Langsung ke konten utama

MENELUSURI TRADISI LISAN WARISAN KEBUDAYAAN DONGSON DAN BACSON-HOABINH ( TRADISI LISAN DALAM RITUAL "ASYEIK” KERINCI ) - Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau Jenis Jenis Seni Budaya

MENELUSURI TRADISI LISAN WARISAN KEBUDAYAAN DONGSON DAN BACSON-HOABINH ( TRADISI LISAN DALAM RITUAL

Hallo, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawakan mengenai jenis jenis seni budaya MENELUSURI TRADISI LISAN WARISAN KEBUDAYAAN DONGSON DAN BACSON-HOABINH ( TRADISI LISAN DALAM RITUAL "ASYEIK” KERINCI ) - Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau simak selengkapnya.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

M Ali Surakhman


Oleh:

M. Ali Surakhman

(NGO-For The Kerinci Culture)

Abstrak

Tradisi lidah tak sekadar merepresentasikan aktivitas sosio kultural masyarakat sebagai cerminan kesadaran kosmik mereka, lamun lagi sebagai simbolisasi kesadaran spiritual baku masyarakat. Tulisan ini menyajikan dengan memperlihatkan Asyeik sebagai budaya ritual religius sentral masyarakat Kerinci, yang di dalamnya melampaui dimensi sosial, justru lebih memastikan dimensi yang lebih luas, dalam, dengan beragam. Dengan mengunakan metode deskriptif kualitatif, dengan penghampiran arkeologi. buat memvisualkan menurut sistematik dengan akurat alasan dengan idiosinkrasi dengan menekankan pada deskripsi alamiah yang memakai konsep-konsep hubungan ahad sama lain, sehingga boleh memvisualkan mitologi dengan kosmologi Proto Melayu, yang menyimpan pengetahuan kosmologi histori masa lampau.

Kata Kunci : Tradisi Lisan, Asyeik, Kebudayaan Dongson dengan Bacson-Hoa

Oral tradition is titinada merely represent the activity of socio cultural community gandar a reflection of their cosmic consciousness, but also gandar symbolizing a major spiritual awareness society. This paper presents and proved Asyeik gandar the Central religious ritual traditions society Kerinci, which goes beyond the social dimension, even more affirmed a broader dimension, in, and diverse. By using qualitative descriptive method, and archaeological approach. to describe systematically and accurate facts and characteristics with emphasis on natural description using the concepts of relationship to each other, so gandar to illustrate the mythology and Cosmology of the Proto Malays, who saves the past history cosmological knowledge.

Key words: oral tradition, Dongson culture, culture and Asyeik Bacson-Hoabinh.

PENDAHULUAN

Dataran tinggi Kerinci boleh dikatakan melahirkan alun-alun pedalaman yang asing dari jalur perdagangan maritim. Selain itu lagi bergunung-gunung dengan berbukit-bukit dengan sungai-sungai bertebing terjal, sehingga mengaralkan mobilitas horisontal. Namun, alih-alih alun-alun tersebut tak benar-benar terisolasi. Museum Nasional Jakarta mengumpulkan temuan lepas dari Kerinci berupa tiga buah entitas keramik Cina dari bangsa Han (abad ke-1 – 3 M). Menurut Abu Ridho, ketiga entitas keramik tersebut berupa bak penjenazahan dari bangsa Han (abad 1 – 2 M), mangkuk sesaji dari bangsa Han (abad ke-1 – 3 M), dengan guci ruang anggur bertutup dari bangsa Han (abad 1 – 2 M) (1979:105 – 118). Pengaruh kultur Hindu-Budha pun dekat tak hadir di Kerinci dengan Merangin. Hingga kini belum terdapat situs-situs Hindu-Budha di kedua wilayah tersebut, lamun di Kerinci terdapat arca lepas berupa dua buah arca Boddhisattwa perunggu berukuran halus (tinggi 16 cm) (Schnitger,1937:13).

Keramik Cina dari bangsa Sung (960 – 1270 M) banyak terdapat di lapangan tinggi Kerinci, dengan alun-alun lembah suku Gunung Raya . Temuan tersebut memperlihatkan bahwa ketika di lapangan rendah Jambi mekar cepat kerajaan Malayu bercorak Budis, di lapangan tinggi Jambi bertahan denyut bercorak budaya megalitik. Bahkan budaya megalitik di lapangan tinggi Kerinci bertahan batas kehadiran Islam. Tradisi megalitik di alun-alun tersebut tampaknya baru berakhir pada masa ke-18,

Masyarakat bercorak budaya megalitik di lapangan tinggi Kerinci agak-agak amat menduduki lahan di sekeliling batu monolit yang mempunyai nama lokal batu gong, batu bedil alias batu larung. Bukti-bukti hunian di sekeliling batu megalitik terdapat dalam ekskavasi Bagyo Prasetyo tahun 1994 di Bukit Talang Pulai, Kerinci . Tinggalan artefak menonjol di situs megalit ialah pecahan gerabah yang melahirkan bukti pemukiman.

Kehidupan bercorak megalitik di lapangan tinggi Kerinci menebak mengetahui pula penguburan dengan badan gentong tanah berkepanjangan sama dengan di lapangan tinggi Sumatera Selatan (lihat Soeroso,1998). Di banat Renah Kemumu, Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, terdapat tinggalan megalit di Bukit Batu Larung, lamun lagi puluhan gentong tanah berkepanjangan insitu di suatu ruang yang berjarak sekeliling 1 kilometer dari megalit. Keadaan tinggalan tempayan-tempayan tersebut tak genap karena buah erosi dengan aktivitas manusia sekarang yang menduduki situs tersebut. Melalui analisis C-14 yang dilakukan di Pusat Penelitian dengan Pengembangan Geologi, arang yang terdapat dalam gentong diketahui berumur 810 ± 120 BP (tahun 1020 — 1260 M). Sementara itu, situs Bukit Batu Larung berumur 970 ± 140 BP (tahun 840 — 1120).

