Budaya Sering Dilupakan Ketika Sebuah Perusahaan Berekspansi Ke Pasar Internasional. Perbedaan Budaya Lokal Dan Nasional

Allow, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", sesi kali ini akan menjelaskan mengenai perbedaan budaya lokal dan nasional budaya sering dilupakan ketika sebuah perusahaan berekspansi ke pasar internasional. simak selengkapnya
www.marketing.co.id – Sering kali budaya dilupakan ketika sebuah kongsi berekspansi ke pasar internasional. Perusahaan cenderung angkuh dan bersungguh-sungguh bahwa produk atau servis yang mereka tawarkan hendak diterima oleh nasabah di negara lain. Bahkan, multinational company (MNC) yang sudah eksis dan berpengalaman di pasar internasional, seperti Danone, IKEA, P&G, cenderung mengabaikan unsur budaya.
Mempertimbangkan budaya lokal sebagai strategi pengembangan internasional bukanlah keadaan yang baru. Bahkan, di sekolah-sekolah bisnis, keadaan ini bergerak didengungkan. Namun kenyataannya, habituasi dengan budaya selingkung melambangkan keadaan yang sering dilupakan. Eksekutif di perusahaan multinasional kian condong fokus menghasilkan komoditas dengan mutu terbaik, manajemen yang efisien, dan sistem distribusi yang luas.
Mereka sedemikian itu bersungguh-sungguh bahwa produk, manajemen, dan harga yang kian baik dari komoditas lokal hendak diterima oleh konsumen. Tetapi, mereka lupa bahwa hal yang dianggap baik oleh kongsi belum tentu sama dengan harapan masyarakat. Tak heran, sering kali kekalahan ekspansi suatu kongsi ke benua lain disebabkan arogansi kongsi untuk memaksa konsumen lokal menerima komoditas yang mereka tawarkan dan minimnya marketing research.
Tidak seperti keadaan perniagaan atau politik-hukum—seperti halnya tarif dan peraturan pemerintah—budaya merupakan unsur yang tak enteng diukur dan ditetapkan. Akan tetapi, budaya tak dapat dilepaskan dari bisnis multinasional. Budaya merupakan faktor unik suatu negara. Bahkan negara-negara Eropa yang sekarang menjadi satu kesatuan ajek mempunyai nilai-nilai budaya domestik yang berakar kuat. Tak heran bila banyak andal perniagaan yang meyakini bahwa nasabah dari budaya yang berbeda akan ajek memiliki sikap yang berbeda, persepsi, selera, alternatif dan nilai-nilai, dan ajek enggan untuk membeli produk asing (Suh dan Kwon, 2002).
Mengapa habituasi dengan budaya lokal sedemikian itu penting? Hal ini kembali ke teori bisnis yang memak nai sebuah komponen berarti dari profitabilitas adalah pendapatan, dimana pendapatan tergantung pada daya perusahaan memuaskan keperluan pelanggan lebih baik dari pesaing (Hauser et al, 2006). Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan
yang mengoperasikan bisnis mereka.
Lesson for Learning
Ada kaum pelajaran yang saya dapatkan ketika menghadiri berkilauan di the University of Queensland yang dihadiri oleh mahasiswa program master dari berbagai negara.
Pertama, budaya bukanlah keadaan baru, tapi sering terlupakan.
Dr. Sunil Vernaik, salah ahad andal bisnis internasional di the University Of Queensland, pada berkilauan tersebut menyatakan bahwa teori melanda pentingnya budaya dalam perdagangan antarbangsa bukanlah suatu teori yang baru, namun sering kali justru sering dilupakan ketika sebuah perusahaan berekspansi ke luar negeri. Kellogg’s sebagai contoh, produsen susu sereal yang sangat terkenal dan menguasai nyaris 40% pangsa pasar sereal di dunia ini alih-alih mengalami kegagalan saat mereka memasarkan produk ke India. Ekspansi dengan nilai jutaan dolar terancam merugi.
Kegagalan Kellogg’s bukan karena kualitas produk, manajemen, ataupun jalur distribusi, namun karena mereka kurang memahami budaya masyarakat India dalam mengonsumsi sereal. Konsumen di India terbiasa dengan susu yang hangat dan menambah gula ke dalamnya, sehingga ketika mereka melahirkan susu panas ke Kellogg’s crispy flakes membuat sereal tersebut menjadi lunak dan tak gurih.
Hal ini menyebabkan nasabah di India tidak menyukai Kellogg’s sereal. Kellogg’s berusaha mendidik nasabah di India untuk mengonsumsi komoditas mereka dengan cara orang Amerika—mereka menuangkan susu dingin ke crispy flakes. Cara seperti ini gencar diiklankan di televisi, dan Kellogg’s pun melancarkan lawatan ke konsumen. Namun, keadaan ini tak berhasil. Budaya orang India melahap sereal sebagai menu makan pagi tidaklah enteng diubah.
