Undang Undang Desa Dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center For Security And Welfare Studies Kebijakan Ekonomi Mikro
Hohoho, berjumpa kembali di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan menjelaskan mengenai kebijakan ekonomi mikro Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center for Security and Welfare Studies simak selengkapnya.
Pendahuluan
Undang-Undang No 6 Tahun 2014 atas Desa yang dikenal dengan buah bibir UU Desa telah disahkan bagi Pemerintah Republik Indonesia dan dinggap sebagai babak baru dalam bingkisan kekuasaan, penataan dan sentralisasi Desa. Terbitnya UU Desa ini dianggap sebagai akreditasi benua atas keberadaan Desa sebagai sebentuk wilayah otonom, apik banat sebagai sebentuk kesatuan asas meskipun banat sebagai kesatuan budaya di Nusantara. Selanjutnya sebagai alas dan petunjuk asas aplikasi UU Desa, Pemerintah lagi telah membangkit Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 atas Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 atas Dana Desa.
UU Desa ini bagi berlimpah daerah dikatakan sebagai UU Desa terlengkap dibanding UU Desa sebelumnya. UU ini telah mengakomodasi berlimpah hal yang muaranya buat mengamankan dan memberdayakan banat biar jadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dalam UU ini domisili banat ditempatkan atas kedudukan kian terhormat dan diakui sebagai pangkal yang berprakarsa. Selanjutnya di dalam Penjelasan UU ini lagi disebutkan, bahwa “Mengingat kedudukan, kewenangan, dan moneter banat yang semakin kuat, penyelenggaraan rezim banat diharapkan kian akuntabel yang didukung bagi bentuk kepam dan keseimbangan celah pemerintah banat dan lembaga desa”. Artinya menurut substantif UU ini, memberikan kepercayaan, baik dan tanggung balasan kepada berbagai pihak, ialah jajaran rezim nasional, daerah, lokal, pertama para pemangku interes di desa-desa.[1]
Salah satu dominasi UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa adalah adanya komitmen negara buat melegalkan ataupun rekognisi dan mengamankan desa-desa ataupun cap beda di seantero Indonesia guna melancarkan konstitusi artikel 18 B UUD 1945. Desa-desa tersebut tak saja diakui menurut legal absah bagi negara, tetapi lagi diberikan jaminan akar pendapatan yang absolut yang berasal dari APBN, APBD, dan akar pendapatan asli banat itu sendiri.
Mencermati ketentuan-ketentuan dalam UU Desa di atas, sececah terlihat amat indah dan mulia, tetapi andaikata memandang jalan kelahirannya yang tak lepas dari desakan “Parade Nusantara” atau daerah LSM sebagai kelompok pemencet (pressure group) yang mengumpulkan perangkat desa, maka UU tersebut berat bersifat segmented, artinya sekadar menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya atasan banat dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat banat dalam UU itu konsisten sekadar dijadikan obyek katimbang subyek. Pendekatan kapitalistik dengan aur dana ke banat dalam UU tersebut, bisa dikatakan mirip dengan politik dana (money politics) yang dilegalkan bagi negara.[2]
Oleh karena itu kajian terhadap UU Desa melambangkan keharusan dan bukan tak agak-agak UU Desa ini lagi berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial budaya baru serta berat bersifat counter-productive terhadap cita-cita membentuk banat dan kesentosaan penduduk perdesaan. Salah satu indikatornya adalah UU Desa ini bukan affirmative policy yang memposisikan seantero bala tentara banat sebagai pihak perdana yang hendak dibela dan diberdayakan. Seharusnya UU ini memastikan biji minimal, apabila 50% dari habis-habis-an jumlah desa, diwajibkan dialokasikan untuk membentuk infrastruktur jemaah pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, konservasi parit-parit, kuburan-kuburan desa, persuratan desa, membentuk gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, membela got tali air desa, meningkatkan sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).
Ketidakmunculan biji afirmatif dalam UU Desa ini, maka hal minus yang krusial diantisipasi adalah penyimpangan moneter banat bagi aparatur rezim banat (kepala desa, perangkat banat dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) ataupun pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Dengan demikian cacat satu kelemahan pokok kayu UU banat ini adalah jumlah banat dihabiskan ataupun dihambur-hamburkan, misalnya buat upacara-upacara budaya yang terlampau sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, buat diboroskan dengan berbelanja oto atau sepeda motor dinas; buat “studi banding”, ataupun buat “foya-foya”.
Refleksi Pengaturan Desa di Era Orde Baru
Sebelum terbentuknya benua modern, banat melambangkan entitas sosial yang ada identitas dan kelengkapan budaya asli, tradisi ataupun institusi lokal yang beragam, sebentuk rezim yang demokratis, dan suah ada independensi khas (asli) dalam mengatur kehidupannya sendiri (self governing community).[3] Antara desa, kerajaan, ataupun benua melambangkan saling aliran organisasi yang berparak kawasannya, namun sama obyek dan pangkal pelakunya, ialah rakyat.[4]
Realitas banat di atas, telah arung perubahan, yakni kemiskinan, keterisoliran dan ketidakberdayaan. Tetapi ironisnya, atas abad Orde Lama dan Orde Baru justru diklaim memberikan andil bena terhadap bidang perdagangan dan politik. Reforma Agraria (di Jawa abad Orde Lama), acara pembangunan, transmigrasi, Keluarga Berencana, kerja bakti, ABRI Masuk Desa (AMD), aktivitas inovasi perhumaan (padi varietas unggul) dan penggiatan pertanian; semuanya berlangsung di desa. Bahkan dalam pemilihan umum, para bakal kelompok politik mengandalkan dukungan abad yang berasal dari bala tentara desa. Gambaran tersebut sekaligus membuktikan hasrat obyektifikasi banat bagi tekanan politik dan perdagangan yang biasanya berasal dari luar desa.[5]
Obyektifikasi banat dalam aliran regulasi andaikata ditarik garis waktu mulai abad Orde Baru berbatas dengan reformasi, pemerintah telah empat kali melancarkan pergantian kanon buat mengatur atas desa, ialah UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004, dan terakhir adalah UU No. 6 Tahun 2014. Keempat kanon tersebut, konsep banat diberi batasan menurut beragam, meskipun menurut subtansial keempat batasan tersebut tak antara berbeda. Konsekuensi diskrepansi batasan desa, menurut normatif amat berpengaruh atas wewenang yang dimiliki bagi desa.
UU No. 5 Tahun 1979 memberikan definsi banat sebagai “suatu wilayah yang ditempati bagi sebesar orang sebagai kesatuan asosiasi termasuk di dalamnya kesatuan asosiasi asas yang mempunyai organisasi rezim terendah langsung di kolong Camat dan berhak asuh kediaman tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
UU No. 22 Tahun 1999 batasan banat ataupun cap beda sebagai “kesatuan asosiasi asas yang ada kewenangan buat mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat beralaskan aluran dan budaya adat setempat yang diakui dalam bentuk Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.
Sedang UU No. 32 Tahun 2014 memberikan batasan banat sebagai “kesatuan asosiasi asas yang ada batas-batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat, beralaskan asal-asul dan budaya adat setempat yang diakui dan dihormati dalam bentuk Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dan UU No. 6 Tahun 2014 banat didefinisikan sebagai “kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi pemerintahan beralaskan buah pikiran masyarakat, lurus asal usul dan/atau lurus tradisional yang diakui dan dihormati dalam bentuk rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia”.[6]
Perbedaan batasan yang terlihat kontras adalah UU No. 5 Tahun 1979, di mana banat dianggap sebagai satu wilayah yang ditempati bagi sebesar penduduk. Desa sekadar diposisikan sekadar sebagai sebentuk ruang asosiasi tinggal dan hidup. Sedang UU UU No. 6 Tahun 2014 diperoleh akumulasi jadi “desa adat” sebagai aliran akomodasi bagi pemerintah terhadap beberapa banat di alam yang ada keunikan dan berparak dari banat atas biasanya (desa adat). UU No. 5 Tahun 1979, banat tak diberikan lurus penuh dalam mengampukan pemerintahannya, namun berada di kolong Camat. Sedang UU berikutnya, banat diberikan kewenangan kian bambang (otonomi) utuk membenahi daerahnya beralaskan aluran dan adat-istiadat setempat. Kata “asal-usul” tersebut dianggap menutup bab kerja sama masyarakat, sehingga bicara tersebut diubah jadi “prakarsa” dalam UU terbaru. Dengan memanfaatkan bicara buah pikiran diharapkan bisa becus membuka kerja sama seluas-luasnya terhadap masyarakat.[7]
Politik asas UU No. 5 Tahun 1979 adalah “menyeragamkan” desa, yakni siap antusiasme aduk yad pemerintah fokus terhadap desa. Artinya banat tak diberikan akses buat mewadahi dan memfasilitasi heterogenitas yang dimiliki. Implikasinya banat tak juga diimajinasikan ada keistimewaan dan orisinalitasnya yang beragam, membeda-bedakan diperlakukan menurut seragam (diseragamkan). Hal tersebut berakhir atas hilangnya lurus ulayat dan lurus atas akar kehidupan, bagaikan lurus atas hutan yang dimiliki banat jadi hak benua dan pungutan atas kekayaan bidang yang diambil alih bagi pemerintah alam babak I dan II. Sebagai gantinya pemerintah banat memperoleh Uang Pembangunan Desa (Bangdes) dari pemerintah pusat. Di sisi itu berbentuk kembali Lembaga Musyawarah Desa (LMD) sebagai penampung aspirasi masyarakat. Namun, arahan lembaga tersebut dirangkap bagi Kepala Desa dan Sekertaris Desa.[8]
Selanjutnya dalam UU No. 22 Tahun 1999 diperoleh pergesekan atas kedudukan dan kewenangan banat dengan anggota rezim di atasnya (negara). Pergeseran itu pertama atas bagaimana independensi banat mulai ditekankan balik selepas sekian rentang waktu di kolong sentralisme politik dan penyeragaman desa. Landasan ajaran dalam UU ini adalah keanekaragaman, partisipasi, independensi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa melambangkan subsistem dari bentuk penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Desa ada kewenangan buat mengatur dan membenahi kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung balasan kepada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan informasi pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Badan Perwakilan Desa (BPD) mempunyai kedudukan amat bangkit dan berfungsi sebagai lembaga legislasi, kepam dalam pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Keputusan Kepala Desa. Kepada banat diberikan kewenangan eksplisit yang mencakup: (a) kewenangan yang telah siap beralaskan lurus aluran desa, (b) kewenangan yang bagi anggaran dasar perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan bagi alam dan pemerintah, serta (c) darma pembantuan yang diberikan bagi pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten. Ruang kosong kewenangan rezim yang belum diisi bagi pemerintah alam dan bagi pemerintah pusat, menurut UU ini sebenarnya boleh diambil bagi desa, tetapi realitasnya tak mudah diisi.[9]
Kemudian dalam UU No. 32 Tahun 2014 menempatkan banat bukan sekadar sebagai “komunitas yang menyuruh sendiri” (self-governing community), membeda-bedakan lagi “pemerintahan lokal yang mandiri” (local self government). Namun demikian, atas detik yang sama UU ini memperkenalkan konsep urusan pemerintahan. UU ini sekadar membagi urusan rezim dan atas detik yang sama tak membagi kewenangan pemerintahan. Artinya kewenangan banat mengikuti urusan yang diberikan bagi pemerintah di atasnya. Istilah independensi banat dalam UU ini didefinisikan menurut terbatas, yakni dilaksanakan dengan ajaran independensi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab yang diwujudkan dengan pengaturan, bingkisan dan perimbangan keuangan.[10]
Terdapat dobel ajaran utama bingkisan kewenangan dalam UU ini, yaitu: (1) kewenangan pemerintah yang menurut despotis tak bisa dilimpahkan kepada daerah/desa karena melibat interes kelangsungan hidup bani dan negara, celah beda meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal domestik serta agama; dan (2) tak siap urusan pemerintah yang sepenuhnya bisa diserahkan kepada daerah/desa. Sedangkan bagian-bagian kewenangan rezim yang diserahkan kepada daerah/desa sekadar kewenangan yang melibat interes asosiasi setempat, dan atas alas ajaran ini kewenangam yang dimiliki banat menurut otonom sekadar hendak terjadi atas kewenangan aluran saja sebagaimana dalam artikel 206 abjad a.
Otonomi banat yang dikandung dalam antusiasme UU No. 32 Tahun 2004 bersifat “pemberian” dan bukannya “bawaan”, ialah kewenangan yang terdapat atas alas amal bagi anggota rezim yang kian tinggi. Sedangkan “hak bawaan” melambangkan sebaris lurus yang berbentuk dari satu jalan sosial, ekonomi, politik dan budaya dari satu asosiasi asas tertentu, termasuk produk dari jalan hubungan dengan persekutuan-persekutuan asosiasi asas lainnya.[11] Otonomi sebagai “hak berian” itu menurut implisit lagi menggambarkan bahwa banat atas dasarnya lagi belum otonom sejauh tak diberikan independensi bagi rezim di atasnya (negara). Semangat independensi terbatas (pemberian) dijelaskan menurut kian detail dalam PP No. 72 Tahun 2005. Pasal 7 PP itu menyatakan, urusan rezim yang jadi kewenangan banat mencakup: (a) urusan rezim yang telah siap beralaskan lurus asal usul desa; (b) urusan rezim yang jadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; (c) darma pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang bagi peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Dalam hal rezim desa, UU No. 32 Tahun 2004 mengartikan rezim banat terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa mempunyai kewajiban buat memberikan informasi penyelenggaraan rezim banat kepada Bupati/Walikota, memberikan informasi keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, serta menginformasikan informasi penyelenggaraan rezim banat kepada masyarakat. Kepala Desa tak juga bertanggung balasan kepada BPD sebagaimana garis atas UU sebelumnya. Untuk meningkatkan jasa kepada asosiasi di tingakt desa, ditegaskan bahwa dabir banat (Sekdes) diisi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang artinya seorang pejabat/pegawai karier
Politik Hukum Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Jika mengintil ke belakang, alas yuridis politik asas rezim banat bisa digambarkan sebagai berikut:[12]
No. | Perundangan | Desa |
1. | Regeringsreglement (RR) Pasal 71, Tahun 1854. | Mengatur atas ikrar dan pemilihan Kepala Desa dan Pemerintah Desa, serta lurus Desa buat mengatur dan membenahi kediaman tangganya sendiri. |
2. | Osamu Seirei No. 7 tahun 2604 (1944) | Pemilihan dan pembebasan atasan desa, dan buah bibir atasan banat sebagai Kuco. |
3. | UU No. 1 Tahun 1945 | Tidak siap harmonisasi atas banat menurut eksplisit |
4 | UU No. 22 Tahun 1948 | Kemungkinan ataupun memandu banat sebagai Daerah Otonom Tingkat III |
5 | UU No. 1 Tahun 1957 | Kemungkinan dibentuk Daerah Otonom Tingkat III, namun harus hati-hati |
6 | UU No. 19 Tahun 1965 | Desa ditempatkan sebagai Daerah Tingkat
III dengan acara dan buah bibir Desapraja |
7. | UU No. 5 Tahun 1974 | Mengaturan atas rezim Desa yang berdasar perundang-undangan tersendiri. |
8. | Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1978 atas GBHN |
Berisi: “… memperkuat rezim banat biar bahkan becus menggerakkan asosiasi datam partisipasinya dalam pembangunandan penyelenggaraan manajemen banat yang bahkan meluas dan efektif”. Untuk itu krusial disusun Undang-Undang atas Pemerintahan Desa. |
9. | UU 5 Tahun 1979 | Desa berkedudukan langsung di kolong Camat, dimana Camat melambangkan Kepala Wilayah yang melaksanakan satuan rezim tegak (dekonsentrasi). |
10. | UU 22 Tahun 1999 | Desa diatur dalam suatu kanon dengan Pemerintahan Daerah. Desa melambangkan subsistem dari pemerintahan yang pengaturannya lebih berumur diserahkan kepada alam Kabupaten dengan
membentuk Perda. Tanpa siap penjelasan berumur mengenai subsistem, maka kedudukan banat berada di dalam ataupun di luar kediaman tangga kabupaten. |
11. | UU 32 Tahun 2004 | Desa kembali ditempatkan dalam kanon mengenai Pemerintahan Daerah, yang menempatkan banat di dalam rezim Kabupaten/Kota. |
Selanjutnya arah UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa, sebagaimana telah disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas 15 januari 2014, bertujuan: (1) Memberikan akreditasi dan ikram atas banat yang telah siap dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memberikan ketegasan kedudukan dan kepastian asas atas banat dalam bentuk politik Republik Indonesia buat mewujudkan kesamarataan alokasi seantero bala tentara Indonesia; (3) Mmelestarikan dan mempresentasikan adat, tradisi, dan budaya asosiasi desa; (4) melecut prakarsa, gerakan, dan kerja sama asosiasi banat buat ekspansi energi dan aset banat guna kesentosaan bersama; (5) Membentuk rezim banat yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (6) Meningkatkan jasa jemaah alokasi penduduk asosiasi banat guna meligat manifestasi kesentosaan umum; (7) Meningkatkan kegigihan sosial budaya asosiasi banat guna mewujudkan asosiasi banat yang becus melantan kesatuan sosial sebagai bagian dari kegigihan nasional; (8) Memajukan perekonomian asosiasi banat serta melampaui disparitas pembangunan nasional; dan (9) Memperkua tmasyarakat banat sebagai poin pembangunan.[13]
Sedangkan akar harmonisasi dalam UU Desa ini adalah: (1) Rekognisi, ialah akreditasi terhadap lurus asal usul; (2) Subsidiaritas, ialah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengutipan dekrit menurut lokal buat interes asosiasi desa; (3) Keberagaman, ialah akreditasi dan ikram terhadap bentuk nilai yang berlaku di asosiasi desa, tetapi dengan konsisten membenakan bentuk nilai bersama dalam aktivitas aristokrat dan bernegara; (4) Kebersamaan, ialah antusiasme buat berperan bersungguh-sungguh dan beraksi sama dengan ajaran saling menilai celah kelembagaan di babak banat dan anggota asosiasi banat dalam membentuk desa; (5) Kegotongroyongan, ialah kebiasaan saling bantu-membantu buat membentuk desa; (6) Kekeluargaan, ialah kebiasaan penduduk asosiasi banat sebagai bagian dari satu kesatuan ahli besar asosiasi desa; (7) Musyawarah, ialah jalan pengutipan dekrit yang melibat interes asosiasi banat dengan diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan; (8) Demokrasi, ialah bentuk pengorganisasian asosiasi banat dalam satu bentuk rezim yang dilakukan bagi asosiasi banat ataupun dengan izin asosiasi banat serta keluhuran harkat dan gengsi manusia sebagai anasir tuhan yang maha esa diakui, ditata, dan dijamin; (9) Kemandirian, ialah satu jalan yang dilakukan bagi pemerintah banat dan asosiasi banat buat melancarkan satu aktivitas dalam rangka membanjiri kebutuhannya dengan kapabilitas sendiri.[14]
Pertimbangan disahkannya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 adalah: (1) Bahwa banat ada lurus asal usul dan lurus tradisional dalam mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat dan berperan mewujudkan cita-cita independensi beralaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Bahwa dalam darmawisata politik Republik Indonesia, banat telah berbunga dalam berbagai aliran sehingga krusial dilindungi dan diberdayakan biar jadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga bisa mengadakan alas yang bangkit dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan mengabah asosiasi yang adil, makmur, dan sejahtera; (3) Bahwa banat dalam susunan dan acara aturan penyelenggaraan rezim dan pembangunan krusial diatur tersendiri dengan undang-undang.[15]
Konsideran di atas, didasarkan atas alas antusiasme penerapan amanat konstitusi, ialah harmonisasi asosiasi asas budaya bertimbal dengan garis Pasal 18B bagian (2) buat diatur dalam susunan rezim bertimbal dengan garis Pasal 18 bagian (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan asosiasi asas budaya mengenai harmonisasi lurus ulayat melihat atas garis anggaran dasar perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Lebih berumur lagi disebutkan, dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan asosiasi asas budaya yang selagi ini melambangkan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian paras jadi Desa dan Desa Adat.
UU ini memberikan kedudukan yang bangkit kepada atasan banat dan memperkenalkan lembaga baru yang disebut keramian banat yang melambangkan sebentuk forum pembicaraan yang diikuti bagi BPD, Pemerintah Desa, dan anggota asosiasi banat buat memusyawarahkan hal yang bersifat strategis. Artinya, saban banat harus menghidupkan sebentuk forum politik yang inklusif di mana komplikasi vital dimusyawarahkan bersama. Dengan demikian diharapkan asosiasi banat hendak berbunga jadi komunitas yang kohesif.
Dalam manajemen pembangunan, UU ini memanfaatkan dobel pendekatan, ialah “Desa membangun” dan “membangun Desa”. Penggabungan pendekatan itu dimaksudkan biar pembangunan banat ampuh meningkatkan kesentosaan asosiasi banat dan derajat hidup manusia serta penanggulangan kemelaratan dengan penyediaan pelampiasan keperluan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, ekspansi energi perdagangan lokal, serta pemakaian akar kapasitas bidang dan area menurut berkelanjutan. Untuk itu, banat harus menyusun penjadwalan pembangunan bertimbal dengan kewenangannya dengan mengacu atas penjadwalan pembangunan kabupaten/kota. Dokumen agenda pembangunan banat melambangkan satu-satunya dokumen penjadwalan di banat dan sebagai alas penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Perencanaan pembangunan banat diselenggarakan dengan mengikutsertakan asosiasi banat dengan keramian penjadwalan pembangunan desa, yang menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan keperluan pembangunan banat yang didanai bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya asosiasi desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Pembangunan banat dilaksanakan dengan antusiasme memikul royong serta memanfaatkan kebijakan lokal dan akar kapasitas bidang desa. Sementara itu, pelaksanaan acara sektor yang bersarang ke banat diinformasikan kepada pemerintah banat dan diintegrasikan dengan agenda pembangunan desa.
Kebersamaan dan kohesivitas hendak kian mudah direalisasikan andaikata ditegakkan tanpa transparansi. Masyarakat banat berhak memperoleh informasi dan melancarkan pemantauan mengenai agenda dan pelaksanaan pembangunan desa. Menyadari amat pentingnya tranparansi, UU ini mengharuskan dikembangkannya bentuk informasi banat yang bisa diakses bagi asosiasi banat dan semua pemangku kepentingan.
Potensi Permasalahan Sosial Budaya
Banyak amat perubahan mendasar dalam UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa, mulai dari manajemen moneter desa, bingkisan dominasi politik desa, manajemen akar kapasitas dan cetak biru pembangunan desa-desa di Indonesia. Perubahan-perubahan itu nampaknya tak mudah buat disinkronisasikan dengan aktualitas asosiasi pedesaan terkini dan berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam aktivitas sosial budaya. Potensi permasalahan-permasalahan sosial budaya dalam UU ini, bisa dipetakan sebagai berikut:
- Konsep banat dan banat adat
Pengertian banat budaya berparak celah sebelum terbitnya UU Desa ini dengan sesudah terbitnya UU ini. Di Bali. Pengertian banat budaya adalah ruang pelaksanaan aliran agama dalam sepirit takwa, etika, dan upacara yang bertalian atas wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan dalam UU ini, banat budaya adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi urusan pemerintahan, interes asosiasi setempat beralaskan buah pikiran masyarakat. Perbedaan konsep banat budaya ini bisa diapstikan menimbulkan gejolak di akan datang hari.