Hasil awal budaya melagitik yang belum mengetahui tulisan, yang di kenal lagi dengan budaya lidah ini cacat satunya apel ritual Asyeik. Sebagian masyarakat menyebutnya dengan apel ritual suku Kerinci, apel ritual ini melahirkan apel pemanggilan roh-roh aki moyang, dengan mengunakan obyek-obyek tertentu ( pusaka, tumbuh-tumbuhan, makanan, batu-batuan ) dengan tujuan buat menolak bala dengan menuntun anak cucu cucu (masyarakat Kerinci) kearah kebenaran dengan kebaikan.

Tradisi lidah melahirkan identitas komunitas dengan cacat ahad sumber bena dalam pembentukan karakter bangsa lewat nilai-nilai luhur yang diwariskannya. Tradisi lidah lagi boleh jadi pintu masuk guna mahir permasalahan yang dihadapi masyarakat pendukung budaya tersebut. Di dalam budaya itu, saya boleh mengetahui denyut komunitas suatu masyarakat dari dari kebajikan lokal, bentuk nilai, pengetahuan tradisional, sejarah, hukum adat, pengobatan, bentuk kepercayaan dengan religi.

KERANGKA TEORI

Adapun yang jadi tujuan dari eksplorasi ini ialah : Untuk memafhumi awal latar belakang pelaksanaan apel ritual Asyiek yang dilaksanakan oleh masyarakat Kerinci dengan betapa dengan cara apa budaya lidah ini lahir di tengah masyarakat Proto Melayu pengunungan, dengan bahan dengan alasan yang sedia dilapangan tak agak-agak “tidak” budaya lidah ini sebagai “ibu” dari budaya lidah lain yang sedia di pulau Sumatera.

Dengan bahan eksplorasi : pembinaan dengan pengembangan ekspansi keindahan dengan kultur alun-alun dalam akal mempertahankan dengan mempromosikan aset seni budaya anak cucu bangsa, peneguhan basis bahan dengan sumber penjelasan tentang apel ritual Asyiek, beserta referensi tentang biji tradisi, seni dengan biji budaya bangsa, peningkatan inventarisasi, pemberdayaan komunitas pemerhati budaya lisan, dengan penyegaran nilai-nilai budaya lisan, seni dengan budaya.

Acuan dalam jurnal ini ialah ,dimana budaya ialah hasil cipta, karya, dengan karsa manusia. Dengan definisi bagai itu maka kultur mempunyai biji membumi karena dini manusia mencipta yang lebih-lebih dahulu sedia ialah tujuan dari penciptaan itu sendiri. Dalam kehidupan, jarak manusia dengan kultur terangkai hubungan yang banyak erat. Teori fungsi kultur yang diungkapkan oleh Malinowski melepaskan interpretasi kepada saya bahwa setiap kultur harus melepaskan manfaat buat masyarakatnya. Dengan bicara lain, pandangan fungsional tempat kultur menekankan bahwa setiap cermin tingkah-laku, setiap kepercayaan dengan sikap yang melahirkan cuilan dari kultur suatu masyarakat.

Disini boleh dijelaskan bahwa teori fungsionalisme memandang religi dengan agama sebagai suatu bangun kultur yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku manusia penganutnya baik lahiriyah maupun kejiwaan sehingga sistim sosialnya buat sebelah terdiri dari kaidah yang dibentuk oleh agama (Hendropuspito ,( 1983: 27-28).

Upacara (ritual, ceremony) dalam kamus istilah antropologi didefinisikan sebagai bentuk aktivitas alias rangkaian tindakan yang ditata oleh budaya alias hukum yang berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan berbagai ala peristiwa yang biasanya berjalan dalam masyarakat yang bersangkutan (Koentjaraningrat dkk. 1984:19, yang dikutip Wahyono 2008: 359)

Untuk memandang awal jalan budaya lidah dalam ritual Asyeik sebagai budaya lidah peninggalan kultur Dongson dengan Bacson-Hoabinh, saya mengacu pada suatu rumpun bahasa alias blok linguistik yang tersebar luas di tenggara dengan timur Asia cukup Pasifik. adalah Malayu-Polinesia, dengan dukungan hasil rekonstruksi sudut pandang linguistik (H. Kern 1889, R. Blust 1995), arkeologi (Heine Geldern 1932; Solheim 1974; Bellwood, 1997), paleoantropologi (Jacob 2003), dengan Linguistik-Arkeologi (Blust 1976). Demikian pula halnya dengan rekonstruksi prasejarah Asia Tenggara didasarkan pada studi etnografi, linguistik, dengan arkeologi.

Tradisi lidah sebagai sumber sejarah, Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa babad lidah melahirkan tuntutan metodologi historiografi modern sekaligus metode mutakhir dalam jalan penulisan sejarah, akan datang di tegaskan oleh Paul Thompson menebak lama menasihatkan babad lidah tak sekedar dimengerti sebagai pengumpulan sumber lewat wawancara. Sebab babad lidah sanggup menempatkan babad jadi lebih manusiawi sehingga babad jadi pembuatan dengan kepemilikan setiap kelas sosial dalam Oral Tradition: A Study in Historical Methodology (hlm. xxvi).

Untuk memperlihatkan itu saya mengunakan metode eksplorasi deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif ialah suatu penghampiran yang digunakan buat memvisualkan menurut sistematik dengan akurat alasan dengan idiosinkrasi melanda masyarakat, bidang tertentu dengan menekankan pada deskripsi alamiah yang memakai konsep-konsep dalam hubungannya ahad sama lain. Dan metode amatan pustaka ari eksplorasi keilmuan yang pernah ada.

Ruang lingkup diskusi dibatasi budaya lidah pada apel ritual asyeik menurut awam yang sedia di Kerinci dengan hubungan awalnya pada tinggalan arkeologi yang tersebar di alun-alun Kerinci.

