Langsung ke konten utama

(PDF) Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Budaya Visual

(PDF) Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual

Hallo, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", pada kali ini akan membawa pembahasan mengenai budaya visual (PDF) Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual simak selengkapnya.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

We use cookies to offer you a better experience, personalize content, tailor advertising, provide social alat features, and better understand the use of our services.

To learn more or modify/prevent the use of cookies, see our Cookie Policy and Privacy Policy.

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis

Hariyanto

Jurusann Seni dan Desain

Universitas Negeri Malang

hariyantosiswowihardjo@yahoo.co.id

Abstract

Art education in Indonesia is still focused on fine art

The abad of globalization and information technology

has facilitate to spreads images and artefacts so

affect people's lives, especially children and young.

This article invites art educators to change the paradigm

by visual culture-based art education through critical

pedagogy

Para guru seni-budaya Indonesia pada saat ini masih disibukkan dengan

pelaksanaan dua silabus yaitu KTSP dan Kurikulum 2013 yang masih kontroversi. Selain

memikirkan masalah perubahan kurikulum, mereka juga disibukkan oleh kegiatan

administrasi (RPP, LKS, PLPG/PPG, UKG, dll.) yang menyita cukup banyak waktu.

Perhatian para pendidik seni-budaya untuk pengembangan kurikulum dirasa kurang karena

peran guru di pengembangan silabus 2013 banget berkurang.

Indonesia pada saat ini sudah menjadi bagian dari MEA dan terhubung dalam

ekonomi global. Salah satu andalan ekonomi abad ke-21 adalah ekonomi kreatif yang lebih

berfokus pada ekonomi budaya. Lembaga pendidikan ikut berperan serta dalam menyiapkan

tenaga/lulusan yang siap bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Pendidikan seni-

budaya memiliki peluang besar untuk ikut andil menyiapkan jebolan yang trampil.

Globalisasi ekonomi dan budaya tidak hanya bakal menuntut tenaga kerja kudu trampil tetapi

juga harus kritis terhadap produk budaya yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk

citraan dan artefak yang disebut sebagai “budaya visual”.

Tugas pendidikan seni budaya baik pendidikan menengah atau pendidikan tinggi

adalah menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan kreatif serta kritis. Tenaga kerja yang

trampil dan kreatif diharapkan bisa bersaing di pasaran, atau setidaknya bisa menciptakan

lapangan pekerjaan sendiri. Tenaga kerja yang kritis perlu disiapkan agar mereka dapat

menyikapi secara bijak semua informasi dan hiburan yang terus diproduksi tanpa henti oleh

berbagai media. Tenaga terdidik di bidang seni-budaya diharapkan akan mendukung

terbentuknya aras kreatif (Florida) untuk mendukung perusahaan kreatif.

Untuk membentuk kelas kreatif yang memiliki etos dan budaya kreatif diperlukan

kerja keras oleh semua komponen industri kreatif yaitu dari kalangan pemerintah, lembaga

pendidikan dan para profesional. Lembaga pendidikan tinggi di bidang seni dan desain

memiliki posisi strategis untuk ikut terlibat dalam menyiapkan lulusannya agar menjadi

bagian dari kelas kreatif. Kurikulum pendidikan tinggi seni dan desain perlu dievaluasi dan

direkonstruksi agar bertimbal dengan corat-coret perusahaan kreatif.

Konsep pendidikan seni yang selama ini berorientasi ala pendidikan seni asli dan

kurang melepaskan perhatian ala seni kriya, desain dan produk-produk budaya populer sehari-

hari lainnya yang sedia di sekitar kita. Sudah waktunya silabus bimbingan seni rupa/budaya

yang masih terkesan elitis itu untuk ditinjau kembali. Para pendidik masih banyak yang

berpandangan bahwa seni rupa identik dengan keindahan. Guru sekolah umum menuntut

siswanya harus memiliki kemampuan menggambar manusia atau binatang. Kreatifitas harus

ditunjukkan dengan kemampuan siswa untuk mencipta sesuatu dengan prinsip orisinal dan

baru. Karya seni rupa adalah hasil ekspresi individual. Seni rupa tidak perlu dibebani oleh

persoalan sosial-politik (seni otonom). Seni untuk seni, dan sebagainya.

Polapikir tentang pendidikan seni rupa yang masih tradisional tersebut sudah tidak

memadai lagi karena perkembangan seni rupa mengalami perubahan yang cepat seiring

dengan perkembangan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi dan budaya. Pendidikan

seni rupa yang masih dipengaruhi konsep pendidikan seni progresif yang mengutamakan

ekspresi individu sudah tidak relevan lagi. Berbagai wacana dan teori-teori budaya global

seperti posmodernisme, poskolonialisme, feminisme, multikulturalisme, pluralisme,

posindustri, poshistori, posauratik, akhir sejarah seni, dan sebagainya telah lama merembes

ke dalam ruang-ruang diskusi publik dan mempengaruhi para pekerja seni rupa serta para

pendidik seni rupa.

