Langsung ke konten utama

Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi Dan Institusional Pertanyaan Tentang Budaya Dan Lingkungan Organisasi

Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional

Hohoho, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan dibahas tentang pertanyaan tentang budaya dan lingkungan organisasi Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional simak selengkapnya

Abstract

A wide variety of indicators suggest that humans are destroying the earth at a rapid rate. Forests, air, water, human health, and endangered species are all in trouble. Overall, humans are creating economic growth by depreciating the capital in natural resources that allows for that growth. We argue that the lens of organizational behaviorr yields insights titinada otherwise visible to explain this behavior. We provide a multi­level analysis of the destructiveness of taken-for-granted belief and behavior. We consider (1) how human perception of environmental problems is affected by cogni­tive biases; (2) how individuals are influenced in these biases by the organizations of which they area part; and (3) how institutions persist that guide our awareness of our connections to the environment.

Pendahuluan

Sejak abad yang kalakian menduga berlaku perkembangan ekonomi dan kelimpahan bani Adam yang belum pernah terjadi­ sebelumnya. Global bagi jiwa pendapatan menduga hampir berlipat-tiga[1], penantian bernapas rata-rata menduga meningkat dengan hampir dua-per-tiga[2], dan orang secara signifikan kian terpelajar serta terdidik dibandingkan cikal bakal mereka. Namun demikian, abad yang  lalu lagi berlaku berbagai kerusakan alam bernapas – bahwa dalam mengejar satu peningkatan derajat hidup, bani Adam khususnya korporasi, berangkat mengembangkan perilaku yang berantak alam bernapas dan merecoki keberlanjutan sumberdaya alam dan, akibat atas itu, bertentangan dengan interes masa bujur kita.  

Populasi bani Adam secara geometris berkembang pesat, selama daratan pengetaman mengalami erosi, hutan merosot, genus sedang menghadapi pemunahan, suplai air bersih berkurang, perikanan berkurang dan kontaminasi mengancam kesegaran manusia.[3] Secara keseluruhan, asosiasi sedang mengejar perkembangan ekonomi dengan mengabaikan derajat sumberdaya alam yang semakin berkurang selama perkembangan yang dilakukan bani Adam justru tergantung kepadanya.

Pertentangan jelas ini menduga melecut berlimpah peneliti untuk melakukan investigasi akan penyebab dan solusi belah degradasi alam hidup. Makalah ini menawarkan fokus serupa, akan tetapi begini lagi menerapkan satu lensa dari perilaku formasi untuk menghasilkan penglihatan mendalam terhadap perilaku-perilaku yang secara jelas tak kelihatan. Di dalam adicita penulis, pertanyaan alam bernapas bukan semata-mata masalah teknologi atau ekonomi, tetapi lagi masalah tingkah krida dan budaya. Sementara itu teknologi dan aksi ekonomi barangkali saja jadi penyebab perilaku yang berantak alam bernapas secara langsung. Adalah alasan juru tulis dimana ­kepercayaan-kepercayaan individual, norma-norma budaya dan adat kemasyarakatan memimpin ekspansi tingkah krida yang berantak alam hidup. Pertanyaan dalam badan penulis, kemudian, layak memandang bagaimana perilaku perseorangan dan baik berkreasi apresiasi mengatur terhadap alam bernapas dan bagaimana barangkali individu, organisasi, dan nilai instrumental bisa mengabadikan perilaku yang melenyapkan alam bernapas itu.

Penulis berangkat dengan satu anggapan sederhana bahwa manusia, menurut sejarah, menduga terlibat dalam perilaku yang berantak alam bernapas dan berada dalam posisi yang bertentangan dengan interes alam belah kemampuannya bertahan bernapas dalam masa panjang. Karena kecenderungan inilah, berlimpah angin menduga buyar untuk membetulkan disfungsionalitas ini.

Ada aksioma bahwa berlimpah atribut yang menghilangkan angin belah disiplin baik dan disiplin ketatanegaraan untuk memasarkan asilum terhadap alam hidup. Penulis tak setuju. Bagaimanapun, para  disiplin ilmu baik dan ketatanegaraan mementingkan ala seberapa jauh apresiasi dan ekspansi disiplin ilmu sosial, politik, ekonomi, dan bangun baik merajai cara perilaku yang berantak alam hidup. Perilaku yang berantak alam bernapas ini mencakup perilaku-perilaku yang mementingkan kebutuhan yang dengan segera layak dipenuhi dan tak memperhitungkan abad dada dan secara bersamaan mengabaikan nilai dari modal alam bernapas dan buah negatifnya. Berbagai model perilaku ini mengantar juru tulis ala pemikiran akan bagaimana tiga tingkat dari batas formasi bisa membatasi daya kita untuk merasakan kerusakan alam hidup.

Fokus juru tulis ialah satu analisa multi-level dari destruksi alam hidup. Pertama, juru tulis memandang bagaimana individu dipandu di dalam apresiasi akan pertanyaan alam bernapas mengatur dengan aberasi kognitif. Kedua, juru tulis memandang bagaimana individu dipengaruhi di dalam apresiasi dan aberasi ini akibat formasi di mana mengatur jadi bagiannya. Akhirnya, juru tulis memandang institusi-institusi yang konsisten berlaku dan memimpin kebangkitan asosiasi dalam hubungan serta dampaknya terhadap alam hidup. Hanya dengan cara mengidentifikasikan pokok masalah ini kita mahir keberlangsungan dari perilaku yang berantak alam hidup.

 Latar buritan apa sebab bani Adam melakukan destruksi alam bernapas ialah amat luas. Weick[4] berpendapat, latar buritan yang banglas tersebut bisa melecut orang untuk meninggalkan pemberian ­perhatian ala desas-desus alam hidup. Karena luasnya, bahwa sulit bisa membeda-bedakan penyebab impuls orang untuk berantak alam hidup. Penulis memandang tiga lensa yang mempersiapkan sudut yang bermanfaat dan membolehkan afeksi sedemikian rupa, sehingga kian berlimpah sarjana bisa menemukan kian berlimpah cara untuk  membuat analisis.

Analisis multi-level juru tulis mementingkan ala perilaku organisasi, satu wilayah dari investigasi spekulatif yang barangkali saja masih jarang jadi inti diskusi akan desas-desus destruksi alam bernapas ini. Ketidakhadirannya dalam diskusi-diskusi itu, bagaimanapun, bukan berarti tak terbongkar atau tak dipertimbangkan. Gladwin[5] meletakkan afeksi terhadap kontribusi yang buyar ini dengan cara meminta satu aplikasi dari aturan formasi belah investigasi akan manajemen alam bernapas dari korporasi. Dia berargumentasi bahwa “teori ilmu masyarakat menyinggung kepada formasi yang memegang janji terbesar untuk meningkatkan apresiasi bani Adam akan bagaimana “greening sociology” bekerja.[6] Dan berikutnya, Stem dan Barley[7] menantang bidang perilaku formasi untuk menghasilkan kian berlimpah pekerjaan berhubungan dengan desas-desus yang tercantol dengan kegunaan baik yang kian bidang dibanding dengan alam kerja mereka, bagai alam hidup.

Mereka berargumentasi bahwa kontribusi spekulatif kepada kaum desas-desus tersebut yang paling besar datang dari ahli ekonomi dan pengacara, tetapi fokus disiplin mengatur kian ala mekanisme yang memaksa dari kearifan dan asas untuk mengartikan serta membobol pertanyaan masyarakat. Mereka mengabaikan konteks formasi sistemik dimana mekanisme yang memaksa dari kearifan dan asas itu didasarkan.

Baru-baru ini, alam bernapas menduga berangkat berkembang sebagai sebentuk poin afeksi di dalam manajemen penelitian. Tetapi, poin tersebut konsisten jadi lingkup afeksi dari satu kelompok interes khusus, kian dari satu poin yang dikenal baik akibat sebagian besar manajemen penelitian. Di dalam lingkup idiosinkratis ini, sebagian besar dari investigasi detik ini mementingkan ala tindakan strategis dari formasi individual[8] dan bukan terhadap desas-desus baik dimana hal itu menarik afeksi para peneliti perilaku organisasi. Tetapi, juru tulis percaya bahwa desas-desus alam bernapas siap di antara sebagian besar desas-desus yang bena belah para ahli perilaku formasi untuk dijelaskan, dipahami, dan dikoreksi. Isu alam bernapas terletak ala satu peristiwa unik dari kedua ilmu, baik disiplin awak dan disiplin ilmu sosial­, melebar ala komponen dari satu kelompok yang kian banglas dari disiplin disiplin lainnya, bagai disiplin politik, ekonomi, manajemen, engineering, biologi, disiplin kimia, dan ekologi.[9] Perilaku formasi menawarkan berbagai lensa untuk mahir desas-desus kompleks ini. Pada level individu, organisasi, dan institusional, – perilaku formasi menawarkan apresiasi mendalam akan bagaimana apresiasi dan penormaan baik akan desas-desus alam bernapas berlangsung, serta akibat atas itu, menyoroti sumber mendasar dari perilaku yang berantak alam hidup.