“Perusahaan harus bergerak beradaptasi dengan perubahan di lingkungan dan membuat keputusan tentang bagaimana mengubah strategi pemasaran mereka agar berhasil.
Kedua, adaptasilah strategi pemasaran dengan budaya yang bergerak berubah.
Budaya bukanlah sesuatu yang acap sama. Hal yang dipercayai baik oleh konsumen hari ini tidaklah sama untuk yaum berikutnya. Proses memahami apa yang diinginkan oleh konsumen tidaklah enteng karena cepatnya perubahan area tempat bisnis beroperasi.
Oleh karena itu, perusahaan harus bergerak beradaptasi dengan perubahan dalam area dan membuat keputusan tentang bagaimana mengubah strategi pemasaran mereka agar berhasil. Dalam strategi pemasaran internasional, perbedaan dalam area ekonomi, lingkungan politik hukum, dan area budaya merupakan batu ganjalan khas untuk sukses di pasar baru (Kotler et al, 2005).
Setelah membuka toko per tama di Philadelphia pada warsa 1985, IKEA menemukan bahwa komoditas yang diinginkan oleh masyarakat di Amerika tak seperti produk yang ditawarkan oleh IKEA. Rupanya, tempat tidur dan almari bufet dapur yang ditawarkan tak bertimbal dengan harapan masyarakat Amerika.
Sebaliknya, IKEA menawarkan kursi panjang yang terlampau keras untuk kenyamanan Amerika; dimensi produk berada di sentimeter bukan inci; dapur yang terlampau kecil untuk ukuran Amerika. Hampir semua yang ditawarkan oleh IKEA tak bertimbal dengan yang diinginkan konsumen di USA (Moon, 2002).
IKEA tertolong ketika budaya dan nilai konsumen di Amerika mulai berubah akibat perubahan teknologi. Pada waktu ledakan teknologi warsa 1990-an, sedia perubahan signifikan. Konsumen terinspirasi untuk membeli barang-barang berteknologi tinggi. Keinginan generasi baru akan teknologi, barang-barang berdesain tinggi, meningkat secara drastis.
Yang kian penting untuk IKEA ialah perubahan cerapan dan budaya masyarakat di Amerika membuat masyarakat berbondong-bondong ke IKEA untuk membeli sofa, perabotan, dan produkproduk IKEA yang memiliki buatan lebih modern daripada komoditas lokal. Masyarakat pun mulai berubah persepsi; perabotan mahal bukan dinilai dari material, tetapi dari segi desain. Untuk IKEA, ini adalah kesempatan.
Ketiga, faktor marketing research mutlak untuk pengembangan ke luar.
Market research untuk mengerti keinginan konsumen, menghargai budaya lokal dengan menyesuaikan komoditas dan budaya setempat itulah kunci sukses untuk memasarkan produk ke suatu benua dengan budaya yang berbeda. IKEA sebagai contoh, pada waktu pertama kali masuk ke USA, mengalami kegagalan yang fatal sebagai akibat tidak adanya riset penjualan yang memadai mengenai budaya masyarakat di USA. Mereka melalaikan antagonisme budaya konsumen yang cukup mendasar antara Eropa dan USA (Leland, 2002). Bahkan, mereka cenderung angkuh dan yakin produk-produk IKEA hendak diterima dengan mudah. Akibatnya, IKEA mengambil pil pahit dan arung kerugian yang signifikan akibat kekalahan mereka memasarkan produk yang bertimbal dengan keinginan konsumen di Amerika.
IKEA juga mengubah strategi pemasaran mereka dan melancarkan riset pemasaran yang mendalam melanda preferensi konsumen di Amerika. Kini, IKEA mempunyai 37 toko di Amerika Serikat dan mendapatkan 11% dari seluruh penjualan dari sana, yang merupakan benua terbesar kedua, diikuti oleh Jerman (IKEA website, 2010).
Pada akhirnya, menghargai budaya lokal menjadi kunci sukses bagi perusahaan. Arogansi sering kali membuat habituasi ke budaya lokal sebagai belahan dari strategi pemasaran antarbangsa terlupakan. Bagi kongsi yang hendak memperluas pemasaran ke luar negeri, mungkin teori “go global think locally” perlu untuk dipertimbangkan.
LIEM GAI SIN, dosen Universitas Ma Chung
dan konsultan Limanbrother

Sekian penjelasan tentang budaya sering dilupakan ketika sebuah perusahaan berekspansi ke pasar internasional. semoga artikel ini bermanfaat salam
Tulisan ini diposting pada label perbedaan budaya lokal dan nasional, perbedaan antara budaya lokal dan nasional, apa perbedaan dari budaya lokal dan budaya nasional,
Komentar
Posting Komentar