Hi, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", di kesempatan akan membawa pembahasan tentang bahasan budaya sunda Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak - Tirto.ID simak selengkapnya.
Iklan toko buku M.I. Prawira-Winata. FOTO/Istimewa
Peran anak Adam Belanda bernama K.F. Holle tak bisa dilepaskan dari asal usul diseminasi dengan kelanjutan adab Sunda pada medium cetak.
tirto.id - Perkembangan adab Sunda berbatas bentuknya yang masa ini ini tak bisa dilepaskan dari kapasitas orang-orang Belanda. Atau, bagi Mikihiro Moriyama pada buku Semangat Baru; Kolonialisme, Budaya Cetak, dengan Kesastraan Sunda Abad ke-19, adab Sunda pada sejarahnya “ditemukan”, “dimurnikan”, dengan “didayagunakan” oleh anak Adam kolonial.
“Kaum cendekiawan Belanda yang berstatus pejabat pemerintah kolonial, penginjil, dengan partikelir yang hidup ala abad itu aktual menciptakan adab Sunda sebagai adab independen yang memiliki kosa bicara dengan struktur tersendiri ala abad ke-19,” tulis Edi S. Ekadjati pada pengantar buku tersebut.
Seorang Belanda yang perannya cukup besar dengan tak bisa dilepaskan dari hadirnya budaya cap pada adab Sunda merupakan Karel Frederik Holle atau K.F. Holle. Her Suganda pada buku Kisah Para Preangerplanters melafalkan bahwa sebelum berkenalan dengan memahami adab Sunda, K.F. Holle hanya salah seorang yang ikut pada rombongan pelayaran warga Belanda arahan Guillaume Louis Jacques van der Hucth. Pada 1843, rombongan yang berlayar dari Belanda itu akan menuju tanah harapan di timur jauh, adalah sebentuk negeri koloni yang bernama Hindia Belanda.
Setelah bekerja selama sepuluh tarikh di Kantor Residen Cianjur sebagai klerk dengan di Kantor Directie van Middelen en Domeinen di Batavia, K.F. Holle merasa tak puas. Ia akhirnya memilih menjadi administratur sebentuk perladangan teh di Cikajang, Garut. Setelah itu ia arkian membuka perladangan teh dengan kina awas (Bellevue) di kaki gunung Cikuray.
Di tempat kerja barunya, K.F. Holle tertarik dengan literasi dengan peradaban Sunda. Sambil berlatih adab Sunda pada pergaulan sehari-hari dengan asosiasi dengan penguasa setempat, ia pun acap mengenakan pakaian bagaikan halnya pribumi, bagaikan sarung dengan kerepus.
Saat memahami adab Sunda, Holle bersahabat dengan Moehamad Moesa (Hoofd Penghulu Limbangan) dengan putrinya yang bernama R.A. Lasminingrat. Ia akan datang mendorong sahabat-sahabatnya itu buat menulis.
Berkat persahabatannya dengan Holle, Moehamad Moesa akan datang berbuah membuat jumlah karya, di antaranya Wawatjan Woelangkrama (1862), Wawatjan Dongéng-dongéng Toeladan (1862), Woelang Tani (1862), Wawatjan Tjarios Ali Moehtar (1864), Élmoe Nyawah (1864), Wawatjan Woelang Moerid (1865), Wawatjan Woelang Goeroe (1865), Wawatjan Pandji Woeloeng (1871), dengan Dongéng-dongéng Pieunteungeun (1887).
Buku-buku ciptaan Moehamad Moesa tersebut, bagi Ajip Rosidi pada Jurnal Kebudayaan Sunda Dangiang ciptaan III/2002, dimanfaatkan buat memenuhi kebutuhan bacaan murid sekolah.
Di kaki (gunung) pengawasan K.F. Holle juga, jumlah pejabat lokal berbuah menuliskan ciptaan pada adab Sunda, yakni Bratawidjaja (mantan patih alam Galuh di Kabupaten Sukapura/Tasikmalaya) dengan Adi Widjaja (patih alam Limbangan). Buku-buku berbahasa Sunda yang diproduksi pada pengawasan K.F. Holle berlangsung kira-kira berbatas 1880-an.
Pagoeneman Soenda djeung Walanda, buku bontot yang berada di kaki (gunung) pengawasannya, bangkit ala 1883. Sedangkan buku yang bontot disunting oleh Holle merupakan Mitra noe Tani, bangkit ala 1896.