PEMBAHASAN

Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen. Awalnya masyarakat Bacson-Hoabinh cuma memakai instrumen dari gerabah yang elementer berupa serpihan-serpihan batu lamun pada tahun 600 SM mengalami perubahan dalam bangun batu-batu yang menyerupai kepak yang berfungsi sebagai instrumen pemotong. Ciri khas alat-alat batu kultur Bacson-Hoabinh ialah penyerpihan pada ahad alias dua bidang bidang batu kali yang berukuran ± 1 bongkahan dengan seringkali seluruh tepiannya jadi cuilan yang tajam. Hasil penyerpihannya itu membuktikan berbagai bangun bagai lonjong, segi empat, segitiga sama sisi dengan kaum di antaranya sedia yang mempunyai bangun berpinggang. Alat-alat dari duri dengan sisa-sisa duri belulang manusia dikuburkan dalam letak terlipat beserta ditaburi zat bermacam-macam merah. Kebudayaan Bacson-Hoabinh ini diperkirakan mekar pada abad Mesolitikum.

Pusat kultur abad Mesolitikum di Asia berada di dua ruang adalah di Bacson dengan Hoabinh. Kedua ruang tersebut berada di wilayah Tonkin di Indocina (Vietnam). Istilah Bacson Hoabinh perdana kali digunakan oleh arkeolog Prancis yang bernama Madeleine Colani pada tahun 1920-an. Nama tersebut buat membuktikan ruang pembuatan alat-alat batu yang khas dengan atribut dipangkas pada ahad alias dua bidang permukaannya.

Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and after : Subsistance patterns in South East Asia during the latest Pleistocene and Early Recent Periods (1971) menyatakan bahwa invensi alat-alat dari batu paling banyak terdapat dalam eksplorasi di gunung-gemunung batu kapur di alun-alun Vietnam cuilan utara, adalah di alun-alun Bacson gunung-gemunung Hoabinh.

Di samping alat-alat dari batu yang berbuah ditemukan, lagi terdapat alat-alat serpih, batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari duri dengan sisa duri belulang manusia yang dikubur dalam letak terlipat beserta ditaburi zat bermacam-macam merah.

Sementara itu, di alun-alun Vietnam terdapat tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sebangsa instrumen batu dari kultur Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai (dalam buku Pham Ly Huong ; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) terdapat alat-alat batu yang pernah diasah pada bidang yang tajam. Alat-alat batu dari Goa Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu, akan datang dalam perkembangannya alat-alat dari batu alias yang dikenal dengan kultur Bacson-Hoabinh tersebar dengan berbuah terdapat dekat di seluruh alun-alun Asia Tenggara, baik bumi maupun kepulauan, teperlus wilayah Indonesia.

Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia adalah, kepak genggam, kepak ikat yang terdapat di dalam bukit karang tersebut dinamakan dengan pebble alias kepak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya adalah di Kerinci pulau Sumatera, kepak dari duri dengan tanduk, di sekeliling alun-alun Nganding dengan Sidorejo ambang Ngawi, Madiun (Jawa Timur), Flakes ialah berupa instrumen alat halus terbuat dari batu yang disebut dengan flakes alias instrumen serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa lagi sedia yang dibuat dari batu-batu indah berwarna bagai calsedon, dengan Kjokkenmoddinger ialah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter cukup 100 meter dengan daya 10 meter. Peninggalan ini terdapat di Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dengan abu. Tempat invensi bukit kerang ini pada alun-alun dengan ketinggian yang dekat sama dengan bidang air laut sekarang dengan pada kala Holosen alun-alun tersebut melahirkan garis pantai.

Kebudayaan Bacson – Hoabinh yang terdiri dari pebble, kepak pendek beserta alat-alat dari duri masuk ke Indonesia lewat jalur barat. Sedangkan kultur yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia lewat jalur timur. Pengaruh baku budaya Hoabihn terhadap jalan budaya masyarakat awal gugusan pulau Indonesia ialah berantai dengan budaya pembuatan instrumen terbuat dari batu. Beberapa atribut pokok budaya Bacson-Hoabinh ini jarak lain: Pembuatan instrumen kebulatan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai buat instrumen umumnya berasal dari batu batu sungai sungai. Alat batu ini menebak tergarap dengan gaya penyerpihan global pada ahad alias dua bidang batu. Hasil penyerpihan membuktikan adanya keragaman bentuk. Ada yang berupa lonjong, segi empat, segi tiga dengan kaum diantaranya sedia yang berupa berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebelah besar terdapat di alun-alun Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih ambang dengan ruang asal budaya ini.

Kebudayaan Dongson.

Sejarah awal kultur Dongson ialah kultur abad Perunggu yang mekar di Lembah Sông Hồng, Vietnam. Kebudayaan ini lagi mekar di Asia Tenggara, teperlus di Indonesia dari sekeliling 1000 SM cukup 1 SM. Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kultur Austronesia. Asal usulnya sorangan menebak dicari ialah bangsa Yue-tche yang melahirkan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekeliling masa ke-8 SM. Kebudayaan Dongson menurut keseluruhan boleh dinyatakan sebagai hasil buatan blok bangsa Austronesia yang terutama beralamat di pesisir Annam, yang mekar jarak masa ke-5 batas masa ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sorangan mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa.

Kebudayaan Dongson melahirkan kultur perunggu yang sedia di Asia Tenggara. Daerah ini melahirkan induk kultur perunggu di Asia Tenggara. Di alun-alun ini terdapat segala ala alat-alat perunggu, alat-alat dari besi beserta kuburan dari masa itu. Daerah ini melahirkan ruang analisis yang pertama. Diperkirakan kultur ini berlangsung pada tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di alun-alun Sungai Ma, Vietnam.

Kebudayaan Dongson diambil dari cacat ahad nama alun-alun di Tonkin. Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara biasa dinamakan kultur Dongson. Di alun-alun ini terdapat bermacam-macam instrumen yang dibuat dari perunggu. Di alun-alun Tonkin itulah kultur perunggu berasal. Pengolahan metal membuktikan taraf denyut yang semakin maju, pernah sedia pembagian kerja yang baik, masyarakatnya pernah teratur. Teknik fusi metal melahirkan gaya yang tinggi. Pendukung kultur ini ialah bangsa Austronesia, lagi pendukung kepak persegi.