Dengan menerapkan aturan formasi dan tingkah krida ala apresiasi penciptaan pertanyaan alam hidup, cerita ini menguji bentuk kognitif, budaya, dan institusional dari individu dan organisasi. Penulis berniat untuk beranjak afeksi di asing pemeriksaan dari tindakan perseorangan untuk memasalahkan dengan tepat ­sumber mendasar apa sehingga tindakan itu terjadi. Penulis memandang jalur dari penyelidikan ini sebagai hal yang peka untuk mahir sifat dari desas-desus alam bernapas tersebut: bagaimana konsepsi dari desas-desus alam bernapas diciptakan dan bagaimana produk konsepsi itu di dalam tindakan perseorangan serta formasi yang barangkali saja bertentangan dengan interes masa bujur kita?

Bagian akhir dari cerita ini, juru tulis bakal menyajikan satu ikhtisar akan apa yang juru tulis lihat sebagai contoh-contoh peka dari perilaku yang berantak alam hidup. Penulis kemudian embuh memandang kreasi dan pengabadian perilaku ini dengan apresiasi mendalam dari investigasi akan tiga tingkat – perilaku individual, perilaku  organisasi, dan perilaku adat yang memimpin apresiasi mengatur terhadap realita destruksi alam hidup.

Perilaku Merusak Lingkungan hidup

Penulis mengelaskan perilaku yang berantak alam bernapas ke dalam tiga kategori: (1) perkembangan masyarakat manusia; (2) pemakaian yang berlebihan bakal sumberdaya alam: hutan, perikanan, sungai, dan seterusnya, dan; (3) kontaminasi udara, air, dan daratan. Tinjauan singkat apapun terhadap poin yang banglas ini sungguh-sungguh bakal amat selektif dan merefleksikan kesan dari penulis. Tujuan juru tulis cuma mempersiapkan kaum perspektif kepada perilaku yang berantak alam bernapas yang sedang kita pikirkan saat kita beranjak kepada akar penyebab individual, organisasional, dan institusional dari destruksi atau pembinasaan alam hidup.

Pertumbuhan Populasi Manusia

Populasi adam sedang berkembang seputar 1,5 bayaran setiap tahun, dan secara begar bertambah 90 juta orang di adam ini setiap tahunnya. Pada tahun 1990, masyarakat adam menduga berjumlah 5,3 milyar. Pada tahun 2025, orang adam diperkirakan bakal mencapai 8,5 milyar. Pada detik itu petani bakal memerlukan produk pohon padi 50 bayaran kian berlimpah dibandingkan sekarang, dan itu cuma untuk memenuhi amanat masyarakat saja.[10] Tetapi, perkembangan ini tak seragam di sarwa dunia. Walaupun fakta dimana sumberdaya alam tak bisa mendukung satu masyarakat besar, akan tetapi kian dari 90 bayaran perkembangan masyarakat adam itu berlaku di negara-negara berkembang, dimana perkembangan rata-rata 2,3 persen.[11] Afrika misalnya, ­laju perkembangan populasinya 3,0 bayaran bagi tahun.[12] Sebagai hasilnya, sebagian besar dari seputar 20 hingga 25 bayaran masyarakat adam bernapas di dalam “kemiskinan absolut” – didefinisikan dari pendapatan bagi jiwa kurang dari 370 dollar bagi tahun – tinggal dalam ­negara-negara berkembang.[13]

Konsumsi Yang Berlebihan Atas Sumberdaya Alam

Kebutuhan untuk memperluas bantuan bahan belah perkembangan masyarakat adam melahirkan asosiasi perusahaan menempatkan amanat terhadap alam bernapas alam untuk perkembangan serta kemantapan mengatur yang berkelanjutan. Pengembangan di sarwa adam memaksa amanat yang signifikan arah pelampiasan dari sumberdaya alam – dengan begini mengancam kemantapan dari ekosistem. Untuk mendukung kebutuhan masyarakat abad kini, berlimpah sumber-sumber kapasitas alam yang sedang dieksploitasi sehingga bakal melintangi manfaatnya belah keturunan abad depan. Sebagai contoh, masyarakat dari berlimpah genus lauk -- asin budu bakal jatuh di bawah barometer yang diperlukan untuk meyakinkan kesinambungan bernapas mereka. Sementara itu, dengan mengetahui bahwa masyarakat lauk -- asin budu pernah semakin berkurang, orang bakal meninggalkan ketergantungan ala lauk -- asin budu dan membikin-bikin sumber lain untuk makanan dan mata pencaharian ekonomi.

Sementara itu, kebutuhan pembangunan gedung-gedung lagi menuntut pelampiasan berbagai bahan material bagai kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan alam bernapas alam.

Polusi

Selain destruksi alam bernapas diakibatkan akibat pertumbuan masyarakat orang dan pemakaian yang berlebihan arah sumberdaya alam, asosiasi perusahaan lagi memberikan buah destruksi alam bernapas kian lanjut, adalah terhadap ekosistem dengan emisi dari produk sampingan limbah dari bahan yang digunakan serta dimanipulasi.

Sebagian besar dari produk kontaminasi adam ialah dari pemborosan bentuk produksi[14], menghasilkan destruksi sumber-sumber kapasitas alam yang berpengaruh ala merosotnya jaminan kesegaran bani Adam dan binatang, serta mahluk bernapas non hewani lainnya, yang sebetulnya ialah masyarakat yang sedang dilayani. Di desa di dalam berlimpah negara berkembang, sebagai contoh, sekurang-kurangnya 170 juta orang kekurangan jalan masuk untuk membersihkan air untuk minuman, masakan, dan cucian.[15] Penduduk di kota-kota bagai Bangkok, Beijing, Mexico City, dan Sao Paulo dipaksa untuk tinggal dan bernapas di angkasa yang tak klop untuk bernafas.[16]

Secara ringkas, kita mencari cara untuk mengartikan kecenderungan perilaku yang berantak alam bernapas dengan kondisi kelebihan masyarakat penduduk, pemakaian yang berlebih arah sumberdaya alam dan pengotoran alam hidup.

Sebuah Perspektif Perilaku Tentang Perilaku Merusak Lingkungan hidup

Ketika warga negara, wartawan, dan akademisi mengartikan penyebab satu perilaku (misalnya satu perilaku yang berantak alam hidup), bahwa ala umumnya mengatur condong mengidentifikasikan satu penyebab yang spesifik[17]. Penyebab idiosinkratis itu ala umumnya siap ala satu tingkat analis yang lagi idiosinkratis (misalnya tingkat organisasi). McGill[18] berpendapat bahwa individu itu berupaya untuk mengartikan kasus mendasar ala satu bentuk penyebab tunggal, bahkan saat berbagai penyebab dobel jelas ada. Penulis berpendapat bahwa kondisi ini melahirkan kegagalan kearifan saat pembuat hasil mementingkan cuma ala satu faktor penentu dari perilaku yang berantak alam hidup. Dalam cuilan ini, juru tulis berpendapat tak cuma untuk berbagai penyebab, tetapi lagi untuk tingkat belokan anal­isis belah apresiasi perilaku yang berantak alam hidup. Penulis berangkat dengan yang paling mikro – kognisi dari pembuat keputusan, kemudian pindah ke organisasi, dan akhirnya, kepada adat dimana adat itu bakal merajai individu dan organisasi.

Perspektif Level Individual

Inti ala destruksi alam bernapas ialah berjuta-juta hasil yang dibuat akibat konsumen, para insinyur, agen pembangunan, eksekutif, pembuat hasil kebijakan, dan lain-lain. Beberapa destruksi berlaku akibat atas egoisme. Beberapa pembuat hasil berantak alam bernapas atas mengatur tak bakal ambil pusing dengan keturunan abad depan. Bagaimanapun, juru tulis percaya bahwa berlimpah degradasi bisa dilacak kepada derajat yang buruk dari hasil yang dibuat akibat individu tanpa afeksi ala satu pengaruh parasitik terhadap alam hidup. Penulis lagi berpendapat bahwa orang sering gagal dalam melaksanakan berbagai macam hasil yang sistematis dan bisa diramalkan sehingga mengarah ala destruksi alam hidup. Penyimpangan ini, secara tipikal, berlaku tanpa kebangkitan dari individu. Dalam cerita ini, juru tulis menyajikan investigasi akan hasil yang tercantol dengan tingkah krida sebagai lensa pengurangan mikro yang bermanfaat untuk mahir perilaku secara umum di level perseorangan yang berantak alam hidup.