Ketentuan Pasal (6) UU Desa, bahwa banat terdiri dari banat dan banat adat, tetapi penjelasan artikel 6 dinyatakan bahwa dalam satu wilayah sekadar diperoleh banat ataupun banat budaya dan buat alam yang telah terjadi memakai bertumpukan celah banat dan banat budaya dalam satu wilayah harus dipilih cacat satu macam bertimbal dengan garis UU Desa itu. Implikasi dari garis ini hendak melahirkan banat budaya (Desa Pakraman) di Bali hendak hilang, karena semata-mata ingin memperoleh anggaran bantuan Rp. 1 miliar dari APBN. Nama Desa Pakraman agak-agak lagi ada, tetapi “ruhnya” hendak beterbangan karena harus dilantik dan diatur kepengurusannya bagi pemerintah. Padahal kehadiran banat biro dan banat budaya di Bali telah berjalan apik dan mempunyai fungsinya berbeda, ialah banat biro mencampuri rezim dan banat pakraman mencampuri adat.[16]
Hal yang sama adalah garis Pasal 37 bagian (1), bahwa atasan banat dan perangkat banat diberikan pendapatan konsisten saban bulannya dan ataupun tunjangan. Penggajian terhadap atasan desa, dabir desa, dan perangkat desa, melambangkan tindakan yang kontra-produktif dengan ajaran independensi banat abad kalakian yang tak mengenal penggajian karena kerja mereka dianggap “pengabdian”. Artinya penggajian ini tak ada argumentasi filosofis-sosiologis banat sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini sekadar didasarkan atas argumentasi lurus sebagai anak buah yang telah bekerja, anak buah yang telah memperoleh SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai atasan desa, dabir desa, dan ataupun perangkat desa. Dan implikasi sosiologis-strukturalnya adalah amat agak-agak para perangkat banat itu konsisten dan ada hasrat besar berdedikasi kepada negara, bukan kepada bala tentara meski di pasa-pasal beda diatur kapasitas dan darma mereka sebagai pelindung rakyat.
- Alokasi Dana Desa
Setiap banat hendak memperoleh anggaran bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) amat kecil 10 bayaran saban tahunnya. Maka, bisa diperkirakan saban banat hendak memperoleh anggaran sekeliling 1.2 hingga 1.4 Miliar saban tahunnya. Berdasarkan ancangan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari anggaran memindahkan alam menurut APBN buat perangkat banat sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan anggaran dari APBD sebesar 10 bayaran sekeliling Rp. 45,4 triliun. Total anggaran buat banat adalah Rp. 104, 6 triliun yang hendak dibagi ke 72 ribu banat se-Indonesia.
UU Desa ini ingin melimpahkan wewenang menurut penuh dominasi mengampukan jumlah banat (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) saban tahun. Padahal selagi ini banat belum berpengalaman mengampukan jumlah sebesar itu. Di muka beda atas independensi alam di golongan kian tinggi (provinsi/kabupaten/kota) membuktikan berlimpah amat atasan alam yang terjerat masalah asas akhir korupsi. Artinya dengan habis-habis-an anggaran sebesar itu, tak mustahil hendak diselewengkan bagi perangkat banat yang tak bertanggungjawab.
Sebenarnya inilah titik “paling kritis” garis dalam UU Desa 2014 dibanding substansi barang undang-undangnya, ialah gejala-gejala minus yang tak becus diduga dengan diberikannya anggaran sebesar 1 Milyar kepada desa. Ekses-ekses minus dengan adanya anggaran 1 Milyar tersebut hendak terjadi antara kian acap dibanding kapabilitas banat buat mengorganisir dan menginternalisasi ilmu dan pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Uang hendak memupuk ketidakteraturan dan inkoherensi institusi dan relasi sosial banat yang produktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya adalah “akibat masuknya UU Desa 2014” justru menguatkan kesadaran aktualitas asosiasi bahwa “penguasa” semakin berkuasa dan yang “tidak berkuasa” tetap dalam kondisi lemah dan dana jadi tak memiliki makna.[17]
- Masa Jabatan Kepala Desa
UU Desa ingin memasukkan praktek demokrasi elektoral di babak terbawah dengan pemilihan atasan banat menurut bersama-sama di sebentuk kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal detik ini asosiasi menyaksikan bagaimana politik itu dinodai bagi praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi dominasi yang akut.
Masa jabatan atasan banat 6 (enam) tahun dan bisa dipilih balik dalam 3 periode, boleh berturut-turut ataupun tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan hendak lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih juga dengan kewenangan yang diberikan atas saban atasan banat layak bebas dan keuntungan-keuntungan jadi atasan banat yang bisa menggiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan segala aturan biar bisa menduduki jabatan sebagai atasan desa. Untuk itu, asosiasi banat harus cermat memastikan atasan banat yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang siap di desanya. Dengan memanfaatkan pemilihan menurut langsung, asosiasi banat diharapkan becus menempatkan orang-orang pokta di desanya atas saban kedudukan di perangkat desanya, terlebih atas kedudukan atasan desa. Tingkat interes asosiasi banat dalam berdemokrasi, menurut tak langsung, lagi hendak berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penempatan anak buah apik dan memang becus melampaui permasalahan banat atas babak atasan desa, dipastikan hendak berakhir afirmatif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, andaikata cacat memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan tetapi hendak menimbulkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.
Masa jabatan 6 tahun dan bisa dipilih buat tiga ambang abad jabatan, sebenarnya belum layak alokasi Kepala Desa buat mengintensifkan acara kerja dan visi misinya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selagi tiga periode, hendak bisa mengaralkan kaderisasi kepemimipinan di babak desa. Disamping itu, abad jabatan yang enam tahun hendak melecut stabilitas politik banat “terguncang” balik saban enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan atasan banat sering menorehkan luka, dendam alot dan menimbulkan friksi horizontal/vertikal alokasi para pihak terkait yang berat dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program atasan banat terpilih, sehingga mengaralkan kecepatan peyelenggaraan rezim dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi bertimbal UU Desa yang baru, biaya pemilihan atasan banat jadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan ambang jabatan yang singkat, biaya Pilkades hendak membebani APBD.
- Kedudukan Desa Dalam Ketatanegaran
Kedudukan Desa (atau cap lainnya), dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara memberikan akreditasi dan ikram terhadap banat sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat asas adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan bertimbal dengan perkembang-an asosiasi dan ajaran Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan UndangUndang.[18]
Landasan ini melepaskan celah satuan rezim alam yang diberi independensi dengan kesatuan asosiasi hukum. Urusan yang dikelola bagi satuan rezim alam membuktikan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang lagi ada, urusan yang dikelola bagi Desa melambangkan pengakuan. Tentunya konsisten dimungkinkan diperoleh darma pembantuan yang diberikan bagi Kabupaten, Provinsi, meskipun Pemerintah Pusat.
Dalam (Pasal 1) UU ini, “Desa adalah banat dan banat budaya ataupun yang disebut dengan cap lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi urusan pemerintahan, interes asosiasi setempat beralaskan buah pikiran masyarakat, lurus asal usul, dan/atau lurus tradisional yang diakui dan dihormati dalam bentuk rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedang domisili banat tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 kanon tersebut, yaitu: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, sivilisasi kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan asosiasi Desa beralaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dan dalam artikel 5, “Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota” .
Ketentuan di atas menegaskan domisili Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini kembali yang menjadikan Peraturan Desa atas alas Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 bagian (7) abjad c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 bagian (2) abjad c) sebagai cacat satu macam anggaran dasar perundang-undangan sebagai bagian dari anggaran dasar daerah. Tetapi dalam UU No. 12 Tahun 2011 atas Pembentukan Praturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tak dikategorikan sebagai anggaran dasar daerah, kendatipun kanon tersebut melegalkan kehadiran “peraturan yang ditetapkan bagi atasan banat ataupun pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 bagian (1)).
Dengan demikian rezim banat yang siap masa ini adalah kesinambungan dari rezim banat jaman dahulu, sekadar saja rezim banat masa ini telah kehilangan “rohnya” sebagai banat yang mandiri. Desa yang siap masa ini bukan juga sebagai ”inlandsche gemeenten”, ialah sebagai rezim asli bani Indonesia. Pemerintahan Desa masa ini kian akurat disebut rezim imajiner ataupun cerminan (quasi government organization).[19]
Sedangankan domisili Kepala Desa, mulai UU No. 5 Tahun 1979 berbatas dengan UU No. 6 Tahun 2014, melancarkan penyeragaman terhadap domisili dan pengsian jabatan atasan banat serta pendapatan pemerintah desa. Konkritnya adalah: (1) domisili Kepala Desa adalah sebagai arahan Pemerintah Desa ataupun yang disebut dengan cap beda dan dibantu bagi perangkat Desa ataupun yang disebut dengan cap beda (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung bagi orang Desa (Pasal 34 (1)), ikrar (Pasal 37 (5)) dan inaugurasi (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan bagi Bupati/Walikota; dan (2) inaugurasi tersebut linier dengan pendapatan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa mencapai pendapatan konsisten saban bulan ditambah dengan jaminan kebugaran dan bisa mencapai pendapatan lainnya yang absah (ayat (4)). Penghasilan konsisten Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari anggaran perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima bagi Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 bagian (2)).
Selain pendapatan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa meluluskan bantuan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 bagian (3)). Skema akar pendapatan Kepala Desa tersebut membuktikan kecanduan moneter yang layak besar alokasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap independensi Desa pula diperkuat juga dalam penciptaan Desa. Walaupun belum absolut bawaan aluran dan hak-hak tradisional asosiasi Desa serta merta beterbangan karena kearifan pemekaran Desa, kehadiran Desa menurut absah tak juga melambangkan komunitas sosial yang berkecambah dengan bingkai sosiologis.
UU ini lagi tak melancarkan perubahan kedudukan atasan banat jadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan atasan banat mulai dahulu, kendatipun memimpin satuan rezim yang bersifat otonom (desa) tak bertindak buat dan atas cap benua sebagaimana huruf yang melekat atas “pejabat negara”.Namun konsisten sebagai pejabat rezim karena melambangkan cacat satu penyelenggara rezim desa.
- Kedudukan Camat
Secara sosiologis hubungan celah kecamatan dengan banat adalah bersifat sistemik, artinya saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi menurut langsung dalam praktek penyelenggaraan rezim desa. Praktek hubungan sistemik kecamatan dan banat didasarkan atas ajaran bahwa banat ada beraneka ragam keterbatasan, yaitu: dependensi daya muat aparatur, dependensi sarana-prasarana dan dependensi administrasi rezim desa. Artinya potret dependensi banat di atas, rezim banat membutuhkan sivilisasi langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tak memberikan legitimasi kewenangan kepada Camat terhadap banat berlaku seperti “atasan” Kepala Desa.[20]
Pola hubungan kecamatan dan banat bagaikan itu, seharusnya diatur dengan kewenangan yang jelas, kendatipun menurut absah Camat tak ditempatkan sebagai kepala langsung Kepala Desa ataupun sejajar. Padahal menurut empiris Camat adalah “atasan riil” Kepala Desa, artinya Camat yang sehari-hari memberikan sivilisasi dan kepam penyelenggaraan rezim banat dan ruang kades dan perangkat banat berkonsultasi melibat pelaksanaan darma dan kewajiban.
Di dalam UU Desa yang terdiri 122 pasal, sekadar dobel bagian yang “memberikan kewenangan” kepada Camat dan itupun bukan kewenangan substantif, ialah Pasal 49 bagian 3 dan Pasal 53 (3) “Kepala Desa hendak mengangkat/memberhentikan perangkat banat terlebih dahulu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota”. Namun demikian lagi siap angin alokasi kewenangan Camat, ialah Pasal 112 (2), “bahwa dalam melancarkan sivilisasi dan kepam kepada desa, Bupati/Walikota bisa melimpahkan wewenang kepada perangkat daerah”. Sehinga kuncinya siap di yad Bupati/Walikota buat memberikan deputi kepada Camat buat mengintensifkan darma dan kontribusinya alokasi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.
Tiga argumentasi perlunya keikutsertaan Camat dalam sivilisasi dan kepam jalannya rezim desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan ataupun diberi campak bagi anggaran dasar perundang-udangan; (2) Untuk efektifitas dan kemampuan sivilisasi dan pengawasan, karena Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berangkaian langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa; dan (3) Dalam kondisi bentuk rezim Republik Indonesia dalam anggaran dasar perundangan yang berlaku, banat disamping sebagai entitas yang mempunyai lurus otonomi, banat lagi diberi kapasitas sebagai bagian dari entitas manajemen benua dengan tugas-tugas jasa jemaah dan tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu jadi relevan andaikan Desa beroleh sivilisasi dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).[21]
Penutup
Filosofis keanekaragaman, perlindungan, partisipasi, independensi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat, sebenarnya telah jadi cita asas politik asas rezim banat dalam UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan). Tetapi ide alas pluralisme hukum dengan pemasangan banat sebagai banat budaya (self governing community) atau banat otonom (local self government), meskipun banat administratif (local state government), menurut bergantian berubah-ubah seiring dengan keberlakuan UU organiknya.
Sebagai UU organik, UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa mencantumkan kebijakan-kebijakan yang maju dan vital alokasi kemajuan dan perkembangan desa. UU ini lagi menilai keberadaan banat dan peranan aparatur banat dan menurut tegasa memberikan gaham amal sanksi kepada atasan banat yang tak melaksanakan kewajibannya. Sanksinya bisa teguran tertulis, pembebasan sementara dan pembebasan tetap. Hal ini absolut afirmatif buat melecut kinerja dan disiplin pemerintah desa.
Sedang kelemahan dari UU ini adalah terwalak atas penafsiran banat budaya yang berparak dengan penafsiran asosiasi banat budaya itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak saja hendak menimbulkan akibat dikemudian hari andaikata tak ditanggulangi mulai diri. Dana bagian yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong layak besar terhadap saban banat per tahunnya, lagi bisa jadi permasalahan andaikata tak diawasi menurut mentok dan berkala. Kemudian, tak adanya pembahasan menurut eksklusif atas UU Desa atas pemasangan awewe minimum 30 bayaran atas perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap di banat buat melaksanakan UU Desa ini dan tentunya hendak berakhir terhadap acara melaksanakan rezim banat itu sendiri.
*Penulis adalah Dosen Universitas Negeri Malang
Daftar Bacaan
Anwar, Chairul, Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 1999.
Bagir Manan, Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia, 2009.
Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011
Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001.
Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial, htp://sosbud.kompasiana .com/2014 /03/12/ desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html
Francis Wahono, “Bersekongkol ataupun Saling Kontrol”, dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001.
Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan atas Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014.
Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007.
Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, Jakarta: LPFE UI,1984.
Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.
Rosjidi Ranggawidjaja, “Pasal 18B bagian (2)”, dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.
Taliziduhu Ndraha, “Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi”, dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa mengabah Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang Undan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tentang Dana Desa
Sebagai contoh, UU Desa ingin mengembalikan egalitarianisme dan antusiasme memikul royong (solidaritas) yang khas asosiasi desa, padahal mereka detik ini telah berat jadi komunitas yang terbuka dan bergerak ke arah individualisme serta komersialisme hubungan sosial meskipun perdagangan yang masif. UU Desa ingin melimpahkan wewenang menurut penuh dominasi mengampukan jumlah banat (rata-rata 1,4 Milyar/Desa) padahal independensi alam di golongan kian tinggi (provinsi/kabupaten/kota) membuktikan berlimpah amat atasan alam yang terjerat masalah asas akhir korupsi. UU Desa ingin memasukkan praktek demokrasi elektoral di babak terbawah dengan pemilihan atasan banat menurut bersama-sama di sebentuk kota/kabupaten sebagaimana pemilu legislatif dan presiden, padahal detik ini asosiasi menyaksikan bagaimana politik itu dinodai bagi praktek politik uang, intimidasi dan oligarkhi dominasi yang akut. UU Desa ingin melegalkan lurus budaya dan ulayat asli asli termasuk acara melaksanakan pemerintahannya padahal berlimpah amat komunitas Adat yang telah kadung bablas dan kalaupun tertinggal tak juga dihayati bagi anak buah masyarakatnya karena sekadar jadi banat biro yang kian alim kepada aturan domestik dari asas adat. UU Desa ingin mengembalikan aneksasi terhadap akar kapasitas dan aset banat kepada asosiasi setempat, padahal detik ini akar kapasitas itu telah berlimpah yang kadung dikuasai bagi kapitalis akhir liberalisasi perdagangan tanpa kendali. Bahkan, beberapa Kepala Daerah dan tokoh masyarakat, andaikan dari Bali, telah berencana hendak melancarkan judical review terhadap beberapa artikel dalam UU Desa ini yang dianggap hendak mengganggu keberlanjutan banat budaya (pakraman) dan kelangsungan sosial budaya di Bali. Bukan sekadar Bali, Sumatera Barat dan sebagian besar asosiasi Adat di Sumatera lagi merasa “penyeragaman” pemilihan atasan banat menurut langsung bagi asosiasi sebagaimana tercantum dalam UU Desa ini dianggap hendak membebaskan kapasitas budaya Ninik Mamak yang selagi ini berperan memastikan orang suci nagari. Kekhawatiran terhadap beraneka ragam friksi atas ide penciptaan desa-desa baru ataupun penghapusan dan inkorporasi beberapa banat sebagai upaya penataan banat biar bertimbal dengan persyaratan UU Desa lagi bermunculan. Artinya, percepatan pebangunan banat yang diharapkan dengan aplikasi UU Desa ini bisa saja terhambat bagi berbagai anca multidimensi diatas. Disini kapasitas ilmu masyarakat amat penting buat memberikan perspektif dan pendekatan kecuali dari cermin mata manajemen rezim meskipun ilmu politik. Sosiologi harus becus memberikan penjelasan menurut komprehensif terkait kondisi historis meskipun potret banat hari ini beserta dampaknya andaikata UU Desa ini diimplementasikan. Desa di Indonesia telah demikian rentang waktu diposisikan sebagai menurut marginal bagi negara. Desa lagi diposisikan sebagai bahan karena dianggap sebagai wilayah tertinggal dengan akar kapasitas manusia yang berkualitas dan berpendidikan rendah. Desa ramai-ramai ditinggalkan bagi orang dan energi kerjanya akhir dari pembangunan yang encot di perkotaan. Lahan perhumaan di banat dikonversi jadi pemukiman, pabrik-pabrik dan got tali air sebagai hati pertaniannya dekat tak suah tersentuh bagi perbaikan. Hubungan kekerabatan dan solidaritas menemani penduduk banat yang lalu menonjol saat ini bahkan tergerus dengan hubungan-hubungan kontraktual berbasis interes ekonomi. Tanah ataupun lahan yang identik jadi hak anak buah banat saat ini lagi tak juga sepenuhnya dikuasai, lagi pula bahkan berlimpah yang berpindah yad dan anak buah banat kehilangan sebagian besar tanahnya. Desa akan tak akan harus iring berkompetisi dan bersaing dengan modal yang demikian minim. Spirit UU Desa ini cacat satunya adalah melecut percepatan pembangunan di banat sekaligus melecut desa-desa biar mandiri menurut perdagangan dengan kebebasan merencanakan arah pembangunan yang dianggap penting alokasi mereka. Sebagai contoh, banat memiiki kewenangan buat memanfaatkan teknologi akurat guna, melancarkan investasi, menyisihkan anggaran banat buat berbelanja aset-aset vital di banat dan beda sebagainya. Disinilah akan datang buah simalakama sosial itu muncul, di satu muka penduduk banat ingin menikmati kesentosaan yang setara dengan desa-desa beda bahkan dengan perkotaan, namun di muka beda banat lagi belum rela andaikata budaya dan tradisi yang telah bertahan ratusan tahun itu bablas akhir cermin penyeragaman harmonisasi desa-desa ini. Melihat buah simalakama UU Desa – apik menurut substansi filosofis, historis meskipun sosiologis – di atas, diperlukan sebentuk tinjauan dan pembacaan ulang menurut kian komprehensif, pertama dari bucu pandang penduduk banat sebagai poin pembangunan itu sendiri. Selama ini, mereka yang mengupayakan UU Desa adalah para elit banat yang berusaha mencari jalan keluar dari buah simalakama kapasitas dan dominasi politiknya masing-masing. Perlu dibangun ala aplikasi UU Desa yang becus mengintegrasikan faktor-faktor kebijakan lokal (Adat), energi Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia, Teknologi Tepat Guna dan Infrastruktur awak meskipun sosial perdagangan lainnya biar jadi satu kesatuan yang saling mengisi dalam mengartikulasikan UU Desa biar bisa bermanfaat seluas-luasnya alokasi keberlanjutan banat dengan segala isinya.
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Provinsi Bali hendak menyiapkan tim dan bahan buat melancarkan uji barang (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 atas Desa karena kehadiran banat di daerah itu berparak dengan di alam lain.
“Memang langkah seterusnya menurut abdi harus `judicial review`. Jadi abdi minta tim menyiapkan itu. Harus, tak bisa tidak, biar Indonesia ingat bahwa Bali ini lain. Kita tak bisa disamakan begitu saja. Makanya Bali itu harus jadi alam independensi eksklusif ataupun alam istimewa dan kesempatan ini sebenarnya jadi bab masuk,” bicara Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, detik mengadakan rapat koordinasi dengan bupati/wali metropolis se-Bali terkait
Permasalahan-Permasalahan Sosial Budaya
implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.
Dalam Pasal 6 UU Desa disebutkan bahwa banat terdiri dari banat dan banat adat. Namun penjelasan artikel 6 itu menyatakan bahwa dalam satu wilayah sekadar diperoleh banat ataupun banat adat. Dalam penjelasan artikel itu lagi menyebutkan buat alam yang telah terjadi memakai bertumpukan celah banat dan banat budaya dalam satu wilayah harus dipilih cacat satu macam bertimbal dengan garis UU Desa itu.
Pastika mengkhawatirkan implikasi dari pengesahan UU Desa itu hendak melahirkan banat budaya (desa pakraman) di Bali hendak hilang, karena semata-mata ingin memperoleh anggaran bantuan Rp1 miliar dari APBN. Mungkin lagi namanya konsisten banat pakraman namun ruhnya beterbangan karena nantinya harus dilantik dan diatur kepengurusannya bagi pemerintah. Padahal selagi ini kehadiran banat budaya bersifat otonom.
“Sebenarnya selagi ini kehadiran banat biro dan banat budaya di Bali telah berjalan baik-baik saja, karena fungsinya berbeda. Desa biro mencampuri rezim dan banat pakraman mencampuri adat,” bicara dia.
Namun, menurut dia, justru aturan yang baru dalam UU Desa buat menyeragamkan kehadiran banat telah melahirkan timbulnya masalah di Bali. Hal itu akhir yang menyusun UU tersebut tak ahli dengan bingkisan banat di Pulau Dewata serta tak mengonsultasikan terlebih dahulu. “Tetapi karena telah terjadi berfaedah memang langkah seterusnya menurut abdi harus `judicial review`,” tegas Pastika.
Mantan Kapolda Bali itu meminta para bupati/wali metropolis se-Bali ikut membonceng memikirkan menurut serius komplikasi tersebut dan ikut membonceng menyosialisasikan biar para bendesa (pimpinan banat adat) mengerti dan tak sekadar memandu pikiran buat memperoleh anggaran bantuan pemerintah sebesar Rp1 miliar.
Pihaknya lagi tak beriktikad andaikan banat budaya yang satu bisa digabungkan dengan banat budaya yang lain, karena sendiri-sendiri ada kuburan dan Pura Kahyangan Tiga.
Potensi Degradasi
Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemprov Bali, I Wayan Sugiada, mengemukakan beberapa permasalahan yang hendak berbentuk andaikata banat budaya yang ditetapkan, di antaranya diperoleh beberapa wilayah banat budaya terwalak di kecamatan ataupun daerah tingkat II yang berparak (saling seluk). Di Bali siap 716 banat biro dan 1.488 banat budaya sehingga peka menimbulkan friksi besar, bahkan andaikan berbatas terjadi inkorporasi banat adat.