Pengetahuan melanda jalan kultur metal ini dari banyak dikenal setelah Payot melahirkan eksplorasi di sebuah kuburan Dongson (Vietnam) pada tahun 1924. Namun harus diketahui bahwa ramu perunggu yang menebak sedia dini tahun 500 SM terdiri tempat kepak berumbung (corong melahirkan pangkal yang berongga buat memasukkan tangkai alias pegangannya) dengan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, ain bintang beralih dengan ramu halus lainnya bagai pisau, kail, gelang dengan lain-lain.

Kebudayaan Dongson dari mekar di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dengan Neolitik yang akan datang periode Megalitik. Pengaruh kultur Dongson ini lagi mekar mengabah Indonesia yang akan datang dikenal sebagai masa kultur Perunggu sekeliling 1000 SM cukup 1 SM.

Penemuan ramu dari kultur Dongson banyak bena karena ramu metal yang terdapat di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dengan bukan mendapat buah budaya metal dari India maupun Cina. Budaya perunggu bergaya Dongson tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dengan gugusan pulau Indonesia. Hal ini hadir dari kesamaan corak adunan dengan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara, membuktikan buah yang banyak kuat. Nekara dari tipe Heger 1 memiliki kesamaan dengan genderang yang paling bagus dengan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berbuah terdapat di alun-alun Dongson beserta kaum kuburan bagai alun-alun Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu genderang yang terdapat yang besar berisi 96 ain berujul perunggu bercorang. Dari invensi itu terdapat alat-alat dari besi, kendatipun jumlahnya banyak sedikit. Dari invensi ramu budaya Dongson itu, diketahui cara pembuatannya dengan memakai gaya cetak parafin hilang adalah dengan melaksanakan bangun entitas dari lilin, akan datang parafin itu di barut dengan tanah berkepanjangan dengan dibakar batas terdapat lubang pada tanah berkepanjangan tersebut.

Budaya Dongson banyak besar pengaruhnya terhadap jalan budaya perunggu di Indonesia. Bahkan tak kurang dari 56 genderang yang berbuah terdapat di kaum wilayah Indonesia dengan terbanyak genderang terdapat di Sumatera Kerinci , Jawa, Maluku Selatan.

Benda-benda arkeologi dari Dongson banyak berbagai ragam, karena mendapat berbagai ala buah dengan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak denyut sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang banyak rumit sekali. Perunggu ialah bahan pilihan. Benda-benda bagai kepak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, ain bajak, topangan berkaki tiga dengan bangun yang berada dengan indah. Kemudian gerabah dengan jambangan rumah tangga, ain timbangan dengan kepala pemintal benang, perhiasan-perhiasan teperlus gelang dari duri dengan kerang, manik-manik dari cermin dengan lain-lain. Semua entitas tersebut alias dekat semuanya diberi hiasan. Bentuk geometri melahirkan atribut dasar dari keindahan ini diantaranya berupa jalinan arsir-arsir, segitiga sama sisi dengan pilin yang tepinya dihiasi garis-garis yang bersinggungan. Dari motif-motif yang dijumpai pada genderang yang acap disebut-sebut sebagai genderang hujan, ditampilkan dukun-dukun alias syaman-syaman yang kadang-kadang menyaru sebagai binatang bertanduk, membuktikan buah China alias lebih jauhnya buah masyarakat alun-alun stepa. Jika bangun ini disimbolkan sebagai perburuan, maka sedia berulang simbol yang menunujukkan kegiatan pertanian yakni mentari dengan katak (simbol air). Sebenarnya, genderang ini sorangan dikaitkan dengan siklus pertanian. Dengan menggantungkan buah ghaibnya, genderang ini ditabuh buat melahirkan bunyi cemeti dewa yang berantai dengan datangnya hujan.

Pada nekara-nekara tersebut, yang seringkali disimpan di dalam kuba hadir motif arombai yang dipenuhi orang yang berpakaian dengan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh oke memvisualkan atma orang yang pernah mati yang berlayar mengabah surga yang terletak di suatu ruang di suku langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa acap disamakan dengan burung dengan agak-agak sejak periode itu batas sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kultur Dongson melahirkan pendeta-pendeta menyaru bagai burung agar boleh terbang ke kerajaan orang-orang mati buat mendapatkan pengetahuan melanda masa depan.

Lagi pula nekara-nekara tersebut sorangan didapatkan pada awal masa ke-19 masih digunakan buat apel ritual keagamaan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada genderang tesebut digambarkan denyut orang-orang Dongson dari perburuan, pertanian batas kematian.

Banyaknya perlengkapan pemakaman tersebut membuktikan ritual yang dilakukan masyarakat Dongson. Antara lain masalah jenazah yang dikelilingi segala ramu sehari-hari miliknya agar boleh hidup menurut normal di bidang baka. Belakangan sebagai akal penghematan, yang beserta dikuburkan bersama jenazah ialah ramu berukuran halus saja. Kemudia pada masa final kultur Dongson, muncul bangun ritual baru. Sebelumnya makamnya berupa peti mati elementer dari kayu yang dikubur, sementara pada berikutnya yang dinamakan periode Lach-truong, yang agak-agak diawali pada masa perdana dini Masehi, menebak terdapat kuba dari batu bata yang berupa terowongan alias lebih tepatnya gua yang terbagi jadi tiga barak oleh tembok-tembok lengkung beratap. Semula perlengkapan ini dikait-kaitkan dengan buah Yunani tentang denyut bidang baka, meski sebenarnya membuktikan buah China yang terus-terus bertambah besar yang berpaham bahwa atma orang mati bersembunyi dalam gua-gua yang terdapat di lereng-lereng gunung suci, ruang bersemayam para atma yang abadi.

Makam yang berupa terowongan itu boleh dikatakan artifisial dari gua bidang abnormal tersebut. Peletakan peti mati di barak tengah, akan datang di ruangan bersebelahan ditumpuk sesajen sebagai incaran buat atma dengan ruangan ketiga disediakan altar yang terdapat lampu-lampu yang dibawa alias dijaga oleh patung-patung terbuat dari perunggu. Secara sekilas terasa buah Hellenisme yang menandai final kultur Dongson.