Konsep bimbingan seni rupa yang diperlukan ala saat ini ialah konsep yang dapat

mengakomodasi prinsip-prinsip yang berlaku pada saat ini yaitu : pluralisme, demokratis,

terbuka, kesetaraan jender, multikultural, relasional, komunikatif, toleran dan sebagainya.

Konsep bimbingan seni yang tradisional dan elitis telah ditinggalkan bagi karet guru seni

di banyak negara. Perlu adanya kajian untuk mengembangkan pendidikan seni rupa yang

berorientasi ala budaya visual.

Makalah ini membahas tentang perlunya dilaksanakan pendidikan seni rupa yang

berorientasi budaya visual. Sub topik dalam makalah ini adalah: Dari estetika idealis “tanpa

pamrih” ke estetika populer; Perubahan Paradigma di Pendidikan Seni Rupa: dari DBAE

ke VCAE; Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis.

Dari Estetika Idealis “Tanpa Pamrih” ke Estetika Populer

Estetika Barat adiluhung diawali dengan Plato yang berpandangan bahwa seni merupakan

mimesis dari realitas, bukan imitasi dari tampilan ke tampilan lainnya. Realitas adalah

sumber dari segala tampilan (Wiryomartono, 2001:10). Aristoteles murid Plato memiliki

kesamaan pandangan tentang seni sebagai mimesis dari realitas. Perbedaan dari kedua tokoh

ini adalah pada konsep realitas. Nyata bagi Aristoteles adalah faktual, sedangkan bagi Plato,

nyata ialah ideal dan tunggal (Wiryomartono, 2001:19).

Istilah estetika mulai diperkenalkan oleh Alexander Baumgarten sebagai kajian yang

memfokuskan ala seni murni. Immanuel Kant ialah alpa eka filsuf yang jadi tonggak

penentu di era modern yang telah membentuk kecenderungan eksklusivitas seni. Sejak itu,

menurut pandangan Kant, pengalaman estetik dipahami sebagai persepsi kontemplatif yang

tanpa pamrih ( disinterested ), yang menangkap objek/alam tanpa tujuan lain selain sebagai

objek itu sendiri ; semacam pengalaman ketersergapan oleh keindahan, kesenangan dan

sesuatu yang ‘sublim’, yang ditimbulkan oleh obyek tertentu. Oleh karena itu, seniman yang

mampu mencipta karya seni orisinal dan mampu memicu pengalaman sublim itu dianggap

sebagai ‘genius’(Sugiharto,2008).

Istilah pengalaman estetik dikemukakan oleh Kant ketika mempertanyakan tentang

hubungan antara selera dan estetika. Kant mencoba mencari kaitan antara pengalaman

estetika dan representasi yang jadi rujukannya dengan membandingkan perasaan yang

didapat dengan kapasitas total objektifnya. Pengalaman estetik terbangun oleh adanya

interaksi anak Adam dan karya di konteks animo yang diberikan (Wiryomartono, 2001:30)

Estetika modern yang semula bersifat ekspresif kemudian berkembang ke arah

emansipatoris. Kemudian muncul keresahan-keresahan yang ditunjukkan oleh gerakan-

gerakan avant garde. Gerakan-gerakan inovasi di barisan depan ini menimbulkan ekses

positif dan negatif bagi estetika, mereka berdalih emansipatoris. Protes-protes kemasyarakatan

menentang bawaan monodimensionalitas yang dialami masyarakat (Nurhadi, 1994)

Para filsuf setelah Kant menganggap perlu adanya pertimbangan estetik (aesthetic

judgement) di mana secara tradisi para filsuf memiliki pertimbangan estetik yang setidaknya

meliputi estetisisme dan normativisme. Estetisisme, pertimbangan estetik dianggap sebagai

sumber biji estetik (indah/jelek) akan sesuatu atau seseorang. Pertimbangan estetik pada

normativisme tidak sekedar ekspresi dari preferensi subjektif, karena mereka mengklaim

adanya validitas universal. Suatu pertimbangan estetik memiliki sifat untuk menjadi benar

atau tidak benar. Implikasinya ketika seseorang (subjek) membuat pertimbangan estetik, ia

memutuskan bahwa siapapun memiliki kapabilitas untuk membuat pertimbangan/keputusan

estetik yang sepatutnya untuk berbagi pertimbangannya (Cova & Pain, 2012).