“Dengan adanya bantuan dana, maka dimungkinkan banat budaya hendak membentuk banat budaya baru. Belum juga masalah kependudukan alokasi orang yang tinggal di banat adatnya sekarang. Konsep `ngayah` ataupun gotong-royong menurut ikhlas dari penduduk banat budaya pula hendak arung degradasi karena hendak berlaku bentuk rezim banat yang mengacu atas aturan nasional. Demikian lagi independensi banat budaya hendak terdegradasi karena harus tunduk atas UU negara,” bicara dia.
Permasalahan lainnya, bicara Sugiada, andaikan 1.488 banat budaya yang didaftarkan, maka kuantitas ini belum absolut lagi disetujui bagi pemerintah pusat, serta berlimpah banat budaya yang kuantitas warganya amat kecil dan tak bertimbal dengan kuantitas minimum yang dipersyaratkan UU.
Sedangkan andaikan banat biro yang ditetapkan ataupun didaftarkan, maka konsekuensinya banat budaya belum diakui sebagai poin hukum. Desa budaya lagi tak hendak beterbangan karena dijamin bagi UUD 1945 artikel 18B bagian 2. Desa biro bisa mengadopsi banat budaya termasuk mengalokasikan jumlah yang terdapat dari fokus bertimbal dengan artikel 95 UU Desa.
Soal Anggaran
“Memang banat budaya tak bisa mengakses jumlah fokus menurut langsung, tetapi konsisten bisa memperoleh jumlah dari pemerintah alam bagaikan detik ini dan bisa diperkuat dengan perda dan kemungkinan friksi kian kecil. Di muka lain, banat budaya hendak konsisten merasa kurang dihargai bagaikan halnya banat biro padahal beban kerja perangkat banat budaya amat besar termasuk urusan benua apabila KB bentuk banjar, keamanan area dan sebagainya,” ujarnya.
Bupati Badung, Anak Agung Gde Agung, dalam kesempatan pertemuan itu berpendapat bahwa banat budaya dan banat biro barang harus konsisten eksis. “Adat konsisten eksis buat menunjang rohnya Bali ini karena dasarnya Tri Hita Karana, tetapi di beda pihak banat biro jadi perpanjangan yad pemerintah,” bicara dia.
Dia pula tak setuju andaikan banat budaya harus tunduk atas aturan, dilantik bupati, dan diatur kepengurusan bagi bupati. Desa adat, menurut dia, harus konsisten otonom.
Lain juga dengan Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana, yang menganjurkan para pemangku interes terkait buat memandang komplikasi itu menurut menyeluruh, tak sekadar menekankan atas bantuan, tetapi seharusnya ekspansi makro dan mikro ekonomi.
Sejarawan yang lagi akademisi Universitas Udayana, Prof Parimartha, lagi melahirkan bagaimana asal usul eksisnya banat budaya di Bali mulai mulai Pemerintahan Kolonial Belanda. Dia melahirkan sekadar di Bali saja banat budaya lagi bisa eksis dan di ruang beda telah punah jadi banat dinas. Dia sependapat dengan Gubernur Pastika bahwa perlunya menggelindingkan “judicial review”.
Penetapan UU Desa ini tidak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan atasan banat di seantero Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, alam Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat, beranggapan bahwa UU Desa hendak melemahkan keberadaan distrik di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
Terlepas dari antipati dari LKAAM Sumbar, UU ini menurut umum mengatur barang mengenai akar pengaturan, domisili dan macam desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan rezim desa, lurus dan kewajiban banat dan asosiasi desa, anggaran dasar desa, moneter banat dan aset desa, pembangunan banat dan pembangunan alun-alun perdesaan, awak usaha hak desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan banat dan lembaga budaya desa, serta sivilisasi dan pengawasan. Selain itu, UU ini lagi mengatur dengan garis eksklusif yang sekadar berlaku buat Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
Salah satu titik yang amat krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait bagian jumlah buat desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 atas Keuangan Desa. Jumlah bagian jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 bayaran dari dan di luar anggaran memindahkan daerah. akan datang dipertimbangkan kuantitas penduduk, biji kemiskinan, bambang wilayah, kepelikan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan asosiasi desa. Selain itu, poin-poin beda yang disepakati adalah terkait abad jabatan atasan desa. Kemudian diatur lagi terkait kesentosaan atasan banat dan perangkat desa. Baik atasan desa, meskipun perangkat banat beroleh pendapatan konsisten saban bulan dan beroleh jaminan kesehatan.
Di muka lain, UU Desa lagi berisi kekurangan. Kekurangan pertama, adanya diskrepansi penafsiran banat budaya menurut UU Desa dengan penafsiran banat budaya menurut asosiasi banat budaya itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak atas anggaran bagian kepada saban banat per tahun yang bisa saja disalahgunakan. Kemudian, tak mengartikan menurut eksklusif atas pemasangan awewe minimum 3o bayaran atas perangkat desa. Selain itu, babak kewaspadaan acara melaksanakan yang lagi aib dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap di desa, lagi bisa mengaralkan tujuan-tujuan yang akan dicapai selepas ikrar UU Desa.
Maka dari itu, makalah ini hendak menganalisa ekses dan aib dari UU Desa dan juf dalam hal kewaspadaan acara melaksanakan serta SDM yang siap di desa.
ANALISA
Setiap produk hukum, bagaikan Undang-Undang, tak terlepas dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada ayat pendahuluan, telah diterangkan menurut singkat ekses dan aib yang siap di UU Desa. Pada ayat analisa ini, cerpenis hendak menganalisa ekses dan aib tersebut.
Kelebihan
Pada UU Desa ini, diperoleh titik yang memang telah dicanangkan sekeliling 7 tahun lamanya. Yaitu, adanya aturan yang berbalah terkait bagian jumlah buat desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 atas moneter desa. Jumlah bagian jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 bayaran dari dan di luar anggaran memindahkan alam dengan mempertimbangkan kuantitas penduduk, biji kemiskinan, bambang wilayah, kepelikan geografi.
Dengan adanya anggaran bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, absolut diharapkan pembangunan di banat semakin apik dan becus menyejahterakan asosiasi banat dengan pemakaian anggaran bagian menurut maksimal. Jika becus mengampukan dengan apik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil andaikata asosiasi banat yang berada di garis kemelaratan bisa berkurang dan agak-agak saja bisa bersaing dengan asosiasi banat lainnya ataupun bahkan asosiasi ijmal menurut umumnya.
Pada perangkat banat bagaikan atasan banat lagi tak hilang dari pembahasan dalam UU Desa. atasan desa menurut UU Desa artikel 26 bagian 1, bertugas asuh rezim desa, sivilisasi kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan asosiasi desa. Pada artikel yang sama di bagian 3 abjad c, dijelaskan bahwa atasan banat meluluskan pendapatan konsisten saban bulan, tunjangan, dan pendapatan lainnya yang sah, serta beroleh jaminan kesehatan. Selain itu, segala hal yang berangkaian dengan atasan desa, apik itu tugas, wewenang, larangan, hingga abad jabatan seorang atasan desa, lagi tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat banat lainnya, bagaikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) lagi diberikan penjelasan-penjelasan terhadap bagaikan barang apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tak boleh dilakukan bagi BPD.
Secara umum, UU Desa telah menganalisis menurut sistematis dan becus memberikan hak-hak atas saban banat di Indonesia buat mengembangkan potensi-potensi yang siap di desanya. Dengan adanya UU ini, maka saban banat bisa menyejahterakan masyarakatnya bertimbal dengan prakarsanya atas sendiri-sendiri desa. Adanya UU ini lagi jadi alas asas yang amat berfaedah alokasi saban desa, karena UU ini bisa dijadikan sebagai alas injakan dalam melaksanakan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, ekses UU Desa yang amat terlihat adalah telah adanya alas asas yang bayan alokasi saban banat di Indonesia.
Kekurangan
Di balik kelebihan, absolut diperoleh kembali kekurangan. Begitupula atas UU Desa. Ada berbagai aib yang diperoleh dalam UU Desa. Tidak sekadar dalam segi isi, namun lagi dalam hal penerapannya.
Dari segi isi, diperoleh aib pertama dalam penafsiran banat adat. Sebelum terbitnya UU ini, saban wilayah ada penafsiran banat budaya yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian banat budaya adalah ruang pelaksanaan aliran agama dalam sprit takwa, etika, dan upacara yang bertalian atas wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, banat budaya adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi urusan pemerintahan, interes asosiasi setempat beralaskan buah pikiran masyarakat. Maka dari itu, harus siap penyeragaman penafsiran arti banat adat, biar tak siap gelojak dikemudian hari.
Masih dalam segi kandungan UU Desa, dikatakan bahwa saban banat hendak memperoleh anggaran bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) amat kecil 10 bayaran saban tahunnya. Maka, bisa diperkirakan saban banat hendak memperoleh anggaran sekeliling 1.2 hingga 1.4 miliar saban tahunnya. Berdasarkan ancangan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari dan memindahkan alam menurut APBN buat perangkat banat sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan anggaran dari APBD sebesar 10 bayaran sekeliling Rp. 45,4 triliun. Total anggaran buat banat adalah Rp. 104, 6 triliun yang hendak dibagi ke 72 ribu banat se-Indonesia.
Dengan habis-habis-an anggaran sebesar itu, tak mustahil hendak diselewengkan bagi perangkat banat yang tak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah darma BPD dan pemerintah alam setempat, yang dilakuan menurut ajek terhadap saban banat biar pembangunan banat kian akurat sasaran. Masalah lainnya lagi hendak ditimbul, ialah adanya perbedaan-perbedaan keadaan ataupun kondisi banat yang siap di Indonesia. Ada banat yang memang telah mandiri dan telah becus menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai aturan sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, siap kembali banat yang tertinggal dan lagi belum belum bisa meningkatkan kesentosaan masyarakatnya. Jika nantinya hendak dikucurkan anggaran bagian tersebut, dikhawatirkan hendak rugi alokasi banat berkembang dan hendak konsisten merasa aib alokasi banat tertinggal. Sekali lagi, kapasitas kepam amat diharapkan becus mengawasi penggunaan anggaran bagian tersebut biar anggaran bagian tersebut akurat alamat bertimbal keperluan dan keperluan sendiri-sendiri desa.
Masa jabatan atasan banat lagi agak-agak saja hendak jadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan abad jabatan atasan banat adalah 6 tahun dan bisa dipilih balik dalam 3 periode, boleh berturut-turut ataupun tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan hendak lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan atas saban atasan banat layak bebas dan keuntungan-keuntungan jadi atasan banat yang bisa mengiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan segala aturan biar bisa menduduki jabatan sebagai atasan desa. Untuk itu, asosiasi banat harus cermat memastikan atasan banat yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang siap di desanya. Dengan memanfaatkan pemilihan menurut langsung, asosiasi banat diharapkan becus memfokuskan orang-orang pokta di desanya atas saban kedudukan di perangkat desanya, terlebih atas kedudukan atasan desa. Tingkatan interes asosiasi banat dalam berdemokrasi, menurut tak langsung, lagi hendak berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan anak buah apik dan memang becus melampaui permasalahan banat atas babak atasan desa, pastilah hendak berakhir afirmatif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, andaikata cacat memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan tetapi hendak menimbulkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.
Masih berkaitan dengan pentingnya asosiasi banat memahami demokrasi, maka asosiasi banat akan tak akan harus ada apresiasi berdemokrasi itu sendiri. Salah satu caranya adalah dengan kolom pendidikan. Dengan pendidikan yang apik dan benar, hendak menghasilkan asosiasi banat yang bangun berdemokrasi dan lagi bisa memberikan andil terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda siap atas saban desa. Peran pemerintah, apik pemerintah fokus meskipun pemerintah daerah, lagi harus becus anjlok yad dalam meningkatkan SDM asosiasi banat ini. Mengenai SDM, lagi berkaitan akrab dengan acara melaksanakan yang hendak tergarap bagi perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di satu desa, lagi hendak berakhir apik terhadap acara melaksanakan rezim desanya.
Lalu, atas pemasangan perangkat banat itu sendiri, UU Desa tak menurut eksklusif mengartikan atas kehadiran awewe minimum 30 bayaran di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, karena jangan berbatas perempuan-perempuan di banat sekadar hendak dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya awewe di perangkat desa, diharapkan bisa mengalirkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di banat tersebut.
Dari sekian ekses dan aib yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memberikan akreditasi terhadap saban banat yang siap di Indonesia sebagai kesudahan lembing pemerintahan. UU ini lagi memberikan angin atas saban banat buat mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya buat kemakmuran dan kesentosaan asosiasi desa.
UU Desa hendak berfungsi apik andaikata semua pihak saling kondusif dan saling membantu dalam melaksanakan baik UU tersebut. Jika semua pihak becus melaksanakan darma dan fungsinya bertimbal dengan yang diamanahkan, maka bukan tak agak-agak pembangunan di banat hendak semakin apik dan bisa menyejahterakan asosiasi banat itu sendiri serta membantu pembangunan domestik menurut keseluruhan.
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap produk hukum, bagaikan Undang-Undang , tak terlepas dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun ekses UU Desa yang amat terlihat adalah pemakaian UU Desa sebagai alas injakan dan alas asas yang bayan alokasi saban banat di Indonesia. Sedangkan, aib UU Desa terwalak atas penafsiran banat budaya yang berparak dengan penafsiran asosiasi banat budaya itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak saja hendak menimbulkan akibat dikemudian hari andaikata tak ditanggulangi mulai diri. Dana bagian yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong layak besar terhadap saban banat per tahunnya, lagi bisa jadi permasalahan andaikata tak diawasi menurut mentok dan berkala. Kemudian, tak adanya pembahasan menurut eksklusif atas UU Desa atas pemasangan awewe minimum 30 bayaran atas perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap di banat buat melaksanakan UU Desa ini dan tentunya hendak berakhir terhadap acara melaksanakan rezim banat itu sendiri.
Saran
UNDANG-Undang No.6 Tahun 2014 atas Desa yang telah disahkan Pemerintah atas 15 Januari 2014 lalu, menurut kebetulan ataupun tidak, lahirnya dekat bersamaan dengan masa-masa pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014. UU tersebut lagi bisa dikatakan melambangkan produk tekanan, demo-demo ke Jakarta dari elite-elit aparat banat (antara beda yang tergabung dalam “Parade Nusantara”). Beberapa aktivis LSM ikut membidani konsep akademis/draf RUU Desa. Sehingga tak mengherankan bila kelompok-kelompok mereka kembali yang mula-mula laten hendak memperoleh keuntungan, apik langsung meskipun tidak, dari UU No. 6 Tahun 2014 tersebut. Selanjutnya yang laten diuntungkan bagi UU ini adalah parpol-parpol dan para anak buah Dewan yang mengharap dukungan dari para atasan banat dan penduduk banat dalam pemilihan umum 2014. UU No.6 tadi tak agak-agak disahkan bagi Pemerintah tanpa izin DPR-RI yang anak buah melambangkan orang-orang parpol.
Terlepas dari siapa saja yang berpartisipasi dalam pembuatan naskah UU yang layak berlimpah ada kelemahan tersebut, dan barang apa saja interes yang diusung para pengusung UU No.6 tadi, abdi berpendapat bahwa siap beberapa hal dari UU No.6 Tahun 2014 atas Desa bisa diapresiasi.
Kekuatan dan Kelemahan
Salah satu dominasi UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa adalah terlihatnya komitmen Negara buat melegalkan (rekognisi) dan mengamankan desa-desa ataupun cap beda (sesuai budaya sendiri-sendiri di daerah-daerah yang amat beragam) di seantero Indonesia guna melancarkan konstitusi artikel 18 B UUD 1945. Bukan saja desa-desa tersebut diakui menurut legal absah bagi Negara, namun lagi diberikan jaminan akar pendapatan yang absolut yang berasal dari APBN, dari APBD, serta dari akar pendapatan asli banat itu sendiri.
Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU Desa sececah terlihat amat indah dan mulia! Namun bila saya perhatikan jalan kelahiran UU No.6 Tahun 2014 yang celah beda adalah karena desakan-desakan dari “Parade Nusantara” atau daerah LSM sebagai kelompok pemencet (pressure group) yang mengumpulkan perangkat desa, maka UU tersebut berat bersifat segmented, sekadar menguntungkan segmen-segmen tertentu, khususnya atasan banat dan perangkat desa, LSM dan parpol-parpol. Masyarakat banat dalam UU itu konsisten sekadar dijadikan obyek katimbang obyek. Pendekatan kapitalistik dengan aur dana ke banat dalam UU tersebut, menurut saya, mirip dengan politik dana (money politics) yang dilegalkan bagi Negara.
Oleh karena itu abdi berpendapat bahwa UU tersebut laten berisi kelemahan-kelemahan yang berat bersifat counter-productive terhadap cita-cita membentuk banat dan kesentosaan penduduk perdesaan. Mengapa? Salah satu faktornya adalah karena UU tersebut bukan affirmative policy yang memposisikan seantero bala tentara banat sebagai pihak perdana yang hendak mereka bela dan berdayakan. Seharusnya UU ini memastikan biji minimal, apabila 50% dari habis-habis-an jumlah desa, diwajibkan dialokasikan untuk membentuk infrastruktur jemaah pedesaan (jalan-jalan desa/kampung, konservasi parit-parit, kuburan-kuburan desa, persuratan desa, membentuk gedung-gedung sekolah TK/SD/SMP, puskesmas, membela got tali air desa, meningkatkan sanitasi kampung-kampung nelayan, dsb.).
Karena biji afirmatif tersebut tak dimunculkan dalam UU No.6 Tahun 2014, maka hal minus yang krusial diantisipasi adalah penyimpangan moneter Desa bagi aparatur rezim banat (kepala desa, perangkat banat dan anggota-anggota Badan Permusyawaratan Desa) ataupun pihak ketiga (rent-seekers/para pemburu rente). Jadi itulah cacat satu kelemahan pokok kayu UU tersebut menurut pendapat saya. Jangan berbatas jumlah banat dihabiskan ataupun dihambur-hamburkan, misalnya buat upacara-upacara budaya yang terlampau sering dilakukan, dikorupsi aparatur desa, buat diboroskan dengan berbelanja oto atau sepeda motor dinas; buat “studi banding”, ataupun buat “foya-foya” (termasuk buat melancarkan “womanizing”.).
Kelemahan kedua UU No. 6 Tahun 2014 adalah tak adanya affirmative policy biar minimum 30% awewe siap dalam bangun pemerintah banat dan BPD. Peluang tersebut konsisten krusial dibuka dalam PP/Perda-perda Provinsi/Kabupaten/Kota yang hendak menindaklanjuti pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014. Jangan berbatas bani awewe perdusunan sekadar hendak dijadikan obyek pengaturan, bukannya subyek. Hendaknya penguatan ataupun revitalisasi adat-istiadat di banat akhir lahirnya UU tersebut, justru hendak semakin memberikan pengayoman dan kondusif kemajuan bani wanita perdesaan. Hal tersebut krusial didukung dengan pembiayaan yang memadai yang dialokasikan dalam Anggaran Desa.
Kelemahan ketiga UU No. 6 Tahun 2014 ialah mengabaikan pentingnya kapasitas Babinsa dan babinkamtibmas dalam kondusif kegigihan nasional banat dan penduduk pedesaan. Babinsa dan aparat keamanan yang akrab dengan bala tentara dan membela rakyat, hendak dicintai rakyat. Babinsa bisa diambilkan dari militer yang menguasai ketrampilan sipil, bagaikan kata bicara yang halus, sikap yang bijak tapi tegas, haram melancarkan hal-hal buruk bagaikan korupsi, pungli, gratifikasi, kekerasan, pelecehan seksual, dll.. Babinsa dan babinkamtibmas yang kasar dan melukai hati bala tentara harus segera ditindak bagi komandannya.
Sehubungan dengan itu krusial PP, Kemendagri dan Perda yang mengakomodasi kapasitas Babinsa dan babinkamtibmas, kecuali agen LSM yang berintegritas, buat dilibatkan menurut terbatas (agar tak melanggar anggaran dasar perundangan) dalam Musyawarah Desa dan dalam kegiatan-kegiatan pendampingan di desa.
Pengakuan Negara terhadap keberadaan banat dan banat budaya dalam UU No.6 Tahun 2014 tak berfaedah banat dan banat budaya menjadi “merdeka”, ataupun tak akan diatur ataupun diawasi pemerintah atasan. Dalam konsep self-governing community di mana pula di dunia, apik dalam Negara Kesatuan meskipun Negara federal, Pemerintah Pusat/pemerintah atasan konsisten mempunyai lurus dan kewajiban mengawasi bala tentara dalam rangka mengamankan integritas dan keselamatan Negara dan Bangsa. Namun, kepam tersebut harus “luwes” tetapi ampuh dan tak boleh melumpuhkan inisiatif dan kreativitas rakyat.
Dalam kerangka rezim lokal detik ini, kepam tersebut bisa didelegasikan bagi Pemerintah Pusat kepada Gubernur berlaku seperti gawai Pusat. Namun, karena daerah tingkat II kian akrab kepada desa, maka kepam yang kian ampuh terhadap desa-desa sebenarnya siap atas bupati. Sehubungan dengan itu abdi menasihati kepada Pemerintah/Kemendagri dan DPR, biar Revisi UU Pemerintahan Daerah yang detik ini sedang dikerjakan, merubah kedudukan bupati yang detik ini sebagai gawai alam saja, jadi bupati sebagai gawai alam sekaligus gawai Pusat (sebagaimana gubernur). Model kapasitas kembar kepala alam sebagai gawai alam dan sekaligus gawai Pusat, ataupun siap yang menyebutnya integrated prefectoral system, abdi asa kian akurat buat Indonesia yang menurut abdi hendak semakin berlimpah ada daerah-daerah otonom baru dan desa-desa pemekaran baru di abad datang. Saat ini Pemerintah Pusat amat lemah karena hampir-hampir tak mempunyai “kepanjangan tangan” di daerah-daerah. Buruknya kinerja independensi alam dalam menyejahterakan rakyat selagi pembaruan ini, menurut ajukan saya, cacat satunya adalah karena kearifan otonomi alam yang kurang tepat, di sisi karena karena lemahnya kepam dan pendampingan Pusat (khususnya Kemendagri) terhadap pemda-pemda.
Terkait dengan masalah tersebut, maka pemilihan atasan alam menurut langsung atau pemilihan atasan alam dengan DPRD, kedua-duanya krusial dikaji balik bagi Pusat, mana yang kian akurat buat membentuk nation-state (Negara Bangsa) Indonesia yang kokoh yang mampu meligat terwujudnya cita-cita alinea IV Pembukaan UUD 1945. Selanjutnya abdi berpendapat, bahwa UU N Tahun 2014 berat buat bisa meligat pembangunan banat dan memangkas kemelaratan dan disparitas perdagangan perdusunan andaikata masalah acara niaga perhumaan dan perdagangan yang berat menguntungkan para tengkulak, pemodal menengah dan besar –sebaliknya amat merugikan para petani kecil– tak dibongkar dan diperbaiki bagi Pemerintah. Pasar-pasar swalayan modern sepatutnya dilarang Pemerintah dan Pemda buat bersarang ke kecamatan dan desa-desa karena mengirikan warung-warung, toko-toko para bakul halus (tradisional).
Demikian lagi masalah aneksasi butala yang berlebihan atas pihak-pihak eksklusif (misalnya kelompok pemodal/investor), krusial jadi prioritas perdana alokasi rezim baru beka buat meninjau balik dan melancarkan perbaikan-perbaikan yang bena terhadap kearifan agraria biar tak menguntungkan sekadar atas segelintir pemilik modal besar ataupun tuan-tuan butala tertentu. Reformasi agraria dan pelaksanaan UU Agraria bagaikan yang sering diusulkan bagi daerah LSM dan sebesar akademisi, sepatutnya kian diperhatikan bagi pemerintah baru nanti.