Penelitian-penelitian akan hasil yang tercantol dengan tingkah krida memandang individu saat mencoba untuk bertindak secara rasional terombang-ambing di dalam kapasitas mengatur untuk mencapai rasionalitas.[19]  Penelitian akan hasil yang tercantol dengan tingkah krida menyebabkan peneliti mampu untuk meramalkan, berdasar purbasangka, bagaimana orang bakal melaksanakan hasil yang tak konsisten, tak efisien, dan mendasar ala informasi yang secara kaku tak relevan.

Lebih baru lagi, investigasi model ini menduga mencoba melekatkan aberasi hasil dengan ­perilaku yang berantak alam hidup. Sementara itu, berlimpah aberasi apapun didokumentasikan di dalam investigasi akan hasil yang tercantol dengan tingkah laku[20] dan hal ini bakal memegang implikasi di dalam kapasitas mencengkam alam hidup. Untuk itu, penulis, secara selektif ajuk investigasi akan sejumlah aberasi idiosinkratis yang dikaitkan ala destruksi alam hidup. Bagian ini ajuk bukti akan bagaimana aberasi beserta secara minus merajai alam bernapas : (1) pelengahan berlebih akan abad depan; (2) egosentrisme; (3) ilusi positif; (4) perebutan kepentingan; dan (5) kealpaan pengenalan isu.

Pengabaian Berlebih Tentang Masa Depan

Daly dan Cobb[21] berpendapat bahwa bani Adam itu memperlakukan bumi “seolah-olah ialah satu likuidasi di dalam bisnis,” dimana abad dada tak dihargai. Orang bertumbuh dengan berlebihan, mengkonsumsi secara berlebih, dan melakukan kontaminasi berlebih. Pelaku yang berantak alam bernapas ini balela agama atau dugaan umum bahwa kita layak meninggalkan bumi dalam suasana baik untuk keturunan abad depan.[22] Mengapa siap perbedaan antara perilaku dan sikap? Penulis berpendapat perilaku umum kita ialah satu produk dari pelengahan yang berlebih akan abad depan.

Terdapat satu bidang ekstensif dari investigasi yang menunjukkan bahwa orang bakal menggunakan sama banyaknya barangkali sumberdaya alam di dalam perilaku pemakaian mereka.[23] Orang secara asal-asalan bakal menghambur-hamburkan energi secara tak efisien, bagai pemakaian listrik secara berlebih, menebang kayu secara serampangan dan tak legal, dan sebagainya. Penggunaan energi yang berlebihan dan tak efektif tersebut merupakan pelengahan atau sebentuk aberasi psikologis di level individual[24], masalah yang berhubungan dengan desas-desus dari masalah dan pelengahan baik antar generasi[25]. Dilema baik bidik ala situasi bahwa ialah rasional untuk setiap benda perseorangan untuk menyeberang, – selama semua bagian bisa jadi kian baik dengan perangkat perilaku yang kian kooperatif. Pengabaian intergenerasi berarti bahwa orang mengabaikan abad dada atas mengatur bisa mendapat manfaat detik ini, melaksanakan beban keturunan abad depan. Wade-Benzoni[26] berpendapat bahwa pelengahan ini berlaku atas kerusakan yang diciptakan bakal sering berlaku di abad datang. Penulis berpendapat bahwa pelengahan itu berlaku saat sebentuk cara psikologis membenarkan cara-cara peningkatan perilaku yang berantak alam hidup.



Egosentrisme

Pekerjaan empiris yang kasatmata menunjukkan orang itu melayani belah dirinya sendiri, atau egosentris, menimbang sendiri apa yang dianggap adil.[27] Masalahnya ialah bukan ala orang embuh untuk melaksanakan hasil yang adil, tetapi kian ala orang-orang memegang adicita yang amat berparak akan hasil adil yang bagai apa yang bakal diambil.[28] Egosentrisme bisa memegang pengaruh kasatmata terhadap perilaku yang berantak alam hidup.

Hubungan antara egosentrisme dengan perilaku yang berantak alam bernapas ialah tak lagi konsisten dalam konteks adam jelas dari desas-desus alam hidup. Di dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim global detik ini di dalam Kyoto, negara-negara berkembang memandang masalah-masalah yang pernah siap itu diciptakan akibat pola pemakaian berlebih dari negara-negara maju. Di lain pihak, negara-negara maju memandang bahwa masalah tersebut tak bisa dipecahkan hanya andaikata negara berkembang membatasi ekspansi mengatur untuk mencoreng alam bernapas dan berakhir membalak hutan-hujan mereka. Sementara itu kedua bagian memandang semua perilaku tersebut tercantol dengan desas-desus dan alokasi tanggung jawab yang amat konsisten dengan penafsiran egosentris yang digambarkan tersebut[29].

Wade-Benzoni, Tenbrunsel, dan Bazerman[30] melakukan investigasi akan egosentrisme dalam kaitannya dengan kontaminasi dari Rhine River, sebentuk sungai yang digunakan bersama akibat Swiss, Perancis, Jerman, Luxembourg, dan Belanda. Lima negara tersebut berbalas-balasan bergantung, berbagi tanggung jawab untuk pengotoran sungai dan manfaat dari aplikasi sungai. Bagaimanapun, masalah-masalah kontaminasi dan ekstraksi ialah jauh dari sederhana, dengan asimetris melecut ke hadap egosentrisme.



Illusions Positif

Terkait dengan egosentrisme, ilusi afirmatif bidik ala kecenderungan dari sebagian besar orang untuk memandang badan mereka, abad dada mereka, dan adam dalam satu kondisi kian baik dibandingkan kenyataan.[31] Selanjutnya, mengatur berargumentasi bahwa sebagian besar industri memandang produk mengatur sebagai hal yang melaksanakan manfaat belah masyarakat, dan penurunan destruksi alam hidup, secara jelas bakal didukung.

Kramer[32] memberikan kaum bukti langsung untuk berbatas ala alasan ini. Di satu alam bernapas komunitas perumahan, kaum orang diminta untuk menilai badan mengatur sendiri akan gajak dan perilaku mengatur tercantol dengan desas-desus alam hidup. Isu mencakup item umum, bagai kebangkitan akan desas-desus alam hidup, dan item spesifik, bagai aktivitas pengawasan destruksi alam hidup. Penduduk terpilih diminta untuk mengkaji pentingnya sendiri-sendiri isu. Penduduk terpilih tersebut ternyata condong untuk berargumentasi bahwa mengatur kian mudah memiliki kebangkitan bakal alam hidup, dibandingkan melakukan perilaku pengawasan secara aktual belah destruksi alam hidup. Mereka berargumentasi bahwa aktivitas pengawasan destruksi alam bernapas tak bisa secara efektif mengatur lakukan hanya cuma sebagai satu letupan-letupan kontrol baik informal saja. Pencegahan secara aktual bakal kian efektif dilakukan akibat para eksekutor bisnis atau produser dengan mengurangi buah minus dari produk mengatur terhadap destruksi alam hidup. Penelitian ini, dengan demikian, menemukan satu hubungan yang amat kuat antara bagaimana orang menilai badan mengatur terhadap destruksi alam bernapas dan pentingnya peran afirmatif eksekutor bisnis dalam mengurangi buah destruksi alam hidup. Akhirnya, investigasi ini lagi menemukan bukti bahwa orang jauh kian barangkali untuk menyangkal adanya destruksi alam bernapas yang berlebih, dibandingkan untuk melegalkan bahwa mengatur layak membantu pelestarian alam hidup. Hasil ini mengimplikasikan bahwa amat barangkali sebagian besar orang tak melakukan benda yang kian untuk jadi warga negara yang berorientasi alam hidup, atas mengatur memandang badan mengatur sendiri sebagai donor belah destruksi alam hidup.



Perebutan Kepentingan

Banyak negosiasi berlaku antara ekonomi dan interes alam hidup. Para negosiator ala umumnya gagal untuk menemukan bursa yang berbalas-balasan komersial atas siap anggapan dimana interes mengatur secara langsung menentang interes bagian lain.[33] Hal ini diperburuk saat bagian lain dipandang sebagai musuh, dan hal ini ialah benda yang umum di dalam konteks alam hidup. “Apakah baik untuk bagian lain ialah tak baik untuk kami” ialah satu anggapan yang menyesatkan di dalam antagonisme alam hidup. Bazerman[34] menambahkan bahwa anggapan tersebut diperkuat akibat dugaan para bagian yang berselisih percaya bahwa cuilan dari sumber-sumber kapasitas yang diperdebatkan bahkan ditetapkan, dan cuilan yang diperdebatkan itu bisa fleksibel andaikata para bagian menemukan cara untuk mengintegrasikan interes mereka.