Hubungan budaya lidah dalam ritual Asyeik di Kerinci di dari era pertebaran bangsa Austronesia (MelayuTua) yang berlangsung pada abad Prahistoria jarak (10.000-2.000) tahun SM dengan terdapat alat-alat Neolitikum. Alat-alat prahistoria yang banyak tua dengan unik itu cacat satunya terdapat di lapangan tinggi alun-alun Kerinci. Khusus melanda instrumen belahan obsidian, alun-alun Kerinci disebut jadi inti dari kultur instrumen cempeng (flakes culture) teperlus dalam abad Mesolitikum. Peninggalan bersejarah dari masa prahistoria di Kerinci sebangsa menhir batu, keadaannya banyak unik berupa silindrik dengan letak tergeletak di bidang tanah. Posisi semacam ini belum suah di temukan pada alun-alun lainnya di Indonesia, keadaan silindrik di Kerinci melahirkan penyimpangan dari budaya awam megalitik di Indonesia. Batu silindrik yang sedia di Kerinci era sekarang sama banyaknya tujuh buah, bermotifkan relief manusia kangkang, matahari, lingkaran aura dengan sebagainya. Ada yang polos tanpa motif, menurut kronologis berasal dari masa 12.000 tahun SM. Motif ini berhubungan erat dengan bangun tarian dengan instrumen yang di gunakan pada apel ritual “Asyeik”.

Benda-benda yang berasal dari abad perunggu yang di temukan di alun-alun Kerinci adalah gelang, giring-giring, cakram, genderang dengan sebuah bejana. Nekara perunggu Kerinci teperlus dalam blok Heger –1, menunjukan persamaan dengan temuan di Dongson dengan Phom Penh. Sedangkan bak perunggu memiliki motif persamaan dengan seni hias yang terdapat pada konstruksi konservatif Kerinci, beserta pada konstruksi ibadah lainnya. Benda-benda perunggu ini dikatakan sebagai peninggalan abad Paleometalik berasal dari 1.000-500 tahun SM.

Temuan tertua lain di alun-alun Kerinci berupa keramik antik yang berasal dari masa rezim Dinasti Han di Cina (Tahun 202 SM-221 Masehi). Adanya keramik Han di alun-alun Kerinci, memperkuat dugaan saya bakal daya orang prasejarah Kerinci dalam melahirkan hubungan timbal mudik dengan daratan Cina. Besar kemungkinan alun-alun Kerinci pada abad itu sebagai induk sebuah kemajuan tertua di Sumatra, mengingat notasi yang di buat oleh K’ang-tai dengan Wan-Chen dari bangsa wangsa Wu (222-280 SM), diterangkan sebuah kerajaan di Sumatra terdapat banyak gunung api dengan di selatannya sedia sebuah teluk bernama Wen.

Dari eksplorasi arkeologi di lapangan tinggi Kerinci, melahirkan cacat ahad bahan eksplorasi arkeologi sejak tahun 1932 dengan perintisnya ialah A.N.J.Th a Th van der Hoop. Tinggalan menonjol di alun-alun tersebut ialah instrumen obsidian dengan megalit. Sejak tahun 2005 dari terdapat sejumlah situs kubur gentong yang berasosiasi dengan tinggalan megalit, sehingga diperkirakan kedua unsur budaya tersebut hidup sezaman. Penelitian kubur gentong selama ini memanifestasikan bahwa di lapangan tinggi Kerinci mekar budaya penguburan dengan gentong sama dengan terdapat lagi di berbagai situs arkeologi di Indonesia. Penelitian kubur gentong lagi memanifestasikan adanya pemberian bekal kubur yang membuktikan kepercayaan adanya denyut setelah mati.

Penelitian kubur gentong di Desa Muak, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juli 2007 melahirkan cacat ahad rangkaian eksplorasi yang dilakukan sebelumnya yang bertujuan buat merekonstruksi aspek-aspek denyut budaya megalitik di lapangan tinggi Jambi. Penelitian tersebut dipimpin oleh Drs. Tri Marhaeni SB dengan anggota inti Sondang M. Siregar, SS (arkeolog), Sigit Eko Prasetyo, S.Hum (arkeolog), dengan Armadi, ST (pemetaan).

Ekskavasi di Desa Muak dilakukan di tiga tempat, adalah dua situs kubur gentong dengan ahad situs megalit. Di situs Ulu Muak dibuka ahad lobang ekskavasi berukuran 2×2 meter. Di kotak tersebut terdapat lima buah badan gerabah yang bangun dengan ukurannya bervariasi beserta daya penemuannya berbeda. Temuan badan yang dikenali tiga buah, adalah ahad buah belanga bertutup periuk, ahad buah gentong bertutup belanga, dengan ahad buah guci bertutup pasu. Dalam gentong tak terdapat tinggalan arkeologis.

Ekskavasi kubur gentong lainnya dilakukan di situs Dusun Baru Muak. Situs ini terletak sekeliling 150 meter dari Ulu Muak. Di situs Dusun Bartu Muak dibuka catur kotak ekskavasi yang masing-masing berukuran 2×2 meter. Ekskavasi tersebut menemukan enam buah badan gerabah yang diperkirakan semuannya berupa tempayan. Keadaannya retak dengan pecah, sehingga tak boleh dikenali bentuknya. Dalam gentong tak terdapat tinggalan arkeologis. Dibanding dengan temuan di Ulu Muak, badan gerabah dari situs ini lebih seragam bentuknya (mungkin semuanya tempayan) beserta lebih besar ukurannya. Wadah gerabah yang dipergunakan sebagai badan kubur di Ulu Muak pun berbeda bentuknya dengan yang ditemukanb di Lolo Gedang, sebuah situs kubur gentong lain yang berada sekeliling 2,3 km dari Ulu Muak.