UU No.6 Tahun 2014 atas Desa harus ditinjau kembali/direvisi karena UU tersebut cenderung berpotensi merobohkan gedung Negara Republik Indonesia berupa Kesatuan yang diproklamasikan Soekarno-Hatta atas 17 Agustus 1945. Mengapa? Karena Indonesia bukanlah hanya sekedar bekas wilayah jajahan Belanda yang disebut “Hindia Belanda”. Sebelum kolonialis ada Barat datang, telah siap “Nusantara” yang terdiri atas kerajaaan-kerajaan halus dan besar, di sisi kesatuan-kesatuan asosiasi asas budaya bagaikan desa, huta, kuria, marga, negeri, nagari, dan sebagainya. dengan tanah-tanah “ulayat” mereka.
Karena UU No.6 Tahun 2014 atas Desa memberikan akreditasi hendak keberadaan desa-desa budaya dan asosiasi adat (seperti celah beda pemilihan atasan banat budaya tak harus dengan pilkades langsung yang berlaku buat kades-kades non-adat), maka UU ini berpotensi membangunkan balik feodalisme di desa-desa budaya serta bisa meningkatkan klaim-klaim asosiasi budaya terhadap butala (baik butala budaya meskipun butala publik). Oleh karena itu saya merekomendasikan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) produk pemilu 2014 buat SEGERA membetulkan UU No. 6 T ahun 2014 atas Desa. Semangat alas UU Desa ini adalah mendemokratisasi desa, bukannya mengembalikan feodalisme rentang waktu ataupun memfasilitasi “neo-tradisionalisme”.
Sebagai penutup, abdi menggelindingkan beberapa usulan/saran kepada Pemerintahan Baru produk pemilu 2014 :
- Presiden dan DPR produk pemilu 2014 biar membetulkan menurut mendasar UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa. Revisi tersebut perlu mengatur apik atasan banat maupun atasan banat budaya wajib dipilih dengan pemilihan menurut langsung bagi penduduk desa. Sejak tahun1979 semua atasan banat dan atasan banat budaya telah dipilih dengan pilkades. Terjadi kemunduran (setback) bila atasan banat budaya dipilih/ditunjuk berdasar keturunan/darah berdasar UU No.6 Tahun 2014. Semangat UU No 6 Tahun 2014 adalah demokrasi, bukan feodalisme ataupun neo-tradisionalisme. Pengakuan (rekognisi) Negara kepada banat budaya haruslah bersifat tertentu/terbatas/dirinci menurut bayan batas-batasnya dalam PP.
- Revisi selanjutnya perlu dilakukan buat mencabut pasal perubahan kedudukan desa/desa adat/kelurahan. Pasal tersebut amat laten menimbulkan konflik bila desa-desa/kelurahan menuntut menjadi desa budaya dan mengkapling-kapling tanah-tanah jemaah sebagai butala ulayat mereka. Jangan berbatas UU Desa (dan anggaran dasar pemekaran daerah) jadi “pintu masuk” pihak-pihak eksklusif (baik dari internal meskipun internal Negara Indonesia ) untuk memecah-belah dan menjatuhkan NKRI. Mahkamah Konstitusi sepatutnya bijaksana dalam memikat keputusan-keputusan dengan menyeimbangkan celah pasal 18 UUD 1945 dan artikel 33 UU 1945 (UUD amandemen).
- Pemerintah krusial melakukan inventarisasi tanah-tanah ulayat yang detik ini dikuasai investor preman meskipun Pemerintah sendiri. Bila alih-alih siap kerugian-kerugian yang diderita bagi asosiasi budaya di wilayah eksklusif akhir aneksasi butala ulayat bagi negara/swasta, sebenarnya Pemerintah segera memperbaiki kebijakan yang ada, termasuk dengan memberikan kompensasi-kompensasi ataupun ganti-untung yang memadai. Selebihnya Pemerintah krusial melancarkan harmonisasi ulang mengenai butala ulayat sehingga menguntungkan apik Negara/Pemerintah meskipun asosiasi budaya , buat integritas NKRI. Artinya, kedua pihak harus saling ada chauvinisme yang tinggi. Kebijakan-kebijakan Pusat di bidang investasi, pertambangan, kehutanan, perkebunan, agraria dan perdagangan krusial dikaji ulang bagi Pemerintah sehingga dapat menguntungkan, bukan mengorbankan, interes bala tentara kecil, di Indonesia.
(Penulis adalahAlumni Sarjana S1 dari Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, S3 dari The Flinders University of South Australia Department of Asian Studies and Languages, dan alumni dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/(LIPI) di Jakarta. Saat ini beraksi sebagai peneroka tamu pada Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (PSP3) Institut Pertanian Bogor-IPB).
– See more at: http://m.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa-2014/1/Nasional/Opini/#sthash.sQ8OZPEE.dpuf
Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial
Oleh: Emil E. Elip
Sudah ratusan tahun mulai jaman penjajahan Belanda, “desa” jadi arena pemikiran, gelanggang eksplorasi dan eksploitasi, arena perebutan, huru-hara politik, dll. Sebagian para ahli resah tak rela andaikata banat dianggap replikasi dan bagian dari dominasi negara, sebagian ahli beda pertama ahli teknokrasi pembangunan amat bersemangat bahwa banat melambangkan bagian dari benua NKRI.
Sebagian ahli yang tak rela andaikata banat dianggap bagian dari benua menurut struktural memikat argumentasi bahwa atas jaman Belanda desa-desa telah diakui otonominya bagi Belanda, bahkan budaya istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia atas penjajahan lalu adalah para sarjana yang amat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka ahli betul dan amat akurat memotret menurut antropologis meskipun sosiologis peruasan kebudayaan asosiasi Indonesia di desa-desa, dan karena itu mereka ingat betul bagaimana caranya “melemahkan” dan membelah belah celah bala tentara jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit budaya dan agama.
Agar “kehausan” para kolonialis Belanda menguasai aset-aset di babak grassroot ini bisa terjadi menurut langsung, dan tak direcoki bagi para adipati yang kekuasaannya tak terbatas, maka “desa” harus sungguh-sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa mendapatkan dominasi entitas banat sebagai internasional meskipun otonomi. Oleh karena itu akan datang dihembuskan banat sebagai entitas otonom dan bermartabat, biar ada dominasi melawan adipati mereka. Jika sebentuk banat tidak becus ditahklukkan menurut sosiologis, maka yang dilakukan adalah lagi pula ialah fokus dominasi adipati yang didekati biar para adipati lokal menekan banat dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pula amat ahli kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.
“Kepongahan” saya adalah barang apa yang telah ditemukan bagi Belanda itu saya andai “bagai pahlawan” bahwa Belanda-pun menghormati budaya adat dan independensi desa. Para sarjana “pongah” ini akan datang memantulkan satu kondisi dimana benua dan pemerintah kala ini selayaknya bisa meniru sikap pemerintah Belanda atas independensi dan kekhasan desa.
Memberhentikan Sejarah Desa
Membayangkan desa-desa detik ini bagaikan desa-desa di jaman penjajahan Belanda 350 berbatas 400 tahun yang kalakian sungguh sebentuk hasrat yang “menghentikan sejarah”. Hal yang tak bisa dihentikan adalah bahwa asal usul terus berjalan, seiring perubahan yang acap ataupun lambat ada dari luar sebentuk komunitas meskipun desa. Kebudayaan sebentuk komunitas sekadar ada dobel pilihan, ialah menghindari asal usul ataupun mengikuti asal usul perubahan yang dipengaruhi bagi bermacam-macam faktor. Nampaknya amat kecil komunitas yang menyurutkan badan dari pertahutan relasi dengan dunia luar yang kian luas.
Komunitas-komunitas budaya tersebut yang menjauhkan badan dari aliran asal usul modern, apabila saja komunitas Badui (dalam), amat juga sekadar amat sedikit. Eksklusifisme mereka justru sama amat tak bersinggungan dengan benua dalam urusan yang disebut “desa” apik menurut teritori meskipun tatakelolanya. Komunitas-komunitas budaya yang tak eksklusif, yang telah bertautan dengan komunitas-komunitas terorganisir dalam sebentuk bentuk yang disebut desa, inilah yang sering jadi dialog yang pelik agak-agak memupuk berlimpah persoalan.
Bagaimanapun sebentuk komunitas asosiasi absolut ada “eksistensi kultural” yang mereka yakini. Berhadapan dengan komunitas dunia luar maka berkecambah dobel persoalan, Pertama, asosiasi dunia luar tak mengetahui aturan menghormati adat-budaya mereka dan disisi beda komunitas budaya tersebut konsisten ingin dihormati eksistensinya. Sesungguhnya ini sekadar masalah pendidikan atas kepelbagaian yang buah hati pemerintah sama amat gagal mendidik masyarakatnya mengenai “penghormatan atas keberagaman”. Sementara itu para “pengembara dunia politik” yang kebanyakan pongah juga, memanfaatkan benci etnis, kelompok, dan golongan tersebut buat mengais-ngais suara menggalanag dominasi masa.
Bagi abdi friksi menemani komunitas budaya dan komunitas asosiasi disekitarnya adalah hal biasa. Dia melambangkan bagian dari “sintesa dan antitesa” sosiologis. Konflik melambangkan darmawisata asal usul satu komunitas buat “meng-ada” dan melancarkan kompromi-kompromi solutif, asalkan tak siap pihak ketiga yang akan memanfaatkannya. Setiap komunitas hendak membentuk “pandangan”-nya sendiri atas perbedaan, akan datang membentuk pembelajarannya sendiri atas kejadian-kejadian yang dialaminya, selanjutnya dari pembelajaran itu hendak membentuk konstruksi solusi dalam aliran acara nilai baru termasuk acara nilai dalam relasinya dengan dunia luar.
Jika saban komunitas asosiasi tak ada kemampun mengkonstruksikan asal usul kemahiran hidupnya, maka komunitas-komunitas tersebuta hendak punah dengan sendirinya saling membunuh. Setiap pribadi atas prinsipnya ingin hidup aman dan damai, begitu kembali saban komunitas yang melambangkan kumpulan dari pribadi yang membentuk “pandangan hidup” yang sama.
Konflik yang alot dan semakin tajam dikarenakan adanya pihak ketiga yang berupaya memikat keuntungan dari komunitas-komunitas yang sedang berkonflik, barangkali friksi berbau agama, berlatar buritan etnis, friksi pasta batas, dll. Ranah friksi tersebut termasuk lagi atas golongan para cerdik pandai yang pongah, cerdik pandai yang berfikir konvensional-romantis dengan pendukung ahli modern-absolut, yang ingin menghormati budaya dengan aturan mengakhiri sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-perubahan kearifan yang amat ideal biasanya jadi alamat “arena” dialog itu, sehingga belum berbatas sebentuk kearifan beres dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya aliran dialog telah bergulir sebegitu paras agak-agak dialog itulah solusi terbaik.
Desa Dalam Teori-Teori Perubahan Sosial
Sesungguhnya yang sedang saya upayakan dengan pembuatan udang-undang adalah buat sebentuk “perubahan”. Tentu saja dengan arah buat mengabah perubahan yang kian baik. Namun lebih dahulu silakan saya menelusuri “apa amanat perubahan” itu, teori-teori barang apa yang telah mengartikan atas perubahan yang telah terjadi dan ataupun diprediksikan hendak terjadi di dalam masyarakat. Ada dobel ranah besar perubahan yang hendak dibahas di sini, ialah “perubahan sosial” (social change) dan “perubahan kebudayaan” (cultural change). Apa hubungan menemani keduanya, barang apa dimensi atas sendiri-sendiri “perubahan” tersebut, dan alhasil silakan metropolis kalau menghubungan celah perubahan yang diharapkan dengan UU no 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua macam perubahan tersebut.
Apakah “Masyarakat” (Society) Itu?
Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah satu perubahan yang kian apik di dalam masyarakat, dalam hal ini asosiasi di golongan grassroots, desa. Oleh karena itu krusial didiskusikan di dahulu barang apa amanat “masyarakat” yang dibayangkan bagi UU Desa 2014 tersebut –tentu dalam hal ini adalah apresiasi yang dianut bagi para penyusun UU Desa 2014 tersebut atas konsep masyarakat. Secara umum para ahli sosial dan perubahan asosiasi masuk dobel macam konsep atas masyarakat, ialah static perspective dan dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa asosiasi itu bergerak ataupun berubah menurut mati (pelan) bertimbal dengan bangun sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic berpikir bahwa asosiasi hendak berkelaluan bergerak ataupun berubah menurut dinamis, tergantung besar kecilnya anasir internal yang ber-”relasi” dengan asosiasi bersangkutan.
Masyarakat adalah sekumpulan anak buah yang saling ber-relasi dengan seperangkat tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai bingkai kehidupan. Sebagai sebentuk “sekumpulan orang-orang” maka bisa dibedakan dengan bayan celah “masyarakat (society)” dengan “kumpulan massa” (group of mass), dan komunitas (community). Dua peristilah yang terakhir berbentuk buat melihat kepada “budaya pop” (pop-culture) yang berbunga kala ini. Maka segera bisa saya bedakan celah “masyarakat desa” dengan “masyarakat perkotaan”, dimana asosiasi perkotaan bayan kian mengarah-arahi group of mass dan ataupun community. Kumpulan jasad aktual bukan kumpulan manusia (human) dalam penafsiran konsep masyarakat. Di dalam kumpulan jasad ataupun komunitas-komunitas beken tak terbina “civilization” bagaikan yang terjadi dalam society.
Berbasis atas tiga pemberdaan terpapar di atas, maka dalam kondisi asosiasi millenium kala ini jelaslah saya tak bisa juga memukul rata barang apa yang disebut “desa” sebagai kumpulan manusia. Apa yang abdi maksudkan adalah bahwa detik ini siap desa-desa yang lagi ada roh “civilization”, namun siap berlimpah banat (bahakan berat bahkan bertambah dari waktu ke waktu) yang telah amat tipis roh “civilization”-nya. Desa-desa diperkotaan ataupun yang detik ini berlimpah beranjak fungsi disebut “kelurahan”, dan desa-desa yang terwalak dipinggiran perkotaan dimana sendi-sendiri aktivitas perkotaan serta budaya beken telah merasuk, kian berat ke paras “mass-community”.
Di dalam UU Desa 2014 disebutkan “Desa ataupun yang disebut dengan cap lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas-batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat, beralaskan lurus asal-usul, budaya adat dan sosial budaya asosiasi setempat sepanjang lagi hidup dan bertimbal dengan perkembangan asosiasi dan ajaran Negara Kesatuan Republik Indonesia….” (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal 1 bagian 5). Istilah-istilah bagaikan kesatuan asosiasi hukum, lurus asal-usul, budaya adat dan sosial budaya, melambangkan sebentuk gedung cultutal yang terejawantahkan dalam sub socio-cultural yang disebut civilization.
Merupakan pekerjaan kediaman yang benar besar, yang menurut abdi akan tak akan harus dilakukan, adalah menganalisa dan memilah-milah dari puluhan ribu banat di Indonesia kedalam mana banat yang lagi bercirikan “society-village civilization”, banat yang bercirikan celah “society-village civilization dan village mass-community” serta desa-desa yang sungguh telah jadi “village mass-community”. Jika hal tersebut tak dilakukan maka aktual UU Desa 2014 yang baru disahkan tak dilandasi dengan social and cultural theory yang sungguh dipersiapkan dengan matang buat bereaksi “perubahan sosial”. Tentu UU Desa 2014 tersebut diawali dengan Naskah Akademik yang jadi gedung pemikirannya, namun semua alur ajaran yang siap didalamnya bersumber utama dari teori-teori berbasis developmentalist.
Apa yang menurut kian bambang sedang saya perbincangkan di atas adalah atas banat yang telah berbeda-beda peruasan sosialnya satu sama lain, serta alasan-alasan teoritis yang mengasumsikannya, adalah satu hal yang telah disinggung di awal, ialah atas konsep perubahan sosial (social-change) yang hendak saya bahas berikut ini.
Antara Gemeinschaft dan Gesellsfschaft
Sebuah konsep yang mirip dengan konsep community dan society, dan yang layak akrab di telinga asosiasi akademis di Indonesia mengenai teori-teori klasik atas asosiasi adalah konsep Gesellschaft (society) dan Gemeinsshaft (community). Kedua konsep ini berbasis atas premis-premis aklimatisasi asosiasi terhadap “lingkungan”. Lingkungan yang dimaksud adalah area dalam arti kian bambang bagaikan area ekologi, friksi yang terjadi didalam asosiasi sendiri, relasi-relasi dengan dunia bambang masyarakat, dll.
Berdasarkan asumsi “kemampuan adaptasi” itu maka di dalam asosiasi Gesellschaft (society) diidentifikasi dimana segala perubahan asosiasi dan pembangunan yang terjadi dari jalan aklimatisasi sekadar atas golongan individu. Sementara berlawanan dengan itu, di dalam asosiasi Gemeinsshaft (community) perubahan asosiasi dan pembangunan terjadi atas golongan kultural (dalam penafsiran tak sekadar terjadi langsung dalam golongan pribadi saja). Itu sebabnya maka Gesellschaft kian bercirikan individualistic, doyong ke aliran mastyarakat perkotaan, dimana relasi internalnya diikat bagi barang apa yang disebut “peraturan” dan bukan perangkat ajaran tata-nilai nilai tertentu. Berbeda dengan hal tersebut, Gemeinsshaft kian doyong kepada asosiasi yang “komunal”. Deferensiasi agak-agak konsisten siap dalam aturan hidup masyarakatnya, namun mereka lagi terbalut dengan sebentuk kode-kode tata-nilai yang dianut bersama atas golongan ideologi yang disebut “kebudayaan” (culture).
Dari segi konsep “adaptasi perubahan” asosiasi Gesellschaft berat kian acap meluluskan kemungkinan ide perubahan asalkan pribadi di dalam asosiasi tersebut bisa mentolerer bahwa perubahan tersebut dipandang ada justification cost “menguntungkan”. Sebaliknya tak serta merta demikian jalan perubahan di dalam Gemeinsscaht. Ide perubahan baru agak-agak bisa diterima menurut afirmatif bagi seorang pribadi di dalam asosiasi Gemeinscahft, namun belum absolut dengan sendirinya hendak di-recognizing jadi anggaran dasar bersama yang disepakati karena ide-ide tersebut harus beradu kening dengan gedung cultural tata-nilai yang ada.
Jadi barang apa maknanya andaikata konsep Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft yang telah dipaparkan di atas dikaitkan dengan introdusir UU Desa 2014 yang baru? Yang Pertama, jelas, bahwa UU Desa 2014 tersebut akan tak akan berimplikasikan “menyamaratakan” konsep Gemeinschaft, Community, Gesellscaft, dan Society.
Kedua, konsep “Desa ataupun yang disebut dengan cap lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas-batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat, beralaskan lurus asal-usul, budaya adat dan sosial budaya asosiasi setempat…” (seperti tertuang di dalam UU Desa 2014), amat memikin kerancuan karena atas kenyataannya tak semua banat di Indonesia bisa didefinisikan sebagai itu. Atau dengan bicara lain, konsep tersebut sungguh “menutup mata” terhadap bukti bahwa di asosiasi saya terdeferiansi bagaikan Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft. Konsep banat bagaikan tertuang di UU Desa 2014 tersebut dilandasi ajaran romantik-konvensional.
Premis-Premis Perubahan Sosial
Pertanyaan intinya andaikata dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru saja disahkan Desember 2013 kalakian adalah, teori-teori perubahan sosial barang apa yang dipakai melandasi diluncurkan UU Desa 2014 dan teori perubahan sosial bagaikan barang apa yang jadi potulat perubahan sosial di abad ada dengan diberlakukannya UU Desa 2014 tersebut.
Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 aktual yang sedang tergarap adalah “melakukan perubahan” buat “desa” khususnya buat kemakmuran asosiasi desa. Bahwa buat kemakmuran asosiasi banat tersebut krusial dirancang bentuk organisasi banat yang kian baik, anggaran dasar pemelihan atasan dan perangkat banat yang kian baik, pendekatan pembangunan atas banat menurut kian baik, harmonisasi relasi celah banat dengan supra banat kian baik, penaksiran budget buat banat menurut kian baik, semuanya memang adil harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa semuanya itu ditujukan buat “hal yang kian baik” atas desa, bisa saja “perubahan” yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan karena kerangka buritan ajaran teoritis yang kurang matang bahkan sekadar didorong bagi “ketergesa-gesaan”.
Secara teoritis-epistemologi siap dobel konsep yang dibayangkan mengenai ala perubahan, ialah ala perubahan mati dan ala perubahan dinamis. Perubahan asosiasi yang mati tak berfaedah bahwa asosiasi tersebut tak mengalamai perubahan. Model perubahan asosiasi mati bermula dari para cendekiawan yang menganggap bahwa asosiasi hendak berubah dengan sendirinya karena memang begitulah filosofi alas aktivitas “manusia”. Cepat ataupun lambat manusia, begitu lagi masyarakat, hendak berubah bertimbal berkembangan aktivitas dan sosialitasnya. Sementara ala perubahan bergelora berpikir bahwa asosiasi bisa dikondisikan buat acap berubah asalkan akses-akses buat perubahan disediakan sedemian rupa, apik dari bucu ekonomi, keorganisasiannya, dan nilai-nilai yang ditawarkan kepada satu masyarakat.
Model perubahan (social change) yang mati diasumsikan bagi karena perubahan tersebut hendak beradu kening dengan “bangunan kultur” yang biasanya kelesa buat berubah. Sementara ala perubahan bergelora diasumsi bahwa perubahan tersebut hendak mempengaruhi golongan sosial (relasi kesepakatan-kesepatan menemani pribadi ataupun kelompok), dan tak atas golongan kultural.
Bagaimana sebentuk “materi” perubahan ataupun ide-ide perubahan –-misalnya dalam hal ini adalah ide-ide yang siap di dalam substansi UU Desa 2014 yang baru– berproses dalam melecut perubahan di masyarakat? Salah satu teori yang bisa dipakai buat mengartikan hal tersebut beserta implikasi-impliksinya dalam kondisi social-change dan cultural-change adalah teori atas Justificfation-Cost, External Dissonance, dan Internal Dissonance, yang diungkapkan bagi François Facchini dan Mickaël Melki.
Kebudayaan, bagi François Facchini dan Mickaël Melki, dedefinisikan sebagai “…is a set of customary beliefs and values that ethnic, religious, and social groups transmit fairly unchanged from generation to generation and that is organized by an ideology. Ideology is the intellectual dimension of culture. It justifies its set of beliefs, values and norms”. Agar bisa terjadi perubahan sosial dan ataupun perubahan kebudayaan, Facchini dan Melki menganjurkan sebentuk analisa terkait dengan Internal Dissonance, External Dissonance, dan Justification Cost bagi karena adanya kondisi dissonance tersebut.
Internal Dissonance adalah situasi ataupun kondisi di dalam internal asosiasi itu sendiri yang memunculkan potensi-potensi buat terjadinya perubahan. Beberapa contohnya celah beda adalah perubahan sosioekomomi-demografi, yang diakibatkan dari bertambahnya kuantitas orang dalam asosiasi bersangkutan. Contoh seterusnya adalah atas ketidakteraturan nilai-nilai akhir perubahan sosio-ekonomi demografi. Perubahan sosial dan akan datang selanjutnya adalah perubahan kebudayaam, sekadar bisa terjadi andaikata terjadi ketidakteraturan nilai menurut komunal di dalam masyarakat. Apa yang dirasakan di dalam hidup aktualitas sehari-hari telah tak cocok juga dengan nilai-nilai yang dianut ataupun dianjurkan dalam gawai kebudayaannya.
Pada muka yang lain, External Dissonance adalah kondisi-kondisi dari luar asosiasi yang mempengaruhi terjadinya ketidakteraturan nilai alokasi asosiasi bersangkutan. Misalnya saja akibat teknologi, bentuk informasi yang semakin terbuka, perang, nilai-nilai demokratisasi, cermin konsumsi, dll. Aspek-aspek Internal dan Eksternal Dissonance tak bisa dengan sendiri gamblang melecut sebentuk perubahan sosial dan ataupun perubahan kebudayaan di satu masyarakat.