Pengalaman estetik Kant dipahami sebagai estetika tanpa pamrih (disinterested) dan

terpisah dari eksistensi keseharian. Tindakan konsumsi yang dilakukan masyarakat

kontemporer terhadap alamat budaya, atau peristiwa tertentu sebagai pengalaman estetik, atau

kesenangan keseharian dan yang difungsikan dalam masyarakat, tidak terpisahkan. Sebuah

pandangan opsi yang menghubungkan pengalaman estetik dengan budaya visual disebut

sebagai “estetika volisional” (Carter ,2008). Carter setidaknya memasukkan dua tokoh yang

peduli terhadap estetika keseharian yaitu Paul Willis dengan konsep “grounded aesthetics”

dan Richard Shusterman dengan corat-coret “pragmatist aesthetics”.

Willis (1990:22) melihat konsumsi sebagai praktik di mana seseorang

mentransformasikan barang yang dibeli dari sekedar pemilikan ke dalam bagian dari

kehidupannya, dan mungkin jadi bagian dari definisi-dirinya. Konsumsi akan budaya

populer ala tingkat keseharian sebagai aliran pembuatan budaya, aktivitas kreatif simbolik.

Estetika “grounded” menyatakan bahwa budaya populer dikonsumsi pada basis kegunaan,

daripada pada basis yang seharusnya melekat dan kualitas ahistoris dari sebuah teks.

Konsumsi adalah proses aktif, kreatif, dan produktif berkaitan dengan kesenangan, identitas,

dan pabrikasi makna.

Shusterman (1997) berpendapat bahwa estetika pragmatis adalah sebuah projek

membangun kembali kapasitas manusia pada pengalaman estetik. Ia secara mendalam

dipengaruhi oleh karya Dewey Art as Experience. Ia memahami pengalaman estetik sebagai

sebuah bagian integral dari kehidupan dan sebagai kemampuan manusia yang mendalam

yang efeknya memperkuat kehidupan, sangat terasa, dan menghidupkan kembali.

Pengalaman estetik amat penting di dalam dan dari diri sendiri sebagai pengalaman yang

tinggi, penuh makna, dan fenomenologis yang berharga. Dalam setiap bentuk yang

menguntungkan, pengalaman estetik akan memperkuat dan dipertahankan semakin

berpengalaman.

Pendapat Shusterman berikutnya ialah penyertaan budaya populer di bidang seni

rupa. Ia menyatakan bahwa pengalaman estetik menjadi tak tersedia seara artistik, orang

belajar untuk memuaskan kebutuhannya di asing dunia seni rupa kontemporer, dan

pencariannya semakin diarahkan ala seni rupa populer. Shusterman menilai ulang seni rupa

dalam cara baru, seni rupa dalam pandangan ini tidak terpisah dari kehidupan nyata, tetapi

berhubungan dengannya sebagai sebuah pengingat kepada kita apa yang pengalaman estetik

bisa buat (Shusterman, 1997)

Pandangan Willis dan Shusterman menjadi landasan filosofis baru yang disebut

sebagai volitional aesthetics. Keduanya memandang bahwa budaya anak Adam saling

berhubungan dan kompleks. Budaya dilihat sebagai tempat yang dipertandingkan di mana

makna dan nilai yang terbentuk secara historis bertentangan, disusun ulang dan kadang-

kadang dibuat lagi melalui proses kontinyu dari aktivitas budaya manusia (Carter, 2008).

Pandangan Carter ini bisa diperluas ke dalam prinsip berikut yang mencerminkan

sudutpandang volitional aesthetics. Peran dari pengalaman estetik dinilai sebagai pengingat

bagaimana dan dalam cara apa makna dan nilai bergaung dengan kita. Hubungan dan

penggunaan budaya visual kita hadir sebagai tindakan kreatif dan sebagai aktiitas dialogis.

Citra dan pembuatan citra terlihat sebagai bagian dari cara untuk membangun pengalaman

otentik. Peran agensi manusia berharga, agensi juga berkait dengan kreativitas, bukan

kreativitas di mencipta seni, lamun inspirasi dalam hubungannya dengan kehidupan saya

dan orang lain. Kreasi adalah hasil dari sejenis interpretasi sosial, politik, dan budaya, yang

merupakan buatan dari buatan sebelumnya, sehingga berlanjut tanpa jeda (Carter, 2008)

Perubahan Paradigma di Pendidikan Seni Rupa dari DBAE ke VCAE

Para pendidik seni rupa di berbagai negara (Barat) telah mulai bergeser perhatiannya

dari yang menekankan ala bidang seni asli yang tradisional menuju ke yang mengembang yaitu

isu-isu seni visual dan budaya. Mereka berpendapat bahwa perubahan pada pendidikan seni

rupa sebagai respon terhadap perubahan kondisi dalam dunia kontemporer di mana seni

visual, termasuk seni populer dan seni rupa sewaktu ialah belahan yang semakin bena

dari budaya visual yang lebih luas yang mengepung dan membentuk hidup kita keseharian

(Freedman &Stuhr, 2004:815-828). Perubahan pendidikan seni rupa pada saat ini lebih dari

sekedar perubahan konten kurikulum dan perubahan dalam strategi pembelajaran dalam

merespon kecepatan dan kemassalan distribusi citraan. Perubahan ini juga mencakup

tingkatan aktual penteorian seni rupa dalam bimbingan yang terkait dengan filosofi posmodern

yang sedang muncul berdasarkan pada lingkungan yang sedang tumbuh dari visualisasi

interkultural, intrakultural, dan transkultural.

