
Hohoho, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan membawakan tentang kesenian banjar Seni tradisional Banjar - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas simak selengkapnya
Seni tradisional Banjar adalah unsur keelokan yang jadi belahan bernapas bangsa di bangsa Banjar. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Tradisi adalah belahan dari tradisional namun bisa musnah karena ketidakmauan bangsa untuk mengikuti budaya tersebut.
Kultur budaya yang mekar di Banjarmasin sangat berjibun hubungannya dengan sungai, rawa, dan danau, di samping pegunungan. Tumbuhan dan binatang yang mendiami daerah ini sangat berjibun dimanfaatkan untuk memadati kehidupan mereka. Kebutuhan bernapas mereka yang mendiami alam ini dengan memanfaatkan bidang area dengan hasil ramu budaya yang disesuaikan. hampir segenap kehidupan mereka serba religius. Di samping itu, masyarakatnya juga agraris, bakul dengan dukungan teknologi yang sebagian besar masih tradisional.
Ikatan kekerabatan mulai dol dibanding dengan era yang lalu, orientasi kehidupan kekerabatan kian mengarah kepada intelektual dan keagamaan. Emosi keagamaan masih jelas tampak ala kehidupan seluruh bangsa bangsa yang berada di Kalimantan Selatan.
Urang Banjar membabarkan komposisi budaya, komposisi kemasyarakatan dan material budaya yang berkaitan dengan relegi, dengan beragam jalan adaptasi, akulturasi, dan asimilasi. Sehingga tampak terjadinya pembauran di aspek-aspek budaya. Meskipun demikian pandangan atau pengaruh Islam kian dominan di kehidupan budaya Banjar, hampir analog dengan Islam, terutama sekali dengan pandangan yang berkaitan dengan ketuhanan (Tauhid), kendatipun di kehidupan sehari-hari masih sedia unsur budaya asal, Hindu dan Buddha.
Seni memahat dan bangun tradisional Banjar tampak sekali pembauran budaya, demikian lagi alat rumah tangga, transportasi, tari, nyanyian, dan sebagainya.
Masyarakat Banjar telah mengetahui beragam macam dan bentuk kesenian, ayu Seni Klasik, Seni Rakyat, maupun Seni Religius Kesenian yang jadi milik bangsa Banjar
Suku Banjar membabarkan seni dan budaya yang cukup lengkap, walaupun pengembangannya belum maksimal, meliputi beragam cabang seni.
Seni Tari[sunting | sunting sumber]
Seni Tari Banjar terbagi jadi dua, adalah seni ajojing yang dikembangkan di area istana (kraton), dan seni ajojing yang dikembangkan akibat rakyat. Seni ajojing kraton ditandai dengan nama "Baksa" yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang melambangkan kehalusan denyut di tata tarinya. Tari-tari ini telah sedia dari ratusan warsa yang lalu, semenjak zaman Hindu, namun gerakan dan busananya telah disesuaikan dengan situasi dan hal dewasa ini. Contohnya, gerakan-gerakan definit yang dianggap tidak bertemu dengan akhlak islam mengalami sedikit perubahan. Seni tari daerah Banjar yang beken misalnya:
- Tari Baksa Kembang, di penyambutan tamu agung.
- Tari Baksa Panah
- Tari Baksa Dadap
- Tari Baksa Lilin
- Tari Baksa Tameng
- Tari Radap Rahayu
- Tari Kuda Kepang
- Tari Japin/Jepen
- Tari Tirik Kuala
- Tari Gandut
- Tari Tirik
- Tari Babujugan
- Tari Jepen Lenggang Banua
- Tari Japin Hadrah
- Tari Kambang Kipas
- Tari Balatik
- Tari Parigal Amban
- Tari Tameng Cakrawati
- Tari Alahai Sayang
Seni Karawitan[sunting | sunting sumber]
Gamelan Banjar[sunting | sunting sumber]
- Gamelan Banjar Tipe Keraton
- Gamelan Banjar Tipe Rakyatan
Lagu Daerah[sunting | sunting sumber]
Lagu daerah Banjar yang beken misalnya:
- Ampar-Ampar Pisang
- Sapu Tangan Babuncu Ampat
- Paris Barantai
- Lagu Banjar lainnya
- Daftar pelagu lagu-lagu Banjar
- Daftar pencipta lagu-lagu Banjar
- Timang Banjar (Malaysia)
- Banjarmasin (Melayu Deli)
Seni Rupa Dwimatra[sunting | sunting sumber]
Seni Anyaman[sunting | sunting sumber]
Seni jalinan dengan bahan rotan, bambu dan purun sangat artistik. Anyaman tali berupa kempek dan kopiah.