Facchini dan Melki menelaah adanya barang apa yang disebut “justification cost” yang harus dipertimbangkan bagi individu-individu di dalam asosiasi tersebut dalam cerup kondisi akibat internal meskipun internal dissonance tersebut. Mengenai justification cost tersebut Facchini dan Melki mengartikan sebagai berikut …when culture becomes problematic that it will be tested, otherwise stated, that individuals will seek to get rid of it because it doesn‟t seem to be sufficiently justified to be acceptable. Prohibitive justification costs explain deviant behaviour, e.g. changes of ideology…
Ketika kondisi-kondisi internal and internal dissonance ada bertubi-tubi maka hendak (bisa saja) memupuk “inkonsistensi” berbagai perangkat nilai-nilai kesepakatan yang telah siap di dalam masyarakat. Inkonsistensi tersebut bisa ditemukan bagi sebagian halus pribadi ataupun bagi sebagian besar pribadi di dalam asosiasi bersangkuta. Jika sekadar kecil pribadi yang arung ketidakteraturan nilai maka amat kecil ataupun halus justification cost-nya buat melecut terjadinya sebentuk perubahan sosial bahkan perubahan kebudayaan. Jika sebagian besar dari asosiasi tersebut mendapatkan kondisi ketidakteraturan maka besar justification cost-nya bahwa asosiasi (secara bersama-sama dalam kuantitas memadai) mencari nilai-nilai baru yang kian becus bereaksi kondisi mereka.
Kondisi ketidakteraturan yang selanjutnya memupuk kondisi inkoherensi nilai-nilai di dalam asosiasi tersebut adalah masalah “mental”. Seperti bicara Facchini dan Melki, …Incoherence and the life of thoughts are batin events. These events are not visible but prepare the ideological change. They do not necessarily lead to concrete deviant actions but participate in the formation of a larger and larger beda between the constructed social reality and individual reality, imagination and logic of each individual.
Jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru, maka UU Desa 2014 tersebut melambangkan bagian dari kondisi external dissonance, sebentuk kondisi dari luar yang dipersiapankan bagi para ahli sosial, akademisi, dan ataupun para teknokrat pembangunan. Mampukah substansi-substansi di dalam UU Desa 2014 tersebut becus memupuk kondisi “inkonsistensi dan inkoherensi” nilai di dalam asosiasi banat itu sendiri atas konsep desa. Jika bagi karena introdusir UU Desa 2014 tersebut becus memupuk harapan baru alokasi asosiasi atas detik asosiasi arung “inkonsistensi dan inkoherensi” nilai, maka substansi-substansi UU Desa 2014 absolut hendak melecut perubahan sosial yang mendasar di desa, dan bahkan tak agak-agak hendak jadi budaya baru atas banat di abad datang.
Persoalannya bisa saja UU Desa 2014 yang baru tersebut kesampaian di banat tak kian sebagai “perubahan peraturan” baru, yang sama amat tak menyentuh gerakana-gerakan ide buat perubahan sosial. Jika introdusir UU Desa 2014 tersebut sekadar dipahami dan bahkan sekadar menguntungkan para perangkat banat dan elit desa, maka aktual beliau tak memupuk gejala “inkonsistensi dan inkoherensi nilai” di dalam masyarakat. Jika demikian maka terlampau halus justification cost-nya dipertimbangkan bagi sebagian besar pribadi asosiasi (sebagian besar anak buah masyarakat) disetujui sebagai dahulu aksi perubahan sosial. Disinilah letak institutionalize aspect dari sebentuk perubahan sosial.
Hebatnya UU Desa 2014 tersebut hendak diikuti dengan sebentuk “kucuran dana” yang amat besar, yang katakanlah disebut anggaran pembangunan desa, yang besarnya bisa mencapai 1 Milyar per desa. Bisakah beliau melecut justification cost biar asosiasi (sebagian besar masyarakat) becus dan akan mempertimbangkannya sebagai tahap-tahap dalam perubahan sosial desa? Jawabannya adalah “belum tentu”. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan “uang” aktual telah dimulai dengan acara PPK (program ekspansi kecamatan) yang akan datang dilanjutkan PNPM Mandiri. Sudah sekeliling 15 tahun PPK dikembangkan diikuti dengan kucuran anggaran yang tak kecil buat desa. Sebuah konsep “institusional” kelembagaan pembangunan diperkenalkan dengan konsep yang disebut “pembangunan partisipatif”. Hasilnya menurut garis besar, tak siap perubahan sosial bahkan perubahan kebudayaan yang bena di desa-desa alamat acara tersebut di dalam beberapa konsep penting bagaikan “pemberdayaan”, “partisipasi”, dan “kemandirian”.
Dengan demikian yang ingin dikatakan di sini adalah UU Desa 2014 yang baru beserta “services-lips” yang menyertainya dengan anggaran pembangunan banat dekat mencapai 1 Milyar, tak membiayai hendak terjadinya independensi banat dan independensi desa. Asumsi abdi menurut filosofi-perubahan adalah, karena sesunggunya “kucuran uang” itu yang ditawarkan biar ide perubahan sosial banat bisa berjalan. Kita tak suah mengagendakan filosofi yang lagi pula dari itu buat pembangunan di bala tentara kita. “Uang” yang besar yang berkelaluan melampiri policy-policy buat pembangunan dan independensi bala tentara telah jadi justification cost yang kontradiktif buat perubahan sosial dan kebudayaan.
Bangsa Yang Cerewet
Indonesia disinyalir melambangkan benua dengan kuantitas perundang-undangan terbanyak didunia. Para teknokrat pembangunan dan birokrat agak-agak berbangga hati dengan itu. Bahwa agak-agak saya benar pandai membenahi tatakelola bangsa, masyarakat, dan pembangunan. Beragama saja diatur. Perkawinan diatur. Memberikan bantuan diatur. Namun disisi beda hal itu bisa diintepretasikan bahwa saya adalah benua yang “amat keropos” dalam ideologi berbangsa, bermasyarakat, berbhineka, dan bermasyarakat.
Dan atas “desa” saya telah membuat anggaran dasar kian berlimpah mulai perdana kali Belanda mengatur atas desa. Pada abad penjajahan Belanda diperoleh anggaran dasar perundang-undangan mengenai banat ialah Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku buat Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku buat daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Lama selepas itu baru atas tahun 1965 terbit UU No. 19 Tahun 1965 atas Desa Praja. Orde Baru balik mengeluarkan anggaran dasar perundang-undangan mengenai banat yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 atas Pemerintahan Desa. Peraturan ini akan datang berubah juga seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 atas Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai banat balik arung perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 atas Pemerintahan Daerah. Hanya dalam 10 tahun akan datang perundangan atas banat ini dirubah juga dengan disahkannya UU Desa 2014 bagi DPR akhir tahun 2014 lalu.
Jadi, mulai 1965 berbatas 2014 telah dibuat 5 kali perundangan atas desa, yang rata-rata satu perundangan yang sama berumur tak kian dari 15 tahu. Artinya apa: memang saya “terlalu cerewet!”. Arti beda juga adalah, saya tak becus mengenali dan memahami menurut adil gerak sosiologis dan antropologis kondisi pedesaan kita. Kita bayan tak becus mengenali karena terlampau berlimpah dan angkara bani dan benua saya “ingin mengatur desa”. Terlalu berlimpah hal atas aktivitas asosiasi banat yang ingin saya atur, karena disisi beda saya terlampau takut bahwa asosiasi banat saya jadi “berubah”. Terlalu berlimpah argumentasi ideal bersifat teoritis dan moral-ideologis yang ingin saya bayangkan terjadi dengan desa. Sementara sebagai kumpulan manusia, komunitas banat terus “berjalan ke depan” menerjang modernitas, berelasi dengan bacaan aktivitas kian luas, mengadopsi teknologi, dll.
Akhirnya telah jadi bayan bahwa yang namanya “adat” saya cacat mempersepsikannya. Akhirnya atas budaya itu akan saya atur-atur, sebisa agak-agak dimasukkan dalam ala susunan logis anggaran dasar negara. Dan nampak bayan amat bahwa ketika “dinamika adat” itu didudukkan dalam tata-peraturan benua maka amat kecil yang bisa saya atur. Sampai kapanpun saya tak suah bisa mengaur budaya dalam anggaran dasar benua menurut memuaskan. Sebab menurut filosofis budaya itu adalah kehidupan. Dia bergelora bergerak menyejarah bertimbal perkembangan dan keperluan masyarakat. Akhirnya toh…jika sidang pembaca menyimak dan meresapi pasal-pasal di dalam UU Desa 2014 yang disyahkan Desember 2013 lalu, aktual saya sekadar mengatur banat jadi ada arah banat yang organisatoris-modern. Tentang budaya tak disinggung berlimpah dalam perundangan itu, dan sekedar disublimasi jadi “lembaga adat”.
Dinegara bagaikan Jepang, tak suah budaya diatur dalam lembaran negara. Negera sekadar menegur budaya sejauh beliau lagi dibutuhkan bagi para komunitas-komunitas yang lagi menjaga adatnya. Hal ini absolut saya tak bisa mengatakan bahwa benua Jepang dan masyarakatnya tak menghormati budaya yang berlaku dikomunitas-komunitas asosiasi yang berbhineka-ragamnya juga. Yang dilakukan bagi benua Jepang bersama para cerdik pandai sosialnya mencoba melancarkan “reservasi” budaya dan kebudayaannya dengan merekonstruksi nilai-nilai adatnya dan menstransformasikannya dalam bentuk-bentuk yang bertimbal dengan aktivitas modern. Dan itu nampaknya berhasil mulai Restorasi Meiji. Akibatnya berbatas masa ini bacaan atas “adat harus dijaga dengan perundangan negara” tak krusial dijadikan bacaan banyak bicara yang dibahas kesana-kemari di Jepang.
Mereplikasi Negara di Desa
Sistem birokrasi banat berparak dengan bentuk birokrasi negara, bagaikan ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi benua didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari muka rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan bentuk adonan celah pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tak bisa berjalan menurut mentok celah beda karena provokasi pendekatan tradisonal.
Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut mendemonstrasikan siap diskrepansi yang bermula dari “sejarah”, bahwa banat memang berparak dari negara. Sistem teknokrasi manajemen benua tak bisa diterapkan dalam bentuk sosial birokrasi desa. Jika ditelaah UU Desa 2014 dalam bentuk tatapemerintahan banat terlihat dengan bayan bahwa banat akan dibentuk mengarah-arahi bentuk teknokrasi negara. Berikut ini pernyataan-pernyataan di dalam UU Desa 2014 yang memfokus ke teknokrasi tatanegara tersebut:
Isu 1: Perangkat banat digaji bagi negara
- Pasal 34 bagian (1): Sekretaris banat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 bagian (2) diisi dari pegawai bumi awam yang membanjiri persyaratan…
- Pasal 37 bagian (1): Kepala banat dan perangkat banat diberikan pendapatan tretap saban bulannya dan ataupun tunjangan.
Penggajian terhadap atasan desa, dabir desa, dan perangkat banat (yang dahulu disebut pelindung desa) adalah benda yang apik buat memberikan kepastian pendapatan atas kerja mereka. Tetapi harus disadari bahwa “penggajian” itu melambangkan tindakan yang kontra-produktif dengan ajaran independensi banat abad kalakian yang tak mengenal penggajian karena kerja mereka dianggap “pengabdian”.
Yang ingin dikatakan disini bahwa penggajian terhadap perangkat banat tersebut tak ada argumentasi filosofis-sosiologis banat sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini sekadar didasarkan atas argumentasi lurus sebagai anak buah yang telah bekerja, anak buah yang telah memperoleh SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai atasan desa, dabir desa, dan ataupun perangkat desa. Dia tak ubahnya bagaikan “pegawai-pegawai” beda disebuah instansi pemerintah dan swasta.
Sekali juga ingin ditegaskan disini bahwa UU Desa 2014 yang baru telah, katakanlah, mengijinkan bahwa mereka diberi imbalan bagi negara. Implikasi sosiologis-strukturalnya adalah amat agak-agak para perangkat banat itu konsisten dan ada hasrat besar berdedikasi kepada negara, bukan kepada bala tentara meski di pasa-pasal beda diatur kapasitas dan darma mereka sebagai pelindung rakyat.
Isu 2: Atribut dan Rekrutment Perangkat Seperti Negara
- Paragraf 8, Pasal 38: Kepala banat dan perangkat banat dalam melancarkan tugasnya memanfaatkan atribut dan baju dinas.
- BAB VI Pemilihan Kepala Desa, Pasal 41 berbatas Pasal 47…menjelaskan bahwa jalan rekrutmen atasan banat mirip dengan pemilihan gunernur dan bupati.
Menarik buat disimak bahwa UU Desa 2014 menganjurkan, ataupun agak-agak setengah mewajibkan yang hendak diatur bagi regulasi alam masing-masing, bahwa perangkat banat harus memakai atribut dan baju biro sebagai perangkat desa. Maka telah relatif 50% bahwa arwah mereka tak terpisahkan dari “neragara: digaji bagi negara, dan memakai atribut dan baju dinas. Dengan demikian tegas kembali dikatakan bahwa dalam hal atribut ini UU Desa 2014 yang baru sama saja dengan UU Desa 2014 sebelumnya.
Mengenai gelanggang pemilihan atasan banat bisa dipastikan hendak mirip-mirip saja dengan pemilihan atasan banat lebih dahulu yang diatur dalam perundangan banat yang lama, yang telah mendemonstrasikan sebagai “arena tempur” partai-partai politik, gelanggang tempur kelompok-kelompok tertentu, yang ujung-ujungnya bala tentara aktual sumir memaknai barang apa arti leadership di desa. Model rentang waktu yang diberi baju baru dalam rekrutmen atasan dan perangkat banat ini, membuka angin pemborosan atas cap pendidikan politik-demokratisasi di desa. Faksi-faksi dan kelompok yang terpecah belah lagi hendak terjadi. Demo-demo kontra-produktif atas cap pemilihan yang demokratis absolut diyakini konsisten berlangsung. Kepala banat berkecambah dengan modal dahulu “mengutang” yang amat besar, yang harus dibayar sepanjang beliau jadi penguasa banat meski harus dikemas dalam ala dominasi terbagi (Trias Politika Desa-Pemerintah Desa, BPD, Masyarakat).
Dengan kasus-kasus empiris sebagai ini, aktual tak siap hal baru dengan UU Desa 2014 baru ini, karena hendak terulang kembali. Artinya saya sedang “memperumit diri” dengan formula-verbal peraturan/perundangan, yang disisi beda saya tak bangun bahwa permasalahan utama adalah “lemahnya pendidikan” pendemokrasian dan tatakelola rezim desa. Selalu saja saya mudah melayangkan pendapat jikalau banat akan otonomi, demokratis, transparan, partisipatif maka perundangannya harus dirubah!
Isu 3: Tidak Ada Kekuasaan Tunggal-Tiga Pilar Kekuasaan
- BAB VII Badan Permusyawaratan Desa, Pasal 48 berbatas Pasal 54 yang mengatur kapasitas dan fungsi BPD.
- BAB VII Musyawarah Desa, Pasal 55, bagian (1) berbatas bagian (5) atas keramian desa.
- Bagian Kedua Lembaga Adat, Pasal 79 bagian (1) dan bagian (2): pemerintah alam bisa menetapkan berbagai kebiajakan…sebagai wujud akreditasi terhadap budaya istiadat.
Tidak siap dominasi tunggal di desa. Pemerintahan banat hendak dibagi dalam 3 bingkisan dominasi ialah Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat. Model ini mirip dengan bentuk negara: Pemerintah/Eksekutif, DPR/Legislatif, dan Rakyat. Tentu semua dengan babak kapasitas dan kerumitan yang berparak tetapi prinsipnya sama saja. Dengan bicara beda aktual sedang diproses “Model Desa-Negara”. Agak aneh, dan melambangkan aturan berpkir yang tak konsisten, andaikata siap anak buah yang menyangkal bahwa saya sedang memperoses “model desa-negara” dengan UU Desa 2014 yang baru ini ataupun UU Desa 2014 sebelumnya.
Di Bali berbatas dengan NTT dikenal dobel entitas desa, ialah Desa Adat dan Desa Dinas. Desa budaya adalah banat yang digerakkan dengan entitas filofis ahak aluran yang telah rentang waktu ada, sementara banat biro menggambarkan desan sebagai entitas baru bentukan Orde Baru lengkap dengan perangkat atasan desa. Banyak kasus pembangunan menggambarkan bahwa kerja sama asosiasi tak bergerak andaikata tak dengan berkat dan aba-aba kepala-kepala adat.
UU Desa 2014 yang baru nampaknya “ambigu” mensikapi dobel problematika antropologis-sosiologis terhadap dobel aliran banat tersebut. Ingin ditegaskan disini bahwa di UU Desa 2014 baru, di dalam pasal-pasal yang mengaturnya, tak sekalipun mencantumkan bicara “Desa Adat”, yang siap adalah “Lembaga Adat”. Dengan pernyataan sebagai ini maka aktual dialog keberadaan “desa adat” dan “desa” harus telah selesai. Maka konsekuensinya adalah (1) Jika siap banat budaya yang mempu dan ada gawai mirip dengan banat (desa modern bagaikan dihenbuskan dengan UU Desa 2014 baru), maka banat budaya tersebut bisa dipakai sebagai desa; dan (2) Jika banat budaya yang siap tak membanjiri pelaksanaan sebagai gawai banat modern, maka banat budaya yang siap diakui saja sebagai “lembaga adat” yang dikuatkan dengan anggaran dasar darah buat dihormati budaya adat yang siap yang menurut entitas tak boleh bersandingan dengan “desa” sebagaimana dimaksud dalam UU Desa 2014 baru.
Jangan Jauhkan Desa Dari Negara
Membuat banat kian otonom dalm membenahi dan mengampukan pembangunan dan sendi aktivitas sosial termasuk menghormatan-penghormatan terhadap budaya yang ada, adalah melambangkan kearifan yang baik. Tetapi segala upaya buat memasukkan ideologi buat membebas-jauhkan banat dari aktivitas tatakelola benua (NKRI), melambangkan aktivitas “kelblinger” apik dalam ranah praktis meskipun ranah teoritis.
Yang cacat mulai jaman Orde Baru dalam praktik-praktik acara melaksanakan benua dalam relasinya dengan banat adalah cara-cara saya mengisi substansi pembangunan yang berkaitan dengan desa, apik dari bucu siapa aktual yang bertanggungjawab membina pembangunan desa, siapa sesunggunya yang bertanggungjawab membina ekspansi daya muat pemerintah desa, lemahnya kepam terhadap dana-dana yang aktual diperuntukkan alokasi desa, korupsi yang meraja lela, dsb.
Sementara pemerintah yang sebelum-sebelumnya “bebal” buat belajar memperbaiki badan dalam relasi mengisi substansi pembangunan alokasi desa, wacana-wacana idealitik oposisi kadung berbunga begitu paras agak-agak telah tersusun perundangan baru yang kian “ces-pleng” buat membentuk desa. Dan sayangnya, terus saja begitu terjadi berulang-ulang. Lalu berkembanglah bacaan ekstrim-kritis yang menganjurkan banat dibuat semi-absolut-otonom yang “dijauhkan” dari urusan acara birokratis negara. Desa akan dibuat sebagai “teritorial-steril” dari tatakelola benua yang telah dianggap bobrok. Desa ingin dianggap “self-governing community”, membenahi dirinya sendiri, otonom, beradu kening dengan negara, jadi bagaikan “negara” di dalam “negara”.
Alasan idelogi-teoritisnya yaitu: (1) banat kian dahulu siap dibanding benua (Republik Indonesia); (2) banat mulai dahulu kala telah mempu memerankan “self-governing community”; (3) Desa kian lalu mempunyai teritorial, dan benua sekadar mengklaim saja atas cap bentuk ketatanegaraan; (4) Desa terbungkus aktivitas adat, dan bak agama beliau adalah lurus awak (private) asosiasi banat yang harus dihormati. Wajah banat bak “mulut besar” yang menganga semi-otonom diseluruh wilayah Indonesia, yang abdi rasa tidak siap perundangan manapun yang becus dibuat buat layak bangkit “menghadapi globalisasi”.
Di dalam benua yang belum kala adil mengatur tatakelola rezim celah daerah, di dalam benua yang rapur benci pembangunan menemani daerah, didalam benua yang mudah amat dipicu friksi lantara konsolidasi sosiologisnya belum matang benar, di dalam benua yang agak-agak lagi “imajiner” atas kebhinekaan-persatuan-dan kebangsaannya ini, maka “mulut besar” banat semi-otonom itu hendak mudah minta uang sogok bebat bayi multinasional globalisasi.
Maka yang ingin ditegaskan disini adalah, jangan mengadu kepada “mamakmu” dan menyesal, apa pasal ideologi banat semi otonom itu kadung digulirkan dan saat ini acap ataupun lembat jadi makanan empuk kapitalisme-global. Sayapun yakin tak hendak becus benua mengaturnya lagi, memproteksi desa-desa saya biar tanggung menghadapi globalisasi. Negara, yang didalamnya berisi birokrat-birokrat yang sebagian besar lagi angkara ini, agak-agak justru berkong-kalikong dengan korporasi-global buat mengunyah-unyah desa. UU Desa 2014 yang baru memang mengatur dan menganjurkan biar NKRI menaungi desa-desa tersebut. Apa itu artinya! Bayangkan bagaimana benua becus mengatur ratusan ribu banat di Indonesia yang di “pantatnya” telah terlampau tergesa-geda dipasang bom waktu melaju semi-otonom. Para cerdik pandai pongah yang suah disebutkan seblumnya tadi amat fasih berbalah dan menganjurkan “konsolidasi partai” buat menata demokratisasi, tetapi nampaknya agak kedodoran untu merumuskan maknanya “konsolidasi desa-desa”. Sudah kian dari setengah abad saya “sisip-pikir” membentuk acara melaksanakan negara, dan saat ini bagai gelombang Tusunami ada dengan ratusan ribu banat yang siap menganga semi-otonom. Saya tak habis pikir, ala benua mana yang sedang ditiru-kembangkan bagi para sarjana-sarjana pongah itu. Ataukan mereka sedang membuat “laboratorium oplosan percobaan” ngotak-atik tatakelola benua berbatas banat yang sekadar berlandaskan atas rasa kecewa, dengan adonan macam-macam formula ideologi.
Jangan-jangan hanyalah “Desa Oplosan” beka yang terbentuk. Lagu instans asal rame dan hingar bingar, yang tak ingat juga akar kesejarahannya dimana.
Membagi Kue Yang Disebut APBN
Alokasi Dana Desa (ADD) besarannya sekeliling 100 juta berbatas 250 juta yang diberikan kepada banat buat aktivitas pembangunan. Besarnya memang bervariasi menemani banat yang satu dengan banat yang beda tergantung dominasi jumlah daerah. Sudah jadi ilmu umum bahwa ADD itu peruntukannya amburadul, tak terarah, dan bahkan tak berlimpah atasan banat yang “menilep” bablas dana itu. Dibalik masalah ADD itu sebenarnya siap masalah yang kian berlimpah apik menurut praktis, berbatas masalah idealisme pembangunan, serta masalah kekeliuran berpikir atas desa.
Pertama, daya muat pemerintah banat lagi aib buat diberi tanggungjawab “mengelola” ADD jadi gawai support pembangunan desa. Apa amanat “uang alokasi bani miskin”, barang apa arti pembangunan di desa, barang apa arti partisipasi, barang apa arti keberpihakan terhadap bani miskin, ketampilan mengampukan uang, dan macam-macam beda tak siap di dalam badan para perangkat desa. Lalu apa pasal dikeluarkan perundangan mengenai ADD?! Para cerdik pandai pongah menelorkan gagasan: dari atas dana itu dikorupsi di babak rezim Pusat, Provinsi dan Kabupaten kian apik diberikan ke banat biar aparat banat belajar mengampukan dana dan pembangunan.