Peran Holle tak hanya mendorong getah perca penulis pribumi buat terus berkreasi dengan mengawasi proses kreatifnya. Ia jua mencatat buku berbahasa Sunda yang akan datang menjadi populer menjadi dongeng pengantar tidur anak-anak di arena asosiasi Sunda, adalah Tjarita Koera-koera djeung Monyét. Dalam keseharian, dongeng tersebut akan datang dikenal dengan kepala karangan Sakadang Kuya jeung Sakadang Monyét. Buku fabel yang bangkit ala 1851 tersebut dianggap sebagai pembaharu buku asas siswa di Jawa Barat.
Meski K.F. Holle tergolong berjasa ala kelanjutan literasi Sunda, ia tetap dicurigai dengan acap dikenai prasangka, karena Holle merupakan advokat kehormatan pemerintah Hindia Belanda buat urusan pribumi. Sikap curiga asal dari kedua belah pihak, apik arena pribumi maupun pihak Belanda. Moriyama menggambarkan situasi ini dengan perkataan “paduan ganjil antara oportunisme, persahabatan, dengan keingintahuan.”
Terkait dengan diseminasi dengan pola distribusi, Sudarsono Katam Kartodiwirio pada Bandung; Kilas Peristiwa di Mata Filatelis melafalkan bahwa di kisaran 1920-an ada sebentuk toko buku dengan sekaligus pencetak yang banyak menjual buku-buku berbahasa Sunda, adalah toko buku M.I. Prawira-Winata. Lokasi toko buku ini berada di jalan Lembong yang masa ini menjadi Hotel Royal Palace.
Penerbit ini, selain menerbitkan buku-buku beruansa Islam bagaikan Wawatjan Sadjarah Ambia (Moehammad Moesa), dengan Hadis Mi’radj atawa Pangapoengan Kandjeng Nabi Rosoel’oellah (Haji Hasan Moestapa), jua menerbitkan jumlah cerita roman dari getah perca sastrawan Sunda terkenal, serta buku humor.
Buku-buku tersebut di antaranya Wawatjan Endén Sari-Banon, Tjarios Istri Rajoengan (R. Memed Sastra-Hadi Prawira, M.I. Prawira-Winata), Wawatjan Rangga-Woeloeng (Soemaradiredja), Wawatjan Djaka-Oembaran (Soemaradiredja), Wawatjan Roesiah noe Kasép (1920-an), Wawatjan Roesiah noe Geulis (1920-an), dll.
M.I. Prawira-Winata sangat sadar hukum. Dalam setiap penerimaan naskah, pencetak ini berkelaluan membayar hak cipta penulis dengan ayom hak kepemilikan buram tersebut. Di setiap buku berkelaluan tercatat perkataan “anoe gadoeh hak (bunga) tasbih ieu boekoe” (yang memiliki hak arah buku ini) dengan “nu sanés teu kenging njitak, disengker koe Staatsblad 1912 No. 600 art. 11” (pihak asing tak boleh membukukan buku ini, dilindungi oleh Staatsblad 1912 No. 600 artikel 11).
Untuk meluaskan penjualan, M.I. Prawira-Winata acap memasang advertensi secara rutin di sebentuk surat kabar berbahasa Sunda, adalah Sipatahoenan.
Pada dekade 1910-an, di Bandung jua datang pencetak Dachlan Bekti yang sebelumnya mengelola toko penjahit. Boekoe Singa Bandoeng (Wangsaatmadja), roman perjuangan Siti Rajati dengan Gan Fatimah (Moh. Sanoesi) merupakan jumlah contoh buku yang diterbitkannya.
Dachlan Bekti jua suah menerbitkan buku roman yang cukup populer di masyarakat, adalah Eulis Atjih dengan Rasia nu Goréng Patut ciptaan Achmad Basach, salah seorang arahan Sarekat Rakjat dengan nama pena Juhana. Buku Babad Radén Adipati Aria Martanagara karya Bupati Bandung R.A.A. Martanagara, dengan Tatakrama Oerang Soenda ciptaan Daeng Kanduruan Ardiwinata, diterbitkan lagi oleh Dachlan Bekti.
Ada jua pencetak NV Ganaco yang sebelum tarikh 1950-an masih milik Belanda dengan bernama A.C. Nix & Co. menerbitkan buku Batok Bulu Eusi Madu (Nj. S.S. Suwadi, 1956), buku pelajaran Bahasa Sunda Seri Kandaga (R. Momon Wirakusumah, I. Buldan Djajawiguna, 1957), Di Lembur Kuring (Sjarif Amin, 1964), dll.