Seni Lukisan Kaca[sunting | sunting sumber]
Seni gambar kaca mekar ala warsa lima puluhan, hasilnya berupa gambar buroq, Adam dan Hawa dengan buah kholdi, kaligrafi masjid dan sebagainya. Ragam hiasnya sangat berjibun diterapkan ala perabot berupa tumpal, sawstika, geometris, flora dan fauna.
Seni Tatah/Ukir[sunting | sunting sumber]
Motif ukiran juga diterapkan ala sasanggan yang terbuat dari kuningan.
Seni memahat terdiri atas tatah aus (dangkal) dan tatah babuku (utuh). Seni memahat diterapkan ala gawang dan kuningan. Ukiran gawang diterapkan ala alat-alat rumah tangga, bagian-bagian rumah dan masjid, bagian-bagian perahu dan bagian-bagian cungkup makam. Ukiran kuningan diterapkan ramu kuningan seperti cerana, abun, pakucuran, lisnar, perapian, cerek, sasanggan, meriam alit dan sebagainya. Motif ukiran andaikan Pohon Hayat, pilin ganda, swastika, tumpal, kawung, geometris, bintang, flora binatang, kaligrafi, motif Arabes dan Turki.
Pencak Silat Kuntau Banjar[sunting | sunting sumber]
Pencak Silat Kuntau Banjar adalah ilmu beladiri yang mekar di Tanah Banjar dan daerah pengelanaan suku
Seni Rupa Trimatra (Rumah Adat)[sunting | sunting sumber]
Rumah adat Banjar sedia beberapa jenis, tetapi yang paling menonjol adalah Rumah Bubungan Tinggi yang melambangkan ruang adres pangeran/raja (keraton). Jenis rumah yang ditinggali akibat seseorang memberitahukan kedudukan dan kedudukannya di masyarakat. Jenis-jenis rumah Banjar:
- Rumah Bubungan Tinggi, adres raja
- Rumah Gajah Baliku, adres saudara dekat raja
- Rumah Gajah Manyusu, adres "pagustian" (bangsawan)
- Rumah Balai Laki, adres menteri dan punggawa
- Rumah Balai Bini, adres betina keluarga raja dan inang pengasuh
- Rumah Palimbangan, adres alim ulama dan saudagar
- Rumah Palimasan (Rumah Gajah), penyimpanan barang-barang berharga (bendahara)
- Rumah Cacak Burung (Rumah Anjung Surung), adres bala tentara biasa
- Rumah Tadah Alas
- Rumah Lanting, rumah di atas air
- Rumah Joglo Gudang
- Rumah Bangun Gudang
Jukung Banjar[sunting | sunting sumber]
Erik Petersen telah mengadakan penelitian akan jukung Banjar di bukunya Jukungs Boat From The Barito Basin, Borneo. Jukung adalah pengangkutan khas Kalimantan. Ciri khasnya terwalak ala teknik pembuatannya yang mempertahankan komposisi kremasi ala rongga cabang gawang bulat yang akan dibuat jadi jukung.[1][2][3][4][5]
Jenis Jukung:
- Jukung Sudur (rangkaan)
- Jukung Patai
- Jukung Batambit
Jenis perahu lainnya misalnya:
Wayang Banjar[sunting | sunting sumber]
Wayang Banjar terdiri dari:
- Wayang kulit Banjar
- Wayang gung/wayang Gong adalah (wayang orang versi bangsa Banjar
Mamanda[sunting | sunting sumber]
Mamanda melambangkan seni teater tradisonal bangsa Banjar.