Perebutan interes menyebabkan para bagian yang berselisih percaya bahwa mengatur tak bisa mendapat keinginannya dengan kerjasama dengan bagian lain. Dengan demikian, antagonisme dan perebutan interes belah pemanfaatan sumberdaya alam jadi semakin tajam, dan ala akibatnya interes dari sumberdaya alam itu sendiri tak pernah diperhatikan kelestariannya. Semakin pihak-pihak yang memperebutkan kemanfaatannya, bahwa semakin terabaikan dan tereksploitasi lagi sumberdaya alam. Dengan demikiann, destruksi alam bernapas semakin parah akibat perilaku para eksekutor bisnis dan perusahaan.  

Perebutan interes belah pemanfaatan sumberdaya alam barangkali saja bersifat kultural. Individu dari kaum kultur bisa masuk dalam negosiasi dengan ekspektasi yang kian integratif dibandingkan dengan yang lain.[35] Dengan memberikan ­dimensi internasional ala berlimpah antagonisme alam hidup, desas-desus dari perbedaan kultural yang membungkus perebutan interes jadi cair.



Kesalahan Identifikasi Isu

Sebuah pengadang psikologis lainnya di dalam negosiasi yang menyebabkan destruksi alam bernapas yang tak beralasan ialah desas-desus akan kealpaan dalam mengidentifikasi desas-desus itu sendiri. Pertukaran penjual-pembeli apapun menuntut bahwa pembeli bakal melunasi sekurang-kurangnya jumlah minimum yang diinginkan akibat penjual. Dalam sebagian besar konteks, memasang kadar dari satu obyek dilakukan akibat kaum benda obyektif bagai satu pasar ekonomi. Bagaimanapun, di berlimpah transaksi yang bersifat alam hidup, nilai dari benda tak cuma ditentukan akibat kadar pasar dari benda itu, tetapi lagi ditentukan akibat satu komponen sentimental dan kegadisan dari benda tersebut. Ironisnya, isu-isu kegadisan itu  pada umumnya merupakan desas-desus yang dilihat akibat negosiator sebagai benda yang melintangi kompromi atau perdagangan.

Bazerman[36], di lain pihak, berpendapat bahwa ialah berguna untuk membedakan dua macam isu. Dengan adanya desas-desus kesucian, bahwa orang tak bakal pernah berdagang di bawah keadaan membumi apapun. Isu ini sedemikian bena  karena andaikata orang berdagang benda yang dipandang suci belah masyarakat, bahwa mengatur secara moral dilihat sebagai paihak yang patut dicela. Bazerman berpendapat bahwa siap kategori kedua dari desas-desus yang diberi label suci tetapi sebenarnya dibuat seolah-olah suci. Kategori kedua ini yang bisa melaksanakan satu pengadang belah terciptanya satu bursa yang berbalas-balasan menguntungkan.

Secara ringkas, juru tulis berpendapat bahwa berlimpah destruksi alam bernapas ialah produk dari cara pemungutan hasil yang salah akibat konsumen, politikus, dan negosiator yang terlibat di dalam antagonisme alam hidup.

Perspektif Level Organisasi: Perilaku Merusak Dipengaruhi Oleh Level Individual

Kultur formasi berkreasi kebangkitan perseorangan di dalam organi­sasi, mempersiapkan rutinitas yang merefleksikan persetujuan secara sosial, yang ala gilirannya melahirkan tindakan yang disengaja.[37]  Kultur formasi kemudian memimpin apresiasi dan perilaku dari semua anggota formasi sebagaimana kultur formasi itu dikembangkan di arah babad formasi serta dibentuk di seputar peristiwa-peristiwa peka serta respon formasi terhadapnya.[38] Selanjutnya, Jackal menakrifkan kultur sebagai “suatu pola dari anggapan dasar yang dibagi bersama yang digunakan akibat kelompok untuk belajar bagaimana membobol pertanyaan akan adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, sehingga keberadaannya cukup baik untuk dianggap sah dan, akibat atas itu, diajarkan kepada anggota baru untuk berpikir dan bertindak dalam hubungan dengan pertanyaan yang siap berdasarkan kultur formasi tersebut.” Di dalam definisi ini terletak unsur-unsur dari sosialisasi, bentuk penghargaan, pengalaman sejarah, bangun intern dan ­interaksi, serta pikiran dan perilaku individu. Dukungan belah perilaku destruksi alam bernapas bisa ditemukan ala setiap wilayah ini. Bagian ini bakal mengidentifikasikan sumber perilaku formasi yang berantak alam bernapas ala tiga tingkat: (1) artifak, (2) nilai yang menyertai, dan (3) agama yang mendasari asumsi.[39] Setiap level berparak dalam derajadnya ala anggai budaya, adalah berkisar antara amat nyata, manifestasi dimana seseorang bisa memandang dan merasakan sepenuhnya, anggapan dasar yang didasari akibat kondisi tak bangun dimana berkreasi inti sari dari kultur.[40]



A r t i f a k

Artifak melingkungi bangun dan cara formasi yang dengan mudah bisa di lihat, bagai strukturnya, hubungan pelaporan dan pembagian tanggung-jawabnya, bahasanya, koneksi eksternalnya dan tapal batas lingkup aktivitas-aktivitasnya serta teknologinya. Artifak ini mendukung perilaku yang menduga ditetapkan dan berlaku dari waktu ke waktu serta konsisten mengendalikan perilaku dalam cara-cara yang merugikan alam hidup. Sebagai contoh, bangun dari formasi menakrifkan batasan-batasannya, aturan-aturan interaksi, dan pembagian tanggung-jawab. Hal itu memasang pola-pola dari hasil yang diambil, dengan mana informasi-informasi diteruskan dari satu unit formasi ke lainnya. Aliran hasil ini tak acap efektif dan condong untuk menyimpangkan prioritas organisasi. Seperti halnya, mengatur bisa mengadakan gangguan komunikasi yang ialah sering menyebabkan pembangkitan perilaku yang berantak alam hidup.[41]

Struktur formasi bisa mengabadikan pikiran dari desas-desus alam bernapas sebagai benda di asing adam dari perhatian-perhatian dasar bisnis. Sebuah biro urusan alam bernapas yang terpisah menduga dikembangkan di mana sering secara organisasional diasingkan dari biro inti. Tujuannya ialah untuk meneguhkan bahwa korporasi konsisten sesuai dengan asas sedemikian rupa sehingga inti dari aksi korporasi bisa konsisten difokuskan cara mengintensifkan laba dan bebas dari intervensi eksternal.[42] Pertimbangan-pertimbangan alam bernapas yang tercantol dengan  tingkat keracunan, kontaminasi atau pengurangan aplikasi sumberdaya tak dipertimbangkan sebagai satu hal yang relevan dengan arah esensial dari korporasi.

Struktur formasi bisa memberikan fasilitas pengambilan-keputusan sub-optimal serupa dengan pertanyaan akan pelengahan abad dada di dalam pemungutan hasil individual. Persaingan kepentingan-kepentingan departemental bisa melindungi formasi dari keuntungan-keuntungan ekonomi yang potensial. Sebagai contoh, korporasi membeli satu bangunan dengan satu mata anggaran eksklusif dan mengoperasikannya dengan mata anggaran lainnya. Dengan begini korporasi tersebut bisa meminimumkan biaya operasi mengatur dan meraup laba kian banyak.



Nilai-nilai Yang Menyertai

Tingkat kedua dari kultur ialah ala nilai yang menyertai: strategi-staregi, arah dan teori dari korporasi.[43] Pengertian ini kian sulit untuk diterjemahkan dibandingkan artifak dan lagi mencitrakan norma-norma yang kian turun untuk memimpin manajemen ­perilaku. Didukung akibat adat akademis, model pemegang saham mempolakan bahwa korporasi itu tak memegang “tanggung jawab sosial” di asing melakukan tindakan pelayanan sebagai satu agen dari pemegang saham atau pelanggan,  membuat mengatur berada di dalam peraturan-peraturan permainan yang ditetapkan akibat pemerintah. Lebih lanjut, kaum adat spekulatif berpendapat bahwa cara untuk mendukung tanggung jawab baik ialah tipis atas diselubungi usaha untuk membentengi kendali dari bangun acara melaksanakan dari industri itu sendiri.[44] Model ini mengkekalkan satu gajak independensi dari perusahaan, baik secara awak baik dari pertimbangan-pertimbangan untuk asilum alam bernapas atau amanat dari interes eksternal yang lain.