Perubahan inti bimbingan seni rupa ala budaya visual tidak hanya acu pada

perluasan jangkauan bentuk seni visual dalam kurikulum, tetapi juga dialamatkan pada isu-

isu citraan dan artefak yang tidak berpusat pada bentuk semata. Ini termasuk isu-isu

mengenai kekuatan representasi, formasi identitas budaya, fungsi produksi kreatif, makna

narasi visual, refleksi kritis ala penyebaran teknologi, dan pentingnya hubungan

interdisipliner.

Pengetahuan yang seara tradisional menetapkan objek seni rupa murni dan selera

bagus tidak lagi dilihat sebagai hanya satu-satunya modal budaya visual untuk melayani

siswa dan mahasiswa. Seni murni masih dianggap penting dalam pendidikan dan menjadi

bagian penting dari sejarah dan budaya visual kontemporer. Menurut Freedman dan Stuhr

(2004) para pendidik seni perlu mendiskusikan kondisi dunia kontemporer yang

mengkontekstualkan pendidikan seni rupa dan mendorong perubahan dalam produksi dan

studi pada budaya visual oleh siswa/mahasiswa. Pertama, pentingnya karakteristik identitas

personal dan publik didiskusikan di istilah representasi dikonstruksi di dan melalui

budaya visual. Kedua, semakin meningkatnya interaksi dengan media terbaru, terutama

teknologi visual yang dialamatkan sebagai belahan baku dari pengalaman manusia

kontemporer. Ketiga, kualitas dari batas disiplin yang dapat ditembus dan pemaknaan dari

pengetahuan interdisipliner untuk kompleksitas budaya visual didiskusikan. Keempat,

pentingnya proses interpretasi kritis dalam pemahaman kompleksitas budaya visual yang

disajikan.

Pendidikan seni rupa di banyak negara Barat telah mulai berubah dari Discipline-

Based Art Education ke Visual Culture Art Education. Struktur kurikuler dari DBAE terdiri

dari empat disiplin yaitu : sejarah seni rupa, kritik seni, estetika, dan produksi seni. Carter

menyarankan kurikulum seni rupa berbasis pada volitional aesthetics yang tidak membatasi

dirinya ala artefak-artefak yang menduga diidentifikasi sebagai karya seni rupa, tetapi juga bakal

memasukkan citra/artefak dari seluruh budaya visual untuk menekankan peran isi, nilai, dan

makna. Konteks historis, sosial, budaya dan isi dari citra/artefak akan memiliki keunggulan

lebih dari kualitas bentuk. Perubahan tekanan ini tidak akan meniadakan relevansi kualitas

bentuk dari angan-angan dengan cara apapun, lamun bakal menata ulang angan-angan itu sebagai alat angkut yang

Sejarah seni rupa terlibat dengan makna atau konten pada waktu ia diciptakan dan

juga bagaimana ia menduga berubah oleh waktu. Konteks budaya/sejarah diutamakan dari kedua

sisi yaitu siswa/mahasiswa dan citra yang dipelajari. Kritik seni, siswa/mahasiswa melihat

lihat bagaimana konteks kemasyarakatan dan historis menduga mempengaruhi penggunaan unsur-unsur dan

prinsip utama. Inilah cara melahirkan yang tak diketahui, diketahui kepada membayangkan dan akrab.

Estetika berhubungan dengan nilai dan makna dari citraan pada saat diciptakan dan

kemungkinan bagaimana ia menduga berubah oleh waktu. Ini termasuk gagasan artistik dan jelek.

Pengalaman estetik berasosiasi dengan penggunaan dan konsumsi. Produksi seni

merupakan inti dari pengalaman untuk pendidikan seni rupa berfokus budaya. Produksi seni

juga merupakan belahan dari pengalaman estetik (Carter, 2008)

Budaya visual menurut Tavin (2003:198) adalah gambar dan artefak rakyat yang

berhubungan dengan makna dan kesenangan, yang ketika dijumpai sebagai bagian dari

praktik keseharian kita melepaskan kesan bermacam bangun sosial yang mungkin

mempengaruhi persepsi kita pada budaya , produser, atau saya sendiri. Pemahaman

kontemporer tentang budaya visual adalah proses dialogis terbuka yang terjadi pada

pengamat dan objek. Proses ini terjadi apakah objek menarik itu sebuah iklan atau sebuah

lukisan abstrak. Berlawanan dengan implikasi penilaian Greenberg, model kontemporer ini

menmberi akses yang setara ala semua aliran budaya visual.