Ekskavasi delapan buah kotak berukuran 2×2 meter dilakukan di situs Batu Patah, sekeliling 500 meter dari Ulu Muak. Ekskavasi dimaksudkan buat memafhumi lapisan budaya di sekeliling megalit karena di bidang situs menebak terdapat pecahan gerabah dari galian cangkul buat menanam ubi jalar. Ternyata lapisan budaya dengan temuan menonjol pecahan badan gerabah terbatas pada lapisan lempung coklat di tempat lanau kuning. Kedalamannya dari bidang tanah bervariasi jarak 40–60 cm. Temuan lapisan budaya ini sekaligus memperlihatkan bahwa di sekeliling megalit terdapat hunian yang diperkirakan sezaman karena cermin demikian terdapat pula di situs-situs di lapangan tinggi Jambi lainnya. Perbedaannya dengan situs-situs lainnya di alun-alun yang sama, adalah keletakan jarak megalit dengan kubur gentong di Muak lebih berdekatan (sementara ini 500 meter), meskipun di ruang lain tak kurang dari 1 km.

Dari pengalian arkeologi ini memastikan budaya lidah dalam ritual Asyeik pernah sedia sejak abad pra-aksara dimana abad ketika manusia belum mengetahui tulisan, ditandai dengan belum ditemu­kannya keterangan tertulis melanda denyut manusia. Periode ini ditandai dengan cara hidup mengejar dengan mengambil bahan incaran yang tersedia di alam. Pada abad pra-aksara cermin hidup dengan berpikir manusia banyak mengekor dengan alam. Tempat tinggal membayangkan berpindah-pindah berdasarkan ketersediaan sumber makanan. Zaman pra-aksara acap disebut lagi dengan abad nirleka. Nir artinya tanpa dengan malas artinya tulisan.Zaman pra-aksara berakhir ketika masyarakatnya pernah mengetahui tulisan.

Pembabakan masa pra-aksara Indonesia menebak dimulai sejak 1920-an oleh kaum peneroka asing bagai P.V. van Stein Callenfels, A.N.J. Th. van der Hoop, dengan H.R. van Heekern. Pembabakan masa pra-aksara Indonesia didasarkan pada penemuan-penemuan alat-alat yang digunakan manusia pra-aksara yang tinggal di Kepulauan Nusantara. Para ahli arkeologi dengan paleontologi membagi masa pra-aksara Indonesia ke dalam dua zaman, adalah abad batu dengan abad logam.

Upacara Asyeik suatu bangun tarian primitif masyarakat Kerinci yang dilakukan pada kesempatan tertentu, yang mengandung unsur kerohanian, ini banyak hebat dalam penampilan sewaktu menari. Tari asyeik ini lebih tepat dikatakan “Upacara ritual asyeik” karena melahirkan persembahan dengan memakai sesajian, meskipun aji-aji yang dilakukan berirama beserta dengan gerak-gerik, dengan dilakukan dengan banyak elementer tetapi penuh dengan penghayatan, yang dihubungkan dengan arti aji-aji yang diucapkan. Sejalan dengan jalan abad dengan masuknya Islam ke alun-alun Kerinci, apel asyeik ini akan datang berasimilasi dengan kultur Islam, dimana didalam mantra-mantranya dimasukkan pula nama-nama Nabi beserta para sahabatnya.

Upacara asyeik beragam arah dengan tujuannya, bagai apel asyeik berdoa fertilitas tanah, membuka lahan baru pertanian, bebas panen, berdoa obat, berdoa anak cucu (bagi pasangan suami induk beras yang pernah lama menikah, namun belum dikaruniai anak), apel asyeik berdoa ilmu, apel asyeik tolak bala, apel asyeik lindung negeri dari timpaan bencana alam.

Untuk mengamankan kepunahan apel ritual asyeik ini, pada tahun enam puluhan oleh seniman suku Kerinci mencoba menggarap dansa asyeik ini jadi seni pertunjukan, tetapi hasil yang membayangkan capai banyak asing berbeda, kendatipun dansa tersebut bisa diangkat ke tempat pentas tetapi ia tetap kehilangan keakraban, karena tarian ini ialah apel ritual yang bersifat spontan dengan tak bisa dilepaskan dari suasana bidang Kerinci.

Dengan mengambil apel asyeik yang banyak antik dengan mengandung nilai-nilai kebajikan lokal yang dalam adalah dengan melahirkan apel ritual asyeik tolak bala yang meliputi apel ritual ban bebas tempat berkah alama, (Kesuburan tanah dengan agar melimpah mencurah hasil panen antah maupun perkebunan), Asyeik menurut kosmologi yang didalam mantranya sarat bakal advis dengan nasehat buat menjaga bidang sarwa dengan penghampiran kepada Ketuhanan, hutan tanah boleh berkelaluan memberi keselamatan buat anak Adam manusia.

Alur kegiatan apel ritual Asyeik persiapan sesajian : bunga lima macam, bunga tujuh macam, bunga sembilan macam, mauz -- raja punti dingin, mauz -- raja punti batu, mauz -- raja punti raja, mauz -- raja punti serai, benang berjalin tiga warna, benang berjalin lima warna, benang berjalin tujuh warna, benang berjalin sembilan warna, metas antah biasa (metas=ikatan antah yang bakal dituai), bertih kunyit (beras kuning), nasi kebuli putih, nasi kebuli kuning, nasi kebuli merah, nasi kebuli hitam, ayam, telur ayam, lemang putih (ketan putih yang dimasak dalam ruas bambu), lemang hitam, neko-neko jeruk, air jeruk, manik yang dibuat bangun tangga, kayu cendana, bunga cina, kemenyan putih, rokok nipah, pinang di bengkah catur (delapan x lima buah), keris, kapur sirih, tembakau dua kepal, lever kambing jantan, pecahan kaca.

Sesajian yang pernah beres diletakkan diatas rak-rak undakan dilatar belakangi oleh layar aswad yang digantungi manik-manik dengan keris. Semua jambar disusun dalam mangkuk –mangkuk porselin putih dari peninggalan bangsa Sung.

Alat-alat yang dipergunakan : gelegah besar, gelegah kecil, gendang yang besar (dap), gendang yang kecil,

Tingkatan pelaksanaannya : pembukaan, tingkat orang jadi, tingkat masuk bumi, tingkat bertambah tangga, tingkat muji guru.