Kepercayaan ini diabadikan dan diritualkan di dalam formasi dengan cara diajarkan kepada anggota baru dengan cara rekrutmen dan seleksi, sosialisasi, dan penghargaan. Bagaimana individu dipilih untuk formasi (pemilihan), bagaimana mengatur diindoktrinasi (sosialisasi) dan insentif apa yang diterapkan (penghargaan) bakal mendukung agama kultural yang pernah siap akan bagaimana anggota dari formasi bakal merasa tak bertanggung-jawab terhadap alam hidup. Penghargaan mengambil bentuk formal dan informal. Kadangkala kedua bentuk aplaus tersebut jadi benar-benar rancu atau berlawanan. Sebagai contoh, berlimpah industri menduga diharapkan untuk membantu perkembangan kinerja alam bernapas yang ditingkatkan dengan ikrar dari acara alam bernapas yang benar-benar dipublikasikan akibat level puncak manajemen. Namun begini acara ini gagal atas mengatur tak menerapkan bangun aplaus dengan baik. Sebagai contoh, seorang manajer instalasi penawaran rektifikasi bersenda gurauan akan tanggung jawabnya untuk melindungi alam hidup, memelihara keselamatan, dan meningkatan produksi. Tetapi, saat datang saatnya untuk promosi, mengatur “melompati dua hal pertama dan langsung kepada hal ketiga.” Sebagai hasilnya, bentuk aplaus atau kearifan korporasi tak memimpin acara alam bernapas yang dipublikasikan korporatnya.



Keyakinan Yang Mendasari Asumsi-Asumsi Dalam Korporasi

Keyakinan yang mendasari asumsi-asumsi ini ialah tingkat kultur yang paling fundamental. Hal itu mencitrakan agama akan tindakan yang sesuai dan berlaku umum serta dirasakan akibat setiap anggota korporasi sebagai hal yang tak bisa ditawar. Ini ialah tingkat yang paling sulit dari kultur untuk peneliti bisa membongkarnya dan untuk anggota formasi untuk mendeteksinya. Pada level ini sebagian besar aberasi formasi berlimpah berlaku bagai lagi aberasi individual. Mengkaitkan level ini secara langsung kepada perilaku individual, Schein[45] menggambarkan tingkat kultur esensial ini sebagai “sesuatu yang membungkus tingkah laku, emosional, dan unsur-unsur psikologis dari fungsi intelektual secara kebulatan dari anggota kelompok.”

Tingkat kultur esensial ini sering melampiaskan kebutuhan dasar bani Adam untuk stabilitas, mendapat kepastian, dan keamanan di dalam organisasi. Tingkat kultur ini paling stabil dan paling kaku dalam menjamin rutinitas budaya sehingga dengan teguh dipatuhi. Kekakuan dari kawanan rutinitas budaya ini bisa membolehkan formasi untuk bereaksi dengan cepat andaikata siap perubahan atau aberasi terhadap kultur organisasi. Tingkat kultur esensial bisa lagi beroperasi sebagai sebentuk pola berpikir dan tindakan yang bisa membatasi kemungkinan untuk jenis-jenis baru dari tindakan[46]. Di dalam formasi korporasi, anggapan dasar akan arah dan tanggung jawab industri bisa mengabadikan perilaku yang berantak alam hidup. Asumsi ini melingkungi : pikiran bahwa perusahaan, baik  secara baik dan awak ialah otonom; gagasan bahwa alasan-laba ialah arah tunggal dari perusahaan; penghilangan dari kekayaan alam dengan bentuk akuntansi pasar; apresiasi akan alam bernapas sebagai sebentuk sumberdaya yang tak habis-habisnya dan sebentuk tempat yang tak habis-habisnya untuk membuang limbah; dan keperluan perkembangan ekonomi yang tak  berbatas.[47] Asumsi ini mendukung tindakan yang merugikan belah kemantapan dari bentuk alam bernapas  dan bentuk baik di seputar organisasi.

Lebih lanjut, anggapan dasar akan arah dan tanggung jawab industri diabadikan di dalam industri akibat berlimpah mekanisme dan kekuatan, baik di dalam atau di asing organisasi. Bagian ini bakal memandang empat hal yakni, kelaziman rutin, ketakutan dari benda yang tak diketahui, pembatasan sumberdaya, dan ancaman terhadap kekuasaan ada.

Rutinitas kelaziman bisa mengabadikan perilaku dimana karyawan bisa mengetahui bahwa mengatur menduga berantak alam hidup, tetapi mengatur tak bisa bertindak untuk mengoreksi. Seringkali pengabadian kelaziman dari seseorang merupakan wujud hasil seorang individu untuk tak memermak satu kelaziman yang menduga ada, atas bakal mennyebabkan keluarnya biaya ekonomi dan baik serta intelektual eksklusif yang tak diharapkan. Dengan demikian, rutinitas yang ditetapkan ini bisa secara umum dikenal, nyaman, dan dengan handal bisa diramalkan.[48] Clark[49] membuku bahwa pembangunan budaya dan ketergantungan yang berkelanjutan terhadap artifak serta kepercayaannya barangkali jadi satu rintangan yang handal belah pembaruan organisasional. Rutinitas kelaziman bisa mengambil bentuk di dalam rekayasa yang diterima umum atau praktek manajerial.

Ketakutan terhadap benda yang tak terbongkar bisa mengendalikan baik pembaruan organisasional atau ketergantungan yang berkelanjutan terhadap agama yang mendasari asumsi. Perubahan eksternal dan intern barangkali lagi merepotkan untuk organisasi, terutama banget saat produk atau dampak perubahan tak bisa diramalkan. Memang, ala kenyataannya, produk atau dampak tak pernah bisa diramalkan.

Pembatasan sumberdaya bisa membatasi daya dari satu formasi untuk melampaui biaya dialokasikan belah peralatan, dan personil. Hal itu bisa jadi jalan rintang psikologis­ yang belah tindakan atau respon eksklusif kepada amanat untuk perubahan. Permintaan masa cepak bisa menangkal kesempatan apapun belah pertimbangan laba masa panjang, kendatipun masih siap harapan tetapi konsisten cuma merupakan potensi. Biaya masa cepak mendominasi afeksi yang tak berorientasi abad depan.

Akhirnya, ancaman kekuasaan bisa menolak perubahan organisasi. Kultur menetapkan satu bangun dari kekuasaaan, yang bakal mengacaukan perspektif akan “buat manfaat siapa siapa|sembarang orang} bentuk yang pernah ada”. Usaha apapun untuk melakukan restrukturisasi barangkali bakal mengikis bangun kekuasaan dan mengakibatkan belingsatan organisasi, persaingan antar departemen, atau resistensi organisasional[50]. Pengaturan badan bisa mengambil-alih afeksi untuk arah alam bernapas atau ekonomi di dalam pengambilan-keputusan manajerial. Sebagai contoh, ala detik pemungutan hasil ekonomi dan alam hidup­ bergabung dalam mencari solusi yang komersial satu sama lain, sumber yang kabur dari konflik bisa berkembang di antara fungsi alam bernapas dan fungsi operasi itu sendiri. Proses membobol rutinitas yang pernah ditetapkan di antara kelompok-kelompok yang siap dan ala gilirannya mengakibatkan persaingan departemental dan berjuang demi daya untuk bertahan. Sebagai contoh, para manajer yang tercantol dengan alam bernapas bisa menolak bergeser ke dalam tanggung jawab sebagai sebentuk ancaman belah independensi mereka, tujuan, dan daya bertahan. Sebaliknya, tanpa satu adicita yang jelas akan ancangan biaya dan manfaat, personil bengkel bisa menolak tanggung jawab yang ditambahkan.

Secara ringkas, juru tulis berpendapat bahwa susunan formasi dan agama budaya condong untuk mengabadikan perilaku yang berantak alam hidup. Individu di dalam formasi bakal juru tulis diskusikan di dalam cuilan belakang dan menggabungkannya dengan aberasi ala level organisasi. Menanggulangi rintangan ini bakal memerlukan perubahan dalam formasi yang mengintegrasikan afeksi alam bernapas ke agama yang mendasari agama dari orga­nisasi, pencurahan kembali agama yang mendasari agama dari formasi dalam cara-cara yang berbalas-balasan komersial belah arah formasi dan kegigihan dari ekosistem di mana arah formasi itu bergantung.



Perspektif Level Institusional

Beralih ala tingkat pengurangan juru tulis yang ketiga dan terakhir, juru tulis memandang bagaimana perilaku yang berantak alam bernapas  dapat diabadikan dengan aturan-aturan, norma-norma, dan agama di level institusional. Penulis berangkat dengan deklarasi dimana formasi itu siap di dalam satu “sistem terbuka”. Sementara itu, ialah satu istilah dari literatur organisasional bahwa melegalkan bentuk terbuka itu berarti tak konsisten dengan aturan ekonomi. Kepentingan dan perilaku kelompok ialah sering jadi daya yang primer, baik di dalam perilaku ekonomi maupun  politis.