Sebuah interpretasi akan kedudukan budaya visual sebagai sebuah jala-jala kajian yang

kompleks yang memajukan batas dari salah satu disiplin, yaitu pengalaman kritis, bagaimana

subjektifitas bentuk, bagaimana kesadaran dikembangkan, dan praktek melihat

mengungkapkan kode mendasar, di mana produser budaya bergantung, interaksi sosial

terjadi di sekitar. Budaya visual menjadi “meditasi atas kebutaan” yang menunjuk pada

pemaknaan mendasar yang disodorkan oleh gambar dan artefak budaya yang sering

diterjemahkan ke dalam kode sosial yang kita identifikasi hanya pada pengujian kritis

bagaimana gambar dan artefak beroperasi di kerangka yang ada.

Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual Melalui Pedagogi Kritis

Berbagai literatur terbaru mengintegrasikan budaya visual dan berbagai aspek lainnya

ke pedagogi kritis (Tavin, 2003; Dart. 2004; Sweeney, 2006). Pedagogi kritis menempatkan

partisipan pada lingkungan belajar swa-kritis, bahwa pertanyaan pada ideologi dominan

dilakukan dengan merekonfigurasi siswa/pebelajar dan budaya agar beroperasi untuk

membuat masyarakat kian demokratis. Pedagogi perseptif memperkenalkan prinsip interdisiplin

dan transdisiplin yang lintas batas dengan maksud untuk membantu siswa/pebelajar agar

menegosiasi lingkungan budaya populer. Para siswa/pebelajar didorong untuk mengkritik

teks budaya populer dengan maksud untuk merekonstruksi makna keluar dari lingkungan

mereka dan mengembangkan agensi kritis memperkenalkan ruang publik yang demokratis,

agenda emansipatoris, imperatif etik, dan keadilan sosial.

Pedagogi kritis dan kajian budaya adalah bidang studi transdisipliner yang disebut

sebagai “budaya visual” berusaha menafsirkan dan memahami kekayaan pengalaman visual

dalam budaya kontemporer. Bidang baru dan menarik ini memiliki pertanyaan akan

bagaimana konstruksi dan konsumsi pengetahuan diartikulasikan melalui maksud previlese,

kekuasaan, sejarah, dan kesenangan, semua di sirkulasi citraan intertekstual.

Budaya visual yang menjadi budaya keseharian masyarakat global tidak bisa

dihindari, karena budaya ini bersifat massal dan disebarkan melalui alat elektronik dengan

cepat secara global. Gambar atau objek/artefak memiliki kekuatannya sendiri yang tidak

disadari oleh para pengamat atau penggunanya. Budaya visual seperti sinetron, animasi,

game, iklan, fesyen dan sebagainya memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk mempengaruhi

pikiran manusia. Pengaruh kuat dari budaya visual sangat meresahkan para orangtua dan

pendidik. Seni rupa sebagai belahan dari budaya visual memiliki daya untuk

mengimbangi kekuatan budaya visual. Para pendidik seni rupa diharapkan dapat membantu

siswa/pebelajar untuk menemukan kekuatan seni rupa. Oleh karena itu para pendidik perlu

menggunakan teori pedagogi kritis (Giroux, 1992). Pedagogi kritis beroperasi pada dua

asumsi dasar yaitu bahasa kritis, dan bahasa kemungkinan yang menekankan penguatan

manusia (Giroux, 1992).

Budaya adalah makna simbolik yang secara interpersonal dinegosiasikan melalui

wacana linguistik. Negosiasi interpersonal makna semiotik adalah sebuah cara agensi secara

aktif mengkonstruksi budaya. Untuk menjembatani gap antara struktur dan agensi dalam

budaya visual ini, pedagogi kritis mendorong para pendidik dan para siswa untuk bersama-

sama menemukan hubungan dialektika di antara berbagai sistem personal dan sistem politik

yang mempengaruhi siapa saya dan bagaimana saya hidup (Yokley, 1999).

Pendidikan seni rupa mendasar ala pembelajaran budaya visual memerlukan

kurikulum baru, isi, strategi pembelajaran untuk merubah fokus dari bidang yang sempit,

pendekatan konvensional ke inkuiri kritis dan kreatif dengan proses terbuka. Sebuah bahasa

baru diperlukan untuk bimbingan seni rupa yang tak semata-mata tergantung pada bacaan

seni rupa murni (fine art). Idealnya kudu melibatkan semua bacaan seni visual bagai kajian

media, bimbingan desain, kritik budaya, dan antropologi visual (Freedman dan Stuhr, 2004).