Itu alur akal utamanya. Tentu saja sebelum diputuskan perundangan ADD itu didahului dengan seminar, lokakarya, arena dialog teoritis di hotel-hotel dan dengan dakik-dakik argumentasi teoritis hak-hak bani miskin. Dibayangkan bahwa daya muat pemerintah banat dan asosiasi banat itu perkara gampang, yang penting “uang” telah siap di desa. Ternyata dana itu yang semakin membodohkan banat dan justru memupuk problematikan yang meluas.
Kedua, Indonesia ada puluhan ribu desa. Luas teriorial banat antara berbeda-beda. Jumlah orang berbeda-beda celah banat satu dengan banat lain. Perkembangan “kebutuhan” asosiasi desanya menurut sosiologis amat beragam. Sementara itu di dalam acara melaksanakan birokrasinya semua sibuk dengan negosiasi anggaran, dan sekadar bisa dihitung dengan jari para birokrat yang hirau dengan desa. Ada GAP yang menganga bambang celah banat sebagai kebiasaan di mengepung grassroots dengan pemerintah golongan kabupaten, bahkan daerah dan negara. Maka andaikata sebentuk perundang disusun menurut tergesa-gesa, bahkan ketergesaan itu dilandasi dengan sikap emosional karena “sakit hati” ataupun terlampau jengkel memandang keburukan bentuk tatakelola birokrasi pemerintahan, maka niatan bagus apapun buat membuat perundangan itu akibatnya konsisten hendak tak maksimal. Yang dimaksud “tidak maksimal” adalah bahwa ranah ajaran yang tertuang didalam perundangan tak hendak becus mengamankan “semua bucu dinamika” yang hendak berbunga di komplikasi sosiak yang sedang ataupun hendak diatur.
Ketiga, yang sifatnya ideologis aristokrat dan bernegara, di seantero Indonesia lagi keddodoran buat tak mengatakan amat lemah. Memang menurut historis bani saya suah disatukan dengan pernahklukkan bagi Gajah Mada-Majapahit dan akan datang beliau mengangkat sumpah Palapa. Tetapi yang disebut asosiasi ataupun kesatuan waktu ajaman Majapahit itu sepertinya “imajiner” sifanta. Bersatu karena dalam tekanan “kekuatan kemiliteran Majapahit”.
Sampai dengan kolonialis Belanda masuk, kesatuan yang suah disebut atas sumpah Palapa itu tak mendemonstrasikan wujud yang serius: “persatuan itu menurut histiris tak suah mengada”. Masuknya Belanda mengkocar-kacirkan juga sumir amanat asosiasi bani Nusantara itu. Hanya berbatas ketika Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi “atas nama” bani Indonesia atas 17 Agustus 1945, benarkah saya aktual telah bersatu menurut ideologis dan praktik-praktik sebagai bani yang satu? Persatuan ini kiranya benar sumir, benar lemah. Hanya dalam ranah “persepsi”, ranah komsepsi, ranah keinginan-imajinatif, aktual asosiasi itu bekerja. Secara aplikasi tatapemerintahan Pusat – daerah, kerja sama menemani daerah, dalam ranah bentuk organisasi pembangunan sebagai bani yang satu maka kemahiran saya lagi amat sedikit. Itu sebabnya bani ini peka dan teramat amat mudah digoyang konflik, apapaun macam konfliknya.
Isu-isu yang berbentuk sekeliling anggaran yang hendak dikucurkan buat banat akhir dari disyahkannya UU Desa 2014 atas Desember 2013 lalu, jumlahnya fantastis karena hendak diambil prosentase eksklusif dari APBN dan dari prosentase itu hendak dibagikan kepada desa. Kira-kira satu banat bisa mencapai bagian 1 Milyar rupiah lebih. Bisakah saya membiayai bahwa kasus-kasus bagaikan yang terjadi didalam ADD tak terulang kembali? Tidakkah itu berfaedah saya sedang memberi hati banat dengan uang? Jika pikiran para ahli, sarja, dan cerdik pandai pongah itu memakai argumentasi “tidak apa-apalah dari atas dana itu dikorupsi bagi birokrat?…lantas kapan juga saya hendak memberikan lurus asosiasi atas pembangunan”, maka aktual saya sedang beradu kening dengan para sarjana yang sekadar “sakit hati”, kian buruk juga saya sedang menghadapi sarjana-sarjana pongah yang tak ahli “phylosopy of social change”.
“Ooo….gampang diatasi. Akan diberikan ekspansi daya muat kepada perangkat banat buat mengampukan anggaran itu…”. Orang yang membentuk acara ataupun kebiajakan dengan sakit hati, digerakkan bagi ambisi eksklusif yang berorientasi biar idealismenya tercapai. Dan ambisi itu mengakibatkan kelemahan-kelemahan realistik yang siap di dalam asosiasi harus dianggap hal sepele, dan tak krusial ditanggapi. Sepintar apapaun, ataupun bahkan para sarjana itu alumnus dari universitas-universitas eminen di luar negeri, nafsu-ideologis hendak konsisten jadi kelemahan alas inherent atas badan pribadi manusia (sang sarjana). Tentu saja dominasi pemikran para sarjana pongah ini kian hari kian berlimpah lantaran kuantitas mereka semakin bertambah. Salah satu kelemahan juga di dalam karakteristik asosiasi saya adalah, “kebenaran” itu adalah dibentuk bagi dominasi terbesar, pendukung ajaran terbanyak, bahkan absolut pemberi “uang” terbanyak. Bahwa “kebenaran yang sesungguhnya” terkadang sekadar siap atas segelintir orang, telah tak dipercaya lagi.
Sistematika ontologis para sarjana yang pongah itu tidak becus juga memantulkan sedalam barang apa kerusakan yang hendak terjadi di banat dengan memagang dana satu Milyar rupiah dan seberapa acap ekspansi daya muat becus menutupi luka-luka kerusakan itu. Mari saya pikirkan dalam linier waktu, andaikata UU Desa 2014 yang disahkan Desember 2013 itu ampuh dilaksanakan atas katakanlah tahun 2016, maka dana 1 Milyar buat saban banat itu kemungkinan besar hendak terkucurkan di 2017. Lalu seberapa acap saya becus memberikan “pengembangan kapasitas” kepada puluhan ribu banat di Indonesia? Pengembangan daya muat atas tahap 1 absolut belum bisa ampuh becus diterapkan, dan itupun satu rezim banat agak-agak sekadar terwakili satu ataupun dobel anak buah saja. Disisi beda seberapa berlimpah pelatih dan kebiasaan training tersedia buat mengahlikan ratusan ribu perangkat banat biar banat relatif menurut alas sacara becus mengampukan dana satu Milyar?
Jika dibayangkan saja baru dalam daur 4 ataupun 5 tahun sebesar perangkat banat di seantero pulahan ribu banat di Indonesia baru menurut relatif ampuh becus mengampukan anggaran banat satu Milyar tersebut, pertanyaannya saya tak suah bisa memantulkan seberapa besar kerusakan, kekacauan, friksi kepentingan, dan berbagai komplikasi beda yang berkecambah di banat akhir adanya dana satu Milyar tersebut. Berbagai permasalahan tersebut bisa saja justru jadi benar kontra-produktif dari bayangan semula atas independensi dan dan kesejahteraan. Siapa yang hendak bertanggungjawab memperbaiki persoalan-persoalan sebagai sisa-sisa “di piring” akhir diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013 itu? Mari saya blengok sejauh manakah dan siapakah yang berwenang “membina” banat dalam jajaran tatakelola kebiasaan benua saya selagi ini? Jakawannya adalah tak jelas!
P e n u t u p
Saya ingin menutup paper halus ini dengan gradasi yang kian optimis dibanding paparan-paparan abdi di atas yang berat skeptis. Tentu saja dengan arah bahwa abdi lagi ingin memandang asosiasi banat jadi kian otonom, mandiri, ada kerja sama murni dalam melaksanakan pembangunan lokal meskipun regional, serta jangan berbatas asosiasi banat sekadar jadi arena para “petualang idealisme” yang tak mempertimbangkan hancurnya bangunan-bangunan sosial masyarkat desa.
Pertama, abdi bercita-cita para sidang pembaca meyakini bahwa asosiasi adalah “bangunan sosial yang menyejarah”. Mereka adalah kelompok sosial yang sekadar bisa belajar apik dari jalan asal usul yang akurat dan kontinum. Mereka membutuhkan internalisasi yang layak dan matang biar jadi energi perubahan sosial mendasar. Berdasarkan itu maka abdi ingin, UU Desa 2014 yang baru saja diintrodusir ini tak berubah dalam 10 tahun mendatang bagi para “petualang idealisme” baru. Segala kearifan yang ditujukan kepada desa, yang berkelaluan berubah dalam saban 10 tahun, tak hendak memberikan perubahan apa-apa di desa, kecuali lagi kebijakan-kebijakan bagaikan itu sekadar melenyapkan dana negara.
Kedua, titik “paling kritis” atas UU Desa 2014 tersebut bukan terwalak atas substansi barang undang-undangnya, tetapi justru atas gejala-gejala minus yang tak becus saya asa dengan diberikannya anggaran sebesar 1 Milyar kepada desa, sebagai implikasi dari pasal-pasal di dalam kanon tersebut. Persiapan antisipatif sosial bagaikan barang apa yang bisa saya siapkan buat cacat satu banat di daerah tingkat II baru pemekaran dan kecamatan baru pemekaran di kesudahan Halmahera Utara nun antara di sana, ketika beka mereka meluluskan anggaran sebesar 1 Milyar. Yang abdi maksudkan adalah ekses-ekses minus dengan adanya anggaran 1 Milyar tersebut terjadi antara kian acap dibanding kapabilitas UU Desa 2014 mengorganisir dan menginternalisasi ilmu dan pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Kita dengan mudah mengatakan: “…ooo absolut saja pelatihan-pelatihan atas tatakelola banat yg demokratis, penataan moneter desa, transparansi dan akuntabilitas hendak dilatihkan…”. Uang hendak memupuk ketidakteraturan dan inkoherensi institusi dan relasi sosial banat yang produktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya adalah “akibat masuknya UU Desa 2014” justru menguatkan kesadaran aktualitas asosiasi bahwa “penguasa” semakin berkuasa dan yang “tidak berkuasa” konsisten dalam kondisi lemah. Uang jadi tak memiliki makna.
Ketiga, perubahan ilmu dan ketrampilan asosiasi banat terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus jadi “agenda utama” kegiatan. Pengucuran besaran anggaran harus dilakukan menurut bertahap (mulai dari kecil mengabah kian banyak) bertimbal dengan perkembangan daya muat dan ukuran justification cost yang terjadi di dalam asosiasi banat bersangkutan. Samarata atas anggaran banat melambangkan pendekatan dan ajaran “paling bodoh” dalam kondisi mengagendakan sebentuk perubahan sosial dan kebudayaan di desa. Jika ajaran sama ceper yang dikedepankan, diiringi kapabilitas kenaikan daya muat yang lamban, maka aktual tak beda sedang dilaksanakan “Proyek UU Desa 2014”. Semuanya tak hendak menghasilkan apa-apa kecuali keterpurukan banat jadi kian “tidak berdaya” dan “tidak mandiri”. [¡]
Refferensi Bacaan:
“Evolutionary Theories of Cultural Change: An Empirical Perspective”,
Richard R. Nelson. Columbia University, Version: January18, 2005
“Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com
“Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, François Facchini, Mickaël Melki -Centre d’Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011.
“Linking Social Change and Developmental Change: Shifting Pathways of Human Development”, Patricia M. Greenfield. University of California, Los Angeles.
“Theories of Social Change”, Diana Leat, January 2005: International Network on Strategic Planning (INSP): Bertelsmann Foundation, Germany.
“The Evolutionary Theories of Marx and Engels”, Stephen K. Sandorson, March 1998. Working Paper Series no. 38, Institute of Social Studies. Indiana University of Pennsylvania.
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Tentang Penulis:
Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebentuk LSM yang bergerak di penguatan livelihood perdesaan, mulai 1993. Sering berpartisipasi dalam berbagai eksplorasi sosial dan budaya di berbagai wilayah di Indonesia. Pernah beraksi di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2014. Kontak: emilianuselip@gmail.com
“Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com
“Lingking Social Change and Development Change: Shifting Pathway in Development Change”: Patricia M. Greenfield, University of California-Los Angeles: © 2009 American Psychological Association/ 2009, Vol. 45, No. 2, 401–418.
Menganalisis teori-teori sosial yang dipakai jadi penting sebab teori-teori yang akurat berguna buat memprediksi kearah mana dan bagaikan barang apa kondisi sosial yang diharapkan hendak terjadi di abad dada dengan diterapkannya UU Desa 2014. Jelas ataupun tidaknya anggapan teoritik aktual saya hendak ingat apakah UU Desa 2014 ini diluncurkan bagi karena anjuran eksklusif yang tak terarah (untuk tak mengtatakan emosional): anjuran kekecewaan, anjuran political akseptabilitas, ataupun lagi anjuran frustrasi atas lemahnya rezim-burokrasi yang sedang berjalan.
Lihat “Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, bagi François Facchini, Mickaël Melki -Centre d’Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011. SEMINAR SEPIO JUNE 21, MSE (PARIS 1, FRANCE) and Association for the Study of Religion, Economics & Culture, ASREC Annual Meeting, April 7 – 10, 2011 Hyatt Regency, Crystal City (Washington DC).
berbagai insiden yang mengesankan. Tak terkecuali di gedung DPR (baca : Senayan). Bisa jadi, ini adalah hari termanis alokasi jalan pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selagi beberapa tahun mangkrak pembahasannya, alhasil disahkan jadi Undang-Undang. Ini melambangkan cancang baru alokasi sebentuk benua dengan bentuk pembangunan bottom-up, yang lebih dahulu pembangunan masuk sistem up-bottom.
Di abad ordo baru, bentuk pembangunan amat tersentralisasi, dimana alam sekadar bisa meluluskan barang apa yang fokus putuskan. Namun, pasca reformasi, paradigma ini nampaknya mulai dirubah. Pemerintah bangun bahwa pemfokusan sekadar mengadakan pembangunan imajiner semata, tak menyentuh atas akar permasalahan. Desentralisasi jadi sebentuk paradigma baru dalam pembangunan Indonesia detik ini. Untuk mendayagunakan bentuk pembangunan ini, senayan meluluskan UU Desa sebagai parasut asas membentuk Indonesia dari bawah.
Ada beberapa hal yang menarik atas UU Desa ini, dilihat dari isi, prosesnya, serta efek sosial politiknya kedepan. Saya tak hendak berbalah menurut benar-benar mengenai kandungan perpasal dari Undang-Undang ini. Tulisan ini kalau berbicara dari bucu pandang akibat sosial yang agak-agak terjadi. Saya bukanlah ahli sarjana rezim ataupun acara negara, pun abdi lagi bukan seorang ahli hukum. Kaitannya dengan UU Desa, abdi berusaha menempatkan badan sebagai asosiasi yang tinggal di pelosok pedesaan yang dalam UU ini dijadikan sebagai bahan utamanya. Saya hendak kalau memaparkan masalah-masalahnya terlebih dahulu sebelum akan datang mencoba menawarkan barang apa yang andaikata bisa dijadikan solusi hendak permasalahan yang ada.
Salah satu klausul yang siap di UU Desa adalah atas adanya anggaran 10 % dari APBN dan APBD alokasi saban desa. Ini jadi menarik karena andaikata ditotal maka saban banat hendak mencapai anggaran sekeliling 1 milyar rupiah. Angka yang layak besar, dilihat dari jumlah yang selagi ini dikucurkan buat saban banat dari pemerintah. Perlu diingat bahwa kuantitas banat yang siap di Indonesia adalah 81.253 banat / kelurahan (data terbaru dari Kemendagri). Persoalannya bukan atas kuantitas desanya, namun kian atas bagaimana manajemen jumlah tersebut. Selama ini di desa-desa, manajemen jumlah berkelaluan diserahkan kepada Kepala Kampung ataupun Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK). Anggaran ini rawan buat akan datang diselewengkan, memandang besarnya jumlah yang diberikan. Fenomena yang terjadi di babak kolong adalah kebiasaan bagi-bagi jatah. Salah satu penyebab apa pasal adanya bagi-bagi bagian ini adalah karena kecilnya gaji yang diterima bagi perangkat desa. Sehingga dengan adanya jumlah ini, maka boleh beres ini adalah aji mumpung alokasi perangkat-perangkat desa. Namun itu bisa akan datang saya siasati dengan pengawasan.
Pengawasan di babak banat dilakukan bagi Badan Permusyawaran Desa (BPD). Lembaga ini melambangkan manifestasi agen dari asosiasi di babak desa. Namun lagi-lagi BPD di berbagai alam arung stagnanisasi lembaga. BPD sekadar jadi lembaga formalitas tanpa ada progress yang menggembirakan. Alasan klasik yang berkelaluan berbentuk ketika ditanyakan apa pasal BPD tak bergerak adalah ketidaktahuan anak buah mengenai operasi kerja serta bingkisan kerja di BPD itu sendiri. Apabila akan datang BPD tak dicarikan solusinya, maka jalan kepam hendak mati serta energi terjadinya korupsi jumlah pembangunan yang diamanatkan bagi UU Desa hendak semakin besar. Itu adalah masalah yang pertama.
Permasalahan yang andaikata berpotensi terjadi di alun-alun seterusnya adalah mengenai operasi penganggaran. Di penjelasan UU Desa tertera bahwa operasi penaksiran hendak dengan daerah. Titik rawannya sendiri berada atas penyalurnya. Melihat dari kejadian-kejadian yang dekat serupa, contohnya ketika penaksiran sertifikasi guru, anggaran yang anjlok dari fokus diendapkan lalu di rekening alam berbatas beberapa bulan. Endapan ini bukan buat akan datang dikorupsi, membeda-bedakan mencari bunga dari sedimen anggaran di bank. Coba saja dihitung, andaikata satu daerah tingkat II diperoleh 450 desa, artinya adalah dalam satu tahun hendak siap anggaran segar sekeliling 450 miliyar rupiah. Kalau bunga bank tiap bulannya mencapai 2 persen, telah berapa anggaran yang bisa terdapat dari sedimen ini.
Dalam hal realisasi di lapangan, UU Desa lagi mengamanatkan harus dilakukan dengan Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembang Desa). Masalahnya kemudian, apakah musrembang ini layak ampuh buat membuat agenda kerja selagi setahun memandang SDM berkualitas yang amat terbatas di pedesaan. Pengalaman selagi ini, Musrembang sekadar jadi sebentuk forum absah buat ikrar saja. Rencana-rencana yang diajukan semuanya dibuat bagi beberapa anak buah saja, itupun ketika ditawarkan di forum, asosiasi meskipun agen yang hadir, sekadar bersedekah etiket izin saja tanpa sumbang rembug meskipun mengkritisinya. Tentunya ini jadi preseden yang kurang apik dalam jalan pembangunan. Keikutsertaan asosiasi dalam menggali agenda pembangunan mutlak dibutuhkan biar pembangunan bisa berbawaan dengan barang apa yang dibutuhkan bagi masyarakat.
Kemudian, masalah yang berpotensi berbentuk adalah tingginya politik dana dalam pemilihan atasan desa. Hingga detik ini, tak siap parasut asas yang melegalisasi adanya amal biaya pemilihan atasan banat dari pemerintah. Selama ini, biaya pemilihan atasan banat berkelaluan dibayarkan dengan aturan patungan menemani calon. Tak heran kemudian, satu aspiran atasan banat bisa melenyapkan anggaran puluhan juta rupiah. Dana tersebut diperuntukkan alokasi biaya penyelenggaraan, pesta, sosialisasi, serta hal-hal beda yang terkait dengan pemilihan meskipun konstituen. Ini jadi ayunan tersendiri alokasi penerapan UU Desa, karena dalam UU Desa tercantum bahwa periodisasi jabatan atasan banat adalah selagi 2 ambang dengan sendiri-sendiri ambang selagi 6 tahun. Fatalnya adalah dalam UU Desa ini tak termaktub adanya anggaran dari pemerintah buat jalan pemilihan atasan desa. Apabila ini tak segera dicarikan solusinya, maka anggaran perimbangan yang jumlahnya fantastis itu bisa jadi bancakan buat mengembalikan modal yang telah dihabiskan bagi atasan banat dalam pemilihan.
Dari beberapa masalah yang laten tersebut, abdi mencoba menarik sebentuk benang merah celah fakta di alun-alun dengan opsi yang siap di UU Desa. Pertama, atas operasi kepam serta penaksiran program, BPD harus menjadi watchdog yang bertaring. Satu hal yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan UU Desa ini diterapkan sepenuhnya adalah adanya maintenance SDM di BPD itu sendiri. Untuk informasi, UU Desa hendak resmi diberlakukan mulai dahulu tahun 2015, sekaligus mendiami Peraturan Pemerintah buat teknis pelaksanaannya. Guna mendayagunakan aktor-aktor yang ada, maka pemerintah harus meningkatkan SDM di dalam BPD. Ini bisa dilakukan dengan membuat sebagai training meskipun workshop menurut bertahap. Legislator-lagislator desa ini harapannya becus mengimbangi power yang dimiliki bagi atasan banat sebagai decision maker. Selain itu, adanya korespondensi celah BPD dengan DPRD lagi bisa jadi solusi meningkatkan efektifitas kerja BPD. Setidaknya ini becus jadi akselarator proses check and balance di babak desa.
Kemudian dalam kaitannya dengan hambatan pembagian anggaran perimbangan di babak daerah, kapasitas serta lembaga-lembaga dari fokus penting buat dihadirkan. Sistem independensi alam tak memagari adanya aduk yad dari pusat, sehingga jalan pembagian ini harus memperoleh kepam ketat dari pusat. Pengalaman di anggaran sertifikasi guru, kehabisan kepam dari fokus jadi lubang apa pasal anggaran tersebut bisa ditahan di daerah. Apabila anggaran perimbangan pembangunan banat ini tertahan, pastinya pembangunan hendak terganggu, padahal antusiasme yang siap dalam UU Desa bayan menyebutkan bahwa kesudahan lembing pembangunan Indonesia detik ini terwalak di desa.
Beranjak ke permasalahan berikutnya, solusi yang bisa saya tarik adalah adanya seorang penyedia di saban desa. Fasilitator ini fungsinya sebagai akselarator lembaga-lembaga yang siap di banat meskipun proses-proses yang siap di dalamnya. Inisiator UU Desa telah sering memberikan pernyataannya bahwa kedepan memang hendak siap penyedia di tiap banat dan ini rencananya hendak dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun dalam pernyataannya, tak dijelaskan menurut rinci bagaimana jalan rekrutmen penyedia ini, apakah mereka ini adalah staff kementerian dari fokus ataupun penyedia independen yang selagi ini siap di acara PNPM. Saya memandang andaikata penyedia ini berasal dari pusat, maka absolut hendak siap berlimpah dana yang dikeluarkan. Jalan keluar alternatif yang bisa dipakai adalah memanfaatkan mahasiswa-mahasiswa yang siap di alam dengan acara KKN. Tentu hendak siap berlimpah polemik andaikata adil penyedia adalah mahasiswa. Tapi tak siap salahnya pemerintah memberikan kesempatan alokasi calon-calon cendekiawan muda ini mengaplikasikan ilmunya langsung di masyarakat.