Aktivitas-aktivitas formasi secara signifikan dipengaruhi akibat alam bernapas eksternal, baik dengan batas teknis bagai bahan baku, tenaga kerja, dan energi, atau kian bena lagi, dengan pengaruh sosial, aturan-aturan, hukum, standar industri, praktek terbaik, dan akal konvensional -- apa yang secara kolektif disebut sebagai “institusi”.[51] Institusi menyajikan batasan-batasan kul­tural dan kontekstual yang memermak perspektif perseorangan serta formasi terhadap desas-desus sosial. Mereka memberikan definisi dan nilai kolektif kepada kasus serta aktivitas-aktivitas tertentu, di antaranya status alam hidup.[52]

Untuk meneliti pengaruh mengatur terhadap destruksi alam hidup, cuilan ini bakal menunjuk implikasi alam bernapas dari adat ala tiga kategori nominal: (1) reg­ulatif, (2) normatif, dan (3) kognitif[53]. Aspek regulatif (atau hukum) dari adat didasarkan ala pemaksaan atau sanksi asas kepada formasi untuk memberikan alasan belah pertimbangan kelayakan yang diambil. Aspek regulatif, paling umum mengambil bentuk sebagai aturan-aturan, tetapi bisa saja melingkungi protes, penagihan perkara, dan lobi politis. Aspek kaku (atau sosial) dari adat ialah secara moral atau secara etis dipoles, dan formasi bakal mematuhinya berdasar ala kewajiban sosial. Aspek kaku ini mengambil/mengambil bentuk sebagai rules-of-thumb, prosedur operasi standar, standar bersifat jabatan, kurikulum bidang pendidikan, dan persyaratan keanggotaan serta muncul dengan kesatuan, adat pelatihan profesional, dan afiliasi perdagangan. Aspek psikologis (atau kul­tural) dari adat dibangun dari pendukungan secara baik dan dasar kebenaran secara konseptual dari legitimasi. Kepercayaan yang diterima secara umum di mana formasi bakal mentaatinya tanpa satu kesadaran, berada di level ini.[54]



Institusi Regulatif

Walaupun standar asas yang membanjarkan perilaku yang merajai alam bernapas memegang produk afirmatif secara historis[55], akan tetapi manfaat dari standar tak layak melintangi ancangan biaya atau penelusuran pertanyaan yang bisa kelihatan dari satu pendekatan kontrol kepada pertanyaan alam hidup.[56] Beberapa empu berpendapat bahwa standar yang siap dan penyelenggaraan acara barangkali saja merupakan tantangan paling besar yang dihadapi akibat para ahli alam bernapas ala detik ini.[57] Tenbrunsel[58] menasihati bahwa standar asas jadi satu daya independen, meluluskan satu kehidupan milik mengatur sendiri, meninggalkan rasionalitas, tanpa inovasi, dan interes bermasyarakat berada di balik. Mereka berpendapat bahwa produk sub-optimal bisa dihasilkan dari satu kepatuhan ala standar, serta bahwa sub-optimalitas ini ialah benda yang berhubungan dengan kecenderungan belah standar untuk mengarahkan afeksi ke hadap asas itu sendiri serta menjauh dari arah di balik hukum. Sebagai hasilnya, pembuat hasil bisa didorong ke hadap aksi untuk mengevaluasi aneka alternatif sub-optimal yang bergala ke satu standar, jauh kian dibandingkan ala aneka alternatif sub-optimal yang melanggar standar.

Tenbrunsel[59] lagi mencadangkan satu batasan motivasional untuk buah dari “perhatian-perhatian yang salah arah”, adalah bahwa bentuk standar bisa memermak bentuk insentif untuk individu serta memasarkan perilaku yang berdasar ala interes pribadi yang tentunya menganggu interes bermasyarakat. Hasil sub-optimal ialah produk dari tindakan tak disengaja dan yang disengaja sebagai cuilan dari pembentukan keputusan. Tindakan tak disengaja bisa dihasilkan dari individu yang sekedar “mengikuti aturan,” kreativitas tak dihargai”, satu kerasionalan dari  “menggunakan atau menghilangkan”, atau satu mentalitas “tidak siap asas yang melawan”. Sementara itu, tindakan yang disengaja melingkungi usaha untuk “memukul bentuk yang ada.”

Secara keseluruhan, bangun kontrol untuk mengontrol kontaminasi ialah terinstitusionalisasi ke dalam satu pola yang berlawanan di mana, detik ini,  banyak empu yang menganggap pola tersebut menduga ketinggalan zaman dan bersifat membatasi kemajuan alam bernapas korporat[60]. Struktur angpau sering kali salah arah, yang awalnya dimaksudkan untuk melecut korporatsi atau pihak-pihak lainnya untuk mengkontrol dirinya untuk tak mengeksploitasi alam bernapas belah pelampiasan arah mencapaian laba sebesar-besarnya justru bisa berdampak sebaliknya. Pajak misalnya, sebagai satu angpau belah korporasi atau pihak-pihak lainnya untuk merasa memegang jalan masuk ala alam bernapas yang dimanfaatkan untuk dijaga kelestariannya sebagai “barang pemilikan” jadi dorongan belah perspektif pertukaran. Karena melunasi pajak dengan garib bahwa melecut mengatur untuk memanfaatkan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, pajak yang dimaksudkan sebagai satu insentif untuk tuan bentala kepada pengembangkan daratan, bahwa mengatur terketuk untuk menuai sumber-sumber kapasitas daratan justru untuk melunasi pajak, atau menjualkan dan menyewakan daratan untuk melunasi pajak, dengan begini menghancurkan eigendom yang secara biologis berharga.[61]             

Institusi regulatif yang memasarkan perilaku yang berantak alam lagi di level internasional. Sebagai contoh, formasi non negeri yang beranjak dalam masalah-masalah alam bernapas (NGO) benar-benar peka terhadap implikasi alam bernapas dari Global Agreement on Tariffs and Trade (GATT).

Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional



Institusi Normatif

Beralih di asing sifat regulasi, pengadang institusional lagi berlaku di level kaku di dalam norma-norma kurikulum bidang pendidikan, aturan bisnis, prosedur operasi standar, dan indikator-indikator yang secara ekonomi serta bisnis diterima. Sebagai contoh, kurikulum bidang didikan sering mengabadikan agama di mana ­pertumbuhan ekonomi dan asilum alam bernapas ialah satu sama lain tak cocok. Teori Manajemen detik ini menduga dikritik untuk memasarkan satu batasan yang tercantol dengan keperluan meningkatkan perkembangan ekonomi dan produktivitas yang berorientasi asilum alam hidup, apresiasi akan alam bernapas alam sebagai satu sumberdaya yang terbatas, dan keunggulan dari ekspansi teknologi untuk mengontrol bentuk alam hidup[62]. Dengan cara sama, berlimpah empu menuntut perubahan batasan ilmiah dalam didikan ekonomi bahwa menurut babad ekonomi tentu memperlakukan asilum alam bernapas sebagai satu “eksternal­itas”.[63] Polusi dikonseptualisasi sebagai dampak dari satu ketidak hadiran dari kadar untuk sumber-sumber kapasitas alam bernapas langka tertentu, bagai membersihkan angkasa dan air. Melalui perspektif kaku ini, interes ekonomi dan alam bernapas bakal acap terpisah serta berbeda, bahkan berlawanan.[64] Asumsi yang mendasari hal ini ialah bahwa para manajer korporat itu tak pernah menyadari dan melegalkan interes bakal asilum alam bernapas di dalam interes ekonomi korporasi mereka.

Praktek standar bisnis bisa mengabadikan perilaku disfungsional alam bernapas serta melintangi cara mencari respon yang kian efisien. Pilihan yang melembaga di dalam belanja pengeluaran korporasi ini dipromosikan akibat satu perusahaan konsultasi yang berkembang dengan berlambak terlepas dari pasar untuk belanja pengendalian kontaminasi dan layanan pelampiasan tuntutan terhadap peraturan asilum alam bernapas untuk meminimalisasi kontaminasi serta pengurangan limbah. Jika iklan dan perjuangan perusahaan konsultasi ini berbuah bahwa bakal diyakini bahwa anggapan akan ketidakcocokan antara interes ekonomi dan alam bernapas itu tidaklah benar.

