan, setidaknya sedia sepuluh permasalahan krusial di bidang perniagaan yang diharapkan tersentuh di helatan bantah Sabtu mendatang. Selain penting diangkat di debat, sepuluh permasalahan ini juga menjadi pekerjaan rumah yang mesti disoroti pemerintahan selanjutnya di bidang ekonomi.
1. Urgensi membaguskan jumlah dan kualitas perkembangan ekonomi
Indef mencatat, Indonesia mengalami perkembangan dengan rata-rata deras 5,27% year-on-year di dua dasawarsa belakang (2000-2018). Namun untuk keluar dari jeratan status benua berpendapatan menengah (middle income trap) dan menjadi benua maju, deras perkembangan tersebut tidak cukup.
Selain itu, Indonesia juga menghadapi masalah kualitas perkembangan ekonomi. Sebab, angka kemiskinan, disparitas sosial, dan pengangguran sedang tinggi. Porsi PDB juga sedang 58,5% terkonsentrasi di Jawa dan mengalami peningkatan di lima warsa terakhir.
2. Daya bayar beku di tengah deflasi yang cenderung rendah
Maret lalu, deflasi ala tahunan tercatat 2,48% year-on-year (yoy). Ekonom INDEF Eko Listiyanto, gaya deflasi saat ini terbilang sangat rendah.
"Tapi, deflasi rendah itu tidak layak memanggul daya bayar yang sedang beku di kisaran 5%. Sangat agak-agak deflasi rendah saat ini disertai dengan demosi daya beli. Hanya saja, karena banyaknya galang anggaran bansos ke masyarakat miskin, ini tidak sedemikian itu terlihat," bicara Eko.
Paradoks lainnya, berdasarkan Eko, merupakan suku bunga pinjaman yang tetap agung di tengah deflasi yang rendah. Lantas, ekspansi alam usaha pula tidak ikut terakselerasi.
3. Daya saing kalah
Survei atas perusahaan-perusahaan di Jepang (The Japan Bank for International Cooperation, 2018) menunjukkan demosi popularitas Indonesia sebagai benua tujuan pemodalan langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Dalam tiga warsa belakang ini peringkat Indonesia bergerak turun. Selain itu jumlah perusahaan di Indonesia juga mulai berkurang.
Di sisi lain, Vietnam justru bergerak menunjukkan peningkatan performa di menarik FDI, salah satunya dari Jepang. Berkebalikan dengan Indonesia, popularitas Vietnam bagi penyandang dana Jepang bergerak berkembang di tiga warsa terakhir.
4. Dilema perkembangan perniagaan vs. impor
Tingkat impor Indonesia sedang tinggi. Alasannya, output di sektor agraria dan peternakan semakin rendah selagi perkembangan penduduk, terutama kelas menengah, bergerak meningkat. Sektor pabrik juga sedang mengandalkan bahan baku impor.
"Kontribusi impor konsumsi juga telah mengaras 9% di tiga warsa terakhir. Ini memperlihatkan bahwa pabrik di bumi tidak mampu memenuhi keperluan di bumi diakibatkan dengan semakin bergesemya bangun perniagaan ke arah jasa," ujar Nawir.
5. Deindustrialisasi berlaku lebih cepat
Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho mencatat, Indonesia mengalami demosi porsi manufaktur atas PDB sejumlah 7% di sepuluh warsa terakhir. Negara seangkatan (peers) di ASEAN, bagai Thailand dan Malaysia tidak lebih dari 4%.
"Deindustrialisasi di Indonesia juga diperparah dengan perubahan pola pemodalan asing (FDI) yang cenderung berada di sektor tersier (jasa, perniagaan digital) dibandingkan sekunder (industri manufaktur)," ujarnya.
6. Logistik menghambat tumbuhnya perdagangan
Frekuensi bursa di Indonesia sedang rendah dibandingkan benua seangkatan (peers) ASEAN. Indonesia hanya memiliki rasio biji bursa atas PDB sejumlah 39,54%, selagi benua ASEAN bagai Malaysia memiliki 135,9% dan Thailand sejumlah 121,66%.