Yang terakhir adalah bagaimana pemerintah dan asosiasi mencari solusi buat menekan adanya biaya politik yang tinggi dari jalan demokrasi di babak banat guna menghindari bancakan anggaran perimbangan. Ini sebenarnya lagi lagi jadi dialog di daerah legislatif alam meskipun pusat. Bagi saya, jumlah dari pemerintah mutlak diperlukan. Saya sendiri setuju andaikata pemilihan gubernur dilakukan dengan DPRD. Nah, jumlah yang sedianya buat pilkada, bisa dialihkan ke desa-desa. Saya ada argumentasi sendiri apa pasal abdi kondusif kearifan ini. Gubernur menurut abdi adalah representasi dari pemeritah pusat. Kita sendiri memandang bagaimana selepas kran independensi alam dibuka, kapasitas gubernur antara berkurang dibanding Bupati meskipun Presiden. Pemilihan langsung digunakan buat memastikan pemimpin yang ada kaitan langsung dengan masyarakat. Salah satunya adalah atasan desa. Oleh karena itu, abdi sepakat bahwa anggaran pemilihan gubernur bisa dialihkan sebagai anggaran bantuan operasional pemilihan atasan desa. Ini penting, karena abdi memandang tingginya modal yang dikeluarkan bagi atasan banat berbanding lurus dengan efektifitas kerja atasan desa.
Semua hal yang abdi paparkan diatas, tak mutlak terjadi di saban banat yang siap di Indonesia. Bahkan agak-agak barang apa yang abdi tulis diatas sekadar sebentuk kasuistik di alam saya. Namun, absolut barang apa yang terjadi ini bukan akan datang saya hendak tutup mata. Semangat pembangunan yang siap dalam UU Desa serta bagaimana euphorianya absolut tak hendak kesampaian andaikata pemerintah sendiri tak akan melancarkan UU Desa ini. Jangan berbatas UU Desa ini sekadar jadi naskah pelengkap kerja DPR semata. Sebagai masyarakat, absolut saya ada kewajiban buat senantiasa berkontribusi alokasi pembangunan yang memang sedang digalakkan, cacat satunya dengan UU Desa ini. Kita jangan psimis dengan ikhtiar yang telah dilakukan bagi pemerintah meskipun DPR. Walaupun nantinya hendak berlimpah anca yang dihadapi di lapangan, tak arkian membuat saya berakhir buat terus mewujudkan asosiasi yang adil-makmur serta berkemajuan. Setiap hambatan absolut ada jalan lepas masalahnya, pertanyaannya akan datang adalah apakah saya akan berkontribusi buat mencari solusi itu. Silahkan saya bertanya kepada badan saya masing-masing. Wallahu’alam bishowab
TELAAH KRITIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA
————————————————————
Oleh : Drs. IRAWAN RUMEKSO, MM
ABSTRAK
Faktor posisioning terhadap desa yang belum akurat melambangkan anasir dominan yang jadi penyebab ketertinggalan desa. Desa selagi ini kian ditempatkan sebagai obyek dari subyek.
Setelah dengan darmawisata yang panjang, pemerintah dan DPRRI atas coplok 19 Desember 2013 mengesahkan berlakunaya UU Desa yang baru. UU Desa yang baru menjadi cancang asal usul yang penting alokasi rezim desa, karena adanya political will dari benua buat memberdayakan banat dan meningkatkan kesentosaan seantero perangkat desanya.
Pengaturan abad jabatan 6 tahun dan bisa dipilih buat tiga ambang abad jabatan kurang tepat, karena abad jabatan enam tahun sebenarnya belum layak alokasi Kepala Desa buat mengintensifkan acara kerjanya dan dapat mengaralkan kaderisasi kepemimipinan di babak banat serta hendak melecut stabilitas politik banat “terguncang” balik saban enam tahun.
Satu hal hal juga yang krusial dikritisi adalah bahwa UU Desa tak memberikan legitimasi kewenangan kepada Camat terhadap banat berlaku seperti “atasan” Kepala Desa, padahal banat amat membutuhkan sivilisasi langsung dari kecamatan.
Namun UU Desa ini patut diapresiasi karena mencantumkan kebijakan-kebijakan yang maju dan vital alokasi kemajuan dan perkembangan desa.
Kata kunci : UU Desa, independensi desa, rezim desa, pemberdayaan desa, abad jabatan Kades dan peranan Camat.
PENDAHULUAN
Setelah dengan perjuangan bujur yang meletihkan dengan demonstrasi yang hiruk pikuk membanjiri ruang-ruang jemaah serta diwarnai dengan gaham boikot terhadap pelaksanaan program-program vital pemerintahan, pemerintah dan DPRRI alhasil mengabulkan tuntutan para kades dan perangkat banat dengan mengesahkan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 atas Desa (selanjutnya disebut UU Desa), menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 atas Desa yang tak memuaskan alokasi para Kepala Desa dan aparatur desa.
Pertimbangan disahkannya UU Desa adalah : Pertama, bahwa Desa ada lurus asal usul dan lurus tradisional dalam mengatur dan membenahi interes asosiasi setempat dan berperan mewujudkan cita-cita independensi beralaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa dalam darmawisata politik Republik Indonesia, Desa telah berbunga dalam berbagai aliran sehingga krusial dilindungi dan diberdayakan biar jadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga bisa mengadakan alas yang bangkit dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan mengabah asosiasi yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, bahwa Desa dalam susunan dan acara aturan penyelenggaraan rezim dan pembangunan krusial diatur tersendiri dengan undang-undang.
EKSISTENSI DESA
Keberadaan banat menarik minat berbagai daerah buat membahas, memeriksa dan “memanfaatkannya”. Para empu berlimpah yang telah melancarkan eksplorasi atas desa, penguasa telah “memproyekkan” desa, para politisi telah mempolitisir banat dan para pengusaha telah mengksploitasi desa. Desa, orang desa, bentuk sosial dan kekerabatan, gelora politik dan penyelenggaran pemerintahannya telah jadi obyek bahasan dalam berbagai berkilauan dan forum-forum ilmiah lainnya. Namun ironis, itu semua belum becus memberikan solusi yang manjur buat perkembangan dan kemajuan desa. Desa konsisten saja lagi harus bergelut dengan masalah-masalah mendasar, apik itu masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan masalah infrastruktur. Padahal banat ada segalanya : akar kapasitas manusia, akar kapasitas alam, antusiasme kegotong-royongan, bentuk sosial yang penuh kekerabatan dan toleransi.
Demikian lagi dengan kelembagaan rezim desa, alih-alih lagi terbatas kapasitasnya buat melancarkan jasa publik, membangunkan energi dan memberdayakan masyarakat. Banyak anasir yang jadi penyebab itu semua, apik anasir internal meskipun eksternal, namun alih-alih anasir posisioning terhadap desa yang belum akurat melambangkan anasir dominan yang jadi penyebabnya.
Dalam asal usul perkembangan dan perkembangannya, banat selagi ini kian ditempatkan sebagai obyek dari subyek. Sudah mulai jaman dahulu, banat dijadikan sebagai : bahan kajian, pilot project kebijakan, akar dukungan politik, akar legitimasi para penguasa dan eksploitasi para pengusaha.
Desa yang atas tadi becus berbunga dengan segala piranti dan kelembagaan asli bertimbal kekhasan sendiri-sendiri yang dimiliki dan diciptakan sendiri apik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya meskipun pertahanan keamanan, mulai kehilangan otonominya ketika diintervensi bagi daulat yang kian besar. Pada jaman kerajaan, banat diminta mengakui, patuh dan tunduk terhadap daulat kerajaan sambil melaksanakan independensi asli. Memasuki abad kemerdekaan, pertama abad ordo baru, independensi banat direnggut dan penyelenggaraan rezim banat “diseragamkan” dengan aplikasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 atas Pemerintahan Desa. Sejak detik itu, banat kehilangan kekhasan dan keasliannya, rezim banat diformat bertimbal main stream dominasi dan selera penguasa atas detik itu.
MENGEMBALIKAN OTONOMI DESA
Walaupun lagi saja jadi obyek eksploitasi politik dan ekonomi, banat yang telah tumbuh dalam asal usul yang amat bujur berabad-abad lalu, terus arung perkembangan dan perkembangan yang dinamis. Karena perkembangan dan perkembangannya itulah maka banat konsisten eksis berbatas hari ini. Menyadari hendak keberadaan banat yang krusial terus dijaga dan diberi bilik buat berkecambah dan berkembang, perlahan-lahan adaptasi kearifan atas banat lagi arung perubahan. Pemerintah mulai mencoba “mengembalikan” kedaulatan desa, dengan mencabut UU 5 Tahun 1979 dan menggantinya dengan anggaran dasar perundangan yang baru. Namun sayang, di abad reformasi, harmonisasi atas banat justru “turun tahta”, karena harmonisasi atas rezim banat diatur dalam anggaran dasar teknis di kolong undang-undang, kanon sebagai induknya, ialah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan rezim banat dalam pasal-pasal yang singkat.
Namun UU 22/1999 dan UU 32/2004 melegalkan banat sebagai kesatuan asosiasi asas budaya dengan hak-hak aluran dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, banat bisa disebut dengan cap beda yang bertimbal dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun sayang, kewenangan banat dalam UU 32/2004 jadi tak mempunyai arti apa-apa karena urusan beralaskan lurus aluran dan budaya adat tak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian kembali urusan yang berasal dari kabupaten/kota, alih-alih berlimpah yang belum didelegasikan.
PEMBERDAYAAN DESA
Pengesahan UU Desa jadi cancang asal usul yang penting alokasi rezim desa, karena baru kali ini siap UU Desa yang membuktikan komitmen yang nyata dan adanya political will dari benua buat memberdayakan banat dan meningkatkan kesentosaan seantero perangkat desanya. Komitmen dan political will itu celah beda bisa dilihat atas :
- Adanya alokasi anggaran dari APBN buat pembangunan desa. Kebijakan ini dituangkan dalam Pasal 71, saban banat hendak memperoleh bagian anggaran dari APBN sebesar sepuluh bayaran dari anggaran perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD selepas dikurangi anggaran bagian eksklusif (DAK). Nilainya disesuaikan dengan kondisi geografis desa, kuantitas orang dan biji kemiskinan. Selama ini pendapatan asli banat bersumber dari pendapatan asli banat yang terdiri dari : produk usaha, produk aset, swadaya dan partisipasi, memikul royong, dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari produk pajak alam dan retribusi alam kabupaten/kota, bagian anggaran banat yang melambangkan bagian dari anggaran perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan moneter dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahkabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tak mengikat dari pihak ketiga; danlain-lain pendapatan banat yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari bagian anggaran APBN absolut saja melambangkan kearifan baru yang afirmatif dan melambangkan titik penting alokasi pembangunan dan pemberdayaan asosiasi desa. Desa menghadapi berlimpah masalah, celah beda kemiskinan, derajat kebugaran asosiasi yang memprihatinkan, babak pendidikan yang rendah, biji pengangguran yang layak tinggi, rendahnya daya muat penyelenggara rezim desa, kerusakan area alam, kerusakan infrastruktur dll. Dengan adanya tambahan pendapatan banat yang bena maka persoalan-persoalan tersebut hendak terus ditangani dan dicarikan solusinya bertimbal dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban penggunaan anggaran dilaksanakan bagi banat itu sendiri, absolut saja ini melambangkan gelagat yang nyata untuk pemberdayaan masyarakat. Namun konsekwensi dari penyerahan dan pendelegasian manajemen moneter ini harus diikuti dengan kenaikan daya muat pengelola dengan pelatihan, sivilisasi penatausahaan moneter banat disertai dengan kepam yang kontinyu biar anggaran bisa dikelola menurut akuntabel, transparan, akurat waktu, akurat mutu, akurat manajemen dan akurat sasaran.
- Adanya pendapatan tetap, bantuan dan konservasi kebugaran buat atasan banat dan perangkat desa.
Kepala Desa dan perangkat banat atas hakekatnya adalah penyelenggara benua di babak desa. Keberadaannya amat vital dalam bentuk penyelenggaraan negara, karena banat adalah estuari dari semua acara rezim dan pembangunan, disamping itu banat adalah asas data sebagi akar informasi dan pembuatan kearifan domestik dan daerah, sehingga buat kecepatan dan kesuksesan program-program rezim dan pembangunan, telah barang andaikan banat diperkuat apik dari muka kelembagaan, daya muat aparatur dan kewenangannya. Hal yang amat bena berpengaruh terhadap kenaikan kinerja aparatur banat adalah kenaikan kesejahteraan. Walaupun telah siap perhatian pemerintah, menurut umum babak pendapatan aparatur banat lagi rendah, sehingga krusial terus ditingkatkan. Kebijakan yang amal pendapatan tetap, bantuan dan amal jaminan kebugaran dari benua melambangkan kearifan penting yang hendak bisa mengadakan iklim kerja yang baik dalam melaksanakan darma dan kewajiban aparatur desa.
MASA JABATAN KEPALA DESA
UU Desa melambangkan UU yang bagus, namun abad jabatan Kepala Desa melambangkan satu hal yang krusial dikritisi. UU Desa mengatur jabatan Kepala Desa 6 tahun dan bisa dipilih buat tiga kali abad jabatan apik berturut-turut meskipun tak berturut-turut. Hal ini absolut saja berparak andaikata dibandingkan dengan UU 32/2004 yang mengatur abad jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan bisa dipilih buat dobel ambang abad jabatan. Pengaturan abad jabatan ini lagi berparak dengan tuntutan para Kepala Desa yang menasihati abad jabatan jadi dobel belas tahun dan bisa menjabat buat dobel ambang abad jabatan.
Masa jabatan 6 tahun dan bisa dipilih buat tiga ambang abad jabatan menurut cerpenis kurang tepat, karena abad jabatan enam tahun sebenarnya belum layak alokasi Kepala Desa buat mengintensifkan acara kerja dan visi misnya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selagi tiga periode, hendak bisa mengaralkan kaderisasi kepemimipinan di babak desa. Disamping itu, abad jabatan yang enam tahun hendak melecut stabilitas politik banat “terguncang” balik saban enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa Pemilihan Kepala Desa sering menorehkan luka, dendam alot dan menimbulkan friksi horizontal/vertikal alokasi para pihak terkait yang berat dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program Kepala Desa terpilih, sehingga mengaralkan kecepatan peyelenggaraan rezim dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi bertimbal UU Desa yang baru, biaya pemilihan Kepala Desa jadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan ambang jabatan yang singkat, biaya Pilkades hendak membebani APBD. Menurut cerpenis abad jabatan yang ideal buat Kepala Desa adalah sepuluh tahun dan layak menjabat satu ambang saja buat melecut kaderisasi kepemimpinan di babak desa.
PERANAN CAMAT
Secara sosiologis hubungan celah kecamatan dengan banat adalah bersifat sistemik, artinya saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi menurut langsung dalam praktek penyelenggaraan rezim desa. Praktek hubungan sistemik kecamatan dan banat didasarkan atas ajaran bahwa banat ada beraneka ragam keterbatasan, yaitu: dependensi daya muat aparatur, dependensi sarana-prasarana dan dependensi administrasi rezim desa. Artinya potret dependensi banat di atas, rezim banat membutuhkan sivilisasi langsung dari kecamatan. Hanya permasalahannya UU Desa ini tak memberikan legitimasi kewenangan kepada Camat terhadap banat berlaku seperti “atasan” Kepala Desa.
Pola hubungan kecamatan dan banat bagaikan itu, seharusnya diatur dengan kewenangan yang jelas, kendatipun menurut absah Camat tak ditempatkan sebagai kepala langsung Kepala Desa ataupun sejajar. Padahal menurut empiris Camat adalah “atasan riil” Kepala Desa, artinya Camat yang sehari-hari memberikan sivilisasi dan kepam penyelenggaraan rezim banat dan ruang kades dan perangkat banat berkonsultasi melibat pelaksanaan darma dan kewajiban.
Di dalam UU Desa yang terdiri 122 pasal, sekadar dobel bagian yang “memberikan kewenangan” kepada Camat dan itupun bukan kewenangan substantif, ialah Pasal 49 bagian 3 dan Pasal 53 (3) “Kepala Desa hendak mengangkat/memberhentikan perangkat banat terlebih dahulu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota”. Namun demikian lagi siap angin alokasi kewenangan Camat, ialah Pasal 112 (2), “bahwa dalam melancarkan sivilisasi dan kepam kepada desa, Bupati/Walikota bisa melimpahkan wewenang kepada perangkat daerah”. Sehinga kuncinya siap di yad Bupati/Walikota buat memberikan deputi kepada Camat buat mengintensifkan darma dan kontribusinya alokasi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.
Tiga argumentasi perlunya keikutsertaan Camat dalam sivilisasi dan kepam jalannya rezim desa, yaitu: (1) Karena dimungkinkan ataupun diberi campak bagi anggaran dasar perundang-udangan; (2) Untuk efektifitas dan kemampuan sivilisasi dan pengawasan, karena Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berangkaian langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa; dan (3) Dalam kondisi bentuk rezim Republik Indonesia dalam anggaran dasar perundangan yang berlaku, banat disamping sebagai entitas yang mempunyai lurus otonomi, banat lagi diberi kapasitas sebagai bagian dari entitas manajemen benua dengan tugas-tugas jasa jemaah dan tugas-tugas birokrasi. Oleh karena itu jadi relevan andaikan Desa beroleh sivilisasi dan pengawasan dari aparatur birokrasi (Camat).
PENUTUP
Disahkannya UU Desa patut disambut dengan perasaan bangga dan gembira. UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa mencantumkan kebijakan-kebijakan yang maju dan vital alokasi kemajuan dan perkembangan desa. UU ini lagi menilai keberadaan banat dan peranan aparatur banat dan menurut tegasa memberikan gaham amal sanksi kepada atasan banat yang tak melaksanakan kewajibannya. Sanksinya bisa teguran tertulis, pembebasan sementara dan pembebasan tetap. Ini absolut afirmatif buat melecut kinerja dan disiplin pemerintah desa.
Kesimpulannya adalah UU Desa yang baru melambangkan terobosan yang aneh dari pemerintah dan DPRRI yang hendak jadi cancang asal usul alokasi perkembangan dan kemajuan banat dan hendak dicatat dengan tinta emas dalam asal usul rezim Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA :
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 atas Desa
[MAKALAH] Analisa Penerapan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa melambangkan Undang-Undang yang telah dinantikan bagi semesta asosiasi banat tidak terkecuali perangkat banat selagi 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan jadi UU Desa. Kemudian atas 15 januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani guna mengesahkan UU tersebut.
Adapun tujuan dari disahkannya UU Desa ini celah lain:
- 1memberikan akreditasi dan ikram atas banat yang telah siap dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- memberikan ketegasan kedudukan dan kepastian asas atas banat dalam bentuk politik Republik Indonesia buat mewujudkan kesamarataan alokasi seantero bala tentara Indonesia;
- melestarikan dan mempresentasikan adat, tradisi, dan budaya asosiasi desa;
- mendorong prakarsa, gerakan, dan kerja sama asosiasi banat buat ekspansi energi dan aset banat guna kesentosaan bersama;
- membentuk rezim banat yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
- meningkatkan jasa jemaah alokasi penduduk asosiasi banat guna meligat manifestasi kesentosaan umum;
- meningkatkan kegigihan sosial budaya asosiasi banat guna mewujudkan asosiasi banat yang becus melantan kesatuan sosial sebagai bagian dari kegigihan nasional;
- memajukan perekonomian asosiasi banat serta melampaui disparitas pembangunan nasional; dan
- memperkuatmasyarakat banat sebagai poin pembangunan.
Sedangkan akar harmonisasi dalam UU Desa ini adalah:
- rekognisi, ialah akreditasi terhadap lurus asal usul;
- subsidiaritas, ialah penetapan kewenangan berskala lokal dan pengutipan dekrit menurut lokal buat interes asosiasi desa;
- keberagaman, ialah akreditasi dan ikram terhadap bentuk nilai yang berlaku di asosiasi desa, tetapi dengan konsisten membenakan bentuk nilai bersama dalam aktivitas aristokrat dan bernegara;
- kebersamaan, ialah antusiasme buat berperan bersungguh-sungguh dan beraksi sama dengan ajaran saling menilai celah kelembagaan di babak banat dan anggota asosiasi banat dalam membentuk desa;
- kegotongroyongan, ialah kebiasaan saling bantu-membantu buat membentuk desa;
- kekeluargaan, ialah kebiasaan penduduk asosiasi banat sebagai bagian dari satu kesatuan ahli besar asosiasi desa;
- musyawarah, ialah jalan pengutipan dekrit yang melibat interes asosiasi banat dengan diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan;
- demokrasi, ialah bentuk pengorganisasian asosiasi banat dalam satu bentuk rezim yang dilakukan bagi asosiasi banat ataupun dengan izin asosiasi banat serta keluhuran harkat dan gengsi manusia sebagai anasir tuhan yang maha esa diakui, ditata, dan dijamin;
- kemandirian, ialah satu jalan yang dilakukan bagi pemerintah banat dan asosiasi banat buat melancarkan satu aktivitas dalam rangka membanjiri kebutuhannya dengan kapabilitas sendiri;
Penetapan UU Desa ini tidak lepas dari penolakan. Di samping, ribuan atasan banat di seantero Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, alam Sumatera Barat menolak UU tersebut. Hal tersebut dikarenakan, menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumatera Barat, beranggapan bahwa UU Desa hendak melemahkan keberadaan distrik di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi.
Terlepas dari antipati dari LKAAM Sumbar, UU ini menurut umum mengatur barang mengenai akar pengaturan, domisili dan macam desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan rezim desa, lurus dan kewajiban banat dan asosiasi desa, anggaran dasar desa, moneter banat dan aset desa, pembangunan banat dan pembangunan alun-alun perdesaan, awak usaha hak desa, kerja sama desa, lembaga kemasyarakatan banat dan lembaga budaya desa, serta sivilisasi dan pengawasan. Selain itu, UU ini lagi mengatur dengan garis eksklusif yang sekadar berlaku buat Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XIII.
Salah satu titik yang amat krusial dalam pembahasan RUU Desa, adalah terkait bagian jumlah buat desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 atas Keuangan Desa. Jumlah bagian jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 bayaran dari dan di luar anggaran memindahkan daerah. akan datang dipertimbangkan kuantitas penduduk, biji kemiskinan, bambang wilayah, kepelikan geografi. Ini dalam rangka meningkatkan asosiasi desa. Selain itu, poin-poin beda yang disepakati adalah terkait abad jabatan atasan desa. Kemudian diatur lagi terkait kesentosaan atasan banat dan perangkat desa. Baik atasan desa, meskipun perangkat banat beroleh pendapatan konsisten saban bulan dan beroleh jaminan kesehatan.
Di muka lain, UU Desa lagi berisi kekurangan. Kekurangan pertama, adanya diskrepansi penafsiran banat budaya menurut UU Desa dengan penafsiran banat budaya menurut asosiasi banat budaya itu sendiri. Kekurangan kedua, tereletak atas anggaran bagian kepada saban banat per tahun yang bisa saja disalahgunakan. Kemudian, tak mengartikan menurut eksklusif atas pemasangan awewe minimum 3o bayaran atas perangkat desa. Selain itu, babak kewaspadaan acara melaksanakan yang lagi aib dan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap di desa, lagi bisa mengaralkan tujuan-tujuan yang akan dicapai selepas ikrar UU Desa.
Maka dari itu, makalah ini hendak menganalisa ekses dan aib dari UU Desa dan lagi dalam hal kewaspadaan acara melaksanakan serta SDM yang siap di desa.
ANALISA
Setiap produk hukum, bagaikan Undang-Undang, tak terlepas dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula dengan UU Desa. Pada ayat pendahuluan, telah diterangkan menurut singkat ekses dan aib yang siap di UU Desa. Pada ayat analisa ini, cerpenis hendak menganalisa ekses dan aib tersebut.
Kelebihan
Pada UU Desa ini, diperoleh titik yang memang telah dicanangkan sekeliling 7 tahun lamanya. Yaitu, adanya aturan yang berbalah terkait bagian jumlah buat desa. Di dalam penjelasan Pasal 72 Ayat 2 atas moneter desa. Jumlah bagian jumlah yang langsung ke desa, ditetapkan sebesar 10 bayaran dari dan di luar anggaran memindahkan alam dengan mempertimbangkan kuantitas penduduk, biji kemiskinan, bambang wilayah, kepelikan geografi.