Institusi Kognitif

Akhirnya, adat di level psikologis berkreasi apresiasi umum dari perilaku yang dibenarkan dan tak dipertanyakan lagi.[65] Terlebih, bagai aberasi perseorangan di cuilan pertama dan agama yang mendasari agama yang diuraikan ala cuilan depan, bisa meresap, kuat, dan tahan terhadap perubahan, serta sering merajai indi­vidual dan perilaku formasi tanpa sepengetahuan mereka. Perilaku yang berantak alam bernapas desktruktif didukung akibat kaum hal amat mendasar dari agama akan asosiasi baru dan kapitalisme modern.[66] Sebagai contoh, asosiasi kapitalistik memegang anggapan fundamentalnya yang tercantol dengan adicita anthroposentris dimana kemajuan tak definit ialah dimungkinkan dengan eksploitasi dari sumberdaya alam tanpa batas. Dalam pengejaran dari kemajuan itu, formasi dan individu dianggap sebagai independen, berada dalam satu pasar-bebas dimana ekstraksi sumberdaya dan ekspansi ialah hak pemilik eigendom yang berada di asing dari intervensi pengelola kepentingan. Insentif apapun untuk melindungi alam hidup, secara tradisional, diterima sebagai intervensi dari luar. Pertumbuhan ekonomi dan bahan dibenarkan sebagai satu yang tak berbalas-balasan sesuai dengan afeksi alam hidup.[67]

Konsisten dengan kondisi ekspansi yang dibuat akibat ahli filsafat dan revolusi industri, adat psikologis mendukung pikiran dimana bani Adam dipertimbangkan terpisah dari alam bernapas dan superior dari alam hidup, selama dirinya sendiri dipandang sebagai sosok tanpa kapasitas dan digerakkan akibat kekuatan-kekuatan eksternal dari internal.[68] Tetapi, afeksi untuk asilum alam bernapas menantang kondisi ini dan daya dari kapitalisme, di dalam bentuknya yang sekarang, untuk mempersiapkan tujuan-tujuan baik (seperti kesejahteraan, hak kekayaan, kesenangan, kepuasan, dan seterusnya) untuk masa panjang. Namun dalam sebenarnya kapitalis tak memasalahkan arah baik sebagai ini, tetapi kian ala anggapan inti bagai “bagaimana kita bisa berbatas ke sana?” : tercantol dengan independensi baik dan awak perusahaan, motif laba sebagai sebentuk bentuk arah tunggal dari perusahaan, dan keperluan dari perkembangan ekonomi.[69] Di dalam melakukan hal itu, bahwa sebelumnya layak disajikan konsepsi baru akan hubungan antara ekonomi dan alam hidup, di mana satu sama lainnya berbalas-balasan sesuai. Transisi ini memerlukan satu kondisi acuan baru untuk berpikir akan peningkatan alam hidup[70], satu tahap di asing semua adat yang secara konvensional kuno diterima.

Kesimpulan

Berbagai uraian di arah menyoroti sejumlah cara dimana kita terlibat dalam perilaku yang secara mental berantak alam hidup, dan hal itu sering tanpa ilmu kita. Spesies kita bertanggungjawab untuk sukses asing biasa dalam pembangunan tetapi lagi bersalah arah tingkat yang berlebih dalam timbulnya degradasi alam hidup. Beberapa butir ikhtisar menduga mengartikan peran dari individu, orga­nisasi, dan adat dalam melaksanakan degradasi ini. Seringkali individu, organisasi, dan adat mengadakan kerusakan alam bernapas tanpa menyadari dampaknya. Dalam cerita ini, juru tulis menduga mencoba untuk memperjelas mekanisme di balik pengaruh minus mereka.

Satu anggapan yang disederhanakan dan sumbang yang menduga juru tulis jelaskan dalam cerita ini ialah tiga tingkat dari analisa kita menduga didiskusikan, adalah  perspektif tingkat individual, orga­nisasional, dan institusional dalam melaksanakan degradasi alam bernapas memperjelas bahwa hasil perseorangan merajai perilaku organisasi; perilaku perseorangan dan formasi merajai berbagai anggota yang dilembagakan, serta ala akibatnya berbalas-balasan merajai antara hal-hal tersebut. Koneksi antara tiga tingkat ini bisa dilihat, secara umum, di dalam bangun di antara tiga tingkat itu sendiri. Penulis menduga mencoba untuk menyoroti betapa aberasi individual, agama yang mendasari agama dari kultur organisasi, dan institusi-institusi psikologis di mana sendiri-sendiri mencitrakan konsep umum dari agama yang tak dipermasalahkan lagi sehingga mengabadikan perilaku tanpa sepengetahuan aktor. Penulis berharap bahwa investigasi abad dada layak menyelidiki interkoneksi ini kian mendalam.

Makalah juru tulis ini lagi dipengaruhi akibat pemilihan dari aturan preskriptif yang juru tulis lihat memiliki implikasi yang relevan. Motivasi juru tulis untuk belajar desas-desus manajemen alam bernapas ialah wujud dari keinginan untuk bermain, sekurang-kurangnya dalam peran yang kecil di dalam mengingatkan kita semua bahwa pengawasan destruksi alam bernapas layak segera diprioritaskan. Tentunya, dengan mempelajari kaum penyebab dari destruksi alam bernapas tersebut bisa jadi bekal belah perencanaan pengawasan destruksi alam bernapas yang kian efektif. juru tulis percaya bahwa melaksanakan perubahan, secara parsial dicapai dengan cara mengembangkan aturan preskriptif dari perilaku yang secara langsung melecut ke hadap solusi untuk perubahan.

Penulis lagi melontarkan desas-desus “mengapa alam hidup?” Mengapa kita mementingkan ala bagian lain dari etika dan tanggung jawab baik organisasi? Bagian dari balasan ialah satu refleksi dari interes esensial dari penulis. Bagaimanapun, cuilan dari balasan ialah bahwa alam bernapas mempersiapkan satu konteks dimana kita memandang perilaku bani Adam jelas tak konsisten dengan cara mengintensifkan asilum alam bernapas dibandingkan dengan pemungutan manfaat yang berlebih arah alam bernapas itu sendiri.

D A F T A R   P U S T A K A

Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000). ‘‘On The Measurement Of Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A Method Of Measuring Corporate Social Improvement.’’ Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501.

Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). ‘‘Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance.’’ Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486.

Amihud, and Mendelson, H. (2001). ‘‘Inventory Behavior And Market Power : An Empirical Investigation.’’ International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280.

Aupperle, K. E. (2001). ‘‘The Use Of Forced Choice Survey Procedures In Assessing Corporate Social Orientation.’’ In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press.

Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and Hatfield, J. D. (2005). ‘‘An Empirical Examination of The Relationship Between Corporate Social Responsibility And Profitability.’’ Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446.

Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.

D.,Owen. (1992) ‘The implications of current trends in green awareness for the accounting function: An introductory analysis’, in: D. Owen (ed.), Green Reporting: Accounting and the Challenge of the Nineties, Chapman & Hall, London.

Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons.

E. Goldman (2004).‘‘Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological  Perspectives’’  Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring.

Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill.

Friedman, Weick  (2004). ‘‘A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits.’’ Sociology Today Magazine, September 13.

Galbraith, and Burger, J. (1993). ‘‘A Paradigm Of Ecological Risk Assessment.’’ Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5.

Gerwith. (1979). ‘‘Starvation And Human Rights.’’ In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 139–159. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47.

Graves, S., and Waddock, S. (1999). ‘‘Institutional Owners And Corporate Social Responsibility.’’ Social Review and Management Journal, vol. 37.

Hoskisson, and Johnson, R. (1992). ‘‘Corporate Restructuring And Strategic Change: The Effect Of Diversification Strategy And R&D Intensity.’’ Strategic Management Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991.

J. E. Parkinson. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford.

Jackall. (2006).‘‘Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology.’’ Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253.

Kantz. (1999). ‘‘Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.’’Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17.

Kedia, and Kuntz, E. (1981). ‘‘The Context Of Social Performance  An Empirical Study Of Texas Banks.’’ In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press.

Kelso, and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House.

Kramer. (2007). ‘‘Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts.’’ Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327.

Lustig. (2003). ‘‘The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism.’’ Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152.

Lytle. (1981). ‘‘Viewing turnover from the perspective of those who remain: The relationship of job attitudes to attributions of the cause of turnovers.’’ Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123.

M. Heald, (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1900 -1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.

M. R., Moskowitz. (1972) ‘Choosing socially responsible stocks’, Business and Society Review, 1, 71-75.

Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications.

Mintzberg. (1999).‘‘Corporate restructuring: Governance and control limits of the intern capital market.’’ Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477.

R. A. G., Monks. (1994) ‘Tomorrow’s corporation’, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130.

R. S., Larsen, (1993). ‘‘The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century.’’ Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22.

R., Hay, and Gray, E. (1977). ‘‘Social Responsibilities Of Business Managers.’’ In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company.

Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press.

S., Labatt. (1991). ‘‘A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment.’’ Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163.