Para pendidik seni rupa sebaiknya terdidik untuk melibatkan penduduk (kota) dari

berbagai komunitas di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka harus berusaha keras untuk

menyuburkan komunitas-komunitas agar membuat kebanggaan pada warisan budaya dan ya

menyampaikan masalah-masalah kontemporer melalui solusi artistik. Semua pendidik seni

sebaiknya membelajarkan konsep-konsep dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan

untuk dimanfaatkan secara efektif dalam masyarakat demokratis pada masa sekarang dan

masa mendatang. Para pendidik seni rupa disarankan melakukan tugas ini melalui budaya

visual, yang dilakukan ala benar-benar yang dampaknya bagai bacaan tertulis. (Freedman dan

Stuhr, 2004)

Para siswa dengan bimbingan pendidik jika dilibatkan untuk melakukan investigasi

berbagai budaya visual, mereka secara aktif dapat menemukan makna-makna, hubungan

ganda, dan memperkaya kemungkinan-kemungkinan untuk penciptaan (kreasi) dan kritik.

Kelas seni rupa seharusnya dikonseptualisasikan sebagai arena multi-tugas di mana citraan

(image) dan objek-objek bersilangan dan diproduksi, didiskusikan untuk mengarahkan para

siswa dan guru dengan investigasi gagasan, isu-isu, opini-opini, dan konflik-konflik.

Membicarakan budaya visual tak bisa kita pisahkan dengan kondisi posmodern atau

kemasakinian. Posmodernisme adalah krisis yang disebabkan oleh modernisme dan budaya

modern menghadapi kegagalan strategi visualnya sendiri, dengan kata lain krisis budaya

visual. Budaya visual adalah taktik yang dapat digunakan untuk mengkaji genealogi, definisi,

dan fungsi dari kehidupan keseharian posmodern. Ketidaksambungan dan fragmentasi

budaya yang kita sebut posmodernisme itu paling baik diimajinasikan dan dipahami secara

visual. Budaya Barat secara konsisten telah mengistimewakan budaya tulis (kata yang

diucapkan) sebagai bentuk praktek intelektual yang tertinggi dan memandang representasi

visual hanya sebagai ilustrasi dari gagasan (tertulis). Kemunculan budaya visual sebagai

subjek yang dipertentangkan dengan hegemoni budaya tulis (kata). Filsafat dan sains Barat

sekarang menggunakan piktorial daripada teks tertulis sebagai model dunia, yang telah

mendominasi diskusi intelektual seperti strukturalisme dan pos-strukturalisme yang berbasis

linguistik (Mirzoeff, 1998)

Bagaimana seharusnya para pendidik melaksanakan gagasan yang relatif baru dan

tidak biasa ini. Apakah kita perlu membuat kurikulum baru atau cukup menyesuaikan

kurikulum yang telah ada dengan pendekatan baru. Untuk menjawab perbahasan yang berat

itu disarankan sebaiknya kita mulai dengan melakukan hal yang kecil dulu dengan

menyiapkan badan agar merubah pola pikir dan ideal rentang waktu ke ideal baru. Setidaknya

kita bisa membatasi pada persoalan isi/konten pembelajaran dan metode produksi seni rupa

sambil memikirkan pendekatan atau metode pembelajaran yang sesuai. Freedman dan Stuhr

menyarankan isi atau fokus pembelajaran seni rupa yang selama ini hanya pada seni rupa

murni diperluas menjadi budaya visual (termasuk disain, kriya, fesyen, dll.) dengan

pendekatan visual culture inquiry.

Budaya visual yang bisa disebut sebagai budaya posmodern sehingga untuk

menyelesaikan masalah yang akan saya pecahkan di dalam pembelajaran budaya visual harus

digunakan pendekatan atau metode yang sesuai dengan posmodern. Posmodern identik

dengan media baru seperti performance art, conceptual art, intermedia art, installation art,

video art, feminist art dan sebagainya. Beberapa karakteristik dari seni rupa posmodern

adalah brikolase, kolase, penggunaan teks atau tipografi dalam karya visual, penggunaan

tema lama (nostalgia), penghilangan batas antara budaya tinggi dengan budaya populer,

penggunaan parodi, apropriasi dan sebagainya. Dalam pabrikasi atau kreasi seni rupa berbasis

budaya visual Freedman dan Stuhr (2004) menganjurkan dengan critical inquiry.