Dengan adanya anggaran bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut, absolut diharapkan pembangunan di banat semakin apik dan becus menyejahterakan asosiasi banat dengan pemakaian anggaran bagian menurut maksimal. Jika becus mengampukan dengan apik dan bijaksana, maka bukan hal yang mustahil andaikata asosiasi banat yang berada di garis kemelaratan bisa berkurang dan agak-agak saja bisa bersaing dengan asosiasi banat lainnya ataupun bahkan asosiasi ijmal menurut umumnya.
Pada perangkat banat bagaikan atasan banat lagi tak hilang dari pembahasan dalam UU Desa. atasan desa menurut UU Desa artikel 26 bagian 1, bertugas asuh rezim desa, sivilisasi kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan asosiasi desa. Pada artikel yang sama di bagian 3 abjad c, dijelaskan bahwa atasan banat meluluskan pendapatan konsisten saban bulan, tunjangan, dan pendapatan lainnya yang sah, serta beroleh jaminan kesehatan. Selain itu, segala hal yang berangkaian dengan atasan desa, apik itu tugas, wewenang, larangan, hingga abad jabatan seorang atasan desa, lagi tertuang di UU Desa. Pada jajaran perangkat banat lainnya, bagaikan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) lagi diberikan penjelasan-penjelasan terhadap bagaikan barang apa fungsi BPD, tugas-tugasnya, wewenang, kewajiban, hingga larangan-larangan yang tak boleh dilakukan bagi BPD.
Secara umum, UU Desa telah menganalisis menurut sistematis dan becus memberikan hak-hak atas saban banat di Indonesia buat mengembangkan potensi-potensi yang siap di desanya. Dengan adanya UU ini, maka saban banat bisa menyejahterakan masyarakatnya bertimbal dengan prakarsanya atas sendiri-sendiri desa. Adanya UU ini lagi jadi alas asas yang amat berfaedah alokasi saban desa, karena UU ini bisa dijadikan sebagai alas injakan dalam melaksanakan pembangunan-pembangunan di desa. Maka, ekses UU Desa yang amat terlihat adalah telah adanya alas asas yang bayan alokasi saban banat di Indonesia.
Kekurangan
Di balik kelebihan, absolut diperoleh kembali kekurangan. Begitupula atas UU Desa. Ada berbagai aib yang diperoleh dalam UU Desa. Tidak sekadar dalam segi isi, namun lagi dalam hal penerapannya.
Dari segi isi, diperoleh aib pertama dalam penafsiran banat adat. Sebelum terbitnya UU ini, saban wilayah ada penafsiran banat budaya yang berbeda-beda. Sebagai contohnya, di Bali. Pengertian banat budaya adalah ruang pelaksanaan aliran agama dalam sprit takwa, etika, dan upacara yang bertalian atas wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa), dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, banat budaya adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi urusan pemerintahan, interes asosiasi setempat beralaskan buah pikiran masyarakat. Maka dari itu, harus siap penyeragaman penafsiran arti banat adat, biar tak siap gelojak dikemudian hari.
Masih dalam segi kandungan UU Desa, dikatakan bahwa saban banat hendak memperoleh anggaran bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) amat kecil 10 bayaran saban tahunnya. Maka, bisa diperkirakan saban banat hendak memperoleh anggaran sekeliling 1.2 hingga 1.4 miliar saban tahunnya. Berdasarkan ancangan dalam penjelasan UU Desa yaitu, 10 bayaran dari dan memindahkan alam menurut APBN buat perangkat banat sebesar Rp. 59, 2 triliun, ditambah dengan anggaran dari APBD sebesar 10 bayaran sekeliling Rp. 45,4 triliun. Total anggaran buat banat adalah Rp. 104, 6 triliun yang hendak dibagi ke 72 ribu banat se-Indonesia.
Dengan habis-habis-an anggaran sebesar itu, tak mustahil hendak diselewengkan bagi perangkat banat yang tak bertanggungjawab. Maka, penting adanya pengawasan, dalam hal ini adalah darma BPD dan pemerintah alam setempat, yang dilakuan menurut ajek terhadap saban banat biar pembangunan banat kian akurat sasaran. Masalah lainnya lagi hendak ditimbul, ialah adanya perbedaan-perbedaan keadaan ataupun kondisi banat yang siap di Indonesia. Ada banat yang memang telah mandiri dan telah becus menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai aturan sebelum adanya lahirnya UU Desa. Akan tetapi, siap kembali banat yang tertinggal dan lagi belum belum bisa meningkatkan kesentosaan masyarakatnya. Jika nantinya hendak dikucurkan anggaran bagian tersebut, dikhawatirkan hendak rugi alokasi banat berkembang dan hendak konsisten merasa aib alokasi banat tertinggal. Sekali lagi, kapasitas kepam amat diharapkan becus mengawasi penggunaan anggaran bagian tersebut biar anggaran bagian tersebut akurat alamat bertimbal keperluan dan keperluan sendiri-sendiri desa.
Masa jabatan atasan banat lagi agak-agak saja hendak jadi permasalahan. Pada UU Desa, dijelaskan abad jabatan atasan banat adalah 6 tahun dan bisa dipilih balik dalam 3 periode, boleh berturut-turut ataupun tidak. Masa jabatan yang tergolong rentang waktu ini, ditakutkan hendak lahir “raja-raja kecil” di desa. Terlebih lagi, dengan kewenangan yang diberikan atas saban atasan banat layak bebas dan keuntungan-keuntungan jadi atasan banat yang bisa mengiurkan alokasi saban orang, memungkinkan seseorang dengan segala aturan biar bisa menduduki jabatan sebagai atasan desa. Untuk itu, asosiasi banat harus cermat memastikan atasan banat yang memang berkompeten dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan yang siap di desanya. Dengan memanfaatkan pemilihan menurut langsung, asosiasi banat diharapkan becus memfokuskan orang-orang pokta di desanya atas saban kedudukan di perangkat desanya, terlebih atas kedudukan atasan desa. Tingkatan interes asosiasi banat dalam berdemokrasi, menurut tak langsung, lagi hendak berpengaruh dalam pembangunan-pembangunan di wilayahnya. Penepatan anak buah apik dan memang becus melampaui permasalahan banat atas babak atasan desa, pastilah hendak berakhir afirmatif dalam perubahan-perubahan yang terjadi ke depannya. Sebaliknya, andaikata cacat memilih, bukan bahkan melampaui permasalahan tetapi hendak menimbulkan permasalahan baru yang agak-agak kian besar lagi.
Masih berkaitan dengan pentingnya asosiasi banat memahami demokrasi, maka asosiasi banat akan tak akan harus ada apresiasi berdemokrasi itu sendiri. Salah satu caranya adalah dengan kolom pendidikan. Dengan pendidikan yang apik dan benar, hendak menghasilkan asosiasi banat yang bangun berdemokrasi dan lagi bisa memberikan andil terhadap pembangunan-pembangunan di desanya. Ini berkaitannya dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda siap atas saban desa. Peran pemerintah, apik pemerintah fokus meskipun pemerintah daerah, lagi harus becus anjlok yad dalam meningkatkan SDM asosiasi banat ini. Mengenai SDM, lagi berkaitan akrab dengan acara melaksanakan yang hendak tergarap bagi perangkat desa. Maka dari itu, dengan meningkatnya SDM di satu desa, lagi hendak berakhir apik terhadap acara melaksanakan rezim desanya.
Lalu, atas pemasangan perangkat banat itu sendiri, UU Desa tak menurut eksklusif mengartikan atas kehadiran awewe minimum 30 bayaran di perangkat desa. Hal tersebut dianggap penting, karena jangan berbatas perempuan-perempuan di banat sekadar hendak dijadikan obyek pengaturan, bukan sebagai subyek. Dengan adanya awewe di perangkat desa, diharapkan bisa mengalirkan aspirasi perempuan-perempuan lainnya di banat tersebut.
Dari sekian ekses dan aib yang telah disampaikan, UU Desa ini harus diapresiasikan. UU ini memberikan akreditasi terhadap saban banat yang siap di Indonesia sebagai kesudahan lembing pemerintahan. UU ini lagi memberikan angin atas saban banat buat mengatur pembangunan di desanya yang bertujuan sebesar-besarnya buat kemakmuran dan kesentosaan asosiasi desa.
UU Desa hendak berfungsi apik andaikata semua pihak saling kondusif dan saling membantu dalam melaksanakan baik UU tersebut. Jika semua pihak becus melaksanakan darma dan fungsinya bertimbal dengan yang diamanahkan, maka bukan tak agak-agak pembangunan di banat hendak semakin apik dan bisa menyejahterakan asosiasi banat itu sendiri serta membantu pembangunan domestik menurut keseluruhan.
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap produk hukum, bagaikan Undang-Undang , tak terlepas dari ekses dan aib selepas disahkan. Begitupula UU Desa. Adapun ekses UU Desa yang amat terlihat adalah pemakaian UU Desa sebagai alas injakan dan alas asas yang bayan alokasi saban banat di Indonesia. Sedangkan, aib UU Desa terwalak atas penafsiran banat budaya yang berparak dengan penafsiran asosiasi banat budaya itu sendiri. Perbedaan ini agak-agak saja hendak menimbulkan akibat dikemudian hari andaikata tak ditanggulangi mulai diri. Dana bagian yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan tergolong layak besar terhadap saban banat per tahunnya, lagi bisa jadi permasalahan andaikata tak diawasi menurut mentok dan berkala. Kemudian, tak adanya pembahasan menurut eksklusif atas UU Desa atas pemasangan awewe minimum 30 bayaran atas perangkat desa. Dan yang terpenting adalah, belum siapnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap di banat buat melaksanakan UU Desa ini dan tentunya hendak berakhir terhadap acara melaksanakan rezim banat itu sendiri.
Saran
Saran dari penulisan ini adalah harus adanya kepam yang intens dan ajek buat bisa mengawal UU Desa ini dalam melaksanakan amanah-amanahnya. Terutama, dalam kepam penggunaan anggaran bagian terhadap saban banat per tahunnya yang rawan dimanfaatkan bagi segelintir anak buah yang tak bertanggungjawab. Pengawasan ini sendiri, bisa dari Badan Permusyawaran Desa (BPD) setempat, pemerintah alam setempat dan lagi bisa dari asosiasi banat itu sendiri. Dengan adanya kepam dalam penggunaan anggaran bagian tersebut, diharapkan penggunaan anggaran bagian bisa akurat alamat dan bisa digunakan sebesar-besarnya buat kemakmuran dan kesentosaan asosiasi desa.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
http://setkab.go.id/berita-11923-presiden-teken-uu-desa-kepala-desa-kini-dapat-gaji-dan-tunjangantetap.html (diakses coplok 15 juni 2014).
http://www.jurnas.com/news/133227/Antisipasi-Permasalahan-dan-Usulan-Revisi-UU-Desa-2014/1/Nasional/Opini (diakses coplok 15 juni 2014).
http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desa-terbaru.html (diakses coplok 15 juni 2014).
http://www.yipd.or.id/en/articles/tentang-undang-undang-desa (diakses coplok 15 juni 2014).
http://hariansinggalang.co.id/lkaam-se-sumbar-kukuh-tolak-uu-desa/ (diakses coplok 15 juni 2014).
http://metrobali.com/2014/04/19/bali-dalam-dilema-uu-desa/ (diakses coplok 15 juni 2014).
Pertanyaan perdana sebenarnya terkait dengan domisili Desa dalam kondisi pembentuk anggaran dasar perundang-undangan (peraturan desa) atas abad Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 yang beralaskan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 telah tak berlaku atas detik telah diatur dengan kanon (semenjak diundangkannya UU No. 10 Tahun 2004 atas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Untuk memahami hal tersebut, krusial diketahui terlebih dahulu perkembangan domisili banat menurut umum.
Memosisikan domisili banat dan Kepala Desa dalam politik Indonesia krusial dipahami sebagai penyelenggaraan urusan yang dilaksanakan dalam rangka rezim dalam arti luas, buat melayani masyarakat. Perlekatan mengenai politik tampaknya kian apik dikesampingkan terlebih dahulu karena beberapa alasan. Faktor utama ialah bahwa apresiasi mengenai urusan dan kelembagaan politik berparak dengan urusan dan kelembagaan pemerintahan. Hal ini bisa dikuatkan bagi penjelasan Bagir Manan bahwa karena konstitusi/Undang-Undang Dasar melambangkan kaidah alas alokasi semua bidang hukum, belum absolut kaidah yang diatur melambangkan kaidah ketatanegaraan. Begitu kembali lembaga-lembaga yang diperoleh dalam Undang-Undang Dasar belum absolut melambangkan lembaga yang bersifat politik (Manan: 2009).
Adapun di dalamnya diperoleh pembagian dominasi menurut tegak (kekuasaan pemerintah Pusat dan Daerah), terbatas atas satuan rezim mana yang diberikan dominasi dalam konstitusi (Anwar: 1999). UUD 1945 sendiri menurut eksplist mengatur satuan rezim yang mempunyai rezim alam sekadar Provinsi, Kabupaten, dan Kota (vide Pasal 18 bagian (1) UUD 1945 Perubahan Kedua). Dengan demikian, kerangka politik krusial dibatasi sebatas bingkisan dominasi celah Pusat dan Daerah, kecuali absolut saja bangun politik menurut fundamental, bingkisan wewenang di celah bangun politik menurut fundamental, dan jaminan lurus asasi manusia (Sri Soemantri: 2006).
Kedudukan Desa (atau cap lainnya), dalam UUD 1945 Pasal 18B (2) Negara memberikan akreditasi dan ikram terhadap banat sebagai kesatuan-kesatuan masyarakat asas adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan bertimbal dengan perkembang-an asosiasi dan ajaran Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan UndangUndang (Ranggawidjaja: 2013).
Landasan ini melepaskan celah satuan rezim alam yang diberi independensi dengan kesatuan asosiasi hukum. Urusan yang dikelola bagi satuan rezim alam membuktikan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang lagi ada, urusan yang dikelola bagi Desa melambangkan pengakuan. Tentunya konsisten dimungkinkan diperoleh darma pembantuan yang diberikan bagi Kabupaten, Provinsi, meskipun Pemerintah Pusat.
Dalam UU ini, “Desa adalah banat dan banat budaya ataupun yang disebut dengan cap lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan asosiasi asas yang ada batas wilayah yang berwenang buat mengatur dan membenahi urusan pemerintahan, interes asosiasi setempat beralaskan buah pikiran masyarakat, lurus asal usul, dan/atau lurus tradisional yang diakui dan dihormati dalam bentuk rezim Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Pasal 1).
Sedang domisili banat tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 kanon tersebut, yaitu: “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, sivilisasi kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan asosiasi Desa beralaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”. Dan dalam artikel 5, “Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota” (Pasal 5).
Ketentuan di atas menegaskan domisili Desa sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah. Hal ini kembali yang menjadikan Peraturan Desa atas alas Ketetapan MPR No. III/MPR/ 2000 (vide Pasal 3 bagian (7) abjad c) dan UU No. 10 Tahun 2004 (vide Pasal 7 bagian (2) abjad c) sebagai cacat satu macam anggaran dasar perundang-undangan sebagai bagian dari anggaran dasar daerah. Tetapi dalam UU No. 12 Tahun 2011 atas Pembentukan Praturan Perundang-undangan, Peraturan Desa tak dikategorikan sebagai anggaran dasar alam beralaskan kendatipun kanon tersebut melegalkan kehadiran “peraturan yang ditetapkan bagi atasan banat ataupun pejabat yang setingkat” (vide Pasal 8 bagian (1)).
Dengan demikian rezim banat yang siap masa ini adalah kesinambungan dari rezim banat jaman dahulu, sekadar saja rezim banat masa ini telah kehilangan “rohnya” sebagai banat yang mandiri. Desa yang siap masa ini bukan juga sebagai ”inlandsche gemeenten”, ialah sebagai rezim asli bani Indonesia. Pemerintahan Desa masa ini kian akurat disebut rezim imajiner ataupun cerminan (quasi government organization)” (Ranggawidjaja: 2013).
UU No. 32 Tahun 2004 atas Pemerintahan Daerah lagi melegalkan kehadiran rezim banat tetapi lagi tak bermaksud buat konsisten mempertahankan bentuk rezim banat ini dalam bentuk rezim alam di Indonesia. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) bisa dilihat dari adanya keahlian buat mengubah kedudukan banat jadi kelurahan (Pasal 200 Ayat (3)), yang jadi bagian dari rezim alam kabupaten/kota dan melaksanakan fungsi dekonsentrasi. Sayangnya, kanon ini penaka menempatkan domisili kelurahan penaka kian apik dari banat yang melaksanakan sentralisasi dengan adanya syarat eksklusif beralaskan kuantitas penduduk, bambang wilayah dll andaikata satu banat akan diubah statusnya jadi kelurahan. Hal ini menurut Rosjidi Ranggawdjaja (2013) memfokus kepada kemauan buat dilaksanakannya dekonsentrasi ataupun sentralisasi.
Kebijakan penyeragaman yang telah dibangun mulai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 atas Pemerintahan Desaberlanjut hingga UU No. 6 Tahun 2014 atas Desa, pertama dilihat dari domisili serta pengisian jabatan Kepala Desa dan pendapatan Pemerintah Desa. Pertama, kedudukan Kepala Desa adalah sebagai arahan Pemerintah Desa ataupun yang disebut dengan cap beda dan yang dibantu bagi perangkat Desa ataupun yang disebut dengan cap beda (Pasal 25 UU No. 6 Tahun 2014). Walaupun Kepala Desa dipilih langsung bagi orang Desa (Pasal 34 (1)), ikrar (Pasal 37 (5)) dan inaugurasi (Pasal 38 (1)) Kepala Desa dilaksanakan bagi Bupati/Walikota.
Kedua, pelantikan tersebut linier dengan pendapatan Kepala Desa. Pasal 66 (1) melegitimasi bahwa Kepala Desa dan perangkat Desa mencapai pendapatan konsisten saban bulan ditambah dengan jaminan kebugaran dan bisa mencapai pendapatan lainnya yang absah (ayat (4)). Penghasilan konsisten Kepala Desa dan perangkat Desa bersumber dari anggaran perimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diterima bagi Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 66 bagian (2)).
Selain pendapatan tetap, Kepala Desa dan perangkat Desa meluluskan bantuan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (Pasal 66 bagian (3)). Skema akar pendapatan Kepala Desa tersebut membuktikan kecanduan moneter yang layak besar alokasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Gerusan terhadap independensi Desa pula diperkuat juga dalam penciptaan Desa. Walaupun belum absolut bawaan aluran dan hak-hak tradisional asosiasi Desa serta merta beterbangan karena kearifan pemekaran Desa, kehadiran Desa menurut absah tak juga melambangkan komunitas sosial yang berkecambah dengan bingkai sosiologis.
Pengaturan baru atas Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 tak berimplikasi atas perubahan kedudukan atasan banat jadi “pejabat negara”. Hal ini disebabkan atasan banat mulai dahulu, kendatipun memimpin satuan rezim yang bersifat otonom (desa) tak bertindak buat dan atas cap benua sebagaimana huruf yang melekat atas “pejabat negara”.Namun konsisten sebagai pejabat rezim karena melambangkan cacat satu penyelenggara rezim desa. Penjelasan kian berumur mengenai diskrepansi celah pejabat benua dan pejabat rezim bisa melihat artikel Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan. Semoga bermanfaat.
Dasar Hukum
- Undang-Undang Dasar 1945
- Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 atas Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 atas Pemerintahan Desa
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atas Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 atas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 atas Desa
Referensi:
- Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan Kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.
- Manan, Bagir. 2009. Menegakkan Hukum Suatu Pencarian. Jakarta : Asosiasi Advokat Indonesia.
- Ranggawidjaja, Rosjidi. 2013. “Pasal 18B bagian (2)”, dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad.
- Soemantri, Sri. 2006. Sistem dan Prosedur Konstitusi. Bandung: Alumni.
[1] Penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia Bandung, 2014, Hlm. 79.
[2] Internet
[3] Koentjaraningrat, Masyarakat Desa di Indonesia, (Jakarta: LPFE UI,1984), hlm. 1-18. Lihat juga. Prof. Sayogjo, “Pengantar” dalam Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Pedesaan di Jawa, (Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama. 2001), hlm. xiv-xv.
[4] Francis Wahono, “Bersekongkol ataupun Saling Kontrol”, dalam Duto Sosialismanto, Ibid, hlm. Xxi.
[5] Irene Heraswati Gayatri, Dinamika Kelembagaan Desa: Gampong Era Otonomi Khusus Aceh, LIPI, 2007, hlm. 2.
[6] Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 atas Pemerintahan Daerah, Undang Undang Nomor32 Tahun 2004 atas Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
[7] Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Urgensi UU No. 6 Tahun 2014 Dalam Konteks Desa-Desa Di Jawa Timur, Disampaikan atas Sosialisasi dan Bintek Pengembangan Kapasitas Camat dan Kepala Desa Untuk Menunjang Tatakelola Desa Mandiri, Sejahtera dan Partisipatoris Berbasiskan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, September-Nopember 2014, Hlm. 12.
[8] Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 12.
[9] Ibid, Fahrul Muzaqqi dan Priyatmoko Dirdjosuseno, Hlm. 13.
[10] Prinsip independensi seluas-luasnya dalam arti daerah/desa diberikan kewenangan membenahi dan mengatur semua urusan rezim di luar yang jadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah/Desa ada kewenangan membuat kearifan daerah/desa buat bersedekah pelayanan, kenaikan peranserta, buah pikiran dan pemberdayaan asosiasi yang bertujuan atas kenaikan kesentosaan rakyat. Otonomi nyata adalah satu prinsip bahwa buat menangani urusan rezim dilaksanakan beralaskan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah siap dan berpotensi buat tumbuh, hidup dan berbunga bertimbal dengan energi dan kekhasan daerah/Desa. Sedangkan independensi yang bertanggungjawab adalah independensi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan arah amal otonomi, yang atas dasarnya buat memberdayakan daerah/Desa termasuk meningkatkan kesentosaan bala tentara yang melambangkan bagian utama dari tujuan nasional.
[11] Taliziduhu Ndraha, “Desa Masa Depan, Garis Depan Demokrasi”, dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa mengabah Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekejasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY, 2000.
[12] Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Universitas Warmadewa Denpasar, Volume 17 No. 2, Juli 2011, Hlm. 170.
[13] Pasal 4 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5-6.
[14] Pasal 3 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fokusmedia, Bandung, 2014, Hlm. 5.
[15] Konsideran Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fukusmedia, Bandung, 2014, Hlm.1
[16] Pastika, Implikasi penerapan UU Desa yang baru itu di Denpasar, hari Rabu (18/6), bagaikan dikutip Antara.
[17] Emil E. Elip, Desa, UU Desa 2014 dan Perubahan Sosial, tp://sosbud.kompasiana.com/2014/03/12/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial-641031.html
[18] Rosjidi Ranggawidjaja, “Pasal 18B bagian (2)”, dalam Abdurahman, Ali et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Fakultas Hukum Unpad-PSKN FH Unpad, 2013.
[19] Ibid, Rosjidi Ranggawidjaja, 2013.
[20] Irawan Rumekso, Makalah Telaah Kritis Terhadap Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
[21] Ibid, Irawan Rumekso.
Oke detil tentang Undang Undang Desa dan Permasalahan Sosial Budaya (Didik Sukriono*) - Center for Security and Welfare Studies semoga tulisan ini menambah wawasan salam
Artikel ini diposting pada kategori kebijakan ekonomi mikro, dampak kebijakan ekonomi mikro, kebijakan ekonomi mikro indonesia saat ini,
Komentar
Posting Komentar