Schein., Tarr, S. C., and Juliano, W. J. (1992). ‘‘Reducing Is staff, increasing morale, and achieving results at US West.’’ Journal of Systems Management, vol. 43, no.7, pp. 10-12; 36-37.

Shleifer, Morck, R., A. and Vishny, R. W. (1988) ‘Management ownership and market valuation: An empirical analysis’, Journal of Financial Economics, 20, 293-316.

Sturdivant. and Ginter, J. (1977). ‘‘Corporate social responsiveness: Management attitudes and economic performance.’’ California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39.

Tenbrunsel. (1997). ‘‘The Dangers Of Social Responsibility.’’ Harvard Business Review, September–October, pp. 41-50.

Zucker. (1983) ‘‘Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources.’’ Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32.




END NOTE:

[1]     E. Goldman (2004).”Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological  Perspectives”  Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring.

[2]    Ibid.

[3]    Graves, S., and Waddock, S. (1999). “Institutional Owners And Corporate Social Responsibility.” Social Review and Management Journal, vol. 37.

[4]     Friedman, Weick (2004). “A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits.” Sociology Today Magazine, September 13.

[5]     Ibid. 

[6]     Ibid.

[7]     Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). “Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance.” Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486.

[8]     Aupperle, K. E. (2001). “The Use Of Forced Choice Survey Procedures In Assessing Corporate Social Orientation.” In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press.

[9]     Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and Hatfield, J. D. (2005). “An Empirical Examination of The Relationship Between Corporate Social Responsibility And Profitability.” Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446.

[10]    Amihud, Y., and Mendelson, H. (2001). “Inventory Behavior And Market Power: An Empirical Investigation.” International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280.

[11]    Ibid.

[12]    Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000). “On The Measurement Of Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A Method Of Measuring Corporate Social Improvement.” Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501.

[13]    Ibid.

[14]    Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill.

[15]    Gerwith, A. (1979). “Starvation And Human Rights.” In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 139–59. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47.

Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional

[16]    Hay, R., and Gray, E. (1977). “Social Responsibilities Of Business Managers.” In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company.

[17]    Heald, M. (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and Community: 1900-1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.

[18]    Hoskisson, R., and Johnson, R. (1992). “Corporate Restructuring And Strategic Change: The Effect Of Diversification Strategy And R&D Intensity.” StrategicManagement Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991.

[19]    Kantz, J. (1999). “Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.”Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17.

[20]    Kelso, L., and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House.

[21]    Kedia, B., and Kuntz, E. (1981). “The Context Of Social Performance  An Empirical Study Of Texas Banks.” In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press.

[22]    Larsen, R. S. (1993). “The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century.” Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22.

[23]    Galbraith, H., and Burger, J. (1993). “A Paradigm Of Ecological Risk Assessment.” Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5.

[24]    Lustig, R. J. (2003). “The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism.” Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152.

[25]    Ibid.

[26]    Ibid.

[27]    Galbraith, H., and Burger, J. (1993). Op.Cit.

[28]    Heald, M. (1999). Op.Cit.

[29]    Ibid.

[30]     Ibid

[31]    Kramer. (2007). “Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts.” Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327.

[32]  Ibid.

[33]    Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications.

[34]    Ibid.

[35]    Lytle. (1981). “Viewing turnover from the perspective of those who remain: The relationship of job attitudes to attributions of the cause of turnovers.” Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123.

[36]    Ibid.

[37]    Jackall. (2006). “Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology.” Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253.

[38]    Ibid.

[39]    Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press.

[40]    Ibid.

[41]    Jackall. (2006). Op.Cit.

[42]    Hoffman, 1997 Sturdivant, F., and Ginter, J. (1977). “Corporate social responsiveness: Management attitudes and economic performance.” California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39.

[43]    Schein. Op.Cit.

[44]    Ibid.

[45]  Ibid.

[46]  Ibid

[47]    Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons.

[48]    Ibid.

[49]    Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and Community: 1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.

[50]    Mintzberg. (1999).”Corporate restructuring: Governance and control limits of the intern capital market.” Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477.

[51]    Ibid.

[52]    Ibid.

[53]    Labatt, S. (1991). “A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment.” Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163

[54]    Zucker. (1983) “Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources.” Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32.

[55]    Ibid.

[56]    Labatt, S. (1991). Op.Cit.

[57]    Ibid.

[58]    Tenbrunsel. (1997). “The Dangers Of Social Responsibility.” Harvard Business Review, September-October, pp. 41-50.

[59]    Ibid.

[60]    Ibid.

[61]    Ibid.

[62]    Parkinson, J. E. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford.

[63]    Owen, D. (1992) ‘The implications of current trends in green awareness for the accounting function: An introductory analysis’, in: D. Owen (ed.), Green Reporting: Accounting and the Challenge of the Nineties, Chapman & Hall, London.

[64]    Monks, R. A. G. (1994) ‘Tomorrow’s corporation’, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130.

[65]    Ibid.

[66]    Ibid.

[67]    Morck, R., Shleifer, A. and Vishny, R. W. (1988) ‘Management ownership and market valuation: An empirical analysis’, Journal of Financial Economics, 20, 293-316.

[68]    Moskowitz, M. R. (1972) ‘Choosing socially responsible stocks’, Business and Society Review, 1, 71-75

[69]    Ibid.

[70]    Ibid.

Biodata:

Penulis ialah Dosen Departemen Kriminologi FISIP-UI dan sekarang sedang  menyeselesaikan Disertasi ala Program Doktor Sosiologi UI.

Tulisan di Muat dalam Jurnal Legislasi Vol 6 Nomor 1

Begitulah detil tentang Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional semoga info ini berfaedah terima kasih

Tulisan ini diposting pada kategori pertanyaan tentang budaya dan lingkungan organisasi, pertanyaan untuk budaya dan lingkungan organisasi, pertanyaan budaya dan lingkungan organisasi,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara Politik Kerajaan Tarumanegara

Hohoho, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membahas tentang politik kerajaan tarumanegara Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara simak selengkapnya HINDUALUKTA -- Secara etimologi Tarumanagara berasal dari kata Taruna yang artinya negara atau negeri dengan Nagara yang merupakan dari kata Tarum yaitu sebuah sungai di Jawa Barat ialah sungai Citarum. Kerajaan Tarumanegara tercata dalam asal usul sebagai salah satu negeri Hindu yang pernah berkuasa di Jawa dari abad 4 sampai 7 masehi. Menurut sejarah, negeri Tarumanegara didirikan pada tahun 358, dengan salah satu rajanya yang membelokkan terkenal adalah raja Purnawarman. Bukti yang ditemukan sebagai catatan negeri Tarumanegara adalah tujuh batu bersurat batu yang ditemukan di Lebak Banten (1), Bogor( 5) dengan Jakarta (1). Dari ke tujuh prasasti tersebut diantarnya yakni:  Prasasti Pasir Awi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Ciaruteun, Pra...

KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI Kesenian Dari Madura

Hi, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan dibahas mengenai kesenian dari madura KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI simak selengkapnya. AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress HandayaniRecord Official mempersembahkan buah karya kami untuk anda nikmati sebagai konser keluarga yang cukup dengan bermanfaat sebagai hiburan, Semua adegan sudah kami setting. andaikata ada kesamaan cap dengan lainnya. Mohon maaf ------------------------------------------------------------- Silahkan Dilihat Juga Chanel Terkait : Channel Group reno puri: https://www.youtube.com/channel/UCjO5... handayanirecord official: https://www.youtube.com/channel/UC50V... indonesian review : https://www.youtube.com/channel/UCQXk... masakan mama : https://www.youtube.com/channel/UCAJv... DakwaQ Official: https://www.youtube.com/channel/UCxy4... Terima Kasih Untuk Su...

Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, Dan Marginal Rate Of Substitution Pengertian Marginal Utility

Hallo, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawa pembahasan mengenai pengertian marginal utility Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, dan Marginal Rate of Substitution simak selengkapnya Untuk barang kali ini kita bakal belajar atas aturan utilitas ( utility theory ), pengertian marginal utility , ancangan marginal utility dan indifference curve di mahir gajak konsumen, serta pengertian marginal rate of substitution . 1. TEORI UTILITAS. Pada bagian ini kita bakal mahir coret-coretan alas utilitas, pengertian marginal utility , serta the law of diminishing marginal utility . 1.1. Konsep Dasar Utilitas. Secara leksikal, kata utilitas ( utility ) dimaknai sebagai ‘the quality or state of being useful‘ ( www.merriam-webster.com ). Dalam hal ini, utilitas memberitahukan derajat kemanfaatan suatu objek. Sementara di ilmu ekonomi, konsep utilitas memberitahukan babak kegembiraan pelaku ekonomi tempat konsumsi barang/jasa...