Tradisi Bananagaan[sunting | sunting sumber]
Seni Tradisonal Banjar Berbasis Sastra (Folklor Banjar)[sunting | sunting sumber]
Madihin[sunting | sunting sumber]
Etimologi dan definisi[sunting | sunting sumber]
Madihin berasal dari bicara madah di bahasa Arab artinya nasihat, tapi bisa juga berarti pujian. Puisi bala tentara anonim bergenre Madihin ini cuma sedia di kalangan etnik Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, batasan Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan kaidah mengadopsinya dari substansi di dalam folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie (2006) menakrifkan Madihin dengan rumusan sebagai berikut: kidung bala tentara inkognito bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan di bahasa Banjar dengan bentuk awak dan bentuk batin definit bertemu dengan formalitas yang berlaku secara khusus di substansi folklor Banjar di Kalsel.
Bentuk fisik[sunting | sunting sumber]
Masih menurut Ganie (2006), Madihin melambangkan pembangunan kian lanjut dari puisi lama berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan besaran bicara minimum 4 buah. Jumlah baris di satu baitnya minimum 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada arketipe sajak akhir tegak a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris di saban baitnya berstatus kandungan (tidak sedia yang berstatus sangkutan sebagaimana halnya di puisi lama Banjar) dan sarwa baitnya berbalas-balasan berkaitan secara tematis.
Madihin melambangkan genre/jenis kidung bala tentara inkognito berbincang Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di dada publik dengan kaidah dihapalkan (tidak boleh membaca teks) akibat 1 orang, 2 orang, atau 4 anak Adam ahli seni Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan budaya penuturan Madihin (bahasa Banjar: Bamadihinan) telah sedia sejak masuknya ajaran Islam ke alam Kerajaan Banjar ala warsa 1526.
Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan[sunting | sunting sumber]
Madihin dituturkan sebagai hiburan bala tentara untuk memeriahkan lilin lebah hiburan bala tentara (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar di rangka memperingati hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kemunculan anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara dorong bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar).
Orang yang memedulikan profesi sebagai ahli seni pencerita Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan melambangkan ahli seni penggembira bala tentara yang beraksi mencari nafkah secara mandiri, ayu secara personal maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya sedia 6 etika profesional yang harus dipenuhi akibat seorang Pamadihinan, yakni: (1) terampil di hal berkelakuan bicara bertemu dengan desakan struktur bentuk awak Madihin yang telah dibakukan secara sterotipe, (2) terampil di hal berkelakuan inti dan amar (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil di hal canda vokal saat menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di dada publik, (4) terampil di hal berkelakuan corak saat menuturkan Madihin, (5) terampil di hal berkelakuan nada penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil di hal mengatur keserasian penampilan saat menuturkan Madihin di dada publik.
Tradisi Bamadihinan masih tetap abid hingga kini ini. Selain dipertunjukkan secara melantas di hadapan publik, Madihin juga disiarkan dengan stasiun radio partikelir yang sedia di beragam metropolitan besar di Kalsel. Hampir sarwa stasiun radio partikelir menyiarkan Madihin satu kali di seminggu, bahkan sedia yang saban hari. Situasinya jadi semakin bertambah semarak saja karena di satu warsa diselenggarakan beberapa kali tanding Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan teritori dengan hadiah dana bernilai jutaan rupiah.
Tidak sekadar di Kalsel, Madihin juga jadi alat hiburan pilihan yang berjibun diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnik Banjar di dalam daerah atau bahkan di dalam negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, anak Adam Banjar yang angkat kaki merantau ke dalam daerah atau ke dalam bumi tidak sekadar membawa serta keterampilannya di bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni membela memenangkan diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegoisasi (menjadi blantik atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan yang memedulikan pekerjaan ini secara profesional dapat bernapas mapan. Permintaan untuk hadir di dada publik relatif agung frekwensinya dan honor yang mereka terima dari karet penanggap cukup besar, yakni jarak 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa anak Adam di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena sedia sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di metropolitan Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut alih-alih sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, saat etnik Banjar di Kalsel masih belum sejenis itu akrab dengan komposisi ekonomi uang, imbalan bantuan belah seorang Pamadihinan diberikan di bentuk natura (bahasa Banjar: Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Keberadaan Madihin di Luar Daerah Kalsel[sunting | sunting sumber]
Madihin tidak sekadar disukai akibat karet peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga akibat karet peminat yang tinggal di beragam metropolitan besar di bentala cairan kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah sejenis itu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan akibat pasangan Pamadihinan dari metropolitan Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, dia saat itu kecimpung memberikan hadiah berupa bayaran bertambah haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel berjibun sekali bermukim Pamadihinan terkenal, jarak lain: Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di metropolitan Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur ala Festival Budaya Melayu.