Bergeser ke periode berikutnya, ada pencetak Sumur Bandung yang menghunus buku Upacara Adat di Pasundan (R. Akip Prawira Soeganda, 1964), Saumur Jagong (Sjarif Amin, 1983), dengan Perjoangan Paguyuban Pasundan 1914-1942 (Sjarif Amin, 1984).
Di ranah corong massa, Sipatahoenan adalah surat kabar berbahasa Sunda yang suah sangat populer di zamannya. Rahim Asyik yang waktu itu menjabat Wakil Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, menjelentrehkan cerita Sipatahoenan dari kelahiran berbatas kematiannya (Pikiran Rakyat, 3-13 Februari 2015).
Sipatahoenan lahir Desember 1922 dari hasil konferensi Paguyuban Pasundan di Bandung.
“Selama tiga bulan dari Januari 1923 berbatas April, koran itu tak jelas juntrungannya,” tulis Rahim.
Tahun 1939, 16 tarikh setelah terbit, tiras Sipatahoenan mencapai mencapai 5.800 eksemplar. Sangat kecil jika dibandingkan dengan koran Belanda yang oplahnya sudah mencapai puluhan ribu. Namun seiring waktu, koran ini akan datang beroleh sambutan yang apik dari pembaca. Bukan hanya Priangan, sejumlah pendukung dari Jakarta, Cirebon, dengan Banten mulai minta dikirim.
Dalam konteks rayapan nasional, Sipatahoenan ikut meliput peristiwa persidangan Sukarno dkk yang terkenal dengan pledoi Indonesia Menggugat.
“Poekoel setengah 8 pintoe landraad diboeka, dengan orang2 sama dorong-mendorong boeat beroleh tempat,” tulis Rahim. Sipatahoenan seperti beroleh berkah dari persidangan Sukarno, dkk, sebab rasa ingin kenal asosiasi cukup tinggi terhadap peristiwa ketatanegaraan tersebut.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Sipatahoenan diberangus. Koran yang bangkit pada adab Sunda diwajibkan bangkit pada adab Indonesia. Aturan itu menjadi lonceng kematian belah Sipatahoenan yang sudah identik dengan adab Sunda.
“Koran Sunda anu ngan sahidji, sasat sina maot, teu béda djeung diruang kérépés, da ku Djepang diubrak-abrik, apalagi mesin-mesin, dirurud dikukud,” tulis Rahim memetik ratapan Mas Atje Salmoen, soal habisnya Sipatahoenan di kaki (gunung) pendudukan Jepang.
Jepang hengkang, Sipatahoenan terbit berulang ala 1947. Dan setelah mengalami pasang surut serta kondisinya kian mengkhawatirkan, akhirnya ala 18 November 1987, warkat izin bangkit Sipatahoenan dicabut.
Selain koran, jumlah majalah Sunda bagaikan Manglé (sejak 1957 dengan masih bangkit berbatas sekarang), Langensari (1963), Madjalah Sunda (1965), Handjuang (1971), Gondéwa (1972), dll, turut mewarnai diseminasi adab Sunda pada corong cetak. Beberapa majalah berbahasa Sunda selain Manglé yang masih bangkit berbatas masa ini antara asing Bina Da’wah (sejak 1981), Cupumanik (sejak Agustus 2003), dengan Sunda Midang (sejak akhir 2004).
Kiwari, kendati oplah majalah dengan tabloid Sunda terus menurun, serta kuantitas penjualan buku berbahasa Sunda tak terlalu tinggi, tapi setidaknya budaya cap masih eksis pada upaya melestarikan adab Sunda.
Hawe Setiawan, Ketua Lembaga Budaya Sunda, ala 2014 suah mendata buku-buku berbahasa Sunda yang bangkit ala tarikh itu. Seperti yang dipublikasikan surat kabar Pikiran Rakyat dengan di kedudukan lembaga tersebut, dari 38 kepala karangan buku yang terbit, 36 kepala karangan di antaranya tergolong ciptaan rekaan yang meliputi novel, cerita pendek, khayalan mini puisi, dengan guguritan. Sisanya merupakan ciptaan nonfiksi yang terjadi arah kumpulan esai dengan buku pengajaran.
(tirto.id - Humaniora)
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani
Begitulah penjelasan mengenai Sejarah Bahasa Sunda dalam Kebudayaan Cetak - Tirto.ID semoga info ini berfaedah terima kasih
Tulisan ini diposting pada label bahasan budaya sunda, bahasan ngeunaan budaya sunda, teks bahasan budaya sunda,

Komentar
Posting Komentar