Pembukaan : Dalam desa ini Salih (Dukun) bersimpuh menghadap kearah jambar sambil mengartikan aji-aji yang berisi puja-puji terhadap roh-roh aki kumpi beserta menyatakan arah diadakannya asyeak tersebut, sambil mengartikan aji-aji guru-guru tersebut menabur bertih kuning kearah jambar yang ada.

Tingkat orang oke : Pada desa ini cacat seorang anggota masyarakat didudukkan di tengah arena asyeik, luasnya lebih kurang 6×6 meter dengan alat penerangan penerangannya obor. Setelah duduk menggelilingi cacat ahad angota masyarakat yang ditunjuk oleh bomoh tadi, bomoh melanglang sambil mengartikan mantra, sehingga orang semula trance (masuknya roh-roh ke dalam tubuh manusia).

Tingkat masuk bumi : Babak ini guru-guru (Dukun) balik duduk menghadap sesajiian meskipun orang semula balik ke tepi arena. Disini Salih (Dukun) yang memimpin upacara, dengan aji-aji dengan diiringi aksen dari gelegah dengan gendang yang dikuti oleh segala yang hadir. Salih menceritakan tentang kejadian alam, manusia yang diciptakan oleh Tuhan, dengan betapa dengan cara apa Tuhan membawa derajat anak Adam manusia dibandingkan dengan insan lainnya diatas muka bumi ini, akan datang menceritakan pula betapa dengan cara apa bertambah kepintu langit. Dalam aji-aji inilah disebut dengan salih memberi nasehat buat menjaga desain Tuhan bagai hutan dengan isinya.

Tingkat bertambah tangga : Pada desa ini orang semula diselubungi dengan kain akan datang diasapi dengan kemenyan yang dibakar. Sementara orang semula diasapi, masyarakat melanglang sih sakit sambil mengikuti lagu aji-aji yang dibacakan bomoh alias salih.

Kemudian satu-persatu masyarakat trance, sedia yang bertingkah bagai harimau, alias bersilat, beserta asian dengan pecahan kaca, namun tak segala yang hadir beserta trance, biasanya yang trance ialah membayangkan yang memiliki turunan langsung dengan atma aki kumpi yang disebut oleh salih dalam mantranya.

Bagi masyarakat yang trance tadi, sih salih menanyakan kepada roh-roh aki kumpi yang masuk ke tubuh membayangkan yang trance, segala apa cacat masyarakat selama ini dengan betapa dengan cara apa buat memperbaikinya . Biasanya pada waktu inilah, roh-roh yang masuk ketubuh membayangkan yang trance semula mengatakan sebabnya, bagai sedia anggota masyarakat yang menebang pohon di hutan, padahal pohon itu ruang bersemayam roh-roh aki moyang, alias sedia yang mengejar dengan mematikan binatang di hutan sehingga menyebabkan murkanya roh-roh tadi.

Muji Guru : Pada desa ini seluruh yang sedia disitu kut menari dengan mengartikan bacaan aji-aji yang berisikan pujian terhadap salih-salih yang terdahulu, sambil berjanji tak bakal menggangu tempat-tempat bersemayamnya roh-roh aki kumpi semula dengan tak bakal mengganggu binatang di hutan.

Pembudayaan : Upacara ritual asyeik dilaksanakan sesuai kebutuhan dengan bukan apel rutin yang dilaksanakan tiap tahunnya bagai apel lain di Kerinci. Upacara ritual asyeik yang saya arah bukan apel ritual yang pernah dikemas dalam bangun pertunjukan diatas pentas tetapi apel ritual yang sudah-turun temurun, dengan sentuhan alami, tanpa merubah, menambah alias mengurangi, namun dibiarkan genap segala apa adanya bagai yang pernah turun-temurun diwariskan oleh aki kumpi suku Kerinci. Upacara yang cuma dimiliki oleh suku Kerinci dengan berhubungan dengan kerohanian beserta bidang ghaib beserta bersifat spontan.

KESIMPULAN

Dari diskusi diatas boleh di anjur kesimpulan, budaya lidah dalam ritual Asyeik, tak sekedar sebuah seni konservatif dalam suatu blok komunitas masyarakat, tetapi budaya lisannya penuh kandungan makna bakal aforisme dengan alasan babad masa lampau, dengan mengambil nilai-nilai kebajikan lokal yang terkandung didalam budaya lidah boleh dijadikan media penjelasan dengan tali penghubung jarak suatu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya. Dan ini memastikan lagi bahwa budaya lidah dalam kultur tak sekedar “berkesenian”: alias cuilan halus dari kultur global, namun ia melahirkan tonggak, induk, dasar dari lahirnya cabang dengan buah dari ilmu budaya menurut keseluruhan.

Dari alasan dengan bahan yang dipaparkan diatas tak bisa dibantah bahwa budaya lidah yang dibawa dalam ritual Asyeik, melahirkan produk masa pra-aksara dari abad Neolitikum, ini memperlihatkan di lapangan tinggi pelosok pulau Sumatera sekian ratus tahun kalakian pernah lahir budaya lidah dalam bangun apel ritual beserta pernah mekar kemajuan dengan kultur awal.

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Dpt dengan Amri Swarta. (2006). Adat dengan Budaya Daerah Kerinci. Kerinci: Dinas Pendidikan Kabupaten Kerinci.

Finnegan, Ruth. (1992). Oral Tradition and The Verbal Arts: A Guide to research Practices. London: Routledge.

Ife, Jim & Frank Tesoriero. (2008). Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi: Community Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Parani, Julianti. (2011). Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya. Jakarta: Nalar

Kozok, Uli. (2006). Kitab Undang-undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu Yang Tertua. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Koentjaraningrat. (1990) Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta

Lindsay, Jennifer(ed). (2006). Telisik Tradisi: Pusparagam Pengelolaan Seni. Jakarta: Yayasan Kelola

Lord, Albert B. (1995). The Singer Resumes The Tale. London: Cornell University Press

——————-. (2000). The Singer of Tales Second Edition. London: Harvard University.