Datu Madihin, Pulung Madihin, dan Aruh Madihin[sunting | sunting sumber]
Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang ketat dengan dunia mistik, karena karet pemangku profesinya harus melengkapi dirinya dengan sokongan daya supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini kabarnya diberikan akibat seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin.
Pulung difungsikan sebagai daya supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam daya artistik seorang Pamadihinan. Berkat sokongan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat membabarkan fitrah bidang dan daya intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling artistik (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang melaksanakan tidak sarwa anak Adam Banjar di Kalsel dapat memedulikan profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung sekadar diberikan akibat Datu Madihin kepada karet Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai ikatan keturunan dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang jadi sumber asal usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh paranormal yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, bidang pantheon yang tidak kasat mata, ruang tinggal karet dewa keelokan bala tentara di coret-coretan kosmologi tradisonal etnik Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai anak Adam perdana yang secara geneologis jadi cikal bakal kehadiran Madihin di kalangan etnik Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui saban warsa sekali, andaikan tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan di sebentuk ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan ala saban bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan kaidah membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji ovum ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin kecimpung memadati undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesambet semasa beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib akibat Datu Madihin yang menyurupinya saat itu. Sebaliknya, andaikan Pamadihinan yang bersangkutan tidak melawat kesambet sampai dupa yang dibakarnya berakhir semua, maka hal itu melambangkan pelebaya mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut akibat Datu Madihin. Tidak sedia pilihan belah Pamadihinan yang bersangkutan, hanya hanyut teratur secara sukarela dari ajang pertunjukan Madihin
Peribahasa Banjar Berbentuk Puisi[sunting | sunting sumber]
Etimologi dan Definisi[sunting | sunting sumber]
Secara etimologis, kata aforisme menurut Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari bahasa Sanksekerta pari dan bhasya, yakni bahasa (bhasya)yang yang disusun secara beraturan (pari). Etnis Banjar di Kalsel menyebut aforisme dengan kata paribasa (Hapip, 2001:137), kata ini hampir sama dengan kata paribasan di bahasa Jawa yang digunakan di DI Yogyakarta, Jateng, dan Jatim.
Menurut Tajuddin Noor Ganie (2006:1) di bukunya berjudul Jatidiri Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, peribahasa Banjar ialah kalimat pendek di bahasa Banjar yang arketipe susunan katanya telah tetap dengan merujuk kepada suatu format bentuk definit (bersifat formulaik), dan telah dikenal luas sebagai ungkapan tradisional yang menyatakan maksudnya secara samar-samar, terselubung, dan berkias dengan gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan.
Berdasarkan karakteristik bentuk fisiknya, aforisme Banjar menurut Ganie (2006:1) dapat dipilah-pilah jadi 2 kelompok besar, yakni:
- Peribahasa Banjar berupa puisi, terdiri atas:
- Peribahasa Banjar berupa kalimat, terdiri atas:
Perbedaan bentuk awak jarak aforisme Banjar yang berupa kidung dengan aforisme Banjar yang berupa kalimat terwalak ala macam gaya bahasa yang dipergunakannya. Peribahasa berupa kidung mempergunakan gaya bahasa perulangan, selagi aforisme berupa kalimat mempergunakan gaya bahasa perbandingan, pertautan, dan pertentangan.
Simpulan[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan deskripsi dan contoh-contoh di atas, maka dapat disimpulkan sarwa ragam/jenis aforisme Banjar berupa puisi, setidak-tidaknya memegang alpa satu dari 3 ciri karakteristik bentuk, yakni:
- adanya pengulangan atas kosa-kata yang sama,
- adanya kosa-kata yang hampir sama secara morfologis, dan
- adanya kosa-kata yang berbalas-balasan bersajak a/a/a/a, a/b/a/b, dan a/b/b/a ayu secara tegak maupun secara horisontal di awal, di tengah, atau di akhir baris/larisk. Ciri-ciri karakteristik bentuk yang demkian itu analog dengan gaya bahasa iterasi (repetisi).