Budaya visual yang terus mengepung kita secara massal harus dihadapi dengan

pendekatan yang perseptif dan semangat perlawanan. Jika harus menggunakan istilah kreativitas

maka kita bisa meminjam istilah creative resistance (Darts,2004). David Darts (2004) di

artikelnya menyarankan kepada para pendidik seni rupa untuk menggunakan taktik kreatif

seperti yang dilakukan oleh Culture Jammer. Istilah culture jamming pertama kali digunakan

pada tahun1984 oleh band kolase-audio Negativeland di San Fransisco. Para perupa radikal

dan agitator sosial mengadopsi isu sosial politik sebagai fokus utama mereka untuk

menentang konsep dominan tentang seni rupa dan seniman, secara langsung menentang

kekakuan dan superioritas hirarki dari institusi seni rupa.

Klein (2000) mendiskripsikan culture jamming sebagai sebuah penolakan terhadap

interpreatsi lama pada kebebasan ekspresi dan gagasan-gagasan ruang publik yang berbasis

konsumen, dan membuat pembenaran untuk mengadobsi taktik kreatif oleh culture jammer

dengan mengkontekstualisasikan karya mereka dalam millieu praktek perupa kontemporer.

Para culture jammer biasa melakukan subversi terhadap logo atau teks iklan dengan cara

memparodikan produk budaya visual.

Praktek-praktek kritis yang biasa dilakukan oleh para perupa kontemporer berbasis

identitas jender/seks, etnik, ideologi bisa kita lihat pada para perupa feminis, perupa Asia,

perupa kulit hitam, perupa blasteran (keturunan), perupa diaspora, dan sebagainya. Gagasan

atau ideologi dari para perupa itu biasanya tercermin secara nyata pada karya mereka. Para

pendidik seni rupa bisa mengadopsi taktik, gaya, dan strategi perseptif mereka untuk dijadikan

bahan diskusi dan praktek produksi di pembelajaran seni rupa. Semakin sering

siswa/mahasiswa diajak berduskusi dan berproduksi seni rupa berbasis budaya visual maka

diharapkan membayangkan bakal semakin perseptif di menghadapi kepungan produk budaya visual.

Simpulan

Pendidikan seni rupa berbasis disiplin (DBAE) sudah saatnya untuk diganti dengan

pendidikan seni rupa berbasis budaya visual (VCAE). Untuk melaksanakan VCAE ini para

pendidik seni rupa disarankan untuk merubah paradigma pendidikan seni rupa dari yang

berfokus seni murni ke yang berfokus pada budaya visual. Seni murni tidak krusial

dipertentangkan dengan budaya populer karena keduanya bisa jadi bagian dari kekayaan

budaya visual. Pendidik seni rupa disarankan memasukkan konteks sosial-budaya, politik,

dan ekonomi di saban barang pembelajaran (apresiasi dan produksi).

Praktek budaya visual tak berbeda dengan praktek seni rupa sewaktu

(posmodern) sehingga para guru seni rupa bisa memilih metode dan taktik, atau strategi

kreatif yang biasa dilakukan oleh para perupa kontemporer. Para siswa/mahasiswa perlu

dibawa keluar dari pandangan sempit seni murni yang formalistik dan tidak peduli dengan

lingkungan sosial-budaya yang alang berkembang.

Daftar Rujukan

Carter , Marry C., 2008. “Volitional Aesthetics: A Philosophy for the Use of Visual Culture in

Art Education” , Study in Art Education, A Journal of Issues and Research, 49(2) 87-

102.

Cova , Florian & Pain, Nicolas , 2012, “Can Folk Aesthetics Ground Aesthetic Realism?”,

The Monist 01/2012; 95(2):241-263.

Darts, David, 2004, “Visual Culture Jam: Art, Pedagogy, and Creative Resistance” Study in

Art Education, A Journal of Issues and Research, 45(4) 313-327.

Freedman, Kerry & Stuhr, Patricia, 2004, “Curriculum Change for 21st Century: Visual

Culture in Art Education” dalam Eisner, E. W. & Day, M. , 2004, Hanbook of

Research and Policy in Art Education, Mahwah: Lawrence Erbaum Asscociates.

Giroux, H. 1992, Border Crossing: Cultural Worker and the Politics of Art Education, New

York, London : Routledge.

Klein , N. , 2000, No Logo: Taking Aim at the Brand Bullies, Toronto: Vintage Canada.

Mirzoeff, Nicholas, 1998, The Visual Culture Reader, London dan New York: Routledge

.

Nurhadi, Toeti Heraty,1994. “Seni Populer dan Estetika” Majalah Sastra Horison,

06/XXVIII/15

Sugiharto, Bambang, 2008, ”Meninjau Ulang Seni dan Estetika Barat” dalam

.blogspot.co.id./2008/06/meninjau-ulang-seni-dan-estetika-barat.html. diakses 18

Oktober 2015.

Shusterman, R.1997, “The end of Aesthetics Experience” The Journal of Aesthetics and Art

Criticism 55(1Winter) 29-41.