Der Hoop, A. N. J. Th. a. Th. van, 1932. Megalithic Remains in South Sumatra. (Translated by William Shirlaw). W. J. Thieme & Cie, Zutphen, Netherland.

Mulia, Rumbi, 1980. “Beberapa Catatan Mengenai Arca-arca yang Disebut Arca Tipe Polinesia”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dengan Peninggalan Nasional. Hlm. 599-646.

Munandar, Agus Aris, 2010. “Bronze Masks Discovered in Made Cave and Its Surrounding”, Research Report for Hettabrezt Spa lewat Emilia Ponente 130-40133, Bologna, Italy. (Unpublish).

…………….. , & Yose Rizal, 2009. “Simbolisme Kepurbakalaan Megalitik di Wilayah Pagar

Alam, Sumatera Selatan”, makalah dalam Seminar Nasional Peradaban Besemah Sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Kerja sama jarak Pemerintah Kota Pagar Alam, Yayasan Jurai Besemah, dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Pagar Alam, 27 Februari—1 Maret 2009.

Prasetyo, Bagyo & Dwi Yani Yuniawati (Penyunting), 2004. Religi pada Masyarakat Prasejarah Indonesia. Jakarta: Proyek Penelitian dengan Pengembangan Arkeologi.

Santos, Arysio Nunes dos, 2010. Atlantis The Lost Continent Finally Found: The Deflnitive Localization of Plato’s Lost Civilization. Indonesia Ternyata Tempat Lahir Peradaban Dunia. Jakarta: Ufuk Press.

Soejono, R. P., 1981. Tinjauan Tentang Pengkerangkaan Prasejarah Indonesia, dalam Aspek-aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology) No. 5. Jakarta: Proyek Penelitian Kepurbakalaan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

———, (penyunting jilid), 1984. Sejarah Nasional Indonesia I: Jaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Steiner, Andreas M. & Massimo Vidale, 2010. “Goa Made: The mystery of the green masks”, Archeo Attualita Del Passato. Anno XXVI, n 2 (300), Febbraio 2010 Mensile Culturale. Milano: lewat Castel Morrone, 18-20129.

Sweeney, Amin. (1980). Author and Audiences In Tradisional Malay Literature. Berkeley: Centre For South and Southeast Asia Studies.

AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress

Begitulah pembahasan perihal MENELUSURI TRADISI LISAN WARISAN KEBUDAYAAN DONGSON DAN BACSON-HOABINH ( TRADISI LISAN DALAM RITUAL "ASYEIK” KERINCI ) - Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau semoga artikel ini berfaedah terima kasih

Artikel ini diposting pada kategori jenis jenis seni budaya, jenis jenis seni rupa 2 dimensi dan 3 dimensi, jenis jenis seni rupa terapan,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara Politik Kerajaan Tarumanegara

Hohoho, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membahas tentang politik kerajaan tarumanegara Kehidupan Politik, Sosial, Ekonomi Dan Budaya Pada Kerajaan Tarumanegara simak selengkapnya HINDUALUKTA -- Secara etimologi Tarumanagara berasal dari kata Taruna yang artinya negara atau negeri dengan Nagara yang merupakan dari kata Tarum yaitu sebuah sungai di Jawa Barat ialah sungai Citarum. Kerajaan Tarumanegara tercata dalam asal usul sebagai salah satu negeri Hindu yang pernah berkuasa di Jawa dari abad 4 sampai 7 masehi. Menurut sejarah, negeri Tarumanegara didirikan pada tahun 358, dengan salah satu rajanya yang membelokkan terkenal adalah raja Purnawarman. Bukti yang ditemukan sebagai catatan negeri Tarumanegara adalah tujuh batu bersurat batu yang ditemukan di Lebak Banten (1), Bogor( 5) dengan Jakarta (1). Dari ke tujuh prasasti tersebut diantarnya yakni:  Prasasti Pasir Awi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Ciaruteun, Pra...

KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI Kesenian Dari Madura

Hi, selamat malam di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan dibahas mengenai kesenian dari madura KESENIAN MADURA GENDING MADURA FULL RARI TARI simak selengkapnya. AliExpress.com Product - Ocstrade Summer Sexy Rayon Bandage Dress 2019 New Arrivals Mesh Insert Women Bandage Dress Black Party Night Club Bodycon Dress HandayaniRecord Official mempersembahkan buah karya kami untuk anda nikmati sebagai konser keluarga yang cukup dengan bermanfaat sebagai hiburan, Semua adegan sudah kami setting. andaikata ada kesamaan cap dengan lainnya. Mohon maaf ------------------------------------------------------------- Silahkan Dilihat Juga Chanel Terkait : Channel Group reno puri: https://www.youtube.com/channel/UCjO5... handayanirecord official: https://www.youtube.com/channel/UC50V... indonesian review : https://www.youtube.com/channel/UCQXk... masakan mama : https://www.youtube.com/channel/UCAJv... DakwaQ Official: https://www.youtube.com/channel/UCxy4... Terima Kasih Untuk Su...

Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, Dan Marginal Rate Of Substitution Pengertian Marginal Utility

Hallo, selamat sore di "Indonesia Dalam Berita", artikel ini akan membawa pembahasan mengenai pengertian marginal utility Memahami Teori Utilitas, Marginal Utility, Indifference Curve, dan Marginal Rate of Substitution simak selengkapnya Untuk barang kali ini kita bakal belajar atas aturan utilitas ( utility theory ), pengertian marginal utility , ancangan marginal utility dan indifference curve di mahir gajak konsumen, serta pengertian marginal rate of substitution . 1. TEORI UTILITAS. Pada bagian ini kita bakal mahir coret-coretan alas utilitas, pengertian marginal utility , serta the law of diminishing marginal utility . 1.1. Konsep Dasar Utilitas. Secara leksikal, kata utilitas ( utility ) dimaknai sebagai ‘the quality or state of being useful‘ ( www.merriam-webster.com ). Dalam hal ini, utilitas memberitahukan derajat kemanfaatan suatu objek. Sementara di ilmu ekonomi, konsep utilitas memberitahukan babak kegembiraan pelaku ekonomi tempat konsumsi barang/jasa...