Pantun Banjar[sunting | sunting sumber]
Etimologi, Definisi, dan Bentuk Fisik[sunting | sunting sumber]
Pantun melambangkan pembangunan kian lanjut dari Peribahasa Banjar. Istilah puisi lama sorangan menurut Brensetter sebagaimana yang dikutipkan Winstead (dalam Usman, 1954) berasal dari akar bicara tun yang kemudian berubah jadi tuntun yang artinya teratur atau tersusun. Hampir mirip dengan membimbing adalah tonton di bahasa Tagalog artinya berbicara menurut aturan definit (dalam Semi, 1993:146-147).
Sesuai dengan asal usul etimologisnya yang demikian itu, maka puisi lama tentu analog dengan semberap kosa-kata yang disusun sedemikian paras dengan merujuk kepada sejumlah etika konvensional menyangkut bentuk awak dan bentuk batin kidung bala tentara anonim.
Setidak-tidaknya sedia 6 etika konvensional yang harus dirujuk di hal bentuk awak dan bentuk batin puisi lama ini, yakni: (1) saban barisnya dibentuk dengan besaran bicara minimum 4 buah, (2) besaran baris di satu baitnya minimum 2 baris (pantun kilat) dan 4 baris (pantun biasa dan puisi lama berkait), (3) arketipe formulaik persajakannya merujuk kepada sajak akhir tegak dengan arketipe a/a (pantun kilat), a/a/a/a, a/a/b/b, dan a/b/a/b (pantun biasa dan puisi lama berkait), (4) khusus untuk puisi lama kilat, baris 1 berstatus sangkutan dan baris 2 berstatus isi, (5) khusus untuk puisi lama biasa dan puisi lama berkait, baris 1-2 berstatus sangkutan dan baris 3-4 berstatus isi, dan (6) kian khusus lagi, puisi lama berbelit sedia juga yang sarwa barisnya berstatus isi, tidak sedia yang berstatus sampiran.
Zaidan dkk (1994:143)mendefinisikan puisi lama sebagai macam kidung lama yang terdiri atas 4 banjar dengan rima akhir a/b/a/b. Setiap banjar biasanya terdiri atas 4 kata, banjar 1-2 melambangkan sampiran, banjar 3-4 melambangkan isi. Berdasarkan sedia tidaknya ikatan jarak sangkutan dan kandungan ini, puisi lama dapat dipilah-pilah jadi 2 genre/jenis, yakni puisi lama adiluhung dan puisi lama tak mulia.
Disebut pantun mulia andaikan sangkutan ala banjar 1-2 berfungsi sebagai persiapan kandungan secara fonetis dan sekaligus juga berfungsi sebagai isyarat isi. Sementara, pantun tak mulia adalah puisi lama yang sampirannya (larik 1-2) berfungsi sebagai persiapan kandungan secara fonetis saja, tidak sedia ikatan semantik apa-apa dengan kandungan puisi lama di banjar 3-4.
Sementara Rani (1996:58) mendefinsikan puisi lama sebagai macam kidung lama yang terdiri atas 4 baris di satu baitnya. Baris 1-2 adalah sampiran, sedang baris 3-4 adalah isi. Baris 1-3 dan 2-4 berbalas-balasan bersajak akhir tegak dengan arketipe a/b/a/b.
Hampir sarwa bangsa bangsa di bentala cairan kita memegang substansi pantunnya masing-masing. Menurut Sunarti (1994:2), anak Adam Jawa menyebutnya parikan, anak Adam Sunda menyebutnya sisindiran atau susualan, anak Adam Mandailing menyebutnya ende-ende, anak Adam Aceh menyebutnya rejong atau boligoni, selagi anak Adam Melayu, Minang, dan Banjar menyebutnya pantun. Dibandingkan dengan genre/jenis kidung bala tentara lainnya, puisi lama melambangkan kidung bala tentara yang murni berasal dari intelek ilmu bahasa local genius bangsa Indonesia sendiri.