Sweeney, Robert W. 2006, “Visual Culture of Control” Studies in Art Education ;Summer

2006, Vol. 47 Issue 4, p294

PUB. DATE

Tavin, Kevin, 2003, “Seeing and Being Seen: Teaching Visual Culture to (mostly) non-art

Education Student” International Journal of Art Education, 7(2)

Willis, P. 1990, Common Culture, Buckingham,UK: Open University Press

Wiryomartono, Bagus P. 2001, Pijar-pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan

Keindahan dari Plato sampai Derrida, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama.

Yokley, S.H. ,1999,” Embracing a Critical Pedagogy in Art Education” Art Education

52(5)18-24

Biodata

Hariyanto, lahir di Temanggung 1 Mei 1998, pendidikan: S1 di PSR IKIP Yogyakarta lulus

th.1986, S2 Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, lulus th. 2000, S3 Pengkajian Seni

Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta lulus th. 2012. Bekerja di

Universitas Negeri Malang Jurusan Seni dan Desain mulai tahun 1987, matakuliah S1 yang

diampu: Sejarah Seni Rupa (Indonesia, Barat, Timur), Kapita Selekta Budaya Nusantara,

Proposal Penelitian. Di pascasajana UM mengampu matakuliah: Kajian Seni Rupa Asia

Tenggara, Inovasi Media Seni Rupa, Projek Industri Kreatif Seni Rupa.

This research hasn't been cited in any other publications.

This research doesn't cite any other publications.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

Oke pembahasan perihal (PDF) Pendidikan Seni Rupa Berbasis Budaya Visual semoga artikel ini bermanfaat terima kasih

Tulisan ini diposting pada label budaya visual, budaya visual indonesia agus sachari pdf, budaya visual masyarakat modern,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara Politik Kerajaan Tarumanegara

Hohoho, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membahas tentang politik kerajaan tarumanegara Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara simak selengkapnya HINDUALUKTA -- Secara etimologi Tarumanagara berasal dari kata Taruna yang artinya negara atau negeri dengan Nagara yang merupakan dari kata Tarum yaitu sebuah sungai di Jawa Barat ialah sungai Citarum. Kerajaan Tarumanegara tercata dalam asal usul sebagai salah satu negeri Hindu yang pernah berkuasa di Jawa dari abad 4 sampai 7 masehi. Menurut sejarah, negeri Tarumanegara didirikan pada tahun 358, dengan salah satu rajanya yang membelokkan terkenal adalah raja Purnawarman. Bukti yang ditemukan sebagai catatan negeri Tarumanegara adalah tujuh batu bersurat batu yang ditemukan di Lebak Banten (1), Bogor( 5) dengan Jakarta (1). Dari ke tujuh prasasti tersebut diantarnya yakni:  Prasasti Pasir Awi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Ciaruteun, Pra...

KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI Kesenian Dari Madura

Hi, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan dibahas mengenai kesenian dari madura KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI simak selengkapnya. AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress HandayaniRecord Official mempersembahkan buah karya kami untuk anda nikmati sebagai konser keluarga yang cukup dengan bermanfaat sebagai hiburan, Semua adegan sudah kami setting. andaikata ada kesamaan cap dengan lainnya. Mohon maaf ------------------------------------------------------------- Silahkan Dilihat Juga Chanel Terkait : Channel Group reno puri: https://www.youtube.com/channel/UCjO5... handayanirecord official: https://www.youtube.com/channel/UC50V... indonesian review : https://www.youtube.com/channel/UCQXk... masakan mama : https://www.youtube.com/channel/UCAJv... DakwaQ Official: https://www.youtube.com/channel/UCxy4... Terima Kasih Untuk Su...

Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, Dan Marginal Rate Of Substitution Pengertian Marginal Utility

Hallo, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawa pembahasan mengenai pengertian marginal utility Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, dan Marginal Rate of Substitution simak selengkapnya Untuk barang kali ini kita bakal belajar atas aturan utilitas ( utility theory ), pengertian marginal utility , ancangan marginal utility dan indifference curve di mahir gajak konsumen, serta pengertian marginal rate of substitution . 1. TEORI UTILITAS. Pada bagian ini kita bakal mahir coret-coretan alas utilitas, pengertian marginal utility , serta the law of diminishing marginal utility . 1.1. Konsep Dasar Utilitas. Secara leksikal, kata utilitas ( utility ) dimaknai sebagai ‘the quality or state of being useful‘ ( www.merriam-webster.com ). Dalam hal ini, utilitas memberitahukan derajat kemanfaatan suatu objek. Sementara di ilmu ekonomi, konsep utilitas memberitahukan babak kegembiraan pelaku ekonomi tempat konsumsi barang/jasa...