Hallo, bertemu kembali di "Indonesia Dalam Berita", sesi kali ini akan membahas tentang budaya kontemporer Bertemunya Ritual Kuno dengan Gebyar Budaya Kontemporer | Indonesia.go.id simak selengkapnya.
Sosok anak berbulu gimbal, diakui berjibun ahli sebagai air muka peradaban yang banyak tua. Fenomenanya mengeras dari catatan Mesir Kuno, kitab-kitab Wedha Hindustan, engat reinkarnasi Lama di Tibet.
Upacara pembantaian bulu gimbal. Sumber foto: Dok DCF
Festival Budaya Dieng ataupun istilah internasionalnya Dieng Culture Festival (DCF) merupakan acara budaya yang diadakan saban tahun di kawasan liburan dataran adiluhung Dieng. Kawasan liburan ini, secuil bersarang di wilayah Kabupaten Banjarnegara, secuil lagi bersarang wilayah Kabupaten Wonosobo. Kerja sama jarak duet dinas pelancongan duet kabupaten inilah yang melahirkan daftar budaya yang diselenggarakan ala sah sejak 2010.
Pekan Budaya Dieng pada 2006 ialah rintisan awal kerja sama duet kabupaten buat menyelenggarakan daftar tahunan yang menarik. Upacara ruwatan anak gimbal ialah insiden yang dipilih sebagai kapabilitas tariknya. Perkembangan berikutnya, pada 2010, kelompok bangkit liburan (Pokdarwis) Pandawa Dieng Kulon, bekerja sama dengan biro pariwisata, perusahaan sponsor, dengan pegiat liburan ekologi mengembangkan daftar tahunan ini di bentuk festival.
Festival Budaya Dieng pada dasarnya menggabungkan beragam pagelaran seni budaya, upacara ruwatan, engat pameran kerajinan di balutan liburan ekologi. Salah satu yang dikembangkan buat memajukan menambah kunjungan ke kawasan liburan yang berangkaian dengan hajatan ini ialah pengembangan rumah-rumah masyarakat di sekitar dataran adiluhung Dieng sebagai aparat penginapan ataupun homestay.
Konsep penginapan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat ialah salah satu daya buat memajukan menambah jumlah kunjungan sekaligus memperpanjang rentang waktu kunjungan. Terbukti, engat tahun kesembilan penajaan festival, jumlah rumah masyarakat yang jadi penginapan belah wisatawan sudah berkembang bertambah dari 200 hunian. Berdasarkan belajar yang dilakukan Dinas Pariwisata Jawa Tengah, penajaan DCF pada 2018 menduga mampu melegarkan roda perekonomian kawasan liburan dataran adiluhung Dieng engat sebanyak Rp60 miliar.
Alif Faozi, koordinator Pokdarwis Dieng Kulon, saat wawancara dengan Antara menuturkan bahwa penajaan DCF pada Agustus 2018 mampu mendatangkan bertambah dari 160 mili wisatawan dari beragam daerah. Berdasarkan survei kecil yang dilakukan terhadap pengunjung festival, pada umumnya pengunjung menghabiskan biaya jarak Rp200 mili engat Rp300 mili per hari.
Penyelenggaraan DCF pada Agustus 2018 ialah kisah berhasil tiga yaum penajaan festival. Hari pertama hajatan diisi dengan Festival Desa Wisata Banjarnegara yang merupakan ajang pameran produk-produk unggulan wilayah sekitar. Berbagai kerajinan tangan, baju, dengan pakaian, pernik-pernik cendera mata, aneka kuliner engat pameran barang khas beragam desa membanjiri 18 gerai. Seperti halnya penajaan pada tahun-tahun sebelumnya hajatan yaum pertama dilanjutkan pada lilin batik harinya dengan penajaan atraksi musik Jazz, ‘Jazz Atas Awan’ yang memunculkan bintang pengunjung Gugun Blues Shelter.
Hari kedua penajaan DCF semakin meriah dengan beragam hajatan yang unik seperti Festival Caping, Festival Domba, Festival Bunga, dengan Festival Tumpeng. Acara disemarakkan dengan Kirab Budaya yang dilanjutkan dengan Sendratari Rambut Gembel. Malamnya, atraksi musik jazz yaum kedua memunculkan bintang pengunjung ‘kejutan’ yang tidak dipublikasikan sebelumnya. Letto, klik musik dari Yogyakarta ialah yang tampil saat itu. Puncaknya pada lilin batik itu ajang hajatan dipenuhi dengan pelepasan beribu-ribu lampion warna-warni yang memunculkan suasana berparak di dinginnya dataran adiluhung yang terletak 2.093 meter di atas permukaan laut.