Istilah puisi lama tidak ditemukan padanannya di bahasa Banjar, sehubungan dengan itu kata ini melantas saja diadopsi untuk memberi nama fenomena yang sama yang sedia di substansi puisi bala tentara inkognito berbincang Banjar (Folklor Banjar).
Dalam batasan yang biasa pantun Banjar adalah puisi lama yang dilisankan atau dituliskan di bahasa Banjar. Definisi puisi lama Banjar menurut rumusan Tajuddin Noor Ganie (2006) adalah kidung bala tentara inkognito bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan di bahasa Banjar dengan bentuk awak dan bentuk batin definit bertemu dengan formalitas khusus yang berlaku di substansi folklor Banjar.
Fungsi Sosial Pantun Banjar[sunting | sunting sumber]
Pada masa-masa Kerajaan Banjar masih jaya-jayanya (1526-1860), puisi lama tidak sekadar difungsikan sebagai alat hiburan bala tentara semata, tetapi juga difungsikan sebagai alat retorika yang sangat fungsional, sehingga karet tokoh arahan bangsa absah dan informal harus mempelajari dan menguasainya dengan baik, yakni ahli di berkelakuan kosa-katanya dan ahli lagi di membacakannya.
Tidak sekadar itu, di saban desa juga harus sedia orang-orang yang secara khusus memedulikan karier sebagai tukang canda dan tukang baca puisi lama (bahasa Banjar Pamantunan). Uji publik daya atas seorang Pamantunan yang handal dilakukan melantas di dada khalayak ramai di ajang adu puisi lama atau berbalas-balasan bertukar puisi lama yang di bahasa Banjar disebut Baturai Pantun. Para Pamantunan tidak boleh hadir sembarangan, karena yang dipertaruhkan di ajang Baturai Pantun ini tidak sekadar kehormatan pribadinya semata, tetapi juga kehormatan warga desa yang diwakilinya.
Status Sosial Pamantunan[sunting | sunting sumber]
Pamantunan melambangkan ahli seni penggembira bala tentara yang beraksi mencari nafkah secara mandiri dengan mengandalkan kemampuannya di berkelakuan kosa-kata berbincang Banjar sehingga dapat dijadikan sebagai alat retorika yang fungional.
Setidak-tidaknya sedia 6 etika profesional yang harus dipenuhi akibat seorang Pamantunan, yakni: (1) terampil berkelakuan kosa-katanya bertemu dengan desakan yang berlaku di struktur bentuk awak puisi lama Banjar, (2) terampil berkelakuan inti dan amar yang jadi unsur utama bentuk batin puisi lama Banjar, (3) terampil berkelakuan vokal saat menuturkannya sebagai alat retorika yang fungsional di dada khalayak ramai, (4) terampil berkelakuan corak saat menuturkannya sebagai alat retorika yang fungsional, (5) terampil di hal canda nada penggiring penuturan puisi lama (menabuh gendang pantun), dan (6) terampil di menata keserasian penampilannya sebagai seorang Pamantunan.
Datu Pantun, Pulung Pantun, dan Aruh Pantun[sunting | sunting sumber]
Tuntutan profesional yang sejenis itu sulit untuk dipenuhi akibat seorang Pamantunan membuatnya tergoda untuk memperkuat energi kreatifnya dengan cara-cara yang bersifat magis, akibatnya, profesi Pamantunan ala zaman dahulu kala termasuk profesi kesenimanan yang sejenis itu ketat dengan dunia mistik. Dalam hal ini telah jadi kelaziman di kalangan Pamantunan saat itu untuk memperkuat atau mempertajam daya artistik profesionalnya dengan daya supranatural yang disebut Pulung.
Pulung adalah daya supranatural yang berasal dari bidang gaib yang diberikan akibat Datu Pantun. Konon, karena Pulung inilah seorang Pamantunan dapat membabarkan fitrah bidang dan intelektualitasnya hingga ke tingkat yang paling artistik (mumpuni).