Nilai rendah ini salah satunya disebabkan minimnya peran penyediaan di perdagangan. Logistic Performance Index (LPI) 2018 menunjukkan biji Indonesia sejumlah 3,15. Meskipun berkembang dari warsa 2016, namun biji LPI ini lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia dan Vietnam.
7. Revolusi Industri 4.0 hanya euforia dan tidak siap
INDEF memandang, artikel Revolusi Industri 4.0 tidak dilakukan dengan menghampirkan matang. Andry menyebutkan dua alasan.
"Pertama, tidak adanya menghampirkan yang mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor prioritas dan tidak sedia menghampirkan prasarana dasar pabrik 4.0 ialah Internet of Things (IoT)," katanya.
Kedua, tidak sedia menghampirkan untuk memitigasi tenaga kerja yang terkena dampak dari pengimplementasian mekanisasi di sektor ini.
8. Kinerja bea rendah dan rasio sangkutan meningkat
Meski naik menjadi 11,5% warsa lalu, INDEF membuku tax ratio Indonesia mengalami gaya demosi semasa periode 2012-2017. Pencapaian tax ratio tersebut juga sedang jauh dari alamat di RPJMN 2015-2019 sejumlah 15,2% pada warsa 2018. Penerimaan bea yang tidak optimal juga membayang dari shortfall bea yang sedang terjadi.
Sementara, peningkatan rasio sangkutan atas PDB berbanding terbalik dengan tax ratio. Implikasinya beban pembalasan bunga sangkutan atas belanja pemerintah pusat semakin tinggi, dari 11% pada 2014 menjadi 17,13% bohlam Februari lalu.
9. Dana desa bermasalah
Alokasi Dana Desa bergerak berkembang dari Rp 20,8 triliun pada 2015 menjadi Rp 70 triliun warsa ini. Proporsi Dana Desa atas Transfer ke Daerah juga bergerak naik dari 3,45% menjadi 8,47%.
Namun, INDEF mencatat, kejayaan anggaran desa tidak berbanding lurus dengan peningkatan indikator sosial di perdesaan. Buktinya, berlaku gaya kejayaan disparitas di desa dari 0,316 di September 2016 menjadi 0,324 bohlam Maret 2018, kendati mulai turun bohlam Sep'18 menjadi 0,319.
Lebih spesifik lagi, sedang sedia 10 Provinsi dengan babak disparitas perdesaan yang lebih agung dibandingkan golongan nasional ialah Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua, dan Papua Barat.
10. Inkonsistensi kebijakan subsidi energi
Pada Tahun 2015, subsidi dorongan dipangkas engat 65,16% menjadi Rp 119 triliun. Penurunan subsidi dorongan bergerak berlanjut pada warsa 2016 dan 2017. Namun pada warsa 2018, subsidi dorongan lagi melambung engat 57%, dan warsa 2019 naik lagi 4,23%.
Agar subsidi dorongan tidak bergerak melonjak, INDEF menilai, pemerintah perlu membenahi sasaran penerima subsidi agar lebih tepat, bagai Gas 3 kg, pelanggan listrik golongan 900VA yang mampu.
Selain itu, Nawir menuturkan, akad pemerintah menurunkan subsidi dorongan ala gradual mestinya juga diikuti dengan pembangunan prasarana untuk Energi Baru Terbarukan (EBT) demi mengaras alamat bauran EBT sejumlah 23% pada 2025.
Reporter: Grace Olivia
Editor: Yoyok
Video Pilihan
Sekian pembahasan tentang Ini 10 masalah ekonomi yang harus dibahas dalam debat capres pamungkas semoga tulisan ini menambah wawasan salam
Artikel ini diposting pada kategori contoh kebudayaan daerah, contoh kebudayaan daerah nasional dan asing, contoh kebudayaan daerah sumedang,

Komentar
Posting Komentar