Puncak penajaan DCF ada pada yaum ketiga. Ritual pembantaian bulu anak gimbal ialah budaya khas yang menduga akrab sejak awal di bangsa Dieng. Ruwatan ini dipercaya dapat mengusir nasib buruk ataupun kesialan belah bocah gimbal dengan bangsa Dieng. Beberapa anak berbulu gimbal diarak dengan dipotong rambutnya di Candi Arjuna lengkap dengan beragam prosesi formalitas khas yang menyertainya. Salah satu syarat sahnya formalitas ini ialah membanjiri amanat sang anak gimbal. Apapun yang diminta oleh anak itu harus dipenuhi sebelum dilakukan pembantaian rambut. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowopada saat itu berpeluang mengikuti formalitas khas tahunan bangsa Dieng yang ditunggu-tunggu oleh berjibun orang.
Mulai dari es krim coklat, ikan lele, sepatu roda, engat ponsel dengan tablet ialah beragam amanat yang muncul dari bawah umur berbulu gimbal yang didatangkan dari wilayah sekitar. Salah satu anak, bahkan datang dari Cikampek, Jawa Barat.
Fenomena bocah berbulu gimbal dengan formalitas pembantaian bulu ialah fenomena unik di Dieng sejak dahulu. Anak-anak itu ialah anak yang berusia jarak 40 yaum engat 6 tahun rambutnya berkembang gimbal ala alami. Kemunculan bulu gimbal biasanya didahului dengan naiknya master tubuh selama beberapa hari. Rambut gimbal akan berkembang bersama dengan master tubuh anak yang membaik. Masyarakat sekitar dataran adiluhung Dieng percaya bahwa bawah umur gimbal tersebut merupakan pesanan leluhur membayangkan yang bernama Kyai Kolo Dete. Konon dia ialah salah seorang regen yang ditugaskan mempersiapkan pemerintah di wilayah dataran adiluhung Dieng pada masa transisi menjelang munculnya negara Mataram pada abad 14.
Ada lagi versi yang mengatakan bahwa bawah umur berbulu gimbal ialah pesanan penguasa laut daksina kepada Kyai Kolo Dete. Anak-anak bajang, demikian sebutan belah bawah umur gimbal itu ialah simbol kekuatan abnormal yang dipercaya memiliki ‘tuah’ ataupun keistimewaan tersendiri di beragam riwayat legenda Jawa. Denys Lombard, peneliti budaya Indonesia dari Sorbonne, Prancis, pernah menulis di bukunya Nusa Jawa, Lintas Budaya, jilid ketiga tentang Warisan Kerajaan Konsentris bahwa salah satu ciri khas budaya khas Indonesia, di hal ini Jawa, ialah bertemunya unsur-unsur peradaban yang bertambah arkais di di ekspresi-ekspresi peradaban sesudahnya tanpa kematian makna pentingnya.
Keanekaragaman warisan budaya yang ada saat ini ialah bukti bangsa Indonesia memiliki cetak biru yang mampu jadi wadah yang lestari engat mampu diapresiasi oleh bangsa yang berumur beribu-ribu tahun sesudahnya. Anak-anak berbulu gimbal sebagai tetesan dewa ataupun leluhur ialah air muka yang kedapatan di di beragam peradaban arkais di beragam belahan dunia.
Sosok anak berbulu gimbal, diakui berjibun ahli sebagai air muka peradaban yang banyak tua. Fenomenanya mengeras dari catatan Mesir Kuno, kitab-kita Wedha Hindustan, engat reinkarnasi Pendeta Lama di Tibet. Dan di Indonesia, warisan budaya tua, engat yaum ini masih hidup dengan menghidupi kendatipun didera tantangan perubahan zaman yang sejenis itu deras. Oleh karenanya, sudah jadi kewajiban semua orang Indonesia yang bangkit buat menjaga dengan melestarikan warisan aki moyang yang tidak ternilai harganya. (Y-1/T-1)
Sekian pembahasan mengenai Bertemunya Ritual Kuno dengan Gebyar Budaya Kontemporer | Indonesia.go.id semoga info ini bermanfaat terima kasih
Artikel ini diposting pada tag budaya kontemporer, apa itu budaya kontemporer, pengertian seni budaya kontemporer,
Komentar
Posting Komentar