Faktor Pulung inilah yang melaksanakan tidak sarwa anak Adam Banjar di Kalsel dapat memedulikan profesi sebagai Pamantunan, karena Pulung sekadar diberikan kepada akibat Datu Pantun kepada Pamantunan yang secara genetika masih mempunyai ikatan keturunan dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Pantun adalah seorang tokoh paranormal yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, bidang pantheon yang tidak kasat mata, ruang tinggal karet dewa keelokan rakyat. Datu Pantun diyakini sebagai anak Adam perdana yang secara geneologis jadi cikal bakal puisi lama di kalangan etnik Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui saban tahun, andaikan tidak, maka tuah magisnya akan hilang tak berbekas lagi. Proses pembaruan Pulung dilakukan di sebentuk ritus adat yang khusus digelar untuk itu, yakni Aruh Pantun. Aruh Pantun dilaksanakan ala malam-malam gelap tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29) di bulan Rabiul Awal atau Zulhijah.
Datu Pantun diundang berhadir dengan kaidah membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji ovum ayam kampung, dan patra likat baboreh secukupnya. Jika Datu Pantun kecimpung memadati undangan, maka Pamantunan yang bersangkutan akan kesambet (trance) semasa beberapa saat. Sebaliknya, andaikan Pamantunan tak melawat kesambet itu berarti mandatnya sebagai seorang Pamantunan telah dicabut akibat Datu Pantun. Tidak pilihan baginya hanya hanyut secara teratur dari ajang Baturai Pantun (pensiun).
Pantun Banjar Masa Kini: Bernasib Buruk[sunting | sunting sumber]
Pada zaman kini ini, pantun, khususnya puisi lama Banjar, tidak lagi jadi kidung bala tentara yang fungsional di Kalsel. Sudah puluhan warsa tidak sedia lagi forum Baturai Pantun yang digelar secara resmi sebagai ajang adu kreativitas belah karet Pamantunan yang tinggal di desa-desa di seluruh daerah Kalsel.
Pantun Banjar yang masih bertahan sekadar puisi lama adat yang dibacakan ala kesempatan minta atau mengantar pinengset (bahasa Banjar Patalian). Selebihnya, puisi lama Banjar cuma diselipkan sebagai alat retorika bernuansa humor di pidato-pidato resmi karet pejabat atau di naskah-naskah tausiah karet ulama.
Syukurlah, berbarengan dengan maraknya otonomi daerah sejak warsa 2000 yang lalu, sedia juga karet bagian yang mulai hirau dan berusaha untuk menghidupkan kembali Pantun Banjar sebagai alat retorika yang fungsional (bukan sekadar tempelan). Ada yang berinisiatif menggelar pertunjukan eksibisi Pantun Banjar di beragam kesempatan absah dan informal, memperkenalkannya dengan publikasi di beragam koran/majalah, dengan siaran khusus yang bersifat setiap saat di beragam stasiun radio milik pemerintah atau swasta, dan sedia lagi yang berinisiatif mememasukannya sebagai bahan pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah yang sedia di seluruh daerah Kalsel. Tulisan saya di Wikipedia ini boleh jadi termasuk alpa satu usaha itu.
Sekarang ini di Kalsel telah beberapa puluh kali digelar kegiatan tanding tulis Pantun Banjar belah karet peserta di beragam tingkatan usia. Tidak ketinggalan Stasiun TVRI Banjamasin juga telah membuka daftar Baturai Pantun yang digelar seminggu sekali akibat Bapak H. Adjim Arijadi dengan pembawa daftar Jon Tralala, Rahmi Arijadi, dan kawan-kawan.
Rujukan[sunting | sunting sumber]
- Tajuddin Noor Ganie, 2006. Identitas Puisi Rakyat Berbentuk Pantun Banjar di buku Identitas Puisi Rakyat Etnis Banjar di Kalsel, Penerbit Rumah Pustaka Folklor Banjar, Jalan Mayjen Soetoyo S, Gang Sepakat RT 13 Nomor 30, Banjarmasin, 70119, Provinsi Kalimantan Selatan
- http://hasanzainuddin.wordpress.com/seni-banjar/
Pranala luar[sunting | sunting sumber]
- (Melayu) Seni Silat Kuntau Banjar
Oke detil perihal Seni tradisional Banjar - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas semoga info ini menambah wawasan salam
Artikel ini diposting pada kategori kesenian banjar, kesenian khas banjar, kesenian tradisional banjar,
Komentar
Posting Komentar